Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi
atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan
1
suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. Akibat adanya carian
yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan berkurang dan di
samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ mediastinum, termasuk
jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat mengakibatkan
gangguan pada jantung dan sirkulasi darah. 2
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara
yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa
ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan
kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai
pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara
5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura. 2
Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik . Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan
keseimbangan faktor-faktor di atas.1
Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura ini,
yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya
sehingga hasilnya akan memuaskan. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (cavum)


pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan.1

Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura
adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan
di dalam rongga pleura yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan
dan pengeluaran cairan pleura.2

Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga
selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis
dengan pleura parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru(mengembang dan
mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam
rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan
plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5
gr/dl.1,2

Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara
lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. 1,2

1) Hidrotoraks

Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral.Sebab-sebab lain
yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta
sebagai salah satu trias dari sindroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).

2
2) Hemotoraks

Hemotoraks adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena
trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dahsyat didekat penderita, atau trauma
tajam maupun trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25%
kadar Hb dalam darah. Darah hemothoraks yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku,
maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebablainnya
hemotoraks adalah:

a) Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke


dalam rongga pleura.
b) Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
c) Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak
membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui
sebuah jarum atau selang.
3) Empiema

Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis ini
akan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada
setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai
salah satu komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:

 Pneumonia
 Infeksi pada cedera di dada
 Pembedahan dada

3
4) Kilotoraks

Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kelenjar getah


bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain :

 Konginetal, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus,tapi terdapat


fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau
pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi
daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3tengah dan atas, operasi leher,
operasi kardiovaskular yangmembutuhkan mobilisasi arkus aorta.
 Obstruksi karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,
granuloma mediastinum (tuberkulosis,histoplasmosis).

Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena
subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekanduktus torasikus dan menyebabkan
kilotoraks.1,2

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan
parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial jaringan ikat,
dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran
serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran
serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura
parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura
dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura.
Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan
antara pleura viseralis dan parietalis,diantaranya : 1,2,3

4
1) Pleura Visceralis

Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-selmesothelial ini
terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, dibawahnya terdapat lapisan
tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastic. Lapisan terbawah terdapat
jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari
a. Pulmonalis dan a.Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan
paruFungsinya. Untuk mengabsorbsi cairan pleura

2) Pleura parietalis

Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan
elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis
dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang
peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostal
dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan
lepas dari dinding dada di atasnya fungsinya untuk memproduksi cairan pleura.

Gambar 1. Paru dan pleura 1

5
FISIOLOGI

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis


dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan
toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling
melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang
lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan normal akan
bergerak dari kapiler didalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap
kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan
membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan
intersisial dapat terus-menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura. Selisih
perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada
selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura
viseralis lebih besar daripada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya
ada beberapa mililiter cairan didalam rongga pleura.1

Gambar 2. Dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.3

6
Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa
mililiter yaitu 15 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah cairan pleu
ra sebanyak 12-15 ml.1 Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk
memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh
pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam
mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural
parietalis.3 Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura
visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit
sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.1,2,3

III. EPIDEMIOLOGI

Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-
negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang
mendasarinya.Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis
kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar
dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara
signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura
yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi padawanita
dibandingkan pada pria.2

IV. ETIOLOGI

Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan


adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik
dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik luas. Efusi
pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik.2 Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau
non pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. meskipun spektrum etiologi efusi
pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif.

7
Pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan
peran dalam pembentukan efusi pleura :

1) Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,emboli


paru)
2) Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya,hipoalbuminemia, sirosis)
3) Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya,
trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obathipersensitivitas,
uremia, pankreatitis)
4) Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-
paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kavasuperior)
5) Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru
penuh(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6) Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi
duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7) Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau
cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8) Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9) Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan
adanaya akumulasi cairan di pleura
10) Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,
virus, bronkoektasis, abses amuba subfrenik yang menembus rongga pleura),
karena tumor dan trauma.

V. KLASIFIKASI

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan


cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil
dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik,sedangkan

8
eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun.
Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat
dan eksudat.1,2,3

1) Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:


a) Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik
dan koloid osmotik, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi
reabsorbsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

 Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


 Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
 Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
 Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

 Gagal jantung kiri (terbanyak)


 Sindrom nefrotik
 Obstruksi vena cava superior
 Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
melalui saluran getah bening)
b) Exusadat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang


permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan
terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa

9
yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal
sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening
ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi
protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.Penyakit yang menyertai
eksudat, antara lain:

 Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


 Tumor pada pleura
 Infark paru
 Karsinoma bronkogenik
 Radiasi
 Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic LupusEritematosis).

VI. PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan kedalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorbsi oleh saluran
limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi. Kemampuan
untuk reabsorbsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan
reabsorbsinya tidak seimbang (produksinya meningkat\ atau reabsorbsinya menurun)
maka akan timbul efusi pleura.1,2,3,4

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan


dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk
secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi
karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial
kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.

10
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan
cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan
tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorbsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah
terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.1,2,3,4

Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan.Bila


proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehinggaterjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks.1,2,3,4 penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila :

a) Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan


cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.Keadaan ni dapat terjadi
pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.
b) Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik
karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
c) Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak
cairan masuk ke dalam rongga pleura.
d) Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
e) Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada
vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat
pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada
kelenjar getah bening.

Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya


Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya
perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah

11
cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang
nyata.

Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan
gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial oksigen (Pa O2) ≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbon dioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

VII. MANIFESTASI KLINIS

Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar.


Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan
menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis
atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yangmenurun seperti pada
efusi yang lain.1,2,3,4,5

Dari anamnesa didapatkan :

a) Sesak nafas bila lokasi efusi luas.


Sesak napas terjadi pada saat permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri
dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau
cairannya penuh
b) Rasa berat pada dada
c) Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis.
d) Demam subfebris pada TBC, demam menggigil pada empyema

Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)

a) Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal

12
b) Vokal fremitus menurun
c) Perkusi dull sampal flat
d) Bunyi pernafasan menrun sampai menghilang
e) Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada
treaka

Nyeri dada pada pleuritis :

Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat
oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari
pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal.
Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar
ke daerah lain :

1) Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh
G. Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.2
2) Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk memperkuat diagnosa efusi pleura


antara lain :4,5,6

1) Rontgen dada

Roentgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk


mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto dada juga
dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang
membesar, adanya masa tumor, adanya lesi tulang yang destruktif pada keganasan,
dan adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.2.

13
2) USG Dada

USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan.Jumlahnya


sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun
waktu melakukan aspirasi cairan dalam rongga pleura. Demikian juga dengan
pemeriksaan CT Scan dada.3

3) CT Scan Dada

CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan dengan


jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi
pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.4.

4) Torakosentesis

Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahuidengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis.
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarumyang dimasukkan
diantara sel iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal dalam dan
berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaan
torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderitadengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v garis aksilaris media dengan
memakai jarumAbbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya
tidak melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik
mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat terjadi
karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui
betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.5

14
5) Biopsi Pleura

Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka dilakukan


biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk dianalisa. Pemeriksaan
histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 -
75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternyata hasil
biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada
sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab
dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi biopsi antara lain
pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor padadinding dada.6

6) Analisa cairan pleura

Untuk diagnostik cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :

a) Warna Cairan

Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serous-xantho-


ctrorne. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru,
keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta.Bila kuning kehijauan dan agak
purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukkan
adanya abses karenaameba

b) Biokimia

Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat


yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Perbedaan Transudat Eksudat


- Kadar Protein dalam efusi (g/dl) <3. >3.
- Kadar Protein dalam efusi <5. >5.
Kadar Protein dalam serum

15
- Kadar LDH dalam efusi (I.U.) <200 >200
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam serum <0,6 >0,6
- Berat jenis cairan efusi <1,016 >1,016
- Rivalta negatif positif

Selain pemeriksaan tersebut, secara biokimiadiperiksakan juga pada cairan


pleura :

- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit- penyakit infeksi,


artitis reumatoid dan neoplasma
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis
adenokarsinoma.

c) Sitologi

Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostic


penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologisatau dominasi sel-sel
tertentu.

- Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.


- Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa
atau limfoma malignum
- Sel mesotel: Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya infark paru.
Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
- Sel mesotel maligna : Pada mesothelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid-
- Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik

16
d) Bakteriologi

Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung


mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema). Efusi yang
purulen dapat mengandung kuman-kumanyang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman
yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli,
Kleibsiella,Pseudomonas, Entero-bacter.Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan
terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.
Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :

Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura

Hitung sel total Hitung diferensial, hitung sel darah merah, sel
jaringan

Protein total Rasio protein cairan pleura terhadap serum >0,5


menunjukkan suatu eksudat

Laktat dahidrogenase Bila terdapat organisme, menunjukkan empyema


Pewarnaan Gram dan tahan
asam
Biakan Biakan kuman aerob dan anaerob, biakan jamur dan
mikrobakteria harus ditanam pada lempeng

Glukosa Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila gula darah


normal menunjukkan infeksi atau penyakit
rheumatoid

Amylase Meningkat pada pankreatitis, robekan esophagus

17
pH Efusi para pneumonik dengan pH > 7,2 dapat
diharapkan untuk sembuh tanpa drainase
kecuali bila berlokusi.
Keadaan dengan pH < 7,0menunjukkan infeksi
yang memerlukan drainase atau adanya robekan
esophagus.

Sitologi Dapat mengidentifikasi neoplasma


Hematokrit Pada cairan efusi yang banyak darahnya, dapat
membantu membedakan hemotoraks dari
torasentesis traumatik
Komplemen Dapat rendah pada lupus eritematosus sistemik
Preparat sel LE Bila positif, mempunyai korelasi yang tinggi
dengan diagnosis lupus aritematosus sistemik
7) Bronkoskopi

Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan


yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-kasus neoplasma,
korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain.

8) Scanning Isotop
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli paru.
9) Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau tuberculosis
pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada (dengan resiko
kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkandengan memakai penghisap
dan udara dimasukkan supaya bias melihat kedua pleura.Dengan memakai
bronkoskop yang lentur dilakukan beberapa biopsy.

18
IX. DIAGNOSA
1. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi
pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit.
Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk batuk
dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah
cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain
melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup
sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan
mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak ada pendorongan, sangat
mungkin disebabkan oleh keganasan
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi
pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara
radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas
bila jumlah cairan di atras 300 ml.
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan
adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan
pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat.
4. Torakosentesis
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga sebagai
terapeutik.

X. PENATALAKSANAAN

Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan


pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Beberapa macam

19
pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah
sebagai berikut : 1,2,3,4,5,6

1. Obati penyakit yang mendasarinya


a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya dikeluarkan melalui
sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu
memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan streptodornase). Jika
perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang,
maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan saluran
getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker untuk
tumor yang menyumbat aliran getah bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat
sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan
untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi).
d. Pleuritis TB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH, Pirazinamid/
Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat
seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi
dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat
dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-
kdang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama
2 minggu, kemudian dosis diturunkan). (2)

20
2. Torakosentesis
keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5
liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan lebih 1.500
ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang dapat dilakukan pada hari
berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan,
sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas
beberapa indikasi.
a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan tertekan pada
dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong dan
menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat menyebabkan
kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati masa 3
minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu, namun
cairan masih tetap banyak.
3. Chest tube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang selang
dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi sempurna.
Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat
diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang
terlalu cepat akan menyebabkan distres pada pasien dan di samping itu dapat timbul
edema paru. 2
4. Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan mencegah
penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang
rekuren seperti pada efusi karena keganasan Sebelum dilakukan pleurodeSis cairan
dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan paru dalam keadaan
mengembang

21
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke
dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung pada kemampuan untuk
menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura. Bahan-bahan yang dapat
dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini yaitu : Bleomisin, Adriamisin,
Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium
parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan
pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada
lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah
dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura,
selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian
selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau dengan
memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian
kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan selama
itu posisi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga pleura.
Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut. 2
5. Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :
a. Hematoraks terutama setelah trauma
b. Empiema
c. Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang dilakukan
kecuali pada efusi pleura yang telah mengalami kegagalan setelah mendapat
tindakan WSD, pleurodesis kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita
dengan prognosis yang buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang tak
diobati
d. Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting yaitu menghubungkan
rongga pleura dengan rongga peritoneum sehingga cairan pleura mengalir ke
rongga peritoneum. Hal ini dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis
maupun pleurodesis tidak memberikan hasil yang memuaskan; misalnya tumor
atau trauma pada kelenjar getah bening. 2

22
XI. KOMPLIKASI

1. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi (empiema
primer),dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah tindakan torasentesis
(empiema sekunader). Empiema primer dan sekunder harus didrainase dan diterapi
dengan antibiotika untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih
gambaran klinik. Pilihan antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui. 2

2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan membatasi
pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi kronis,
menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin
diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru.
Dekortikasi paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema
ditegakkan, karena selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi
dengan baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah. 1,3,5

XII. PROGNOSIS

Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari
kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih dini
akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan
pengobatan dini.

Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan


hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi dari
kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker
payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan berkepanjangan kelangsungan
hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker paru-paru atau mesothelioma.

23
Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di
sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang
tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis
konstriktif. 4,5

24
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. E Pekerjaan : Mahasiswa
Umur : 22 tahun Tanggal masuk : 07/01/2018
JK : Laki-laki Ruangan : Pipit
Alamat : Jl.Kamboja Rumah Sakit : Anutapura

II. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Sesak Nafas
Anamnesis terpimpin:
Pasien datang ke RSU Anutapura dengan keluhan sesak napas yang semakin
memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak terutama dirasakan saat beraktivitas dan sedikit
berkurang bila beristirahat, namun tidak hilang sepenuhnya. Keluhan sesak disertai
nyeri dada sebelah kiri dan nyeri ulu hati. Pasien juga mengeluh batuk berlendir yang
dialami ± 1 tahun. Pasien pernah mengalami batuk darah 3 bulan yang lalu. Sesak
napas seperti ini sudah pernah dirasakan pasien sebelumnya. Pasien juga mengeluh
sebelum masuk rumah sakit, pasien sering demam, dan menggigil. Pasien juga
mengatakan sering merasa mual namun tidak muntah.Menurut pasien, dia
mempunyai tetangga yang memiliki penyakit TBC. Pasien mengatakan tidak pernah
diberikan obat 6 bulan. Pasien merupakan perokok pasif.

Riwayat penyakit sebelumnya :


Asma (-), Pnemonia dan TBC disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Tumor ataupun keganasan lainnya (-)

25
Riwayat pengobatan :
Pasien pernah dirawat di RSU Anutapura dengan keluhan yang sama.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata : Sakit sedang
Tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg Pernapasan : 38 x/menit
Nadi : 112 x/menit Suhu : 36,80C
Kepala : Bentuk normocephali
Conjunctiva anemis - / -
Sclera ikterik - / -
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax
Paru-Paru
- Inspeksi : simetris bilateral
- Palpasi : vocal fremitus kanan tidak sama dengan kiri (menurun)
- Perkusi : sonor (+) pada paru kanan dan pekak pada paru kiri
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V midclavicula sinistra
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler (+), Gallop (-),Murmur (-)
Abdomen
- Inspeksi : datar, kesan normal
- Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
- Perkusi : tympani (+) seluruh regio abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan(-) Hepatomegali(-), Splenomegali(-).

26
Genitalia :
Inspeksi : Tidak tampak benjolan, warna sama dengan kulit sekitar,
dan tidak terdapat tanda-tanda radang.
Palpasi : tidak teraba massa

Ekstremitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Lanoratorium
a. Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
RBC 4,3 x 106/mm3 4,5 – 6,5 x 106/mm3
HGB 12,8 g/dL 13,0 – 17,0 g/Dl
HCT 35,6 % 40,0 – 54,0 %
PLT 431 x 103/mm3 150 – 500 x 103/mm3
WBC 37,7 x 103/mm3 4,0 – 10,0 x 103/mm3

b. LED 1 : 105 mm3/Jam


c. LED 2 : 121 mm3/Jam
d. Ureum : 49 mg/dl
e. Creatinene : 0,83 mg/dl
f. SGPT : 6 U/L
g. SGOT : 9 U/L

27
V. RESUME
Pasien laki-laki umur 22 tahun datang ke RSU Anutapura dengan keluhan
dispnea napas yang semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Dispnea terutama
dirasakan saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila beristirahat, namun tidak hilang
sepenuhnya. Keluhan dispnea disertai nyeri dada sinistra dan nyeri epigastrium.
Pasien juga mengeluh batuk berlendir yang dialami ± 1 tahun. Pasien pernah
mengalami hemoptisis 3 bulan yang lalu.Pasien sering febris dan nausea. Menurut
pasien, dia mempunyai tetangga yang memiliki penyakit TBC. Riwayat berobat 6
bulan tidak ada. Pasien merupakan perokok pasif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 110/70 mmHg,Pernapasan 38
x/menit nadi 112 x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan
inspeksi simetris bilateral, palpasi vokal fremitus kanan tidak sama dengan kiri
(menurun), perkusi sonor (+) pada paru kanan dan pekak pada paru kiri, auskultasi
vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-). Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium yang bermakna terjadi peningkatan leukosit sebesar 37,7 x 103/mm3 .
Sedangkan radiologi foto thoraks PA didapatkan sugestif empiema dengan disertai
bronchopneumonia.

VI. DIAGNOSA AWAL


Dispnea e.c. Suspek Efusi Pleura Sinistra + Suspek TB Paru

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


- Foto Thoraks PA
- Periksa Sputum

28
VIII. HASIL PEMERIKSAAN
- Foto Thoraks PA

Kesan : Sugestif empiema dengan disertai bronchopneumonia

- Pemeriksaan Sputum
No Jenis Pemeriksaan Hasil
Mikroflora
1. -SPUTUM BTA A NEGATIF
2. -SPUTUM BTA B NEGATIF
3. -SPUTUM BTA C NEGATIF

IX. DIAGNOSIS AKHIR :


Empiema sinistra + Bronchopneumonia + Suspek TB

29
X. PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
- Ambroxol 3x30 mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1
XI. FOLLOW UP
Hari/
Follow Up
Tanggal
08-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (+), batuk (+), mual (-).
O : TD 130/80 mmHg S : 36,7 C
N 100x/menit P : 38x/menit
A : Empiema sinistra + Bronchopneumonia + Suspek TB
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/IV/8jam
- Ambroxol 3x30 mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1

09-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (+), batuk (+), mual (-).
O : TD 120/90 mmHg S : 36,8 C

30
N 88x/menit P : 32x/menit
A : Empiema sinistra + Bronchopneumonia + Suspek TB
P:
- Rencana pemasangan WSD
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/IV/8jam
- Ambroxol 3x30 mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1
10-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (-), batuk (-), mual (-).
O : TD 110/80 mmHg S : 36,6 C
N 80x/menit P : 30x/menit
A : Empiema sinistra + Bronchopneumonia + Suspek TB
P:
- Rencana pemasangan WSD siang 11.00
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/IV/8jam
- Ambroxol 3x30 mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1
11-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (+), batuk (+), mual (-).
O : TD 110/70 mmHg S : 36,8 C

31
N 82x/menit P : 28x/menit
Drain : 350 cc
A : Post Operasi WSD Hari ke 1 + Empiema sinistra +
Bronchopneumonia
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/IV/8jam
- Ambroxol 3x30 mg
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1
12-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (-), batuk (-), mual (-).
O : TD 120/90 mmHg S : 36,8 C
N 92x/menit P : 32x/menit
Drain : 400 cc
A : Post Operasi WSD Hari ke 2 + Empiema sinistra +
Bronchopneumonia
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/IV/8jam
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1
13-01-2018 S : Sesak (+), nyeri dada (-), batuk (-), mual (-).
O : TD 120/80 mmHg S : 36,5 C

32
N 79x/menit P : 28x/menit
Drain : 300 cc
A : Post operasi WSD hari ke 3 + Empiema sinistra +
Bronchopneumonia + Suspek TB
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12jam
- Metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Dexamethasone 1 ampul/8 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/IV/12jam
- Natrium diklofenak 25 mg 2x1

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada


pasien ini, didapatkan diagnosis empiema sinistra, bronchopneumonia + suspek TB
Paru.
Dari autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga, diketahui bahwa
keluhan sesak dialami sejak 3 hari sebelum masuk RS. Keluhan sesak disertai nyeri
dada sebelah kiri dan nyeri ulu hati. Pasien juga mengeluh batuk berlendir yang
dialami ± 1 tahun. Pasien pernah mengalami batuk darah 3 bulan yang lalu. Pasien
juga mengeluh sebelum masuk rumah sakit, pasien sering demam dan menggigil.
Menurut keluarga ada tetangga mereka yang memiliki penyakit TBC. Keluarga juga
mengatakan pasien merupakan perokok pasif.
Berdasarkan teori sesak nafas pada pasien bisa disebabkan oleh karena terjadi
efusi pleura. Manifestasi klinis dari efusi pleura sendiri adalah sesak nafas bila lokasi
efusi luas. Sesak nafas terjadi pada saat permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri
dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya
penuh. Kemudian terdapat keluhan batuk pada umumnya non produktif dan ringan,
terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada
karsinoma bronchus atau metastasis. Terdapat juga keluhan demam subfebris pada
TBC, demam menggigil pada empiema.
Hasil pemeriksaan fisik pada penderita juga mendukung diagnosis efusi pleura.
Dari keadaan umum, pasien tampak sakit berat. Dari hasil pemeriksaan fisik thoraks
yang bermakna didapatkan pada palpasi thoraks vokal fremitus kanan normal
sedangkan kiri menurun dan pada pada pemeriksaan perkusi thoraks didapatkan
pekak pada thoraks sinistra. Pada pemeriksaan auskultasi terdengar suara nafas
menurun dan didapatkan ronkhi pada lapangan paru.

34
Dari hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, didapatkan leukosit 37,7
x 103/mm3, yang menandakan terjadi proses infeksi. Pada pemeriksaan foto thoraks
PA didapatkan gambaran sugestif empiema dengan disertai bronchopneumonia.
Penatalaksanaan pada kasus ini bersifat definitif. Analgetik diberikan untuk
mengurangi nyeri pada penderita, analgetik yang diberikan berupa injeksi ketorolac 1
x 30 mg, ranitidin 3 x 50 mg, Natrium diklofenak 2 x 25 mg Paracetamol 500 mg
3x1, Ambroxol 3 x 1. Penatalaksanaan definitif pada kasus pasien ini sesuai dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang adalah dengan
pemasangan Chest Tube.
Berdasarkan teori jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik
dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi
sempurna. Pada saat dilakukan pemasangan Chest Tube, tampak keluar cairan pus
berwarna hijau kental dengan bau yang busuk.
Berdasarkan teori bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan
pleura patologis ini akan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks
atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan
terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya. Sehingga pasien di diagnosis
dengan empiema sinistra.
Post operasi penderita diberikan antibiotik berupa injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr
dan Metronidazole 500 mg/8 jam/IV serta injeksi ketorolac 3 x 30 mg, Ranitidin 2 x
50 mg, Dexamethasone 1 ampul/8 jam/ IV dan Natrium diklofenak 2 x 25 mg.
Prognosis ad vitam pada pasien ini bonam karena pasien segera didiagnosis dan
diberikan penatalaksanaan. Berdasarkan teori pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien
yang tidak memedapatkan pengobatan dini.

35
BAB V
KESIMPULAN

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi
atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan
suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. Akibat adanya carian
yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan berkurang dan di
samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ mediastinum, termasuk
jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat mengakibatkan
gangguan pada jantung dan sirkulasi darah.

Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar.


Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan
menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis
atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada
efusi yang lain

Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan pleura
akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Ada beberapa macam
pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar


Lampung.
2. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
3. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid
II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
4. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in
pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
5. Rofiq ahmad. 2001. Thorax. http://emedicine.medscape.com/article/299959-
overview diakses tanggal 8 Mei 2013
6. Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
7. Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
8. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
9. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and
Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.

37

Anda mungkin juga menyukai