Anda di halaman 1dari 6

http://icjr.or.

id/problem-implementasi-
sistem-peradilan-pidana-anak-di-
indonesia-masih-ditemukan/

Problem Implementasi Sistem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia Masih
Ditemukan
21Jul, 2017
Print this articleFont size -16+

ICJR mencermati bahwa praktek peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari
cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU SPPA
Setiap 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional (HAN) sesuai dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984.
Peringatan HAN sebagai momentum penting untuk menggugah kepedulian dan
partisipasi seluruh bangsa Indonesia dalam menghormati, menghargai, dan
menjamin hak-hak anak tanpa membeda-bedakan atau diskriminatif, memberikan
yang terbaik untuk anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan
tumbuh kembangnya. Peringatan HAN juga untuk menggugah dan meningkatkan
kesadaran anak akan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada orang tua,
masyarakat, serta kepada bangsa dan negara.

Untuk memperingati HAN 23 Juli 2017, Institute for criminal Justice Reform (ICJR)
secara khusus menyuarakan mengenai persoalan anak dalam sistem peradilan
pidana yang dikenal dengan SPPA. ICJR mencermati bahwa praktek peradilan
pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU
SPPA.

Sejak lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA) diharapkan model sistem peradilan pidana yang lebih ramah
terhadap anak di Indonesia semakin baik. Tak heran jika banyak pihak memberi
harapan besar terhadap lahirnya UU SPPA ini. Namun sudah empat tahun berlalu
sejak disahkan pada 30 Juli 2012, ternyata tantangan implementasi SPPA mulai
terbukti.

Regulasi pendukung dari UU SPPA yang tak kunjung diselesaikan


Regulasi pendukung dari UU SPPA sampai saat ini memang tak kunjung
diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat enam
materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan dua materi dalam bentuk Peraturan
Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua
tersedia. Pemerintah baru merampungkan subtansi dalam Peraturan Pemerintah
(PP No 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan
Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang
Pelatihan Aparat Penegak Hukum. (Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 175
tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan
Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak)

Tabel 1 Materi Peraturan Pelaksanaan SPPA


Perintah dalam Peraturan Pelaksana Status
UU SPPA
Pasal 15 Peraturan Pemerintah mengenai pedoman tersedia
pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan
koordinasi pelaksanaan Diversi.
Pasal 21 ayat (6) Peraturan Pemerintah mengenai syarat dan tata tersedia
cara pengambilan keputusan serta program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam
hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana .
Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah mengenai pedoman register Belum tersedia
perkara Anak dan Anak korban
Pasal 71 ayat (5) Peraturan Pemerintah mengenai bentuk dan tata Belum tersedia
cara pelaksanaan pidana.
Pasal 82 ayat (4) Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan yang Belum tersedia
dapat dikenakan kepada Anak
Pasal 94 ayat (4) Peraturan Pemerintah mengenai tata cara Belum tersedia
pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan
Pasal 90 ayat (2) Peraturan Presiden mengenai pelaksanaan hak Belum tersedia
Anak Korban dan Anak Saksi
Pasal 92 ayat (4) Peraturan Presiden mengenai penyelenggaraan tersedia
pendidikan dan pelatihanbagi penegak hukum dan
pihak terkait secara terpadu
Minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan
penahanan anak
Selain implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu
permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru
pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak. UU SPPA telah mendorong
lahirnya empat lembaga yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus
Anak(RPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai
pengganti tempat Penahanan, Pembinaan dan Lapas anak, sebagaimana
diamanatkan oleh UU SPPA.LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani
masa pidananya sedangkan LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama
proses peradilan berlangsung.
Tabel 2 Permasalahan 4 (Empat) Lembaga Implementasi UU SPPA
Lembaga Fungsi Masalah
Lembaga Pembinaan lembaga atau tempat Anak 33 LPKA seluruh Indonesia yang
Khusus Anak(LPKA) menjalani masa pidananya (usia 12- terdiri dari tujuh LPKA Klas I dan 26
18 tahun) LPKA Klas II-B (18 diantaranya
merupakan perubahan nomenklatur
dari 18 Lapas Anak yang telah ada
selama ini. Adapun 15 LPKA untuk
sementara masih ditempatkan di
lapas/rutan dewasa)
Lembaga Tempat penitipan anak yang belum banyak tersedia di seluruh
Penyelenggaraan ditangkap jika belum ada ruang Indonesia
Kesejahteraan Sosial pelayanan khusus anak. & Tempat
(LPKS) pembinaan anak (di bawah 12
tahun)
Lembaga Penempatan tempat sementara bagi Anak belum banyak tersedia di seluruh
Anak Sementara (LPAS) selama proses peradilan Indonesia
berlangsung (pengganti Rutan bagi
anak) untuk usia 14 tahun -18 tahun
Ruang Pelayanan tempat penitipan anak yang Tidak semua polsek memiliki RPKA
Khusus anak (RPKA) ditangkap 1×24 jam
Untuk anak yang berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan
hukum maka UU SPPA memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti
Rutan. bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, maka anak dapat
dititipkan di LPKS. jadi untuk melindungi keamanan anak, maka UU SPPA
memerintahkan dapat dilakukan penempatan anak di LPKS (sementara) sebagai
pengganti LPAS. Masalahnya adalah, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum
banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi
saja yang mulai memliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka
jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum
seringkali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan.

Besarnya Jumlah anak dalam Tahanan

Sampai dengan per juni 2017, jumlah anak yang terdaftar di UPT yang dikelola
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) berjumlah 910Tahanan Anak.
Jumlah ini meningkat di banding tahun 2016 yang berjumlah 907 Tahanan Anak,
angka ini juga tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh Polisi dimana
angkanya tidak tersedia dan tidak dapat diakses.

Tabel 3 Jumlah Anak dalam Tahanan di Indonesia


Bulan /Tahun Anak Laki-Laki Anak Perempuan Total
Per Juni 2017 895 15 910
Per Desember 2016 881 26 907
Per Januari 2016 683 14 697
Per Januari 2015 737 117 854
Per Januari 2014 1.792 51 1,843
Per Januari 2013 1.980 42 2,022
Per Januari 2012 2.081 64 2,145
Sumber : SDP data yang diperoleh ICJR
Meningkatnya Jumlah anak Dalam LPAS
Jumlah Anak yang menjadi narapidana (warga binaan) per Juni 2017 berjumlah
2,559 Anak,angka ini naik dari angka sebelumnya per Desember 2016 yakni
berjumlah 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia.

Ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan,
sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar
di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa Anak yang menjadi
Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini
LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa.

Tabel 4. Jumlah Anak dalam Lapas/LPKA di Indonesia


Bulan /Tahun Anak Laki-Laki Anak Perempuan Total
Per Juni 2017 2,558 41 2,559
Per Desember 2016 2,281 39 2,320
Per Januari 2016 2,179 38 2,217
Per Januari 2015 2,735 58 2,793
Per Januari 2014 3,030 57 3,087
Per Januari 2013 3,221 75 3,296
Per Januari 2012 3,218 82 3,300
Sumber : SDP data yang diolah ICJR

Berdasarkan Pengamatan ICJR. Dalam praktek satu satunya solusi adalah


menitipkan ke dinas sosial di bawah kemensos, namun ada kesulitan pertama, tidak
semua wilayah juga ada lembaga sosialnya. Kedua, jika terkait keamanan (misalnya
potensi anak lari dari tempat penitipan) Polisi setempat tidak bisa melakukan
penjagaan setiap hari di dinas sosial, dan ada pula soal birokrasi pengamanan di
Polri yang harus dilakukan, intinya untuk penempatan di dinas sosial belum ada
peraturan yang mewadahinya. Akibatnya anak-anak juga berpotensi dititipkan ke
Rumah Tahanan, yang justru ditolak oleh UU SPPA.

Sebaliknya juga dalam praktek, dalam wilayah tersebut belum ada LPKS (khusus
penitipan anak yang berkonflik dengan hukum dibawah 12 tahun), maka akhirnya
anak pun dititipkan juga ke LPKA yang tersedia. Yang lebih problematik adalah
bagaimana jika satu wilayah belum ada LPAS, dan LPKS dan RPKA maka bagi
anak yang di tangkap terpaksa masuk Rutan Polisi. Akibatnya tidak terhindarkan
kondisi anak yang ditahan sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan
demi menjaga keamanan, karena tidak adanya lembaga yang diamanatkan oleh UU
SPPA.Anak seharusnya tidak di masukkan ke dalam Rutan, baik Rutan yang
dikelola oleh Dirjen Lapas maupun Rutan yang dikelola Polri. Pelanggaran atas hal
ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak.

Kondisi tempat penahanan dan pembinaan Anak bisa menjadi masalah serius
dikemudian hari, sebab ternyata pemenjaraan pada Anak masih berpotensi besar
terjadi. Sepintas apabila dilihat berdasarkan tabel Anak yang menjalankan pidana di
dalam lembaga angkanya berkurang semenjak UU SPPA berlaku, namun apabila
dicermati, pasca pertengahan 2016, angka pemidanaan berlahan merangkak naik.

Dalam riset yang dilakukan ICJR pada 2016, berdasarkan 77 putusan yang
melibatkan 91 Anak di empat Pengadilan Negeri se-DKI Jakarta, ditemukan fakta
bahwa ternyata penggunaan pidana penjara masih cukup tinggi. Penahanan Anak
masih sangat tinggi, anak yang masuk ke dalam proses persidangan umumnya
ditahan dan meninggalkan hanya 7% anak yang berhubungan dengan hukum dan
tidak ditahan.Selebihnya dari data yang dapat diidentifikasi, anak pasti dikenakan
penahanan. Meskipun terdapat kemungkinan penahanan anak ditangguhkan,
namun tidak banyak Orang Tua atau wali yang menggunakan penangguhan
penahanan untuk Anak.Penggunaan penahanan atau perampasan kebebasan fisik
harusnya dijadikan upaya hukum terakhir bagianak yang berhubungan dengan
hukum.
Sejalan dengan itu, tempat penahanan dan pidana anak masih menjadi masalah
serius, minimnya lembaga dan infrastruktur tempat penahanan dan pidana anak
masih menjadi persoalan berarti dalam putusan, termasuk ketika hakim
menempatkan anak pada tempat pembinaan yang tidak terdaftar. Tempat
penahanan anak juga bervariasi.Tempat tertinggi penahanan anak berada di Rumah
Tahanan Negara (Rutan), dan tidak jelas secara spesifik dimana Rutan ini berada.
Selain tempat penahanan yang dikelola negara, Anak juga ditempatkan di Panti
Sosial milik Dinas Sosial. Selain itu juga terdapat Anak yang menjadi tahanan Kota.

Kembali merujuk riset ICJR, pemenjaraan masih menjadi jenis putusan terbesar dari
Hakim, penggunaan tindakan ataupun pemidanaan alternatif di luar penjara belum
terlalu signifikan digunakan. Pada dasarnya hakim bisa menjatuhkan tindakan atau
pidana pada Anak. Hanya 15% Anak yang diberikan tindakan.13% diantaranya
dikembalikan pada orang tua, lalu masing-masing sebanyak 1% menjalani
rehabilitasi medis dan sosial.Sejalan dengan penuntutan, pemidanaan masih sangat
melekat pada Sistem Peradilan Pidana Anak.Penjara masih menjadi pilihan utama
bagi hakim, 56% Anak yang masuk ke pengadilan, berakhirdalam Penjara.

Catatan menarik timbul dari pemidanaan denda, meskipun SPPA sudah


mengatakan anak tidak boleh dijatuhi pidana denda, namun masih ada 8% putusan
yang mencantumkan pidana denda bagi anak. Dengan 7 kasus yang dijatuhi denda,
rata-rata jumlah denda berkisar di angka Rp. 514.000.000.

Khusus untuk kasus Anak sebagai pengguna narkotik, Polisi, Jaksa dan Hakim
belum sepenuhnya menempatkan Anak sebagai korban Narkotik, dalam kondisi
Anak terkonfirmasi dan teridentifikasi sebagai pengguna, pidana tertinggi masih
penjara bukan tindakan. Mayoritas anak dijatuhi pidana, 37% dijatuhi pidana
penjara, 18% dikenai pidana pelatihan kerja. Terdapat 18% Anak yang akhirnya
dikembalikan ke orang tua, hanya 9% atau satu kasus dimana anak dirahabilitasi
medis.

Masalah Anak Korban


Salah satu hal yang krusial adalah soal layanan anak korban pasca lahirnya UU
SPPA. Pada kasus-kasus kekerasan seksual khususnya kepada anak, selama ini
pemerintah hadir seperti layaknya “Pemadam Kebakaran” ketika kasus-kasus
tersebut terangkat ke media. Bahkan keadilan bagi korban terkesan ketika pelaku
mendapatkan hukuman berat. Pemerintah hanya puas dengan menjatuhkan saksi
yang berat untuk mendukung efek jera pada kasus-kasus kekerasan seksual
anak.Sejauh ini pemerintah belum memberikan hak-hak anak korban terutama anak
korban kejahatan seksual.

Problem juga terlihat ketika Undang-undang yag ada saat ini hanya mengatur secara
terbatas hak-hak korban, bahkan sampai saat ini dalam praktiknya tidak jelas
implementasi hak-hak korban tersebut. Tidak ada data Nasional soal berapa jumlah
layanan bagi anak korban di Indonesia. ICJR melihat hanya sedikit lembaga yang
secara periodik memberikan catatan dan laporan.

Rekomendasi
Pada 2017 implementasi UU SPPA masih berjalan lamban. oleh karena itu
pemerintah harus fokus dan segera mengeluarkan peraturan pelaksana UU SPPA
yang bermutu. Pemerintah juga harus mempercepat realisasi dan optimalisasi
infrastruktur serta sumber daya manusia khususnya apgakum dalam lingkup
peradilan pidana Anak.

Perlu mengantisipasi meningkatnya jumlah Anak yang dipidana penjara. Karena


jumlah Anak yang dipidana penjara mulai meningkat. Atas dasar itu, penting untuk
kembali mengingatkan aparat penegak hukum pentingnya perspektif perlindungan
Anak dan kepentingan terbaik bagi Anak dalam penanganan kasus pidana, agar
Anak tidak dengan mudah dimasukkan dalam proses pidana.ICJR mendorong
pemerintah untuk melakukan evaluasi secara reguler lewat Strategi Nasional yang
sudah didorong oleh berbagai Kementerian. Khususnya mengenai praktek peradilan
anak.

Anda mungkin juga menyukai