Anda di halaman 1dari 12

Ibu Hamil dengan Human Immunodeficiency Virus

dan Kaitannya dengan Persalinan Normal

Disusun Oleh:
Cindy Feliciana 112016284

Pembimbing:
dr. Ekarini Aryasatiani Sp.OG

Kepaniteraan Klinik Kandungan dan Kebidanan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
Periode 27 November 2017 – 3 Februari 2017

1
Pendahuluan
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ialah sindroma dengan gejala penyakit
infeksi oprtunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan
sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seksual. Virus ini cenderung
menyerang sel jenis tertentu seperti CD4, limfosit T yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia belum mencapai 3–
4%, tetapi epideminya berpotensi untuk menjadi lebih besar. Penelitian prevalensi HIV pada ibu
hamil di daerah miskin di Jakarta tahun 1999-2001 oleh Kharbiati mendapat angka prevalensi
sebesar 2,86% .1
Dari penelitian yang dilakukan oleh Toha dan Besral mengenai prevalensi HIV di
delapan ibu kota provinsi di Indonesia tahun 2003-2010 didapatkan angka yang cukup bervariasi
cenderung meningkat dari 2003 ke 2009, dari 0,36% pada 2003-2006, naik menjadi 0,52% tahun
2008 , naik menjadi 0,54% tahun 2009, kemudian turun menjadi 0,25% pada tahun 2010.2
Diperkirakan 8.604 bayi dengan HIV lahir setiap tahun, namun apabila dilakukan
Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) akan dapat dicegah 8.112 bayi
dengan HIV dan dihemat biaya sekitar Rp 42 miliar per tahun.2

2
Epidemiologi

Gambar 1. Epidemi HIV di Indonesia

Estimasi prevalensi HIV secara nasional diperkirakan mencapai 0.41% (2013) dan variasi
antar-propinsi berkisar antara 0.1%-3%. Propinsi Papua dan Papua Barat mempunyai situasi
khusus, karena epidemi HIV sudah menyebar di populasi umum sejak tahun 2006 dan pada
tahun 2013 mencapai prevalensi 2.3%. Dengan demikian Tanah Papua telah berada dalam
tingkat epidemi HIVmeluas, sedangkan sejumlah propinsi lainnya berada dalam tingkat epidemi
HIV terkonsentrasi.
Dalam 10 tahun terakhir, penularan HIV telah bergeser dari penularan melalui
penggunaan alat suntik tidak steril di kalangan pengguna napza suntik (penasun) menjadi
transmisi melalui hubungan seksual. Berdasarkan estimasi yang dilakukan Kementerian
Kesehatan pada tahun 2012, di Indonesia terdapat sekitar 9 juta penduduk yang berisiko tinggi
tertular atau menularkan HIV. Dari jumlah tersebut, terdapat kurang lebih 75.000 penasun,
250.000 wanita pekerja seks langsung dan tidak langsung (WPSL dan WPSTL), 1,15 juta laki-
laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan waria; serta 7 juta laki-laki pembeli seks
(laki-laki berisiko tinggi/LBT). Selain itu terdapat sekitar 5 juta pasangan risiko tinggi, termasuk
ibu rumah tangga yang sangat rentan tertular HIV.8

3
Tabel 1. Tren Kejadian HIV di Indonesia8

A. Ibu Hamil dengan HIV/AIDS dan Persalinan Normal


Pada penelitian yang dilakukan Mark, Murphy, Read dkk pada tahun 2012 didapatkan
hasil 210 ibu hamil dengan HIV positif dengan viral load < 1000 kopi/mL melahirkan selama
penelitian ini. VL sudah tidak terdeteksi (<50 kopi/mL) pada (167, 80%) Ibu hamil dan pada
semua ibu hamil dengan VL <1000 kopi/mL. Cara persalinan yaitu Persalinan pervaginam yaitu
107 (51%) dan section caesarean yaitu 103 (49%).Pada penelitian 54% melakukan persalinan
pervaginam dan 46% melakukan section caesarea. Dari semua ibu hamil dalam kohort ini tidak
ada kasus Mother-to-child Transmission of HIV . Dari penelitian tersebut disimpulkan tidak ada
hubungan lamanya air ketuban pecah, atau cara persalinan dengan Mother to Child Transmission
dalam kohort 210 ibu hamil dengan HIV positif.3
The society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC) and American
College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) merekomendasikan elektif section
caesarean (operasi sesar dilakukan sebelum melahirkan atau pecahnya ketuban pada ibu hamil
dengan viral load yang masih terdeteksi atau > 1000 kopi/mL.3

B. Antiretroviral therapy pada Ibu Hamil


Menurut WHO rekomendasi tahun 2010 Anti retroviral diberikan pada ibu hamil dengan
CD4 ≤ 350 sel/mm3 dan berapapun jumlah CD4nya dan terlepas dari stadium klinisnya. Kapan
mulainya diberikan ART pada ibu hamil? Pemberian terbaik ialah sesegera mungkin.
Rekomendasi lini pertamanya ialah
1. AZT + 3 TC + NVP or
2. AZT + 3TC + EFV or

4
3. TDF + 3TC (or FTC) + NVP
4. TDF + 3TC (or FTC) + EFV
Profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu dalam terapi ART yaitu NVP or AZT selama 4-
6 minggu. Saat yang tepat untuk diberikan ARV profilaksis pada saat usia 14 minggu usia
kehamilan. Profilaksis regimen untuk bayi yang terpapar yaitu NVP sejak lahir sampai 1 minggu
setelah terpapar ASI. Apabila bayi tidak menyusu ASI dapat diberikan NVP atau NVP + AZT
selama 4-6 minggu.4
Terkait pemberian makan bayi pada ibu yang telah diketahui terinfeksi HIV otoritas
nasional harus memutuskan pelayan kesehatan akan menasihati ibu untuk menyusuI dan
menerima ARV atau menghindari untuk menyusui , strategi ini untuk memberikan kesempatan
bayi untuk hidup bebas dari HIV.4
WHO tahun 2015 merekomendasikan terapi antiretroviral harus diberikan pada semua
ibu hamil dan ibu menyusui dengan HIV tidak peduli stage mana dan berapapun jumlah CD4
dan harus dikonsumsi berlanjut seumur hidup. 5
Program PMTCT adalah intervensi paling awal yang menggunakan ARV untuk
menurunkan risiko transmisi HIV. Regimen yang direkomendas WHO adalah single dose
nevirapine diberikan pada ibu saat persalinan dan kepada bayi pada beberapa hari pertama
kehidupan.5

Gambar 2. Pengobatan HIV pada Ibu Hamil8

5
Klasifikasi Penyebaran HIV di Indonesia:
 Epidemi Tingkat Rendah:
Prevalensi HIV konsisten < 1% populasi umum, <5% populasi tertentu
 Epidemi Terkonsentrasi:
<1% populasi umum TAPI >5% sub populasi tertentu
 Epidemi Generalized / Meluas
>1 % populasi Umum

Note:
Populasi tertentu merupakan pekerja seks & pelanggannya, penasun, LSL, waria

C. Risiko dan Pencegahan Transmisi Vertikal dari Ibu ke Bayi


Risiko transmisi vertikal antara lain:
 Usia kehamilan. Transmisi vertical jarang terjadi pada usia kehamilan muda karena
plasenta melindungi bayi dari infeksi pada ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu
hamil tua dan waktu persalinan.
 Beban virus di dalam darah
 Kondisi kesehatan ibu. Stadium dan progresivitas penyakit ibu, ada tidaknya komplikasi,
kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi vitamin A.
 Faktor yang berhubungan dengan persalinan seperti masa kehamilan, lamanya ketuban
pecah, dan cara persalinan bayi baru lahir.
 Pemberian obat ARV
 Pemberian ASI.6

6
Gambar 3. Pencegahan Penularan HIV Secara Umum8

Pencegahan Transmisi Vertikal


1. Pencegahan Primer
Pendekatan paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal adalah pencegahan
pada wanita usia subur. Konseling sukarela, rahasia, dan pemeriksaan darah ialah cara
mendeteksi penderita HIV secara dini.

2. Pencegahan sekunder
Pemberian ARV secara profilaksis , pada tahun 1994 dibuktikan obat tunggal
zidovudine sejak kehamilan 14 minggu, selama persalinan dan dilanjutkan 6 minggu
kepada bayi dapat menurunkan transmisi vertical sebanyak 2/3 kasus. Akhir-akhir ini
terbukti bahwa pemberian profilaksis zidovudine dalam jangka waktu lebih singkat cukup
efektif asalkan bayi tidak diberikan ASI. Saat ini penelitian membuktikan pemberian
nevirapine pada saat persalinan kepada ibu dan kemudian dilanjutkan pemberian satu kali
pada bayi 48-72 jam setelah lahir menurunkan transmisi vertical 50% dibandingkan
pemberian zidovudine oral intrapartum dan pada bayi selama satu minggu. Kombinasi 2
obat ARV ini sangat mengurangi transmisi vertikal apalagi bila dikombinasi dengan
persalinan melalui seksio sesaria serta tidak memberikan bayi ASI. 6
Pertolongan persalinan sebaiknya dibantu oleh petugas terampil dengan
meminimalkan prosedur yang invasive dan menetapkan universal precaution untuk
mencegah transmisi HIV. Pembersihan jalan lahir menggunakan chlorhexidine dengan
konsentrasi cukup pada saat intrapartum diusulkan sebagai salah satu cara menurunkan

7
transmisi vertikal HIV serta menurunkan morbiditas ibu dan menurunkan mortalitas
bayi.6
Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang
dapat diberikan dan setiap keputusan ibu perlu didukung. Bila ibu memilih tidak
memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan alternative yang baik dengan
cara yang benar , misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan
pemberian melalui botol. Di negara berkembang sewajarnya makanan alternatif ini
disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan. Bila ibu memilih memberikan
ASI walaupun sudah dijelaskan kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk
memberikan ASI eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi
diberikan makanan alternative. Perlu diusahakan juga agar putting tidak luka karena virus
HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula
karena susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus
dalam ASI lebih mudah masuk.6

D. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil HIV Positif ke Bayi


Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV
terhadap bayinya antara lain:
1. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
2. Layanan konseling dan tes HIV
3. Pemberian obat antiretroviral
4. Konseling tentang HIV dan makanan bayi
5. Persalinan yang aman
Kombinasi intervensi ini merupakan strategi yang paling efektif untuk
mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan
HIV dari ibu ke bayi pada periode kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.7

8
1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang Komprehensif
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi layanan pra
persalinan, pasca persalinan, serta kesehatan anak. Pemberian informasi pada ibu
hamil dan suaminya ketika datang ke klinik kesehatan ibu dan anak akan
meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya
risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi. Harapannya, dengan kesadarannya sendiri mereka akan sukarela melakukan
konseling dan tes HIV. Berbagai bentuk layanan yang diberikan klinik KIA, seperti:
imunisasi untuk ibu, pemeriksaa infeksi menular seksual terutama sifilis, pemberian
suplemen zat besi, dapat meningkatkan kesehatan semua ibu hamil termasuk ibu
hamil dengan HIV positif. Hendaknya klinik KIA melibatkan suami agar suamu juga
terlibat aktif dalam upaya pencegahan penularan HIV ibu ke bayi.7

2. Konseling dan Tes HIV


Layanan konseling dan tes HIV sukarela atau Voluntary Counseling and Testing
(VCT) merupakan salah satu komponen penting dalam pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang melalui tes darah.
Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan konseling sebelum dan sesudah tes,
menjaga kerahasiaan serta adanya persetujuan tertulis (inform consent).
Tes diagnostik HIV : prosedur pemeriksaan diagnostik HIV menggunakan metode
strategi 3 yaitu pemeriksaan tes HIV secara serial dengan menggunakan tiga reagen
yang berbeda. Test HIV yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan adalah
pemeriksaan dengan tiga reagen rapid HIV. 7

3. Pemberian Obat Antiretroviral


Pada ODHA dewasa, penentuan saat yang tepat memulai terapi obat
antriretroviral (ARV) selain dengan menggunakan stadium klinis, diperlukan
pemeriksaan CD4. Pada kebijakan PMTCT 2011, ARV diberikan kepada semua
perempuan hamil HIV positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4-nya terlebih
dahulu. Pedoman pemberian ARV tahun 2010 yaitu semua ibu hamil diberi ARV

9
tanpa memandang nilai CD4nya. Apabila tanpa indikasi: ARV pada umur kehamilan
≥14 minggu, apabila ada indikasi diberikan ARV segera.

Tabel 1. Rekomendasi Terapi ARV pada Ibu hamil dengan HIV dan bayi.7
Ibu
AZT + 3TC + NVP Dapat diberikan sejak trimester 1
AZT + 3TC + EVP Jika ARV diberikan pada trimester 2 atau
umur kehamilan ≥14 minggu
TDF + 3TC + NVP Jika ibu anemia < 8 mg%
TDF + 3TC + EVP
Bayi
AZT 4mg/kgBB, 2x/hari, mulai hari I hingga 6 minggu

4. Persalinan yang Aman


Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50% - 66% . Namun perlu
dipertimbangkan :
1. Faktor keamanan ibu pasca SC . Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
komplikasi minor dari operasi seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka, da
infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada ODHA dibandingkan dengan non-
ODHA.
2. Fasilitas kesehatandari tempat pelayanan, apakah memungkinkan untuk dilakukan
seksio sesarea.
3. Biaya seksio sesarea yang relatif mahal.
Dengan demikian untuk memberikan layanan persalina yang optimal kepada ibu
hamil HIV positif direkomendasikan konseling sehubungan dengan keputusannya
sendiri untuk melahirkan bayi secara seksio sesarea ataupun normal. Serta tindakan
menolong persalinan ibu hamil dengan HIV positif baik secara persalinan pervaginam
maupun seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan standar yang berlaku
untuk semua persalinan.
10
5. Tatalaksana dan Pemberian Makanan pada Bayi
Dalam pemberian informasi dan edukasi, tenaga kesehatan harus menyampaikan
adanya risikp penularan HIV melalui pemberian ASI dibandingkan dengan susu
formula. Juga tidak boleh lupa menerangkan persyaratan untuk dapat diberikan susu
formula (AFASS). Susu formula dapat diberikan hanya bila memenuhi persyaratan
AFASS , yaitu Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable, dan Safe.7

Kesimpulan
 ANC penting untuk mendeteksi awal penyakit atau penyulit dalam persalinan, konseling
juga sangat diperlukan untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
 Terapi ARV sangat bermanfaat untuk ibu dan bayi sebaiknya dikonsumsi rutin sesegera
mungkin apabila ibu diketahui menderita HIV
 PMTCT dapat dilakukan dengan berbagai macam hal yaitu terapi ARV, bilas jalan lahir
(chlorhexidine).
 Persalinan optimal dapat terjadi sesuai indikasi obstetric dan kemauan ibu sendiri.

11
Daftar Pustaka

1. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan.Jakarta:PT Bina Pustaka.2014.p.933


2. Muhaimin T, Besral.Prevalensi hiv pada ibu hamil di delapan ibu kota provinsi di
Indonesia tahun 2003-2010.Makara:Jakarta.2011.p.93
3. Mark S, Murphy KE, Read S, dkk. Clinical Study; HIV mother-to-child transmission,
mode of delivery, and duration of rupture of membranes:experience in the current
era.Canada: Hindawi Publishing Corporation.2012.p.1-2
4. WHO.Antiretroviral drugs for treating pregnant women and preventing hiv infection in
infants-2010 version.WHO Library Cataloguing:France.p.3-7
5. WHO.Guideline on when to start antiretroviral therapy and on pre-exposure prophylaxis
for hiv.Switzerland:WHO.2015.p.30-4
6. Suradi R. Tatalaksana bayi dari ibu pengidap hiv/aids.Jakarta:Sari pediatri.2003p.181-3
7. Kemenkes RI.Pedoman nasional pencegahan penulranan HIV dari ibu ke
bayi.Jakarta:Kemenkes RI.2011.p.21-7,29,30-2
8. Kemenkes RI. Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari
ibu ke anak. Jakarta: Kemenkes RI; 2015

12

Anda mungkin juga menyukai