ITB Mengajar Dan Sebuah Pertanyaan PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

ITB Mengajar

Indonesia merupakan sebuah keindahan besar yang luar biasa bagi alam semesta. Sadarkah kau
kalau dari dulu Indonesia selalu diincar orang-orang yang ada di bumi ini karena kelimpahan alamnya,
keindahannya, maupun kekayaan nilai yang ada di masyarakatnya. Tentu saja kita menyadari bahwa
negara dengan jumlah pulau yang tak terhingga dengan luas daerah 2 juta kilometer persegi yang
memiliki lebih dari 220 juta kepala, lebih dari 1300 suku bangsa, lebih dari 300 kelompok etnis, dan lebih
dari 721 bahasa ini, sangat kaya. If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.
Bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh negara ini jika keberagaman ini bisa dipersatukan dan bisa
didukung kekayaan alam nusantara ini. Apa yang bisa dilakukan negara ini? This country has infinite
potential.

Sayangnya, impian ini hanya bisa dilihat di alam tidur jika kesejahteraan saja masih menjadi
polemik. Survey dari Institut Legatum menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan negeri yang katanya
makmur ini ada di peringkat 69 dari 1421. Jangankan membandingkannya dengan dunia Internasional,
mari kita lihat apa yang ada di dalamnya. Ternyata terdapat 27,77 orang yang masih belum bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya2. Fakta tersebut diperparah lagi dengan ketimpangan luar biasa yang
terjadi di Indonesia sampai memperoleh tingkat ke-4 sedunia dalam hal kesenjangan antara 'si kaya' dan
'si miskin'3. Mungkin poin-poin yang bersifat makro tersebut dapat kita buktikan dengan keberadaan
anak-anak yang harus turun ke jalan hanya demi sesuap nasi, sementara orang-orang sukses di luar sana
tidak bisa melihatnya karena terlalu sibuk memperkaya diri, seraya adanya fenomena keberlanjutan
pengerukan kekayaan alam nusantara oleh bangsa lain.

Manusia dan Pendidikan

Lalu apa solusinya? Aku telah melihat dengan cermat bagaimana organisasi-organisasi di
kampus ini telah dikembangkan, direvolusi oleh penerus-penerus yang lebih baik dari sebelumnya. Aku
pun telah melihat bagaimana ilmu dan pemahaman manusia-manusianya sangat mengakselerasi
kemajuan organisasi tersebut. Jadi siapa lagi yang bisa mengubah negara ini kalau bukan orang-
orangnya? Andaikan semua politisi benar-benar bergerak murni demi negara ini, andaikan para pebisnis
tidak hanya memikirkan keuntungan diri sendiri, andaikan keluarga-keluarga memilih kebenaran sebagai
prinsip, andaikan manusia-manusia benar-benar menjadi manusia, pasti segala polemik negara ini dapat
sedikit demi sedikit terselesaikan. Manusia adalah kuncinya. Maka dari itu, bentuklah manusia-
manusianya dengan pendidikan!

Itulah pendidikan, yang menurut Ki Hadjar Dewantara akan membentuk manusia yang dapat
berpikir seluas-luasnya dengan tetap memegang kebudayaan yang sudah teruji, pendidikan yang
menurut Paulo Freire adalah pembebasan dan reformasi individu dalam mereduksi konsekuensi negatif
pikirannya, pendidikan yang menurut Conscientientizaco adalah proses menjadi manusia seutuhnya.
Aku jadi teringat kisah ayahku, anak terakhir dari 11 bersaudara yang tidak memiliki salah satu orangtua
di saat masih kecil. Keterbatasan hidup memaksa dirinya yang masih kecil untuk mencari uang sendiri
sebagai pedagang keliling. Namun beliau selalu percaya bahwa pendidikan dapat mengubah nasibnya.
Sedikit demi sedikit keuntungannya dari berjualan dikumpulkan demi membeli sepatu sekolah. Siapa
yang percaya bahwa beliau akan terus mendapatkan beasiswa sampai perguruan tinggi dan mampu
menghidupi keluarganya dengan cukup?

Sayang sekali, orang-orang yang beruntung seperti ayahku tidak banyak di negeri ini. Masih
banyak orang yang tidak dilimpahi nikmat kesadaran bahwa pendidikan itu dapat mengubah nasib.
Selain itu, sangat disayangkan juga bagi mereka mereka yang sudah sadar akan kemampuan pendidikan
itu namun keterbatasan ekonomi dan laparnya perut membatasi mimpinya. Sebagian manusia di negeri
ini pun harus berjalan berkilo-kilometer, melewati rintangan alam seperti yang ada di outbound, dan
melewati derasnya arus sungai hanya untuk duduk di bangku yang selama ini kita duduki. Namun,
apakah kepala-kepala yang sudah ada di dalam sekolah sudah benar-benar mendapatkan pendidikan?
Bagaimana dengan problematika kurikulum yang sangat kontroversial itu? Atau mungkin masih
dipertanyakan lagi apakah hal-hal yang kita dapatkan di sekolah ini sudah cocok dengan kenyataan yang
ada? Tentu poin itu juga menjadi pertimbangan bapak-ibu yang ada di desa untuk menyekolahkan anak-
anaknya karena anak yang sudah disekolahkan sampai universitas ternyata tidak mampu menyelesaikan
sekedar masalah hama yang mewabah di desa mereka. Apakah di zaman ini sekolah hanya batu
loncatan kita menuju strata sosial yang lebih tinggi? Selain itu, apakah satu guru sanggup
mengembangkan potensi, karakter, dan pola berpikir 40 siswa? Apa penyebab kenakalan remaja,
merajalelanya korupsi, atau sesimpel titip absen dan fenomena menyontek di kalangan pelajar? Jadi,
apakah pendidikan di Indonesia ini baik-baik saja?
Mahasiswa : Harapan Di Balik Sebuah Gerakan

Semua pihak punya perannya masing-masing dalam penyempurnaan pendidikan di Indonesia.


Pemerintah bertugas menjadi penentu kebijakan pendidikan dengan skala yang sangat besar sementara
lembaga-lembaga lainnya berkreasi di tempatnya masing-masing, ada yang melakukan riset, ada juga
yang beraksi langsung demi pendidikan yang lebih baik. Lalu apa porsi bagi mahasiswa? Kenapa
mahasiswa harus bergerak? Bukankah pendidikan merupakan tanggung jawab lembaga pendidikan,
masyarakat, dan orangtua? Dimana mahasiswa? Tentu benar, itulah pendapat Ki Hadjar Dewantara yang
sangat penulis setujui, tapi apakah 3 pihak itu sudah menjalankan pendidikan dengan baik? Mahasiswa
lah sebagai pengawal hakikat pendidikan yang sebenarnya ini. Mahasiswa inilah yang memiliki semangat
dan idealisme adalah pihak yang bertugas terus belajar, terus bertanya, dan memberikan sudut pandang
yang tidak dimiliki pihak-pihak tersebut : pandangan seorang mahasiswa yang idealis.

Apa yang masyarakat pikirkan saat ada orang yang datang kepadanya dan bertanya, “Anak ibu
sudah dididik dengan baik belum bu?” Tentu hal itu minimal menjadi pengingat bagi mereka kalau ada
pihak yang menganggap kalau pendidikan itu sepenting itu sampai-sampai dia mendatangi diri mereka
hanya untuk bertanya tentang pendidikan anaknya. Lalu apa yang masyarakat pikirkan saat ada
segerombolan pemuda yang mengajak anak-anak mereka bermain dan belajar bersama demi kehidupan
anak-anak yang lebih baik? Apakah masyarakat tidak malu dengan apa yang tidak mereka kerjakan?
Selain itu, bagaimana pengaruh kita kepada adik-adik rumah belajar kita? Mengapa bisa mereka sampai
menunggu kita untuk datang lagi setiap kamis malam, sabtu sore, dan minggu pagi? Mengapa mereka
bisa marah dan jengkel saat kita terlambat datang atau tidak datang sehari saja? Mengapa adik-adik di
rumah belajar sementara Jatinangor menangis saat tutup semester, mengira kita tidak akan pernah
datang lagi? Mengapa adik-adik Cicaheum masih menyebut-nyebut nama kak Jamika sampai hari ini?
“Ada kakak-kakak baru berarti kakak nanti gaakan ngajar lagi?” Memangnya mereka tidak senang
dengan kehadiran kita? Jawablah di dalam hatimu. Apakah benar kata-kata mereka yang mengatakan
bahwa mahasiswa tidak bisa melakukan apa apa? Sungguh tega.
Skhole dan Sebaris Impian

Skhole bisa melakukan lebih dari itu : membuka pintu informasi pendidikan ke dalam hutan-
hutan rumah belajar kita, memberdayakan masyarakat untuk membantu mencerdaskan anak-anaknya,
mengenalkan luasnya kehidupan di bumi ini kepada adik-adik, menyentuh masalah-masalah lain di
masyarakat dan menyelesaikannya dengan pendidikan, melakukan kajian pembahasan pendidikan
Indonesia, membuat dan mengajukan suatu kurikulum alternatif kepada pemerintah, mengumpulkan
metode-metode mengajar kreatif yang selanjutnya diajukan kepada para guru, melakukan pelatihan
kepada guru-guru yang butuh dilatih, dan lain-lain. Sungguh sangat luas dampak yang bisa Skhole dan
mahasiswa berikan. Ya, itulah dampak-dampak luar biasa yang mungkin dilakukan oleh Skhole sendirian

ITB Mengajar, apa yang terjadi jika kebermanfaatan itu bisa dilakukan bersama-sama? Sebuah
imajinasi adalah saat banyaknya gerakan pendidikan di kampus ini yang semuanya terkoordinasi, yang
dilihat dari luar kampus sebagai ITB Mengajar. Akhirnya Skhole punya fungsi sebagai koordinator yang
menentukan koridor yang akan ditempuh seluruh gerakan. Skhole lah yang melihat dari luar apa yang
sedang dibutuhkan oleh negara ini dan dialah yang menggerakkan kampus ini untuk bergerak ke arah
yang dibutuhkan tersebut, seperti literasi, pendidikan karakter, atau isu besar lainnya. Apa yang kamu
bayangkan tentang persatuan 100 gerakan pendidikan ITB sehingga dapat melakukan satu gerakan
bersama, misalnya gerakan 10.000 buku untuk negeri? Tentu dengan bantuan jaringan-jaringan yang
Skhole miliki, kampus ini bisa berkontribusi 10.000 buku yang bisa disebarkan ke seluruh pelosok negeri
ini. Atau pernahkah kau membayangkan jika di awal kepengurusan, Skhole mengumpulkan seluruh
gerakan mengajar di kampus dan menyepakati satu koridor : kenaikan 1% angka melek huruf di
Bandung. Akhirnya seluruh gerakan mengajar di kampus ini akan bergerak ke arah literasi kepada orang-
orang yang belum paham angka dan huruf dan dalam satu kepengurusan, akan adanya fenomena
kenaikan angka melek huruf di Bandung sebanyak 1% atau lebih dari itu. Suatu impian juga untuk bisa
membuat seluruh gerakan pendidikan di kampus ini benar-benar memiliki jiwa, memiliki kualitas yang
baik, dan saling bersinergis antar gerakan. Bukankah itu—informan, fasilitator, mediator—yang
harusnya kita lakukan?

Alangkah luar biasanya juga jika Skhole mampu membawa gerakan dengan skala kampus itu ke
arah regional lewat Bandung Education Forum, atau bahkan ke skala nasional lewat FGMMI. Saat itu,
Skhole sudah mendapatkan kepercayaan seluruh massa kampus dengan gerakan-gerakan mereka yang
berbasis himpunan, angkatan, maupun perseorangan. Saat itu, Skhole sudah memiliki penurunan nilai
yang sustainable, sistem yang rapi, koordinasi dengan kabinet yang benar, kurikulum yang rapi,
kepercayaan masyarakat sekitar, kepercayaan dari Lembaga Kemahasiswaan, kekeluargaan yang kuat,
dan kemampuan yang extraordinary. Pada saat itu juga Skhole sudah punya berbagai jejaring yang
sangat kuat ke komunitas, kampus lain, praktisi, professional, bahkan ke pemerintah dan organisasi-
organisasi multinasional seperti UNESCO.

Imajinasi, sungguh, benar-benar sebuah imajinasi. Apakah suatu saat ada penerus Skhole
berdekade-dekade kemudian yang membaca tulisan ini dan berpikir, “Kak Faris, segala poin yang kakak
tuliskan sudah kami realisasikan.” Atau apakah orang itu datang dari periode setahun-dua tahun setelah
Skhole Pahlawan?

Sebuah pertanyaan : Apakah kamu orangnya?

Anda mungkin juga menyukai