Anda di halaman 1dari 51

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kucing merupakan hewan peliharaan yang dikenal dekat dengan kehidupan


manusia. Minat manusia yang tinggi untuk memelihara kucing harus diimbangi
dengan perawatan yang memadai (Dharmajono, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa
kucing telah memiliki posisi yang unik dalam kehidupan manusia dan dianggap
sebagai bagian dari anggota keluarga. Namun, banyak kasus kesehatan yang
dialami kucing, salah satu merupakan kasus yang menyerang pada sistem urinaria
(Widodo, 2012).

Menurut Gipson (1996), urolithiasis merupakan salah satu penyakit


gangguan sistem urinaria pada kucing yang sering ditemukan. Urolithiasis adalah
suatu kondisi dimana terdapat bentukan kristal yang menyumbat pada saluran
urinasi bagian bawah, seperti vesica urinaria, bladder sphincter, dan urethra
sehingga menyebabkan kucing mengalami kesulitan pada saat urinasi (Strugress et.
al., 2001). Urolithiasis sering terjadi pada kucing, baik berjenis kelamin jantan
maupun betina, namun angka kejadian yang lebih tinggi pada kucing jantan
(Westropp et. al., 2005).

Menurut Gipson (1996), bentukan kristal yang ditemukan pada pasien


Urolithiasis dibentuk pada pelvis ginjal dan dapat terus membesar. Urolith akan
bergerak turun sepanjang saluran ureter dan masuk ke dalam vesica urinaria. Sekali
pengendapan terjadi, maka partikel-partikel yang telah membentuk kristal dapat
bertambah ukuran, sehingga dapat menimbulkan suatu gejala klinis pada pasien
tersebut, bentukan kristal yang sering ditemukan adalah struvite dan kalsium
oksalat.

Meunurut Buffington et. al., (2001), faktor utama yang menyebabkan


Urolithiasis pada kucing adalah pakan dry cat food. Pakan dry cat food merupakan
salah satu pakan siap saji yang paling diminati oleh konsumen, karena pakan dry
cat food dianggap lebih praktis dan tidak perlu diolah lagi, memiliki harga lebih

1
ekonomis, dan mudah diberikan kepada kucing. Jenis dry cat food tertentu juga
merupakan faktor resiko terjadi Urolithiasis. Komposisi pakan yang tidak sehat
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan nutrisi, sehingga menganggu
keseimbangan pH urin, volume urin, dan konsentrasi zat terlarut yang berada
didalam urin. Hal tersebut dapat menyebabkan presipitasi mineral, yaitu
pengendapan mineral dan memudahkan pembentukkan urolith maupun urethral
plugs dalam urin (Buffington et. al., 2006).

Buffington et. al., (2002), teknik diagnosa dan penangan yang tepat untuk
kasus Urolithiasis bergantung pada penyebab fisik dari pasien tersebut.
Penanganan khusus perlu dilakukan untuk menurunkan resiko Urolithiasis yang
berakibat buruk pada kucing, yaitu jika pasien dalam kondisi dehidrasi, maka
diberikan terapi cairan. Ketika pasien terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka
diberikan antibiotik. Pemberian multivitamin sebagai penunjang untuk
mempercepat proses penyembuhan pasien. Kateterisasi dilakukan untuk
menghilangkan sumbatan pada urethra dan medikasi tambahan diberikan ketika
pasien memerlukan terapi tambahan (analgesik, anti-inflamasi, dan tranquilizers).

Namun yang menjadi permasalahan adalah perhatian masyarakat yang


kurang akan kandungan nutrisi dan nilai gizi yang terkandung dalam pakan,
sehingga hal tersebut dapat mengganggu kesehatan kucing, terutama terhadap
sistem urinasi. Selain dry cat food yang dijual di pasaran dengan berbagai macam
merek, komposisi pakan lain yang kurang sehat juga dapat menyebabkan
keseimbangan nutrisi yang terganggu. Pelaksanaan PKL di Klinik Hewan ASA
Kota Kediri, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana teknik diagnosa dan
penanganan yang tepat kasus Urolithiasis pada kucing yang dilakukan oleh dokter
hewan di Klinik Hewan ASA Kediri, karena sering kali penanganan yang tidak
tepat akan membuat hewan tidak menjadi lebih baik, bahkan terkadang dapat
menyebabkan kematian pada hewan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana teknik diagnosa yang diterapkan kasus Urolithiasis pada
kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri?

2
2. Bagaimana prosedur penanganan yang diterapkan kasus Urolithiasis
pada kucing yang diterapkan Klinik Hewan ASA Kota Kediri?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui teknik diagnosa yang diterapkan kasus Urolithiasis pada
kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri
2. Mengetahui prosedur penanganan yang diterapkan kasus Urolithiasis
pada kucing yang diterapkan di Klinik Hewan ASA Kota Kediri.
1.4 Manfaat
Manfaat dari kegiatan PKL ini, yaitu:
a. Khusus
1. Mendapat pengetahuan dan wawasan tentang kasus
Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri.
2. Mendapat pengalaman kerja di lapangan tentang kasus
Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri.
3. Dapat memenuhi salah satu syarat dalam penilaian PKL untuk
menyelesaikan program Sarjana Kedokteran Hewan.
b. Umum
1. Sebagai informasi kepada khalayak umum tentang kasus
Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri.
2. Sebagai bahan berbagi ilmu pengetahuan tentang teknik
diagnosa dan penanganan kasus Urolithiasis pada kucing.

3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kucing
2.1.1 Taksonomi Kucing
Menurut Suwed dan Budiana (2006), Kucing termasuk famili Felidae,
tergolong spesies kucing besar, seperti Singa, Harimau, dan Macan. Kucing
tersebar luas di seluruh Eropa, Asia Selatan dan Asia Tengah, dan Afrika. Saat ini,
kucing merupakan salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia. Klasifikasi
biologi kucing kampung (Felis domestica) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Carnivora
Sub-ordo : Conoidea
Famili : Felidae
Sub-famili : Felinae
Genus : Felis
Spesies : Felis domestica

Gambar 2.1 Kucing Maine coon (Suwed dan Budiana, 2006).

4
2.1.2 Karakteristik Kucing
Menurut Suwed dan Budiana (2006), secara umum, kucing memiliki
struktur tubuh yang kecil dan ramping dan disusun oleh struktur tulang yang kuat.
Struktur gigi taring yang terlihat jelas dan tajam, karena kucing tergolong hewan
karnivora. Gigi taring tersebut difungsikan untuk merobek daging mangsa.
Perkembangan evolusi famili Felidae terbagi menjadi 3, yaitu: Panthera,
Acinonyx, dan Felis (Suwed dan Budiana, 2006). Untuk ras kucing dibedakan
berdasarkan jenis rambut yang dimiliki terbagi menjadi 4, yaitu kucing short hair,
semi-longhair, long hair, dan kucing yang tidak memiliki rambut (Susanty, 2005).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria

Menurut Aieolo (2000), sistem urinaria merupakan sistem dimana tempat


berlangsung proses penyaringan darah, sehingga darah terbebas dari zat-zat yang
sudah tidak dibutuhkan dan menyerapkan kembali zat-zat yang dibutuhkan oleh
tubuh. Zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan bersifat larut dalam air akan
dikeluarkan berupa urin (air kemih).

Sistem urinaria berfungsi sebagai metabolisme, hormonal, dan ekskresi


(Ahmadnudin, 2010). Sistem urinaria dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem
urinaria bagian atas dan sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada sistem urinaria
bagian atas terdiri dari ginjal, sedangkan untuk sistem urinaria bagian bawah
disusun oleh ureter, vesica urinaria (gall bladder), dan urethra (Ganong, 2001).

Menurut Arthur (1997), sistem urinaria bertanggung jawab pada


keberlangsungan ekskresi macam produk buangan dari dalam tubuh. Sistem ini
sebagai faktor mempertahankan homeostatis, serta mempertahankan pH (asam-
basa) tubuh dengan cara mengatur konsentrasi bikarbonat dan ion hidrogen dalam
darah. Jika ion hidrogen yang disekresikan kelebihan bikarbonat pada proses
filtrasi, maka hanya sebagian kecil ion hidrogen yang dapat diekskresikan dalam
urin. Alasan untuk ini adalah bahwa pH minimal urin adalah sekitar 4,5, jika
terdapat kelebihan ion hidrogen dalam urin, ion hidrogen akan bergabung dengan

5
penyangga selain bikarbonat dan akan menghasilkan pembentukan ion bikarbonat
baru yang dapat masuk ke dalam darah. Dengan demikian, membantu mengganti
ion bikarbonat yang hilang dari cairan ekstraseluler pada keadaan asidosis,
penyangga paling penting untuk mekanisme ini adalah penyangga fosfat dan
amonia (Arthur, 1997).

Produksi metabolik dari suatu zat kedalam tubuh akan diikuti oleh sekresi
urin oleh zat tersebut atau hasil dari metabolit, supaya tetap menjaga keseimbangan
komposisi darah yang relatif akan konstan. Peningkatan konsentrasi suatu zat dalam
darah akan meningkatkan suatu ekskresi dari zat tersebut, hasil metabolik melalui
urin pada kondisi hewan normal. Sistem urinasi akan mempengaruhi pH urin
mencakup proses ekskresi dan reabsorbsi oleh sistem tersebut. Pada keadaan hewan
normal, pH urin sangat bervariasi, hal tersebut dipengaruhi oleh pakan. Jika pakan
memiliki asupan protein yang tinggi, maka urin akan mengandung serat yang tinggi,
sehingga urin bersifat alkalis atau netral (Mayer and Harvey, 2003).

2.2.1 Ginjal

Ginjal merupakan organ tubuh yang memiliki peran menjalankan suatu


proses filtrasi pada glomerulus, reaborpsi pada tubulus, dan sekresi pada tubulus.
Cairan atau suatu zat yang menyerupai plasma akan difiltrasi melalui dinding
kapiler dari glomerulus menuju ke tubulus renalis di ginjal. Dalam perjalanan
sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan susunan berubah
akibat proses reabsorpsi tubulus untuk membentuk urin yang kemudian akan
disalurkan kedalam pelvis renalis. Proses tersebut berdasarkan faktor hemodinamik
dan osmotik (Ganong, 2001).

2.2.2 Ureter

Ginjal memiliki saluran yang sering disebut ureter, saluran tersebut terdapat
hilus, yang merupakan saluran berotot, berfungsi mengangkut urin dari ginjal
menuju ke vesica urinaria. Ureter memiliki tiga lapisan yang pembentuk, yaitu
lapisan luar fibrosa, lapisan tengah otot halus, dan lapisan dalam epitel transisional.
Saluran ini merupakan saluran lanjutan dari pelvis renalis. Lapisan otot halus pada

6
saluran ini merupakan lapisan yang fungsional, karena menggunakan gerak
peristaltik untuk proses pemindahan urin, sama pada proses kontraksi usus. Gerak
peristaltik merupakan suatu proses kontraksi gelombang otot untuk menggerakkan
isi saluran dengan menggunakan satu arah untuk memindahkan. Epitel transisional
pada lapisan dalam mengakibatkan ureter meregang ketika hendak dilewati urin,
hingga vesica urinaria (Colville, 2002).

2.2.3 Vesica urinaria

Menurut Colville (2002), vesica urinaria berfungsi sebagai penampung urin


yang diproduksi, mengeluarkan secara perodik atau bertahap dalam tubuh. Ukuran
dan letak vesica urinaria bervariasi berdasarkan jumlah volume urin yang
ditampung. Vesica urinaria memiliki dua bagian, yaitu kantung otot dan leher yang
tampak seperti balon. Penampung urin ini dilapisi oleh epitel transisional yang
dapat meregang ketika berisi urin, ketika otot tersebut berkontraksi, maka vesica
urinaria akan tertekan, kemudian urin akan keluar.

Pada leher vesica urinaria terdapat otot halus yang bercampur dengan
banyak jaringan elastik yang memiliki fungsi sebagai otot sphincter internal (Reece,
2006). Kontraksi dan relaksasi otot sphincter internal dibawah kontrol kesadaran,
dapat membuka dan menutup seperti jalan urin menuju vesica urinaria dan pada
saat memasuki urethra (Ganong, 2001).

2.2.4 Urethra

Menurut Reece (2006), urethra merupakan lanjutan dari leher vesica


urinaria yang berjalan melalui ruang pelvis menuju lingkungan, urethra dilapisi
oleh epitel transisional yang mengakibatkan urethra dapat meluas. Urethra pada
hewan jantan dapat berjalan sepanjang pusat penis dan membawa urin dari vesica
urinaria sampai ke lingkungan luar. Pada urethra jantan memiliki 2 fungsi, yaitu
sebagai urinasi dan alat reproduksi. Vas defferens dan kelenjar asesoris masuk ke
urethra melalui ruang pelvis. Untuk hewan betina, urethra hanya memiliki fungsi
sebagai urinasi saja. Urethra betina berjalan secara kaudal diatas lantai pelvis,
dibawah saluran reproduksi. Urethra pada betina relatif pendek yang

7
menghubungkan vesica urinaria menuju ke sphincter eksternal. Pada jantan
urethra lebih panjang, saluran tersebut berjalan melalui kelenjar prostat dan dapat
berjalan sepanjang penis sebelum mencapai sphincter eksternal. Sphincter eksternal
terletak diluar vesica urinaria, yang tersusun dari otot rangka yang melingkari.

Gambar 2.2 Letak Ginjal Secara Anatomi Pada Kucing Jantan dan Betina (Ahmadnudin,
2010)

2.3 Fungsi Ginjal


Ginjal merupakan organ dalam tubuh yang memiliki peranan penting untuk
osmoregularis organisme dalam sistem urinaria. Ginjal memiliki kemampuan untuk
menyaring urin, kemudian ditampung oleh pelvis ginjal dan dialirkan ke vesica
urinaria, selanjutnya secara periodik akan dibuang melalui urethra (Dellman,
2001).
Ginjal terletak pada daerah lumbal dan bagian dari sistem urinaria. Ginjal
memiliki fungsi untuk memegang peranan yang sangat penting dalam pengeluaran
zat-zat toksin atau racun yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, menjaga dan
mempertahankan suasana keseimbangan cairan, menjaga keseimbangan pH (asam
basa dari cairan tubuh), serta ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme protein ureum,
amoniak, dan keratinin (Blood and Studdert, 2011).

8
Fungsi ginjal secara fisiologi, meliputi filtrasi, reabsorbsi, sekresi, dan
ekskresi. Filtrasi atau penyaringan adalah proses menyaring dan membuang zat
toksik yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Pada proses ini perbedaan tekanan
darah memaksa air dan zat yang terlarut dalam darah masuk melalui dinding kapiler
glomerular kedalam ruang kapiler. Molekul yang berukuran kecil sangat mudah
melewati membran filtrasi dan menyebabkan terjadi filtrasi, akibat ada perbedaan
tekanan hidrostatik dengan tekanan osmotik dari glomerulus ginjal (Blood and
Studdert, 2011).
Fungsi ginjal sebagai alat penyerapan atau reabsorbsi, proses perpindahan
cairan dan zat terlarut dari filtrat menyebrangi epitel tubular ke cairan peritubular,
kemudian masuk ke pembuluh darah. Beberapa zat yang diserap kembali
merupakan nutrisi yang dibutuhkan kembali oleh tubuh. Proses ini terjadi secara
difusi yang melibatkan protein sebagai pembawa atau carrier (Blood and Studdert,
2011).
Menurut Annete et. al., (2010) menyatakan, fungsi ginjal sebagai alat
membuang urine atau eksresi melalui saluran khusus yang dimulai dari nephron
hingga urethra. Selain pembuangan urine melalui saluran khusus, ginjal juga dapat
mengekresikan zat yang langsung masuk kedalam darah, namun tidak melalui
saluran khusus, zat tersebut adalah hormon. Ginjal mengsekresikan dua hormon,
yaitu Renal Eritropoietin Factor (REF) atau hormon eritrogenin yang memiliki
peran dalam proses suatu pembentukan eritrosit (eritopoesis) dan hormon renin
yang sangat penting dalam sistem kardiovaskular yang berhubungan erat dengan
tekanan darah.

2.4 Urolithiasis
2.4.1 Definisi Urolithiasis
Urolithiasis merupakan penyakit yang disebabkan urolith, kalkuli, kristal,
ataupun sedimen yang berlebihan dalam saluran urinaria. Saat urin mengalami
tingkat kejenuhan yang tinggi dan disertai dengan kelarutan garam, maka garam
tersebut mengalami presipitasi dan membentuk kristal (crystalluria). Kristal yang
tidak segera dikeluarkan, maka akan terbentuk agregat yang disebut dengan

9
kalkuli (Fossum, 2002). Urolith terbentuk karena krital-kristal dengan jumlah
yang banyak dan saling bergabung menjadi satu. Urolith terbentuk di dalam vesica
urinaria dalam berbagai bentuk karena pengaruh pakan (diet) dan genetik
(Suryandari dkk., 2012).

2.4.2 Etiologi Urolithiasis


Urolithiasis merupakan suatu keadaan ditemukan bentukan kristal didalam
saluran urinaria, dapat ditemukan di dalam ginjal, ureter, vesica urinaria, urethra.
Urolithiasis dapat diasosiasikan dengan kombinasi beberapa gejala, antara lain
disuria, hematuria, pollakiuria, stranguria, dan periuria (Forrester et. al., 2010).

Menurut Osborne et. al., (2009), pada kucing ras, kristal yang sering ditemui
disusun oleh kalsium oksalat (CaOx) (monohidrat atau dihidrat) dan struvite
(magnesium ammonium fosfat hexahidrat). Sebagian kecil urolith yang
ditemukan tersusun dari purin (potassium amonium urat, asam uric dihidrat, dan
xanthine), kalsium fosfat, matriks, cystine, dan urolith silika.

Urolithiasis sering menyerang pada kucing jantan, karena ukuran urethra


kucing jantan lebih kecil daripada kucing betina. Urolithiasis akan sering
dijumpai pada hewan dengan usia rata-rata empat tahun (Leib and Monroe, 1997).
Berat badan dan pakan yang dikonsumsi diketahui menjadi salah satu pemicu
terjadi Urolithiasis. Penyebab terbentuk urolith diduga berhubungan dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologi
terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadi urolith, yang dibedakan
menjadi faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, yaitu herediter;
umur, dan jenis kelamin. Faktor ekstrinsik, yaitu 1). geografi, beberapa daerah
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain, sehingga
dikenal sebagai daerah stone belt; 2). iklim dan temperatur; 3). asupan air, kurang
asupan air dan tinggi kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden urolith;
4). diet, diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadi urolith; 5).

10
aktifitas, penyakit ini sering ditemukan pada hewan yang kurang bergerak atau
kurang aktifitas fisik (sedentary life).

2.4.3 Patofisiologi Urolithiasis


Menurut Suddarth (2002), urolith dalam sistem urinaria berasal dari
obstruksi saluran urinaria. Proses patofisiologi dari Urolithiasis bersifat mekanik.
Komposisi mineral dari urolith ginjal bervariasi, kira-kira tiga perempat dari urolith
adalah kalsium, fosfat, dan cystine. Urolith terbentuk di traktus ketika konsentrasi
subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam amonium urat
meningkat. Urolith dapat terbentuk karena defisiensi substansi tertentu, seperti
sitrat, yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urin. Urolith dapat
ditemukan di setiap bagian ginjal sampai ke vesica urinaria, memiliki ukuran
bervariasi, dan deposit granuler yang kecil. Faktor tertentu yang mempengaruhi
pembentukan urolith, mencakup infeksi, statis urin, drainase renal yang lambat,
dan perubahan metabolisme kalsium. Faktor-faktor ini mencetuskan peningkatan
konsentrasi kalsium di dalam darah dan urin, menyebabkan pembentukan urolith
kalsium. Pembentukan urolith juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan
pada individu dengan ileustomi atau reaksi usus, karena individu mengabsorbsi
oksalat berlebihan.

2.4.4 Patogenesa
Faktor utama yang mengatur kristalisasi mineral dan pembentukkan urolith
adalah derajat saturasi urin dengan mineral-mineral. Saturasi memberikan energi
bebas pembentukan kristalisasi. Semakin tinggi derajat saturasi, maka besar pula
kemungkinan kristalisasi dan perkembangan kristal. Keadaan oversaturasi
disebabkan oleh peningkatan ekskresi kristal oleh ginjal, reabsorpsi air oleh tubulus
renalis yang mengakibatkan perubahan konsentrasi, dan pH urin yang
mempengaruhui kristalisasi (Susilawati dkk., 2003).
Saturasi sangat ditentukan oleh produk dari konsentrasi aktif yang terlarut
dalam urin, misal kalsium dan oksalat, yang ditentukan dari konsentrasi absolut,
interaksi dengan subtansi lain didalam urin, dan efek dari pH urin, serta keseluruhan
afinitas ion dari larutan. Solute activity atau dikenal sebagai jumlah yang bebas

11
untuk bereaksi, tidak sama dengan konsentrasi dari larutan, karena ion-ion yang ada
pada masing-masing individu dapat membentuk kompleks dengan subtansi lain
yang ada di larutan. Misal, kalsium atau magnesium dapat membentuk kompleks
dengan amonium urate, sitrat, atau sulfat dan menyebabkan terbentuk kalsium
oksalat atau urolith strutive. Perkembangan pembentukan kompleks ini dapat
diprediksi berdasarkan konstanta disosiasi (know dissociation constants), sehingga
konsentrasi subtansi kompleks ditentukan, misal urolith kalsium oksalat (Galut,
2013).
Menurut Elliot (2003), derajat saturasi meningkat akan mengakibatkan
presipitasi, proses tersebut mineral dalam traktus urinari dapat dijelaskan dengan
dasar fisika-kimia dan meliputi sejumlah faktor termodinamika dan kinetik. Salah
satu pendekatan yang digunakan untuk mempertimbangkan pembentukkan urolith
meliputi dua tahap, yaitu proses pembentukan kristal dan proses agregasi.
Perkembangan kristal dipengaruhi oleh kemampuan nidus untuk tetap berada
didalam traktus urinari dan struktur fisik dari kristal. Kecepatan aktual dari
pertumbuhan urolith tergantung pada komposisi mineral dan infeksi.
Menurut Suddarth (2002), faktor tambahan yang menyulitkan adalah
pergerakan bebas dari ion-ion yang ada pada larutan. Ionic strenght ditentukan oleh
konsentrasi dan valensi ion dalam sampel urin. Kekuatan afinitas ion yang tinggi
menurunkan aktivitas individual ion. Produk aktivitas individual ion dapat
dihubungkan dengan dua nilai tipe kristal, yaitu solubility product dan formation
product, yang memprediksi proses kristalisasi apa yang cenderung terbentuk dalam
larutan. Solubility product merupakan konstanta termodinamika dan menentukan
titik dimana larutan menjadi tersaturasi dengan mineral tertentu. Formation product
sering ditentukan secara empiris dan bukanlah suatu konstanta. Larutan dengan
derajat saturasi yang lebih tinggi dari formation product akan berada dalam keadaan
tidak stabil, supersaturasi yang labil, dan menyebabkan kecendurungan kristalisasi
spontan yang homogen dengan pembentukkan kristal murni dari satu jenis mineral.

12
2.4.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada pasien penderita Urolithiasis sangat
bervariasi, tergantung letak dalam struktur anatomi pada sistem urinari dan jenis
kelamin. Urolith pada saluran urinaria dapat menyebabkan rasa sakit pada ginjal
dan dapat diekspresikan sebagai rasa sakit pada bagian abdomen. Terdapat urolith
pada saluran urinaria sering mengakibatkan peradangan pada saluran urinaria,
stranguria (pengeluaran urin dengan frekuensi lambat), dysuria (kesakitan serta
kesukaran pada saat urinasi), dan anuria (tidak dapat mengeluarkan urin)
(Breitschwerdt, 1986).
Menurut Hostuler (2005), urolith yang berada dalam ureter dapat
menyebabkan kolik. Kolik ini menyerang pasien secara tiba-tiba tanpa didahului
gejala awal. Pasien akan bergerak-gerak dan memutar badan sedemikian rupa untuk
mendapatkan posisi yang senyaman mungkin untuk mengurangi rasa nyeri. Saat
penyumbatan berlangsung lama, akan terlihat tanda-tanda despresi, anoreksia, dan
diikuti tanda-tanda uremia, seperti muntah-muntah. Pada area postrema sangat
sensitif dengan zat kimia di dalam darah (dalam hal ini adalah urea), sehingga dapat
langsung merangsang Chemoreceptor Tiger Zone (CTZ) di dalam sistem syaraf
pusat untuk mengirim stimulasi ke pusat muntah.

2.4.6 Diagnosa Klinis


Menurut Litlle (2008), Diagnosa penyakit Urolithiasis dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan radiografi. Pada saat melakukan pemerikaan klinis, palpasi pada
daerah abdomen akan terasa pembesaran vesica urinaria. Selain itu, radiografi
abdomen rutin dapat membantu jika urolith yang ditemukan cukup besar (>3mm).
Ultrasonography (USG) abdomen dan cystography kontras ganda akan berguna
untuk mendeteksi urolith-urolith kecil (<3mm). Analisa kuantitatif urolith
merupakan cara utama untuk memastikan jenis urolith definitif. Diagnosa urolith,
dapat mengarahkan jenis urolith tertentu berdasarkan pertimbangan pH urin dan
jenis kristal.

13
Rizzy (2014) menyatakan, tes laboratorium sangat berguna dalam membuat
diagnosa klinis pada Urolithiasis, seperti pemeriksaan urin dan darah. Urinalisis
lengkap terdiri dari pemeriksaan fisik dan evaluasi kimia urin setra pemeriksaan
sedimen. Evaluasi sedimen urin adalah bagian terpenting dari urinalisis lengkap.
Pemeriksaan sedimen urin dengan mikroskop kualitas yang baik adalah suatu
keharusan. Mikroskop harus memiliki kualitas yang baik dengan pembesaran (10x
dan 40x) bertujuan untuk memeriksa sedimen urin.
Pada pemeriksaan urin, sering ditemukan kandungan asam urin dan protein
yang berlebihan dan kenaikkan pH urin akibat perombakan urea menjadi ammonia.
Range normal pH urin kucing maupun anjing yaitu, 6-7,5 (Widmer et. al., 2004).
Menurut Rizzy (2014), pada pasien yang menderita penyakit, maka pH urin menjadi
asam, saat pH urin berubah menjadi asam merupakan tanda terdapat abnormalitas
yang terjadi karena ginjal mengimbangi efek perubahan pH di dalam tubuh.
Peningkatan pH pada urin (urin basa) dapat menyebabkan infeksi saluran urinaria
dengan bakteri memproduksi enzim urease (dapat mengubah urea menjadi
amoniak). Positif palsu pada pemeriksaan pH urin terjadi ketika sampel tidak
diperiksa dengan segera, contoh carbon dioxide, normal terdapat pada urin.
Pada pemeriksaan darah ditemukan urea dan keratinin dalam jumlah yang
banyak. Pemeriksaan bakteri juga termasuk dalam tes laboratorium, karena infeksi
bakteri dapat menginduksi urolith yang terdapat pada vesica urinaria (Annete et.
al., 2010).

2.4.6.1 Jenis Urolith


Urolith merupakan agregat polycrystalline yang terbentuk dari berbagai
macam kristaloid dan matriks organik. Terbentuk urolith dipengaruhi oleh saturasi
urin. Saturasi urin sangat bergantung pada pH urin, konsentrasi zat terlarut, dan
banyak faktor lain (Susanty, 2005).

14
2.4.6.1.1 Kalsium Oksalat
Kalsium oksalat merupakan jenis urolith yang paling umum ditemukan pada
kucing berdasarkan perhitungan analisa kuantitatif laboratorium (Osborne et. al.,
2009). Kalsium oksalat terbentuk dalam keadaan suasana urin yang asam sampai
dengan netral. Kalsium oksalat sering terbentuk pada kondisi hewan hiperkalsemia
(Dyce et. al., 2002).
Diet disolusi untuk struvite membuat kondisi urin menjadi asam yang
digunakan untuk meningkatan kelarutan kristal struvite didalam urin. Asiduria ini
menaikkan mobilisasi karbonat dan fosfat dari tulang untuk menyeimbangkan ion
hidrogen (H+). Mobilisasi kalsium dari tulang secara bersamaan akan
mengakibatkan hiperkalsiuria dan memicu kalsium oksalat terbentuk (Elliot, 2003).
Kejadian kalsium oksalat pada kucing ras diketahui mencapai 50-70% dari angka
kejadian Urolithiasis (Osborne et. al., 2009).
2.4.6.1.2 Struvite
Struvite atau sering disebut magnesium ammonium fosfat heksahidrat
dengan komposisi kimia MgNH4PO6H2O. Kristal struvite terbentuk dari
magnesium, ammonium, dan fosfat. Beberapa faktor yang mempengaruhi kristal
struvite adalah pH urin dan konsumsi air yang rendah (Hostuler et. al., 2005).
Infeksi bakteri pada saluran urinasi diketahui juga dapat meningkatakan
pembentukan kristal struvite. Bakteri yang menyebabkan infeksi ini adalah
golongan pemecah urea (urea splitter), antara lain Proteus spp., Klebsiella sp.,
Serratia sp., Enterobacter sp., Pseudomonas sp., dan Staphylococcus sp.. Bakteri
tersebut yang dapat menghasilkan enzim urase dan mengubah urine menjadi basa
melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Pada suasana basa, memudahkan garam-
garam magnesium, amonium, fosfat, dan kabonat membentuk urolith Magnesium
Amonium Phosphat (MAP) dan karbonat apatit (Rizzy, 2014).

2.4.6.1.3 Amonium Urat

Amonium urat adalah senyawa organik yang terdiri dari karbon, nitrogen,
oksigen, dan hidrogen dengan rumus C5H4N4O3. Amonium urat merupakan akhir
dari katabolisme urin. Amonium urat meliputi 5-10% dari seluruh urolith saluran

15
kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasien
dengan obat sitostatika, dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide, salisilat).
Obesitas, alkoholik, dan diet tinggi protein memiliki peluang besar untuk
mengalami penyakit ini. Faktor yang memperngaruhi amonium urat terbentuk,
antara lain pH urin terlalu asam (pH kurang dari 6, volume urine kurang dari 2
liter/hari atau dehidrasi) dan hiperurikosuria (Rizzy, 2014).
2.4.6.1.4 Cystine
Menurut Rizzy (2014), cystine merupakan salah satu asam amino yang tidak
terlarut dalam air dan memiliki rumus kimia (SCH2CNNH2COOH)2. Cystine
terbentuk dalam urin dengan pH asam sampai dengan pH netral. Cystine terbentuk
karena ada peningkatan ekskresi cystine dalam urin. Pembentukan cystine terkait
dengan cystinuria dari efek kongenital turunan pada tubulus proksimal ginjal yang
tidak mampu mereabsorbsi asam amino tertentu, seperti cystine dan asam amino
lain, antara lain omitin, lisin, dan arginin. Tidak ada predisposisi cystine pada ras
kucing tertentu maupun jenis kelamin.

Gambar 2.3 Kristal dan Urolith Cystine (Rizzi, 2014).

Gambar 2.4 Kristal dan Urolith Struvite (Little, 2008).

16
Gambar 2.5 Krital dan Urolith Kalsium Oksalat (Little, 2008).

Gambar 2.6 Kristal dan Urolith Amonium urat (Rizzy, 2014).

2.5 Manajemen Penanganan


Menurut Merck (2005), penanganan yang dapat diberikan kepada pasien
Urolithiasis, yaitu:
a. Terapi cairan (fluid theraphy) diberikan secara SC atau IV, dapat membantu
pasien yang disertai dehidrasi. Terapi ini juga dapat menyebabkan produksi urin
lebih encer, serta membantu proses eliminasi dari debris radang dan kristal. Terapi
cairan yang perlu diberikan pada kasus ini adalah larutan Ringer Laktat (RL) 5%
dengan dosis pemberian 20-40 ml/kgBB/hari.
b. Terapi nutrisi, penanganan yang dilakukan dengan menjaga pola diet pakan
rendah protein. Penanganan dilakukan berdasarkan kandungan unsur yang
menyusun Urolithiasis yang diperoleh dari hasil penegakkan diagnosa. Tindakan
pencegahan yang dilakukan, antara lain: menghindari dehidrasi dengan minum
yang cukup, diet untuk mengurangi zat komponen pembentuk krital, dan exercise.
Pada pasien dengan gejala terkena kristal kalsium oksalat, dapat diberikan diet yang
mengandung alkamizer dan kandungan kalsium yang rendah. Pasien dengan

17
mengalami urolith kalsium oksalat, dapat diberikan diet yang mengandung
pottasium sitrat. Hal tersebut dapat membantu meningkatan kondisi saluran urinaria
dan mengurangi kekambuhan Urolithiasis.
c. Pemberian obat, yaitu 1). antibiotik amoxcylin mengindikasi untuk
mengobati infeksi bakteri saluran urinaria, memiliki daya absorbsi cepat dan efektif
terhadap organisme gram postif maupun gram negatif. Pemberian selama 5-7 hari,
aktivitas bakterisidal terjadi dalam 45-90 menit setelah pemberian; 2). antibiotik
enfrofloksasin digunakan untuk hewan dengan indikasi mengobati infeksi bakteri
pada saluran pernafasan, pencernaan, saluaran urinaria, septicaemia, arthritis, foot
root, dan infeksi sekunder viral. Enfrofloksasin digunakan sebagai antibiotik
berspektrum luas yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang
dapat memperparah kondisi kesehatan pasien Urolithiasis. Penggunaan
enfrofloksasin dilakukan ketika pasien sudah mengalami resistensi antibiotik lain.
Dosis yang diberikan untuk kucing adalah 10 mg/kgBB dengan waktu paruh 24
jam; 3). suplemen penambah darah, suplemen ini mengandung zat besi yang
diperlukan dalam sintesis hemoglobin yang merupakan penyusun dari eritrosit,
sehingga pemberian suplemen penambah darah akan membantu mempercepat
proses eritropoesis. Suplemen penambah darah yang digunakan mengandung
natrium kakodilat, besi (III) amonium sitrat, metionin, histidin, tritopan, dan
vitamin B12; 4). diphenhydramine, merupakan antihistamin H1-antagonis reseptor
yang sering digunakan untuk obat anti alergi, anti inflamasi, antiemetik, sedatif,
anastesi lokal, dan efek hipnotik. Pasien dengan kasus Urolithiasis memiliki gejala
peningkatan tubuh karena proses inflamasi dalam saluran urinaria. Dosis yang
diberikan pada kucing adalah 20 mg/kgBB; 5). prednison diberikan sebanyak 2,5
mg/ekor dua kali sehari khusus pada pasien dengan keluhan hematuria. Tujuan
pemberian prednison adalah meningkatkan eritropoiesis serta anti-inflamasi.
d. Kateterisasi, dimasukkan kateter melalui urethra ke dalam vesica urinaria
untuk dapat mengeluarkan urin, hal tersebut bertujuan untuk mengatasi distensi
vesica urinaria dan mengosongkan vesica urinaria. Berikut merupakan langkah-
langkah katerisasi (Widodo et al., 2012), 1). sebelum dipasang kateter, kucing
dianastesi terlebih dahulu; 2). menunggu efek dari sedasi dilakukan pencukuran

18
rambut pada bagian testis dan penis agar rambut tidak menganggu proses
kateterisasi; 3). ukuran kateter yang dapat digunakan pada kucing jantan 3 ½ Fr.
Terdapat 3 macam kateter urin, yaitu flexibel rubber feeding tube, kateter open-
ended polypropylene, dan closed-ended polypropylene; 4). setelah mulai
mengalami efek sedasi, kateter diberi pelumas untuk memudahkan kateter masuk
dan meminimalkan iritasi; 5). mulai dilakukan pemasangan kateter pada penis
kucing dengan cara menguakkan ujung penis agar terlihat penis dan memudahkan
kateter masuk kedalam vesica urinaria; 6). dilakukan fikssi pada penis tegak lurus
dan setelah terasa sudah tidak dapat masuk, tarik penis dan sejajarkan dengan posisi
tubuh agar kateter masuk penuh kedalam vesica urinaria.
e. Tindakan Operatif
1. Urethrotomy
Urethrotomy dilakukan jika urolith maupun kristal gagal dikeluarkan dari
vesica urinaria dengan menggunakan kateter. Operasi ini dilakukan pada hewan
kucing jantan dengan cara menguakkan preputium ke arah caudal terlebih dahulu
sebelum dilakukan sayatan pada penis bagian ventral. Jika letak urolith atau kristal
telah diketahui, kemudian dilakukan sayatan pada urethra dan urolith atau kristal
tersebut dikeluarkan. Kateter dimasukkan sampai ke dalam vesica urinaria dan
sayatan dijahit.
2. Cystotomy
Operasi ini dilakukan dengan cara membuka abdomen pada bagian ventral
kemudian membuka vesica urinaria. Urolith maupun kristal diambil dari dalam
vesica urinaria tersebut, setelah diambil dijahit kembali. Setelah dilakukan operasi,
kateter masih perlu dipasang selama 4-5 hari, yang berfungsi untuk mencegah
kemungkinan penyumbatan oleh bekuan darah. Untuk pemberian obat antibiotik
parental atau per-oral perlu diberikan selama kurang lebih 6 hari. Pemasangan
Elizabeth collar sangat membantu untuk mencegah supaya tidak dapat dicabut atau
dijangkau oleh kucing
Tindakan penanganan ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, kurang
lebih 90%, jika fungsi kedua ginjal masih dalam keadaan yang baik. Jika terpaksa
harus melakukan cystotomy dan urethrotomy, maka yang didahulukan urethrotomy.

19
Setelah kateter masuk kedalam vesica urinaria, maka baru dapat dilakukan
cystotomy.

2.7 Manajemen Pencegahan


Menurut Forrester at. al., (2010), upaya pencegahan, yaitu hindari obesitas
agar kucing tetap aktif dan tidak malas untuk bergerak, serta litter box yang
terjaga kebersihan dan mudah dijangkau oleh kucing agar dapat urinasi. Kucing
yang diberi pakan kering dalam jangka waktu yang lama, akan meningkatkan
penyerapan Mg dan mineral-mineral lain. Pada pakan kering terkandung
ion-ion MgO2 dan MgSO4 yang bersifat basa. Urine yang bersifat basa akan
membuat ion Mg, phospat, dan amonium akan mengkristal membentuk kristal
struvite, sehingga perlu diet rendah Mg.

Menurut Susanty (2005), angka kekambuhan urolith rata-rata 7%/tahun atau


dapat kambuh lebih dari 50% dalam 1 dekade. Prinsip pencegahan dilandaskan
pada kandungan unsur penyusun urolith yang telah diangkat. Tindakan pencegahan
yang perlu dilakukan, yaitu 1). menghindari dehidrasi dengan minum yang cukup,
diupayakan produksi urine 2-3 liter/hari; 2). diet rendah zat atau komponen
pembentuk urolith (rendah protein, rendah oksalat, rendah garam, rendah puria, dan
rendah kalsium); 3). aktivitas harian yang cukup; 4). keseimbangan nutrisi pakan.

20
BAB 3 METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksaan Kegiatan


Praktek Kerja Lapang (PKL) ini akan dilaksanakan di Klinik Hewan ASA
Kota Kediri, Jalan Raung No.15, Bandar Kidul, Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur
64118, Indonesia. Pelaksanaan PKL akan disenggelarakan selama 30 hari, yaitu
mulai tanggal 10 Juli hingga 10 Agustus 2017.

3.2 Metode Pengambilan Data


Metode pengumpulan data sebagai kajian dilakukan dengan mengumpulkan
data primer maupun sekunder. Data primer dengan beberapa metode, yaitu:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan berdiskusi bersama pihak-pihak terkait seperi
dokter hewan dan paramedis. Daftar pertanyaan wawancara dapat dilihat pada
Lampiran 1.
b. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati dan berpartisipasi membantu
penanganan kasus Urolithiasis pada kucing.
c. Recording Data
Recording data dilakukan dengan mencatat jumlah kasus Urolithiasis pada
kucing yang terjadi selama kegiatan PKL. Adapun sumber data sekunder didapat
dari catatan kesehatan pasien, studi literatur dari jurnal, buku, serta penelusuran lain
dengan memanfaatkan teknologi internet.

3.3 Rencana Kegiatan


Rencana kegitan PKL mahasiswa FKH UB yang akan disenggelarakan di
Klinik Hewan ASA Kediri, seperti tertera dalam Tabel 3.1 dibawah ini.

21
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Praktek Kerja Lapang

Tanggal PKL Rencana Kegiatan Keterangan


10 Juli 2017 1. Penerimaan mahasiswa PKL 1. Petugas pelaksana
2. Breefing 2. Mahasiswa PKL
3. Pelaksanaan PKL
10 Juli s.d. 10 1. Pelaksanaan PKL 1. Petugas pelaksana
Agustus 2017 2. Mahasiswa PKL
30 Agustus 2017 1. Pelaksanaan PKL 1. Petugas pelaksana
2. Pelepasan mahasiswa PKL 2. Mahasiswa PKL

3.4 Biodata Mahasiswa Peserta Kegiatan


Peserta yang akan melaksanakan PKL di Klinik Hewan ASA Kota
Kediri adalah:
Nama : Wahyu Sonya Pratolah
NIM : 145130101111065
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Universitas : Brawijaya
Alamat : Jalan Anyer No. 9, Penanggungan, Klojen, Kota Malang
No. Tlp : 0813-3312-2337
e-mail : sonyawahyu@gmail.com

22
BAB 4 PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Tempat dan Waktu

Praktek Kerja Lapang (PKL) di bidang praktisi dokter hewan dilaksanakan


oleh mahasiswa FKH UB di Klinik Hewan ASA Kota Kediri. Kegiatan PKL ini
dilaksanakan selama 1 (satu) bulan mulai tanggal 10 Juli – 10 Agustus 2017.

4.2 Pelaksanaan Kegiatan

Adapun jadwal aktivitas kegiatan di Klinik Hewan ASA yang dilaksanakan


mahasiswa PKL selama 1 (satu) bulan sebagai berikut:

Tabel 4.2 Aktivitas Kegiatan


No. Hari Tanggal Kegiatan Petugas
1. Senin 10 Juli 1. Mahasiswa PKL diterima drh. Pujiono,
2017 oleh drh. Pujiono. drh. Silvi, dan
2. Membantu grooming. paramedis
3. Membantu pemeriksaan.
2. Selasa 11 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu opname. paramedis
3. Rabu 12 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
paramedis
4. Kamis 13 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Scabies paramedis
b. Suspect
panleuokopenia
c. Calicivirus
d. Rhinotracheitis
e. Distamper
f. Ayam mata ikan
g. Ayam kaki bengkak
5. Jum’at 14 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu operasi: paramedis

23
a. Enukleasi bola mata
anjing
b. Sterilisasi
c. Iintoksikasi.
6 Sabtu 15 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Scabies paramedis
b. Intoksikasi
c. Vaksin
7. Minggu 16 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
paramedis
8. Senin 17 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
paramedis
9. Selasa 18 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Kucing tersedak tulang paramedis
b. Luka punggung
c. Pincang kaki depan
3. Membantu opname.
10 Rabu 19 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu operasi: paramedis
a. Othemathoma
11. Kamis 20 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
paramedis
12. Jum’at 21 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Scabies paramedis
b. Tidak bisa urinasi
c. Stomatitis
d. Vaksin
13 Sabtu 22 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu operasi: paramedis
a. Kastrasi kucing
14. Minggu 23 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
paramedis
15. Senin 24 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Mastitis pada kucing paramedis
b. Vaginitis

24
16. Selasa 25 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Kucing partus paramedis
b. Mata ada benjolan
17 Rabu 26 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Intoksikasi paramedis
b. Kucing leher terjepit
c. Pemacakan
3. Membantu operasi:
a. Enukleasi bulbi ayam
4. Membantu opname.
18. Kamis 27 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu opname. paramedis
19. Jum’at 28 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu opname. paramedis
20. Sabtu 29 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu opname. paramedis
21. Minggu 30 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
3. Membantu opname. paramedis
22. Senin 31 Juli 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
2017 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
a. Kucing leher bengkak paramedis
b. Sterilisasi
c. Anuria
3. Membantu opname.
23. Selasa 01 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis
24. Rabu 02 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis
25. Kamis 03 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
2017 a. Kucing kaki bernanah paramedis
b. Kucing Vaginitis
c. Vaksin.
3. Membantu opname.
26. Jum’at 04 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis

25
27. Sabtu 05 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis
28. Minggu 06 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan: drh. Silvi, dan
2017 a. Glogok pada ayam paramedis
b. Anuria
3. Membantu opname.
29. Senin 07 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis
30. Selasa 08 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 3. Membantu opname. paramedis
31. Rabu 09 1. Membantu grooming. drh. Pujiono,
Agustus 2. Membantu pemeriksaan. drh. Silvi, dan
2017 a. IB kambing. paramedis
b. Memeriksa sapi
3. Membantu opname.
32. Kamis 10 1. Pelepasan mahasiswa drh. Pujiono,
Agustus PKL. drh. Silvi, dan
2017 paramedis

26
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Klinik Hewan ASA Kota Kediri


Klinik Hewan ASA Kota Kediri terletak di Jalan Raung No. 15, Ruko Pasar
Hewan, Gor Jayabaya, Muning, Kota Kediri. Klinik Hewan ASA berdiri sejak
tahun 2013 dan memiliki jam kerja 13 jam per hari ini, memiliki misi untuk
memberikan pelayanan medis kedokteran hewan yang melayani segala kebutuhan
hewan kesayangan maupun ternak besar, pelayanan adopsi, dan melaksanakan
penampungan hewan peliharaan liar. Klinik Hewan ASA memiliki beberapa jasa
pelayanan meliputi, layanan grooming, pemeriksaan kesehatan, vaksin, pengobatan
penyakit, penitipan untuk hewan sehat, pet shop yang menyediakan berbagai jenis
pakan hewan kesayangan maupun ternak besar, dan Inseminasi Buatan (IB) pada
hewan ternak besar. Klinik Hewan ASA memiliki staff pekerja berjumlah 6 orang
yang terdiri dari 2 dokter hewan, yaitu Drh. Pujiono dan Drh. Silvi, serta 4
paramedis.

Klinik Hewan ASA Kota Kediri merupakan salah satu klinik hewan terbaik
di daerah Kediri. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyak pemilik yang
mempercayai Klinik Hewan ASA sebagai tempat berobat bagi hewan mereka.
Hingga sampai saat ini, data yang diperoleh tidak kurang dari 2000, bahkan 4000
lebih pasien datang ke Klinik Hewan ASA untuk berbagai jenis keperluan baik
berobat, operasi, maupun tindakan lain. Pada klinik ini, menerapkan Standart
Operational Procedure (SOP) dalam setiap menangani pasien dari datang hingga
meninggalkan klinik yang bertujuan untuk menjaga kualitas, pelayanan, dan
eksistensi. Pemilik yang masuk akan mengisi formulir terlebih dahulu yang
berisikan nama hewan, jenis kelamin, ras, nama pemilik, nomor telepon, dan alamat
pemilik. Data tersebut dipergunakan sebagai identitas dari pasien dan sebagai
rekam medik klinik, sehingga pasien yang masuk dengan keluhan penyakit dapat
tercatat dengan baik dan sebagai arsip klinik, serta sebagai informasi kepada rekan
sejawat dokter hewan. Klinik Hewan ASA menerima pasien dengan berbagai
keluhan, baik pasien dengan penderita penyakit infeksius maupun non-infeksius

27
dengan ruangan yang disendirikan jika pasien harus dirawat inap. Di klinik ini, juga
menerima pasien yang berkaitan dengan berbagai tindakan operasi, yaitu kastrasi,
ovariohysterectomi, prolaps ani, clamdia, enukleasi bulbi, enukleasi bola mata
othemathoma, dan lain-lain. Berikut beberapa fasilitas yang dimiliki Klinik Hewan
ASA:

a. Ruang Registrasi dan Administrasi


Ruang ini memiliki fungsi sebagai tempat pendataan pasien dan
pembayaran biaya pemeriksaan kesehatan, maupun pengobatan penyakit.
b. Ruang Pemeriksaan dan Obat
Ruang pemeriksaan digunakan untuk para dokter hewan untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan pasien, di klinik hewan wajib memiliki ruang
periksa ini. Di ruang periksa dilengkapi dengan peralatan pemeriksaan
kesehatan dan obat-obatan.
c. Ruang Operasi
Pada ruang operasi ini, terdapat meja operasi, autoclave, dan peralatan
bedah sebagai alat bantu saat melakukan operasi. Pada ruangan ini,
kebersihan dan sterilitas sangat dijaga, guna mengurangi kontaminasi dan
infeksi.
d. Ruang Isolasi
Ruang isolasi dipergunakan untuk tempat pasien rawat inap dengan
penyakit infeksius, hal tersebut sebagai upaya untuk mencegah agar
penyakit infeksius tidak menular ke pasien penyakit non-infeksius.
e. Ruang Sehat (Kandang Sehat)
Ruang sehat (Kandang Sehat) sebagai ruang atau kandang bagi hewan titip
sehat. Ruang atau kandang ini juga berfungsi untuk pasien dalam masa
penyembuhan yang dikhususkan dengan pasien penyakit non-infeksius.
f. Ruang Grooming
Ruang pemandian memiliki fungsi sebagai tempat memandikan hewan.
Ruang ini dilengkapi dengan peralatan, antara lain: pengering, sisir,
kandang pemandian, dan lain-lain.

28
g. Mini Petshop
Tempat ini menjual berbagai macam kebutuhan, yaitu berbagai pakan untuk
kucing, aksesoris, shampoo hewan, gunting kuku, dan berbagai macam
obat-obatan untuk kesehatan hewan dijual di sini, seperti B-SANPLEX,
VERM-O, dan lain-lain. Adapun denah Klinik Hewan ASA seperti yang
ada dibawah ini:

Gambar 5.1 Denah Klinik Hewan ASA (Dokumentasi Klinik Hewan ASA)

Keterangan

A. Ruang Tunggu F. Mini Petshop


B. Ruang Administrasi G. Ruang Sehat (Kandang Sehat)
C. Ruang Pemeriksaan dan Obat H. Ruang Isolasi Penyakit Non-Infeksius
D. Ruang Operasi I. Ruang Isolasi Penyakit Infeksius
E. Ruang Grooming J. Toilet

29
5.2 Kasus Urolithitasis pada Kucing yang Ditemukan di Klinik Hewan ASA

Kasus Urolithiasis yang didapatkan di klinik, yaitu kucing jantan. Kucing


jantan beresiko lebih besar menderita Urolithiasis karena urethra jantan lebih kecil
dibandingkan betina (Pinney, 2009). Tahap penetapan diagnosa dapat dibuat
dengan mengintegrasi penemuan yang didapat dari sinyalemen, anamnesa, keadaan
umum, tanda klinis, lama kejadian, dan urinalisis (Widodo, 2012).

Berikut pasien Urolithiasis yang ditemukan di Klinik Hewan ASA, antara


lain:

A. Kucing Bobi, jenis kelamin jantan, umur 2 tahun, berat badan 4,3 kg, dengan
keluhan anuria. Pada pemeriksaan suhu didapatkan suhu tubuh 38,90C.
Diberikan tindakan kateterisasi dan flushing karena terdapat distensi vesica
urinaria. Diberikan antibiotik oxytetracyclene dengan dosis 5-10 mg/kg/bb
yang diberikan sampai 0,4 ml intramuscular. Saran yang dapat diberikan
kepada pemilik, kucing Bobi diberikan pakan urinari.
B. Kucing Dino, jenis kelamin jantan, berat badan 4 kg, suhu tubuh 36,70C.
Keluhan pasien kucing Dino, yaitu anuria dan muntah. Pasien Dino,
dianjurkan dokter untuk rawat inap, guna memastikan pasien dalam keadaan
yang baik karena suhu tubuh yang rendah. Rawat inap berlangsung selama 8
hari. Tindakan yang diberikan, antara lain terapi cairan, kateterisasi, dan
flushing. Tindakan kateterisasi dilakukan jika pasien tidak dapat urinasi dan
distensi vesica urinaria. Jika vesica urinaria dipencet sudah dapat
mengeluarkan urin dari penis, maka tidak diperlukan tindakan kateterisasi.
Terapi yang diberikan, yaitu pemberian antibiotik oxytetracyclene dengan
dosis 5-10 mg/kg/bb yang diberikan sampai 0,4 ml secara intramuscular
diberikan sehari 2 kali, vitamin B-Kompleks, transfer factor (TF) dengan
komposisi protein susu dan kuning telur, Ringer Laktat, pakan urinari.
C. Kucing Elo, jenis kelamin jantan, berat badan 3,7 kg, temperatur tubuh
39,70C, dengan keluhan anuria. Diberikan tindakan pemencetan vesica
urinaria dan kateterisasi karena terdapat distensi vesica urinaria. Terapi obat
yang diberikan, yaitu antibiotik oxytetracyclene dengan dosis 5-10 mg/kg/bb

30
yang diberikan sampai 0,3 ml, serta diberikan obat dengan satu sediaan yang
mengandung metampiron, pirampidon, dan lidocain dengan dosis 1-2ml/ekor
secara intramuscular. Metampiron dan paramidon merupakan golongan
pirazolon yang memiliki efek yang kuat sebagai antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi. Diberikan saran untuk kucing Elo agar diberikan pakan basah
(wet food) dan pakan urinari.
D. Kucing Velo, jenis kelamin jantan, berat badan 3 kg. Keluhan pasien kucing
Velo, antara lain lemas, tidak nafsu makan, dan anuria. Diberikan tindakan
kateterisasi karena terdapat distensi vesica urinaria. Diberikan antibiotik
oxytetracyclene dengan dosis 5-10 mg/kg/bb yang diberikan sampai 0,3 ml
dan vitamin B-Kompleks intramuscular.
E. Kucing Sarah, jenis kelamin jantan, berat badan 3 kg, umur 2 tahun 3 bulan,
temperatur tubuh 38,50C. Keluhan pasien kucing Sarah, antara lain lemas,
tidak nafsu makan, hematuria, dan anuria. Diberikan tindakan kateterisasi dan
flushing karena terdapat distensi vesica urinaria. . Diberikan antibiotik
oxytetracyclene dengan dosis 5-10 mg/kg/bb yang diberikan sampai 0,3 ml
dan vitamin B-Kompleks dengan dosis 0,25-0,5 kg/ekor secara
intramuscular.

Data yang diambil untuk hasil laporan PKL yaitu kucing Sarah karena
memiliki data yang lengkap. Menurut anamnesa dari pemilik, pasien mengalami
lemas, tidak nafsu makan, dan suhu tubuh meningkat, anuria, hematuria. Gejala
yang ditampakkan berlangsung selama empat hari. Menurut anamnesa dari
beberapa pemilik, kebanyakan pasien Urolithiasis disebabkan oleh pakan cat dry
food.

Menurut Thomas (2005), pakan cat dry food dapat menyebabkan


Urolithiasis karena mengandung sedikit mineral, sedangkan kucing merupakan
hewan peliharaan yang membutuhkan pakan yang banyak mengandung mineral
untuk memenuhi kebutuhan mineral dalam tubuh. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan dehidrasi dan fungsi ginjal menurun yang menyebabkan
konsentrasi urin terganggu dan volume urin menjadi menurun. Hal tersebut

31
memudahkan terbentuk batu atau kristal dalam urin, sehingga menyebabkan
Urolithiasis. Urolithiasis rentan menyerang kucing pada umur 1 – 7 tahun, dengan
penyebab lain kasus Urolithiasis, yaitu asupan air yang rendah, umur, jenis
kelamin, kastrasi yang dilakukan pada masa sebelum pubertas, kelainan herediter
yang resesif, dan kelainan genetik.

5.3 Penegakan Diagnosa

Anamnesa yang dilakukan bertujuan sebagai penegak diagnosa, agar dapat


menegakkan diagnosa secara baik. Dilakukan beberapa tindakan yang sangat
membantu untuk peneguhan diagnosa, antara lain.

5.3.1 Pemeriksaan Fisik

Pasien Urolithiasis yang datang ke Klinik Hewan ASA Kota Kediri, dengan
gejala hematuria, kondisi tubuh lemas, dehidrasi, ketika palpasi pada daerah vesica
urinaria akan terasa membesar dan mengeras atau terasa penuh, serta hewan akan
merasa kesakitan jika dipalpasi daerah tersebut, penurunan berat badan, tempramen
terlihat pendiam, urin keluar secara menetes, kucing menjilat area genetalia, pada
saat urinasi akan merejan, gelisah, depresi, dan anemia. Gejala klinis yang
ditampakkan pada pasien Urolithiasis bervariasi dan tergantung pada tempat letak
dalam struktur anatomi, sistim urinaria, dan jenis kelamin (Colville, 2012).

Menurut Purnomo (2011), batu yang terdapat pada saluran urinaria dapat
menyebabkan hematuria, stranguria, pollakiuria, dysuria, dan anuria. Stranguria
merupakan keadaan susah urinasi dan disertai kejang otot pinggang. Disuria
merupakan keadaan nyeri atau sakit pada saat urinasi. Pollakisuria, keadaan pada
saat urinasi mengeluarkan urin sedikit-sedikit dan sering. Hematuria merupakan
keadaan urin bercampur darah. Anuria adalah ketidakmampuan untuk melakukan
urinasi karena tidak dapat menghasilkan urin atau terdapat obstruksi pada urethra.
Batu yang terdapat pada ureter dapat menyebabkan kolik yang disertai dengan
penurunan tekanan darah. Ketika obstruksi telah berlangsung dalam kurun waktu
yang lama, akan terlihat tanda-tanda depresi, lesu, anoreksia, dan diikuti oleh tanda-
tanda uremia, yaitu muntah. Uremia merupakan keadaan toksik yang disebabkan

32
dari gagal ginjal. Sindrom uremia adalah suatu kumpulan gejala yang muncul akibat
penurunan filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubuler, dan ekskresi.

Menurut Bushinky (2000), patogenesa Urolithiasis disebabkan karena


peningkatan konsentrasi mineral penyusun urolith dalam urin, sehingga
menyebabkan konsentrasi urin menjadi supersaturasi atau jenuh. Kadar kalsium
dalam urin yang meningkat, dapat mengubah komposisi fisikokimia urin yang
memicu terbentuk inti urolith dan pertumbuhan garam kalsium yang berupa
kalsium oksalat. Kalsium yang meningkat atau hiperkalsiuria terjadi karena
peningkatan absorbsi kalsium melalui usus, gangguan reabsorbsi kalsium melalui
ginjal, dan gangguan peningkatan reabsorbsi kalsium pada tulang.

5.3.2 Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik Sampel Urine

Setelah dilakukan anamesa dan pemeriksaan fisik dari pasien, dari hasil
tersebut menunjukkan pasien mengarah ke penyakit Urolithiasis, kemudian
dilakukan pemeriksaan penunjang lain yang bertujuan untuk menegakkan diagnosa
lebih lanjut. Pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan pemeriksaan urin pasien
secara makroskopis. Sampel urin diamati secara makroskopis, meliputi bau, warna,
kekeruhan urin, dan jika saluran urinaria mengeluarkan sesuatu, dapat dirasakan
dengan tangan, yaitu eksudat, pasir, dan lain-lain. Sampel urin diamati secara
langsung dengan melihat warna yang terlihat kuning kemerahan, bau yang khas,
urin terlihat sangat keruh dengan ditandai hematuria, terdapat gumpalan pasir yang
keluar dari urethra, dan ketika proses pengeluaran urin yang terasa seperti pasir
ketika diraba menggunakan jari tangan. Diketahui pemeriksaan fisik urin,
didapatkan bau yang khas atau amoniak, hal ini disebabkan jarena pemecahan
ureum dan kadar eritrosit yang terdapat pada urin (Little, 2008). Untuk urin yang
keruh, hal ini kemungkinan disebabkan oleh fosfat amorf dan karbonat dalam
jumlah yang besar, juga dapat disebabkan oleh leukosit, eritrosit, sel-sel, benda-
benda koloid, dan lemak (Palmer dam Kennedy, 2007).

Pengamatan urin secara mikroskopis dilakukan untuk mengetahui ada atau


tidak batu kristal dalam sampel urin tersebut. Untuk pengambilan sampel urin

33
dilakukan dengan cara menyedot langsung urin melalui kateter dengan
menggunakan disposible syringe sebanyak 10 ml.

(A) (B)

Gambar 5.2 (A) Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Sampel Urin Pasien Urolithiasis Kucing
Sarah dengan mikroskop cahaya pembesaran 100x (Tanda panah
menunjukkan terdapat eritrosit pada pemeriksaan sedimentasi urin)
(B) Sampel Urin (Hematuria, urin berwarna merah)
(Dokumentasi pribadi, 2017)

Gambar diatas, menunjukkan pasien mengalami hematuria karena terdapat


sel darah merah (eritrosit) di dalam urin, sedangkan hasil pemeriksaan urin secara
mikroskopik tidak ditemukan kristal. Kristal yang terdapat dalam sediemen urin
dipengaruhi beberapa faktor, antara lain temperatur, specific gravity urin, dan pH.
Pada pemeriksaan urin didapatkan pH sebesar 6,5. Formasi kristaluria yang
terbentuk dapat diindikasikan oleh pH. Nilai pH urin > 7 cenderung terbentuk
kalsium karbonat, kalsium posfat, struvit, sedangkan pada pH < 7 cenderung
terbentuk kalsium oksalat dehidrat kalsium oksalat monohidrat, sodium urat atau
ammonium urat, xanthin, dan sistin (Stockhom dan Scot, 2002).

5.3.3 Pemeriksaan Sampel Darah dan Kimia Klinik

Setelah dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dari sampel


urin, dilakukan pemeriksaan lanjutan lain, yaitu pemeriksaan darah lengkap dan
kimia darah. Namun, di Klinik Hewab ASA tidak memiliki alat untuk pemeriksaan

34
tersebut, sehingga sampel dikirim ke laboratorium di Sidoarjo. Pengambilan darah
pasien melalui vena femoralis, yang diletakkan pada 2 tabung, yaitu tabung
vacutainer EDTA dan tabung vacutainer non zat addiktif, masing-masing 3 ml.
Pada tabung vacutainer EDTA, digunakan untuk pemeriksaan darah lengkap.
Penggunaan tabung vacutainer EDTA dimaksudkan supaya tidak terjadi
pengumpalan sampel darah pasien. Penggunaan tabung vacutainer non zat additive
digunakan untuk pemeriksaan kimia darah. Sampel darah yang telah diambil
dimasukkan kedalam tabung vacutainer dan dikocok perlahan membentuk angka
delapan. Setelah dilakukan koleksi darah, darah kemudian dimasukkan kedalam ice
box guna untuk menjaga kestabilan pada suhu range 2-80C supaya serum tidak
terjadi kerusakan, karena sampel dikirim di laboratorium Sidoarjo yang
membutuhkan waktu tempuh minimal 3 jam perjalanan, sehingga sampel tetap
diakui. Pemeriksaan kimia darah, meliputi penghitungan Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan keratinin. Pemeriksaan darah lengkap, meliputi hemoglobin,
hematokrit, eritrosit, trombosit, Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean
Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC), eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit, dan monosit.

Tabel 5.3. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah Kucing Sarah

Nilai
Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Ket
Rujukan
Darah Lengkap
WBC 7,27 4.9–16.9 103/Μl
LYM# 6,68 0.8-7 103/Μl
MID# 0,55 0-1.9 103/Μl
GRA# 0,04 2.1-15 103/Μl Low
LYM% 91,42 12-45 % High
MID% 7,59 2-9 %
GRA% 0,99 35-85 % Low
RBC 4,46 5.8–8.5 106/Μl Low
HGB 7,6 14.0–19.1 g/Dl Low
MCHC 30,47 33.0–36.0 g/Dl Low
MCH 17,04 19.1–26.2 Pg Low
MCV 55,93 60.0–75.0 Fl Low
HCT 24,94 40.0–56.0 % Low
PLT 258 181–525 103/Μl
LEUKOSIT +

35
NITRIT -
UROBILINOGEN 0,2
PROTEIN -
Ph 6,5
BLOOD +++
SPECIFIC GRAVITY 1.015
KETON -
BILIRUBIN -
GLUCOSE -
Kimia Darah
Urea N (BUN) 118 8–30 mg/Dl High
Kreatinin 4,48 0.6–2.0 mg/Dl High

Hasil pemeriksaan darah menunjukkan bahwa pasien mengalami leukositois,


peningkatan nilai BUN (118mg/Dl) dan (4,48 mg/Dl). Menurut Stockhom (2002),
menyatakan, leukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit yang
melebihi dari jumlah normal karena tubuh mempertahankan daya tahan tubuh
akibat ada infeksi bakteri. Blood Urea Nitrogen (BUN) adalah jumlah nitogen urea
yang terdapat di dalam darah yang dibentuk selama proses metabolisme protein.
Protein akan diubah menjadi asam amino yang menghasilkan asam aminonia
sebagai penyusun dari urea. Keratinin merupakan produk hasil dari penguraian
kreatinin fosfat dalam metabolisme otot. Kadar peningkatan BUN sangat
tergantung pada tingkat katabolisme atau pemecah protein dan gangguan pada
ginjal. Ketika ginjal mengalami kegagalan fungsi, maka urea hasil dari katabolisme
tidak dapat dieksresikan oleh tubuh melalui urin. Peningkatan kadar kreatinin
terjadi ketika ginjal mengalami kerusakan fungsi pada glomerulus, sehingga proses
filtrasi kreatinin tidak berfungsi secara optimal. Akibat dari proses filtrasi yang
terhambat, akan menyebabkan kreatinin akan kembali lagi ke dalam tubuh karena
tidak dapat diekskresikan. Anemia disebabkan karena keadaan jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin, dan hematokrit yang mengalami penurunan dari nilai
normal dalam darah, sehingga tidak dapat memenuhi fungsi untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia mikrositik
hipokromik, mikrositik berarti kecil, hipokromik berarti mengandung hemoglobin
dalam jumlah yang kurang dari normal (MCV kurang; MCHC kurang). Anemia

36
dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi
hemoglobin yang kurang dari normal (Koss, 1998).

5.4 Penanganan dan Pengobatan Urolithiasis di Klinik Hewan ASA

Manajemen penanganan Urolithiasis pada kucing secara umum terdiri dari


beberapa tindakan, yaitu flushing, kateterisasi, pemberian infus, dan diet pakan
urinari. Anamnesa hewan dari pemilik untuk kasus Urolithiasis juga harus
diperhatikan, hal tersebut bertujuan untuk mengetahui penyebab hewan mengalami
Urolithiasis, dapat berupa gejala-gejala yang tampak maupun gejala yang telah
disampaikan oleh pemilik. Berdasarkan hasil anamnesa yang diberikan oleh
pemilik, kucing Sarah diberikan pakan berupa cat dry food, dipelihara secara
dikandangkan, dan terkadang dilepas disekitar rumah.

5.4.1 Pemasangan Kateter

Dilakukan pemasangan kateter setelah pasien ditetapkan terdiagnosa


Urolithiasis dan terdapat penyumbatan pada saluran urinasi yang ditandai dengan
distensi vesica urinaria, maka dilakukan pemasangan kateter yang bertujuan untuk
mengatasi distensi vesica urinaria, membantu urinasi pasien, dan pengumpulan
sampel urin. Di Klinik Hewan ASA, jika pasien mudah di handling dan tidak terlalu
agresif, maka tidak dilakukan tindakan anastesi. Pasien Sarah tidak diberikan
anastesi karena cukup mudah di handling dan tidak agresif. Terdapat tiga jenis
kateter urin, yaitu flexible rubber feeding tube, kateter open-ended polypropylene,
dan close-ended polypropylene. Pada Klinik Hewan ASA menggunakan jenis
kateter re-use open-ended polypropylene dengan ukuran 3 FG (1.00mm) x 130 mm
untuk mempermudah proses mengeluarkan urin dari VU.

Pasien di handling kemudian direbahkan dengan posisi rebah lateral untuk


memulai tindakan kateter. Dilakukan pembersihan daerah genetalia dengan cara
mencukur rambut daerah genetalia, kemudian dibersihkan dengan alkohol. Kateter
diberikan lubicrating jelly guna untuk meminimalisir iritasi pada saluran urinaria.
Kateter dimasukkan secara perlahan melalui urethra pada penis, setelah kateter
masuk sempurna dilakukan pengosongan vesica urinaria, pengosongan vesica

37
urinaria dengan cara menyedot keluar urin dengan menggunakan disposible
syringe steril dan bersih. Urin yang didapat dari penyedotan dapat digunakan
sebagai sampel guna pemeriksaan lanjutan. Setelah itu, pembilasan dan
pembersihan vesica urinaria dengan cara flushing, menggunakan NaCl Fisiologis
dilakukan beberapa kali sampai NaCl Fisiologis yang disedot dari vesica urinaria
menjadi jernih. Tindakan flushing merupakan suatu teknik guna untuk
menyuntikkan dan mengeluarkan darah beserta batu kristal dari vesica urinaria.
Klinik Hewan ASA menggunakan kateter re-use open-ended polypropylene,
sehingga tidak memerlukan penjahitan, kateter dilepas setelah tidak ada distensi
vesica urinaria. Pasien kucing Sarah yang menderita Urolithiasis disertai sindrom
uremia, meliputi depresi, tidak nafsu makan dan dehidrasi, oleh sebab itu
pemasangan infus secara intravena diperlukan dengan tujuan untuk menggantikan
cairan tubuh dan menstabilkan pH cairan tubuh (Purnomo, 2011).

5.4.2 Diet Pakan Urinari

Saran yang diberikan kepada pemilik, sebaiknya pakan diganti dengan pakan
basah, namun lebih baik lagi diberikan diet pakan urinari. Selain itu, perlu
pemberian minum yang lebih dari normal, dimana kebutuhan normal minum untuk
kucing perhari 5-10 ons dengan rata-rata 60 ml/Kg/hari, diberikan minum lebih dari
normal bertujuan agar urolith yang berusaha diluruhkan atau dihancurkan oleh
reaksi obat dapat luruh keluar bersama urin. Jika hewan susah untuk minum, dapat
diberikan dengan menggunakan disposible syringe berisi air yang dituang kedalam
mulut kucing (Baldwin, 2006). Secara umum, tindakan yang dilakukan, yaitu
menghindari dehidrasi dengan asupan minum yang cukup, diet pakan urinari untuk
mengurangi kadar zat komponen pembentuk kristal, dan aktivitas harian seperti
excercise (Lulich et al., 2007).

Pemberian pakan pada (Tabel 5.4) sesuai dengan kandungan atau komposisi
dan pemberian sesuai berat badan kucing yang diberikan dalam waktu 2-3 minggu
yang disesuaikan dengan keadaan pH urin. Hal tersebut bertujuan untuk membantu
dan mendukung kesehatan saluran urinaria kucing, meningkatkan kondisi saluran

38
urinaria tanpa mengambil tindakan operasi, dan mengurangi kekambuhan
Urolithiasis.

Tabel 5.4 Komposisi Diet Pakan Urinari

Nutrisi Bahan Kering


Protein 34.5%
Lemak 15 %
Karbohidrat 29.5 %
Serat diet 6.7 %
Serat Kasar 2.7 %
Mineral 7.3 %
Energi termetabolisme** 4.070
Omega 6 3.45 %
Omega 3 0.60 %
EPA + DHA 0.26 %
Asam linoleat 3.3 %
Kalsium 0.8 %
Fosfor 0.7 %
Sodium 0.9 %
Kondroitin + glukosamin 1.785 mg/kg
(Royal Canin, 2004)

Tabel 5.5 Takaran Pemberian Pakan Sesuai Berat Badan


Berat Kurus Normal Kegemukan
Badan
Kucing
Gram Cup Gram Cup Gram Cup
3 kg 215 2¼ 170 1 3/8
5 kg 360 3½ 285 2 3/8 235 2¼
7 kg 400 4 325 3¼
9 kg 510 5 4 3/4
(Royal Canin, 2004)

39
Pemberian jumlah pakan di Klinik Hewan ASA selama 2-3 minggu ini sangat
diperlukan, hal ini digunakan untuk menjaga kesehatan pada kucing yang
mengalami Urolithiasis serta menjaga berat badan agar tidak obesitas atau muncul
penyakit lain (Lulich et al., 2007).

5.5 Pemberian Terapi Obat

Setelah dilakukan diagnosa dari pasien Urolithiasis, dilakukan pemberian


terapi yang diperlukan sesuai dengan diagnosa penyebab dari Urolithiasis yang
diderita oleh pasien. Di Klinik Hewan ASA, obat terapi Urolithiasis menggunakan
antibiotik dan kombinasi obat lain, antara lain:

5.5.1 Oxytetracyclene

Antibiotik oxytetracyclene digunakan sebagai salah satu obat terapi pasien


Urolithiasis di Klinik Hewan ASA. Oxytetracyclene merupakan obat antibiotik
yang digunakan untuk mencegah infeksi bakteri pada saluran kemih dan mencegah
infeksi bakteri yang bersifat resisten (Little, 2008). Oxytetracyclene adalah
antibiotik sprektrum luas untuk bakteri gram positif maupun gram negatif,
digunakan secara internal untuk mengobati infeksi bakteri pada unggas dan hewan
lain (Ganong, 2001). Pada anjing dan kucing, pemberian oral dapat menyebabkan
muntah dan diare, terutama penggunaan jangka panjang, dapat menyebabkan iritasi
pada pemberian intramuscular. Dosis yang diberikan pada kucing 6,6-
22mg/kg/hari BB intramuscular (Bushinky, 2000). Pada pasien kucing Sarah,
oxytetracyclene diberikan setiap 2x sehari sebanyak 3 ml untuk sekali
intramuscular. Indikasi obat oxytetracyclene adalah untuk mengatasi infeksi
sekunder bakteri pada penyakit Canine Distemper, Feline Panleukopenia,
Pneumonia, Enteritis, Endometritis, dan Infeksi Urinary Tract. Interaksi obat ini
dapat menganggu aksi bakterisidal Penisilin.

5.5.2 Vitamin B-Kompleks

Dharmajono (2001) menyatakan, kombinasi obat lain dengan pemberan


vitamin B-Kompleks sangat diperlukan dengan dosis pada anjing dan kucing BB 5-
10 kg; 0,25-0,5 kg/ekor. Vitamin B-Komplek mengandung vitamin B1 (tiamin

40
hydroclorida), vitamin B2 (riboflavin natrium phosphate), vitamin B6 (piridoksin
hydroclorida), vitamin B12 (sianokobalamin), D-pantenol, nikotiamid, kolin
clorida, dan biotin. Indikasi vitamin B-komplek adalah untuk mencegah dan
mengobati defisiensi vitamin B, mencegah stres, dan penambah nafsu makan.
Vitamin B-Komplek diberikan subcutan atau intramuscular.

5.5.3 Ringer Laktat

Widmer (2004) menyatakan, infus Ringer Laktat merupakan cairan yang


isotonis dengan darah dan dimaksudkan untuk cairan pengganti untuk pasien
dengan kondisi dehidrasi atau mengalami syok hipovolemik yang disebabkan
hematuria. Ringer laktat merupakan cairan yang memiliki komposisi elektrolit
mirip dengan plasma. Satu liter cairan Ringer Laktat memiliki kandungan 130 mEq
ion natrium setara dengan 130 mmol/L, 109 mEq ion klorida setara dengan 109
mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 28 mmol/L, 4 mEq ion kalium setara dengan
4 mmol/L, 3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Pada pasien Urolithiasis
disertai dengan kondisi hematuria akan mengalami peningkatan metabolisme
anaerob di dalam tubuh pasien serta meningkatkan produksi asam laktat dalam
tubuh. Volume Ringer Laktat yang dapat diberikan untuk kucing, yaitu 20-40
ml/kg/BB/hari. Fungsi pemberian Ringer Laktat untuk memperbaiki sirkulasi dan
transfer oksigen kedalam jaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan
produksi asam laktat menjadi berkurang. Sirkulasi yang baik akan membuat
penimbunan asam laktat pada kondisi asidosis metabolik dibawa ke hepar.
Sehingga, hepar akan mengubah asam laktat menjadi bikarbonat yang berguna
untuk mentralisir asidosis metabolik. Laktat dalam Ringer Laktat sebagian besar
dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis. Setiap satu mol laktat akan
menghasilkan satu mol bikarbonat.

41
BAB 6 PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

1. Teknik diagnosa dan penanganan Urolithiasis pada pasien di Klinik Hewan ASA
didasarkan pada hasil anamesa dan gejala yang tampak pada pasien. Untuk
penegakan dianosa, maka dilakukan pemeriksaan lain, meliputi pemeriksaan
makroskopik dan mikroskopik sampel urin, pemeriksaan darah lengkap, dan
pemeriksaan kimia darah. Penanganan Urolithiasis pada kucing secara umum
terdiri dari beberapa tindakan, yaitu kateterisasi, flushing, pemberian infus, dan
diet pakan urinari.

2. Berdasarkan anamnesa pemilik, kucing Sarah diberikan pakan dry cat food,
dipelihara secara dikandangkan, dan terkadang dilepas disekitar rumah.
Dilakukan tindakan kateter dan flushing karena terdapat distensi vesica urinaria
guna membantu urinasi pasien. Kemudian diberikan pengobatan dan diet pakan
urinari.

6.2 SARAN

1. Peningkatan sarana dan prasarana yang terkhusus untuk peneguhan diagnosa


suatu penyakit, seperti Urolithiasis.

2. Pentingnya pemberian edukasi kepada pemilik tentang penyakit Urolithiasis


tentang bagaimana pencegahan, penanganan, dan lain-lain.

3. Mengingat pasien yang berdatangan sangat banyak supaya efektif dan efesien
waktu dalam menjaga kesehatan hewan, makan diperlukan penambahan dokter
hewan dan sumber daya manusia atau paramedis.

42
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadnudin Panahi. 2010. Anatanomi Organ Ginjal Kucing. Fakultas Kedokteran:


Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Hlm 56-57.

Aiello, E.T. 2000. The Merck Veterinary Manual Eight Edition. USA: Merck &
CO, Inc. White House Station.

Annete, L. R., Gerald V. L., P,S Schiffman and D. L. Johnson, 2010. Utrastructure
of Selected Strutive-Containing Urinary Calculi from Dog. American
Journal of Veterinary Research. 57 p : 1274 – 1287.

Arthur, C. G., J. E., Hall, M.D. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC. Edisi 9. 481-483,
490-499.

Baldwin, K. 2006. Fluid Theraphy for the companion animal. Atlantic Coast
Veteriner Conference (ACVC). <http://www.vin.com>. Tanggal akses
[30 Agustus 2017].

Blood, D. C., and V. P. Studdert. 2011. Saunders Comprehensive Veterinary


Dictionary Second Edition. Philadelphia: WB Saunders Company.

Breitschwerdt, E.B. 1986. Contemporary Issues in Small Animal Practice:


Nephrology and Urology. Churchill Livingstone. New York.

Buffington, C. A., J. L. Blaisdell and T. Sako. 2001. Effect of Tamm-Horsfall


Glycoprotein and Albumin on Strutive Crystal Growth in Urine of Cats.
American Journal of Veterinary Research, 55, 965-971.

Buffington, C. A. 2002. External and Internal Influences on Disease Risk in Cats.


J Am Vet Assoc 220:994-1002.

Buffington, C. A., J. L., Westropp, D. J., Chew, and R. R. Bolus. 2006. Risk Factors
Associated With Clinical Signs of Lower Urinary Tract Disease in Indoor-
House Cats. J AM Vet Assoc 228;722-725.

43
Bushinsky, D. A., W,R Parker, and J. R. Asplin. 2000. Calcium Phosphate
Supersaturation Regulate Stone Formation In Genetic Hypercalciuric
Stone-Forming Rats. Kidney Int 59: 551-562.

Colville, J. 2012. The Urinary System. Di dalam: Colville T dan Bassert JM, Editor.
Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. USA:
MOSBY. Hlm. 3014-317.

Dellman, D. 2001. Veterinary Histologi. Lea and Febiger. Philadelphia. Pp 305.

Dharmajono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner (Hewan kecil) Edisi I.


Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Dyce, K. M., W,O Sack, and C.J.G. Wensing. 2002. Textbook of Veterinary
Anatomy. Edisi k-3. USA: Saunders Company. Hlm. 175-433.

Forrester, S.D., J.M. Krunger and T.A. Allen. 2010. Feline Lower Urinary Tract
Disease. Small Animal Clinical Nutrition (5);925-976.

Fossum, T. W. 2002. Small Animal Surgery. 2nd ed. Mosby ST, London.

Galut, B.. 2013. Urinalysis a Review. Vepalabs Veterinar Pathology. Australia

Ganong, W. F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC. Hlm 671.

Gipson, J.M. 1996. Urolithiasis, Mikrobiologi, dan Patologi Modern. Buku


Kedokteran EGC. Jakarta.

Hostuler, R. A., D. J. Chew and S. P. Bartola. 2005. Recent concepts in the feline
lower urinary tract disease. Veterinary Clinics of North America: Small
Animal Practice, 35, 147-170.

Koss, W. 1998. Anemias of Abnormal Iron Metabolism and Hemochromatosis. In:


Koepke JA, Martin EA, Steininger CA eds. Clinical Haematology,
Principles Procedures, and Correlation 9th edition. Lippincot Philadelphia.
979-1010.

44
Leib, M.E. and W.E. Monroe. 1997. Textbook of Practical Small Animal Internal
Medicine, WB Saunders. Philadelphia.

Little, S. 2008. Blood and Urine Test for CATS. The Winn Feline Foundation.

Lulich, J.P., and C.A. Osborne. 2007. Management of Urolithiasis. BSAVA


Manual of Canine and Feline Nephrology and Urology, 2nd Edition.
London. Halaman 252-263.

Merck, 2005. The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition, National Publishing.
Inc. Philadelphia.

Mayer, D.J. and J. Harvey. 2013. Interpretation And Diagnosis. 2nd Ed. WB.
Saunders. Philadelphia. USA.

Osborne, C.A., J.P. Lulich, and J.M. Krunger. 2009. Analysis of 451891 Canine
Urolith, Feline Urolith, and Feline Urethral Plugs From 1981 to 2007:
Prespective From The Minnesota Urolith Center. Vet Clin North Am
Small Anim Pract (39): 183-197.

Palmer, N. and P. C.. Kennedy .2007. Pathology of Domestic Animals. Edisi ke-
3. Australia: Blackwell Publishing Asia. HLM/ 269-302.

Pinney, C.C. 2009. Feline Lower Urinary Tract Disease.


<http/maxshouse.com/feline_urological_syndrome_Urolithiasis.htm>.
[30 Agustus 2017].

Purnomo, B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Sagung Soto. Hal 91-95.

Reece, W. O. 2006. Functional Antomy and Physiology of Domestic Animals. Edisi


ke-3. Australia: Blackwell Publishing Asia. Hlm. 269-302.

Rizzy, T. 2014. Urinalysis In Companion Animals Part 2: Evaluation of Urine


Chemistry & Sediment. Today’s Technician. Oklahoma State University.

Royal Canin. 2004. The Cat Encyclopedia. Paris: Aniwa. Publishing.

45
Strugress, C.P., A. Hesford, and H. Owen. 2001. An Investigation into The Effects
of Storage on the Diagnosis of Crystalluria in Cats. J Feline Med Surg
(3):81-85.

Suddarth and Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.

Suryandari, P., P. Santi., dan P. Fajar. 2012. Kasus Urolithiasis pada Kucing.
Universitas Brawijaya. Malang.

Susilawati, H. L., L. Shanty, dan Sutarno. 2013. Analisi Kimia-Fisik Urin Tikus
Putih (Rattus norvegicus) setelah Pemberian Ekstrak Daun Seledri
(Apium graveolens Linn.). Jurnal Biosmart 5 : 43-46.

Susanty, Y. 2005. Memilih dan Merawat Kucing Kesayangan. Agro Media Pustaka.
Jakarta.

Suwed dan Budiana. 2006. Membiakan Kucing Ras. Bogor: Penebar Swadaya.

Stockhom, S. L. and M. A. Scot. 2002. Fundamental of Veterinary Clinical


Pathology. Iowa State Press.

Thomas. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta. EGC.

Westropp, J.L., C.A.T Buffington, and D. Chew. 2005. Feline Lower Urinary Tract
Disease. Elsevier Saunders. St. Louis.

Widodo, S. 2012. A to Z Diabetes Mellitus and Chronic Renal Failure in Small


Animal Medicine. Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas
Kedokteran Hewan IPB : Bogor.

Widmer, W.R. and D. S. Biller. 2004. Ultrasonography of The Urinary Tract in


Small Animals Journal of The American Veterinary Medical Assosiation.
225 (1) : 46, 54-59

46
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Berapa frekuensi kejadian Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA


Kota Kediri?

Jawab: Frekuensi kejadian Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA


dapat dikatakan 6 dari 10 yang terkena, dengan istilah lain “sering” dan
cukup banyak.

2. Bagaimana teknik diagnosa pada kasus Urolithiasis pada kucing di Klinik


Hewan ASA Kota Kediri?

Jawab: Teknik diagnosa yang dilakukan di Klinik Hewan ASA adalah


palpasi abdomen dan pemeriksaan fisik. Untuk dapat meneguhkan diagnosa,
kita dapat mengirim sampel urin ke laboratorium yang disarankan.

3. Bagaimana penanganan yang tepat pada kasus Urolithiasis pada kucing di


Klinik Hewan ASA Kediri?

Jawab: Penanganan yang diterapkan, yaitu pemasangan kateter untuk


membantu proses pengeluaran urin, kemudian dilanjutkan tindakan
flushing. Jika pasien dalam kondisi dehidrasi berat, maka dilakukan
pemasang infus dan rawat inap.

4. Bagaimana prosedur terapi yang tepat pada kasus Urolithiasis pada kucing
di Klinik Hewan ASA Kota Kediri?

Jawab: Terapi yang diberikan kepada pasien, yaitu pemasangan kateter


disertai tindakan flushing, pemasangan infus jikapasien dalam kondisi
dehidrasi, injeksi antibitotik secara intramuscular untuk mencegah infeksi
sekunder, dan diberikan diet pakan urinari.

5. Bagaimana prognosa pada kasus Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan


ASA Kota Kediri?

47
Jawab: Untuk kasus Urolithiasis yang ditemukan di Klinik Hewan ASA,
pasien mengalami kekambuhan kembali, kebanyakan hal ini disebabkan
karena pemilik tidak tertatur dalam menyeimbangkan jenis pakan.

6. Bagaimana perawatan yang tepat pada kasus Urolithiasis pada kucing di


Klinik Hewan ASA Kota Kediri?

Jawab: Perawatan yang diterapkan, meliputi asupan minum yang baik,


diberikan diet pakan basah atau pakan urinari, pemberian antibiotik sehari 2
kali pagi dan malam, pengontrolan keadaan disertai pengisian ambulator
yang dilakukan sehari 3 kali, kebersihan kandang, dan lain-lain.

7. Apa saja yang perlu disampaikan dalam edukasi pemilik pada kasus
Urolithiasis pada kucing di Klinik Hewan ASA Kota Kediri?

Jawab: Edukasi yang disampaikan kepada pemilik, yaitu hewan peliharaan


tidak boleh diberikan pakan cat dry food secara terus menerus, perlu
menyeimbangkan dengan pakan basah, diberikan asupan minum yang
cukup, kastrasi dilakukan setelah hewan pubertas, dan untuk terapi pakan
dapat diberikan Royal Canin Urinary®.

8. Apa saja tindakan pencegahan yang bisa dilakukan oleh pemilik hewan?

Jawab: Pemilik dapat melakukan pencegahan dengan cara menjaga asupan


minum agar tetap terpenuhi, menyeimbangkan jenis pakan yang diberikan,
dan aktivitas harian exercise yang cukup.

48
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Klinik

Hasil Pemeriksaan Urinalisis

Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah

49
Lampiran 3. Dokumentasi Aktivitas Praktek Kerja Lapang (PKL)

Kucing Sarah di Handling

(A) (B) (C)

(A) Pemasangan Kateter ; (B) Pengeluaran Urin dengan Kateter dan Disposible Syringe
(C) Flushing Urin dengan NaCl Fisiologis

Sampel Urin Kucing Sarah dan Eksudat yang Dikeluarkan dari Penis

50
Lampiran 4. Dokumentasi Obat

(A) (B) (C)

(A) Vitamin B-Kompleks; (B) Transfer Faktor (TF); (C) Antibiotik


oxytetracyclene

51

Anda mungkin juga menyukai