Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEBIDANAN PADA MASA NIFAS

DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGIS MASA NIFAS


(POST TRAUMATIC STRESS DISORDER)

Disusun oleh :
MELINDA FIRDAUS A 135070600111008
SYARA AL-FAJAR 135070600111013
ANDARIA MAGA ARIFIN 135070600111019
NISRINA AZIZAH 135070600111027

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
kebidanan pada ibu nifas dengan gangguan psikologis masa nifas (post traumatic
stress disorder) merupakan suatu faktor yang mempengaruhi masa nifas. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Deteksi dini pada nifas patologis
program studi S1 Kebidanan.
Kami berharap tugas ini dapat berguna untuk menambah wawasan dan
pengetahuan bagi yang membaca. Selain itu kami berharap penulis sadar bahwa
terdapat banyak kekurangan dalam menyusun karya tulis ini, oleh karena itu
penulis mengharapkan segala saran, kritik dan masukan yang membangun untuk
menjadi lebih baik kedepannya.

Malang, 17 September 2015

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prevalensi PTSD dalam studi komorbiditas nasional (NCS; Kessler,
Sonega, Bromet, Hughes dan Nelson) adalah 7,8% merupakan perempuan dan
10,8% lebih sering daripada laki- laki yang hanya sekitar 5%. Seperti yang akan
kita saksikan nanti laki- laki lebih mungkin mendapatkan ancaman trauma,
sehingga dominasi perempuan dengan PTSD saat ini hanya suatu dasar pemikiran.
Solusi dari pemikiran ini ialah bahwa wanita lebih mungkin melihat suatu situasi
fisik sebagai suatu bahaya yang mengancam atau jenis trauma yang berbeda
dengan yang mereka perlihatkan.Terdapat rating yang tinggi pada wanita yaitu 13
kali lebih tinggi berdasarkan Studi NCS, dari stressor tauma.Pada salah satu
penelitian korban PTSD yang dialami wanita meningkat lebih banyak yaitu sekitar
80%.Dimana hanya 25% yang mengalami kecemasan dalam perkembangannya
(Breslau, Davis, Andreaski & Peterson, 1991). Sehingga jelas bahwa resiko PTSD
beberapa kali lebih tinggi dari pada trauma yang lain. Dengan angka PTSD lebih
tinggi pada wanita daripada pria.Adanya perbedaan jenis kelamin sedang menjadi
perbincangan saat ini, seperti diketahui terdapat dua variasi antara etnik sosial dan
kebudayaan.Dimana kejadian trauma berhubungan dengan para pria kulit hitam
dengan pendidikan yang kurang (McNally, 1999).
Sebanyak 80% orang dewasa yang mengalami PTSD dengan komorbiditas
diagnosis.Alkoholic, depresi, GAD, dan serangan panik.Beberapa kondisi ini
dapat menggambarkan PTSD dan faktor resikonya.Beberapa diikuti dengan PTSD
isunya sendiri tanpa melalui penelitian.
Meskipun pada awalnya diyakini bahwa gangguan PTSD adalah
lingkungan namun sekarang cukup jelas bahwa perbedaan individu terhadap
respon dalam trauma beberapa terdapat mediasi genetik.Mengejutkan sekali
karena trauma yang mengancam jiwa mungkin terdapat lebih dari satu pemikiran.
Berdasarkan penelitian di Bresleau dan Cofleagues (1991), 4,0% sampel
penelitian pernah mengalami trauma seperti itu. Tingkatan dalam penelitian NCS
(Kessler et al, 1995) yaitu 6.1% dialami pria dan 5.1% dialami wanita.Karena
tingkat pemaparannya lebih tinggi dibandingkan dengan PTSD, maka jelas trauma
sendiri jarang menyebabkan PTSD. Faktor lain yang terlibat yaitu rendahnya IQ,
dukungan sosial yang rendah, trauma sebelumnya (termasuk trauma fisik atau
pelecehan sexual pada masa kanak- kanak), mood yang sudah ada sebelumnya,
gangguan kecemasan, atau riwayat kelurga dengan gangguan tersebut (ditinjau
dari McNally, 1999). Karena beberapa faktor resiko sebagian dipengaruhi oleh
genetik, maka menjadi masuk akal dalam perbedaan individu yang mengalami
PTSD sebagian diwariskan. Faktor lain misalnya terjadi disosiasi ( misalnya
peristiwa yang terjadi secara lambat terputus dari tubuh seseorang) pada saat
peristiwa traumatik (Foa & Riggs, 1995). Peritraumatic Disosiasi merupakan
penyebab diamana seseorang dapat mengendalikan intensitas trauma (Shalev,
Peri, Cannetti & Schreiber, 1996).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
1.2.2 Apa saja simtom-simtom dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
1.2.3 Bagaimana etiologi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis dari Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)?
1.2.5 Bagaimana cara menentukan diagnosis Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)?
1.2.6 Bagaimana penanganan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?
1.2.7 Bagaimana pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami definisi Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami simtom-simtom dari Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami etiologi Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).
1.3.5 Untuk mengetahui dan memahami bagaimana cara menentukan
diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami penanganan Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
1.3.7 Untuk mengetahui dan memahami pencegahan Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Gangguan stress pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalahreaksi
maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis.Gangguan
stress akut (acute stressdisorder/ASD) adalah factor resiko mayor untukPTSD,
karena banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan
PTSD.Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi
maladaptiveyang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman traumatis.
Berlawanan denganASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-bulan,
bertahun-tahun, atau sampaibeberapa decade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelahadanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis
(Jeffrey, 2009)

2.2 Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)


Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)dikelompokkan dalam 3 kategori utama.Diagnostic dapat ditegakkan jika
simtomsimtomdalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan
(Gerald, 2006).
a. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing) Individu kerap
teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu.
Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang
menyimbolkan kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya pengalaman
tertentu. Pentingnya “mengalami kejadian kembali” tidak dapat diremehkan
karena kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain.
Beberapa teori PTSD membuat “mengalami kembali” sebagai ciri utama
dengan mengotribusikan gangguan tersebut pada ketidakmampuan untuk
berhasil mengintegrasikan kejadian traumatic ke dalam skema yang ada
saat ini.
b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati
rasa dalam responsivitas (Avoidance) Orang yang bersangkutan berusaha
menghindari untuk berfikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang
akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasaadalah menurunnya
ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan
untuk merasakan sebagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya
hampir kontradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD
kenyataannya terdapat suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami
kembali dan mati rasa.
c. Gejala peningkatan ketegangan (Arousal)
Gejala ini mencakup sulit tidur, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan,
dan respon terkejut yang berlebihan.Berbagai studi laboratorium
menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan mendokumentasikan
meningkatnya reaktifitas fisiologis pada pasien penderita PTSD terhadap
pencitraan pertempuran dan respon-respon terkejut yang sangat tinggi.
Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan
enxietas lain, depresi, kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan zat,
masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, dan disfungsi seksual.
Pikiran dan rencana ntuk bunuh diri umum terjadi. Menurut DSM, anak-
anak dapat menderita PTSD sering kali merupakan respon karena
menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami penyiksaan
fisik. Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan
orang dewasa.Gangguan tidur dengan mimpi buruk dengan monster umum
terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku.Sebagai contoh, seorang anak
semula periang menjadi pendiam atau menarik diri atau seorang anak yang
bermula pendiam menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak yang
mengalami trauma mulai berfikir bahwa mereka tidak akan hidup hingga
mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan keterampilan
perkembangan yang sudah dikuasai, seperti berbicara atau menggunakan
toilet.Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan
mereka dibanding orang dewasa, suatu hal yang sangat penting untuk
diingat bila terdapat kemungkinan penyiksaan fisik atau seksual (Gerald.
2006).
2.3 Etiologi Gangguan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder /
PTSD)
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada factor-faktor
resiko terhadap gangguan tersebut dan juga factor- faktor psikologis dan biologis.
Terdapat beberapa faktor PTSD. Pemilik kejadian traumatis yang dialami,
predictor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis
kelamin perempuan, pemisahan dengan orang tua di masa kecil, riwayat gangguan
dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya dan gangguan-
gangguan yang dialami sebelumnya. Memiliki intelegensi tinggi tampaknya
menjadi factor protektif, mungkin karena hal itu diasosiasikan dengan
keterampilan coping yang lebih baik.Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan
dengan parahnya kejadian traumatic.Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma
juga meningkatkan kemungkinanterjadinya PTSD, seperti juga upaya menghapus
ingatan tentang trauma tersebut dari pikiran seseorang.Disosiasi dapat memiliki
peran dalam menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan
tentang trauma tersebut (Gerald, 2006).
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kecenderungan untuk
menganggap kegagalan sebagaikesalah diri sendiri dan menyesuaikan diri
terhadap stress dengan mengfokuskanpada emosi, bukan pada masala hnya (Fitri,
2005):
a. Teori-teori Psikologis
Para teoris belajar berasumsi bahwa PTDS terjadi karena pengkondisian
klasik terhadap rasa takut.Seorang wanita yang pernah diperkosa contohnya,
dapatmerasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (CS) karena diperkosa
disana(UCS). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut,
terjadipengindraan, yang secara negative dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut
yangdihasilkan oleh ketidakberadaan dalam CS. PTSD merupakan contoh utama
dalamteori dua factor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun
lalu olehMowrer.
Suatu teori yang diajukan oleh Horowitz menyatakan bahwa ingatan
tentangkejadian traumatic muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan
sangat menyakitkan sehinga secara sadar mereka mensupresinya atau
merepresinya.Orangyang bersangkutan diyakini mengalami semacam perjuangan
internal untukmengintegrasikan trauma ke dalam keyakinannya tentang dirinya
dan dunia agardapat menerimanya secara masuk akal (Gerald, 2006). Aspek
trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang
dialami,peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak
korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan
seksual. Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko,
merasa kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan,
serta adanya gejala disosiatif saat kejadian.

b. Teori-teori Biologis
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan
diathesis genetic dalam PTSD. Terlebih lagi, trauma dapat mengaktifkan system
noradrenergic, meningkatkan level norepinefrin sehingga membuat orang
yangbersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi
disbanding kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini adalah penemuan
bahwa levelno repinefrin lebih tinggi pada pasien penderita PTSD dibanding pada
kelompok kontrol. Selain itu, menstimulasi system noradrenergic me nyebabkan
serangan panic pada 70 persen dan kilas balik pada 40 persen penderita PTSD;
tidak ada satu pundari peserta kelompok control mengalami hal itu. Terakhir,
terdapat bukti mengenai meningkatnya sensivitas reseptor-reseptor noradrenergic
pada penderita PTSD.
c. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD (Sadock,
2007).Mereka terus merasakan stress dan mencoba untuk menghindari apa yang
dialami dengan teknik penghindaran. Orang-orang tersebut menekan ingatan
tentang trauma yang dialami kealam bawah sadar,yang mana lama-kelamaan
semakin menumpuk, jika terjadi trauma lagi hal itu dapat menimbulkan
bangkitan ingatan trauma sebelumnya. Model prilaku dari PTSD menekankan
dua fase berkembangnya PTSD yaitu trauma(stimulus) yaitu yang menghasilkan
respon ketakutan melalui kondisi klasik yang dipasangkan dengan stimulus yang
dikondisikan (fisik ataupun mental yang mengingatkan akan trauma yang
dialami), yang kedua adalah melalui instrument, stimulus dikondisikan yang
menimbulkan reaksi ketakutan tidak tergantung stimulus aslinya yang tidak
dikondisikan, orang tersebut akan menunjukan gambaran menghindari stimulus
yang dikondisikan ataupun yang tidak.
Beberapa orang mendapat keuntungan dari dunia luar setelah adanya
trauma, misalnya uang kompensasi dan meningkatnya rasa simpati,keuntungan
ini akan menguatkan gangguan PTSD dan gangguan ini menjadi
persisten(Sadock, 2007).
d. Faktor neurobiologi
Peran factor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan
kondisi ketakutan (Bisson, 2007).Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus
temporalis dipercaya berperan dalam mengingat kejadian yang disadari,
misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang dialami. Amygdala diyakini
berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya aspek autonomoi
yang merupakan respon dari rasa takut. Amygdala menerima informasi tentang
rangsangan luar dan selanjutnya digunakan sebagai penanda, hal tersebut
kemudian merangsang respon emosi termasuk ‘fight,flight atau freezing’ dan
dalam perubahan stresshormone (Bisson, 2007).
Hubungan antara hipokampus, amygdala, serta kortek prefrontal
medial membentuk respon akhir rasa takut. Lesi hipokampus dihubungkan
dengan respon ketakutan yang kuat,sedangkan dalam beberapa study
menunjukan volume hipokampus yang kecil dihubungkan dengan adanya PTSD
(Bisson, 2007).
Kalangan klinisi memiliki data bahwa terjadi hiperaktifasi noradrenergic,system
opioidendogen dan juga axis hypothalamic-pituitary-adrenal(HPAaxis),serta
adanya peningkatan aktivitas dan respon dari system saraf autonom yang
ditandai dengan peningkatan nadi dan tekanan darah serta adanya pola tidur
yang abnormal (fragmentasi tidur,dan peningkatan latency tidur) (Sadock, 2007)
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Kaplowetal, menunjukan
mekanisme timbulnya gejala PTSD pada anak-anak yang mengalami kekerasan
seksual, dengan melihat beberapa hal yang mungkin merupakan predictor
timbulnya PTSD (Kapllow,2005). Terdapat tiga cara langsung timbulnya gejala
PTSD dari reaksi disclosure yakni menghindar, kecemasan dan disosiatif.
Sedangkan cara tidak langsung berasal dari pretrauma dan variable trauma ada
empat yakni, umur, jenis kelamin, factor stress lainnya dan juga umur saat
terjadinya trauma.Secara spesifik dijelaskan, kecemasan atau arousal merupakan
mediator diantara faktor stress dan PTSD dan umur saat terjadi kekerasan.
Menghindar merupakan mediator antara umur dan PTSD dan
antarajeniskelamindanPTSD.Sedangkan adanya disosiatif tidak hanya
merupakan predictor timbulnya PTSD secara langsung, tapi juga dapat secara
tidak langsung yang mempengaruhi atau memperberat gejala kecemasan.
Adanya reaksi disosiatif, kemungkinan dapat menghambat pengekspresian
emosi dan kognisi yang berhubungan dengan trauma yang dialami secara
terbuka, hal ini akan memperburuk gejala PTSD. Studi ini juga menunjukkan
bahwa tingkat pengekspresian emosi pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki,
sedangkan pada anak-anak cenderung akan menghindari keterbukaan karena
kurangnya kemampuan atau kapasitas mereka untuk berbicara ataupun
menunjukan emosi yang mereka rasakan, sehingga anak akan memendam
sendiri perasaannya, yang berdampak gejala PTSD yang timbul semakin berat
(Bisson, 2007) .

2.4 Manifestasi klinis dan diagnosis


Secara garis besar ada beberapa gambaran klinis yang ada pada penderita
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yaitu merasakan kembali mengalami
peristiwa (reexperience), baik dalam mimpi atau bayangan yang muncul secara
tiba-tiba (flashback) ataupun merasakan perasaan bahwa peristiwa tersebut akan
terulang kembali (Bisson, 2007). Hal tersebut biasanya dipicu oleh sesuatu yang
berhubungan dengan trauma yang dialami yang mengingatkan akan trauma yang
dialami, misalnya anak-anak yang mendapat penyiksaan, bila bertemu dengan
orang yang mirip dengan penyiksanya, anak tersebut akan merasa ketakutan
(Bisson, 2007).
Gambaran klinis yang kedua adalah avoidance dan numbing. Hal ini
tergambar dari sikap penderita PTSD, dimana mereka cenderung menghindari
merasakan, memikirkan atau mengingat kembali peristiwa trauma yang dialami,
mereka dapat mengalami amnesia psikogenik. Penderita PTSD cenderung
kehilangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Bisson, 2007). Keluhan
lainnya adalah meningkatnya kewaspadaan (hyperarousal), dimana hal ini
menimbulkan kesulitan untuk tidur, sangat sensitif, mudah marah, dan sulit
berkonsentrasi (Bisson, 2007).

2.5 Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Terdapat beberapa criteria diagnosis untuk Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) didasarkan pada DSM-IV-TR (Sadock, 2007). Selain terbukti
penderita mengalami kejadian traumatik, juga terdapat gejala-gejala seperti
gejala reexperience, avoidance dan hyperarousal yang dialami lebih dari satu
bulan, bila gejala tersebut muncul kurang dari satu bulan termasuk dalam
gangguan reaksi stress akut. PTSD dikelompokan menjadi akut,bila gejala
muncul kurang dari 3 bulan setelah kejadian, kronis jika gejala PTSD yang
muncul lebih dari 3 bulan pasca trauma, dan juga onset PTSD lambat yakni
gejala muncul setelah 6 bulan pasca trauma. Gangguan ini menyebabkan
penderita mengalami kegagalan dalam fungsi sosial, pekerjaan maupun fungsi
lain dalam kehidupannya (Sadock, 2007).

2.6 Penanganan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Terdapat dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD), yakni terapi psikologi dan pharmakologi.
Beberapa terapi psikologi untuk PTSD diantaranya trauma-focused cognitive-
behaviour altherapy (TFCBT) dan eye movement desensitizationandrep
rocessing (EMDR), manajemen stres, dan terapi lainnya termasuk terapi
suportif, terapi psikodinamik dan hipnoterapi (Bisson, 2007) Sedangkan secara
pharmakologi, obat yang dapat diberikan untuk penderita PTSD antara lain
golongan selective serontonin reuptake inhibitor (SSRIs), golongan tricyclics
dan monoamine oxidaseinhibitors(MAOIs) (Bisson,2007)

2.6.1 Terapi Psikologi


Menurut The National Institute for He althand Clinical Excelence (NICE) lini
pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma - focused cognitive
-behavioural therapy (TFCBT) atau eyemovement desensitization and
reprocessing (EMDR) (Lab, 2008)
- Trauma Focused Cognitive Behavioural Therapy (TFCBT)
Traum -Focused Cognitive -Behavioural Therapy (TFCBT) ini mencakup
pendidikan tentang PTSD, pemantauan gejala-gejala PTSD, manajemen
kecemasan, pemaparan terhadap rangsangan yang mengakibatkan
kecemasan dalam suasana yang mendukung dan manajemen kemarahan
(Lab, 2008). Pendekatan kognitif-pilaku terutama terapi pemaparan
(exposure therapy) efektif untuk PTSD karena kekerasan seksual (Riserman,
2005). Terapi pemaparan ini diantaranya, konfrontasi ketakutan namun
situasinya tidak membahayakan yang berkaitan dengan trauma yang dialami
misalnya, saat tidur tidak menggunakan penerangan, atau pergi ke tempat
ramai. Terapi ini memfasilitasi proses emosional dengan menolong pasien
untuk bereaksi dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan
tentang peristiwa yang dialami. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan
cognitive- exposure therapy dan stress - inoculation therapy (penataan
kembali kognisi, pelatihan kemampuan coping, dan manajemen stres).
Menurut Foa et al kombinasi terapi pemaparan berkepanjangan dan stress
inoculation theraphy tersebut efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD
pada korban pemerkosaan. Penelitian selanjutnya menyatakan terapi-terapi
tersebut tidak efektif bila tidak dikombinasikan. Resi cketal membandingkan
pemaparan berkepanjangan dengan cognitive processing therapy
(mengkombimasikan pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca
tentang trauma dan terapi kognitif) untuk meminimalkan perhatian.
Penelitian ini menunjukan kedua terapi tersebut efektif mengurangi gejala
PTSD dibandingkan kelompok control (Leserman, 2005)
- Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR)
Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) adalah terapi
yang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunteer untuk
mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan pikiran yang
mengganggu pasien PTSD (Bisson, 2007). Terapi ini difokuskan pada
gambaran trauma serta pikiran dan respon afektif negatif yang
ditimbulkan oleh trauma. Tujuan terapi ini agar seseorang dapat berpikir
dan bersikap lebih positif terhadap trauma yang dialami (Coetzee,
2005). EMDR menggunakan stimulasi bilateral berupa gerakan mata
saccadic atau rangsangan bolak balik mata lainnya, dilakukan saat
keadaan terpapar (focus terhadap ingatan, emosi dan kognitif yang
mengganggu) (Coetzee, 2005). Tidak diketahui secara pasti komponen
gerakan saccadic mata yang bagaimana dari terapi yang mempunyai nilai
lebih dalam terapi (Leserman, 2005).
Terdapat delapan fase dalam terapi ini, yaitu:
- Fase I assessment,dalam fase ini terapis sudah mendapatkan cerita
lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini
digambarkan rencana terapi yang sudah disesuaikan dengan pasien
(Cotzee,2005)
- Fase II persiapan, pasien mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan
terapi, metode terapi dijelaskan,terapi ini disesuaikan dengan masing-
masing individu sesuai dengan pendidikan dan kondisi psikologisnya,
dalam fase ini disepakati stimulasi bilateral yang digunakan.
- Fase III penilaian target memori, selama fase ini pasien
mengidentifikasi ingatan, kognisi, dan emosi yang akan dirubah.
Terapi normalnya fokus terhadap bayangan yang menunjukan ingatan
buruk pasien.
- Fase IV desensitisasi, pasien diminta menanamkan dalam pikirannya
tentang gambaran atau bayangan trauma bersamaan dengan kognisi
negatifnya. Stimulasi bilateral dimulai sampai semua ingatannya
saling terhubung, stimulasi biasanya diberikan melalui gerakan cepat
mata pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari
terapis ada 30 gerakan namun hal ini disesuaikan dengan kondisi
pasien. Proses ini dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun
sampai pasien sudah tidak merasakan emosi dan respon fisik yang
negative terhadap bayangan traumanya.
- Fase V Instalasi, pikiran positif ditanamkan dengan proses stimulasi
yang sama dengan sebelumnya.
- Fase VI bodyscan, pasien diminta untuk berkonsentrasi dan
mengidentifikasi perasaannya. Jika pasien merasakan perasaan
negatif, stimulasi bilateral diulang kembali, namun jika positif
stimulasi tersebut digunakan untuk menguatkan perasaannya
- Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan
dan pencapaiannya serta dukungan dan semangat pasien.
Penterapi juga memberikan pelatihan peregangan dengan tahanan.
- Fase VIII debriefing the experience, pasien diwawancarai dan
dijelaskan mengenai efek yang mungkin akan dialami pasien nantinya
setelah terapi selesai (Coetzee, 2005).

2.6.2 Pharmakologi
Selain dalam pengobatan untuk pasien Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD), intervensi secara pharmakologi dipercaya dapat
mencegah terjadinya gangguan ini, hal tersebut dilihat dari tiga
randomized controlled trials (RCTs) yang dipublikasikan (Bisson, 2007).
Berdasarkan level kortisol, pemberian hydrocortisone secara intra vena
pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu rumah
sakit di Swiss, menunjukan bahwa dengan pemberian hydrocortisone
dapat menurunkan gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang
pemberian obat ini pada populasi umum. Study yang kedua tentang
pemberian propanolol, hal ini berdasarkan hipotesa adanya gelombang
adrenergic pada awal setelah terjadi peristiwa traumatik. Pitman etal ber
hipotesa bahwa pemberian propanolol 6 jam setelah trauma berhasil
mencegah timbulnya gejala PTSD (Bisoon, 2008).
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence
(NICE) menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan kedua,
merupakan terapi alternatif setelah terapi psikologis (Bisson, 2008). NICE
merekomendasikan terapi pharmakologi diberikan apabila Trauma –Focused
Cognitive - Behavioural Therapy (TFCBT) tidak efektif, kontra indikasi terhadap
pasien ataupun karena menolak terapi psikologi. Pilihan golongan obat yang
dianggap bias dipakai untuk pasien PTSD adalah :
- Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
Jenis obat pertama dari golongan SSRIs adalah paroxetine.Penelitian
double blind RCTs tentang paroxetine yang pernah dipublikasikan,
menunjukan efek positif dibandingkan plasebo, namun paroxetine tidak
direkomendasikan oleh NICE sebagai terapi pilihan pertama untuk
PTSD. Efek samping dari obat ini adalah mual, mulut kering, asthenia
dan ejakulasi abnormal (Bisson, 2007).
Obat kedua adalah sertraline,obat ini dianggap efektif untuk PTSD
diInggris, namun hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria tidak.
Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara
signifikan meningkatkan insomnia, diare dan mual serta penurunan nafsu
makan (Bisson, 2007).
- Tricyclics dan Monoamine Oxidaseinhibitors.Pemberian tricyclics dan
golongan MAOIs seperti amitriptyline, imipramine, dan phenelzine,
memberikan efek positif, namun efektifitas obat-obat tersebut belum
diketahui secara pasti di populasi umum (Bisson, 2007).

2.7 Pencegahan PostTraumatic StressDisorder (PTSD)


Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemberian intervensi
secepat mungkin setelah seseorang mengalami trauma dapat mencegah
atau mengurangi resiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Bisson,
2007) . Dua pendekatan yang dipertimbangkan adalah intervensi yang
melibatkan setiap orang, dan intervensi yang ditargetkan untuk orang yang
menunjukan gejala PTSD. Intervensi yang digunakan adalah intervensi
psikologi singlesession, jenis yang sering digunakan adalah
mewawancarai (debriefing) orang tersebut tentang peristiwa yang dialami,
namun dari meta-analysis menunjukan tidak ada bukti positif tentang
efektif itasintervensi ini. Beberapa studi menyatakan bahwa intervensi ini
cukup berbahaya bagi beberapa orang. Studi yang terbaru tentang
pemberian emotional debriefing menunjukan hasil lebih buruk dari pada
yang tidak disertai komponen emosi, tapi difokuskan ke edukasi dan fakta-
fakta, pada orang yang mengalami hyperarousal (Bisson, 2007).
Pemberian hydrocortisone pada penderita syok septic di intensifcare salah
satu rumah sakit dinegara Swiss, dapat menurunkan resiko PTSD dalam
pemantauan selama 31 bulan dibandingkan placebo (Pemberian
propanolol 6 jam setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala
PTSD (Bisson, 2007). Dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada
penderita PTSD, yakni terapi psikologi dan pharmakologi. Lini pertama
dalam penanganan PTSD adalah trauma - focused cognitive - behavioural
therapy (TFCBT) atau eyemovement desensitization andreprocessing
(EMDR). Beberapa pilihan golongan obat yang dianggap bias dipakai
untuk penderita PTSD Selective serotonin reuptake inhibitors, Tricyclics
dan Monoamine Oxidase inhibitors.Intervensi secara psikologi maupun
pharmakologi secepat mungkin,setelah seseorang mengalami trauma dapat
mencegah atau mengurangi resiko timbulnya PTSD.
Jurnal 1: Predicting posttraumatic stress disorder after childbirth

Oleh Analise O’Donovan, et al , 2014

Pada beberapa wanita yang memiliki pengalaman kecemasan dalam


persalinan ditemukan adanya kriteria diagnosa terjadinya PTSD sebagian
maupun PTSD total. Terdapat prevalensi yang berhubungan dengan terjadinya
PTSD dengan kelahiran yaitu: ikatan ibu dan bayi, hubungan dengan suami,
meningkatnya sistem perawatan kesehatan. Faktor yang menyebabkan seperti
sensitifitas kecemasan, depresi dan disosiasi. Kesakitan, riwayat traumas
seksual, dan merasa lemah ketika persalinan dapat menjadikan prediksi gejala
PTSD. Penelitian ini menjelaskan faktor prediksi apa saja yang berdampak
pada PTSD setelah persalinan

Metode:
Menggunakan 866 partisipan yang terpilih. Penelitian ini menggunakan 4
fase pengumpulan data, yaitu: trimester tiga, 4-6 minggu postpartum, 12
minggu postpartum, dan 24 minggu postpartum. Partisipan diminta
menceritakan pengalamannya selama persalinan. Variabel yang termasuk
dalam penelitian ini adalah depresi, kecemasan, disosiasi peritraumatik,
penggunaan alkohol, dukungan sosial.

Hasil:

45,5% wanita mengatakan mengalami trauma pada persalinannya dan


berkembang menjadi PTSD anta 4-6 minggu postpartum. Penelitian ini
menyimpulkan terdapat faktor yang menyebabkan ibu mengalami trauma
persalinan seperti khawatir akan kesehatan bayinya, ingin terbebas dari
merawat bayi, merasa sedih dan sering kali menangis, merasakan kesakitan
ketika persalinan, hubungan riwayat trauma terdahulu.

Dan faktor-faktor pada trauma persalinan yang dapat berkembang menjadi


PTSD yaitu: kejadian trauma tersebut bertentangan dengan hubungan antar
teman, kehidupan seksual, kemampuan istirahat, mengalami stres akibat
perlakuan selama persalinan (pemeriksaan vaginal atau kesehatan reproduksi),
dll.

Jurnal 2 : PERBEDAAN KEJADIAN STRES PASCA TRAUMA PADA IBU


POST PARTUM DENGAN SEKSIO SESARIA EMERGENCI, PARTUS
PERVAGINA DENGAN VAKUM, DAN PARTUS SPONTAN

Dina Yusdiana

Metode :

Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei observasional dengan


pendekatan cross sectional study untuk mengetahui perbedaan kejadian stres
pasca trauma pada ibu post partum dengan seksio sesaria, partus pervagina
dengan alat vakum, dan partus spontan di RS X Medan. Penelitian ini
membutuhkan waktu enam bulan terhitung dari Desember 2008 sampai dengan
Mei 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum baik dengan
tindakan bedah ceaser emergency, vakum dan partus spontan di RS X Medan
yang berjumlah 1.317 ibu dan sampel sebanyak 90 orang. Pengambilan
masing-masing besar sampel tersebut dilakukan secara purposive sampling
sampai memenuhi jumlah sampel yang diinginkan. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang langsung diperoleh dari responden melalui wawancara dan
observasi berpedoman pada kuesioner dan daftar tilik. Data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari catatan atau dokumen RS X Medan.

Hasil :

Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan bahwa sebanyak 56,7% ibu


yang mengalami stres ringan dan sebanyak 43,3% mengalami stres berat.
Dalam penelitiannya menerangkan bahwa hanya sebesar 2,8% yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk post traumatic stress disorder pada 6 minggu setelah
melahirkan, kemudian akan menurun menjadi 1,5% setelah 6 bulan, dengan
berbagai cara melahirkan, seperti; partus spontan, seksio sesaria, dan ekstraksi
vakum.

Perbedaan tindakan partus pada ibu juga menyebabkan perbedaan stres pada
ibu. Hasil penelitian secara proporsi menunjukkan bahwa ibu yang mengalami
stres berat (83,3%) melakukan partus dengan cara spontan (tidak terencana)
dibandingkan dengan ibu partus dengan seksio sesaria (56,7%) dan vakum
(50,0%).

Berdasarkan pekerjaan, proporsi ibu yang mengalami stres berat tidak jauh
berbeda antara ibu yang bekerja (61,5%) dengan ibu tidak bekerja (65,8%). Hal
ini mengindikasikan secara proporsi dan statistik sinergis mengungkapkan
fenomena korelasi pekerjaan ibu dengan kejadian stres pasca trauma, artinya
pekerjaan apapun yang dilakukan oleh ibu cenderung relatif kecil dampaknya
terhadap gejala-gejala stres pasca melahirkan.

Pendidikan ibu menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kejadian


stres pasca trauma ibu bersalin (p= 0,043; α= 0,05), artinya perbedaan
pendidikan berdampak terhadap gejala-gejala stres pada ibu pasca bersalin. Hal
ini disebabkan oleh kemampuan secara kognitif terhadap pemahamannya
tentang sebuah persalinan baik persiapan maupun konsekuensi yang harus
dialaminya.
Pendapatan keluarga juga merupakan karakteristik ibu yang dapat
mempengaruhi kejadian stres pasca trauma (p= 0,038; α= 0,05). Hal ini berarti
pendapatan keluarga secara tidak langsung dapat mempengaruhi stres ibu pasca
melahirkan.

Kesimpulannya yaitu terdapat perbedaan stres pasca persalinan pada ibu


dengan cara pastus seksio sesaria, indikasi vakum dan spontan. Sebesar 83,3%
ibu yang mengalami stres berat melakukan partus dengan cara spontan (tidak
terencana) dibandingkan ibu partus dengan seksio sesaria dan vakum. Tidak
terdapat hubungan umur dan pekerjaan ibu, dengan kejadian stres pasca trauma
ibu bersalin di RS X Medan. Selain itu, terdapat hubungan signifikan
pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan kejadian stres pasca trauma
ibu bersalin di RS X Medan.
PATHWAY POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Takut

Syaraf somatik

amygdala Hypokampus/lobus
otak Kejadian yang
mengingatkan
masa lalu

peningkatan Peningkatan hormon Penyimpanan


hormon adrenal norepinepfrin ingatan yang lalu

bangkit
Meningkatkan Membuat tubuh
detak jantung terjaga dari bahaya
dan tekanan
darah
Rasa takut

Abnormlitas pola
tidur

Fight, flight and frezzing


BAB III

KERANGKA KONSEP ASUHAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS POST TRAUMATIC STRESS


DISORDER
Ny. … Usia…. tahun P…….. ….. postpartum
Di ………………
(untuk mempermudah petugas kesehatan dalam mengetahui kasus yang akan
diberi asuhan)

No Register:
(mempermudah pengarsipan dan urusan administrasi)
Masuk BPS tanggal/ jam:
(mengetahui waktu dan tanggal agar mempermudah asuhan selanjutnya)
Dirawat diruang:
(perlu, sebagai identitas klien mempermudah pemberian asuhan)

I. PENGKAJIAN
Tanggal:
(mengetahui tanggal pengkajian sehingga mempermudah pemberian asuhan
selanjutnya)
Jam:
(mengetahui waktu pengkajian agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian
asuhan sesuai)
Oleh:
(identitas petugas yang bertanggung jawab atas klien)
A. IDENTITAS
Ibu
Nama:
(perlu, sebagai pembeda identitas klien dengan klien lainnya)
Umur:
(sebagai acuan kematangan psikologis ibu)
Agama:
(mengetahui keyakinan yang dianut pasien apabila terdapat hal yang bersangkutan
dalam pemberian asuhan perawatan masa nifasnya)
Suku/bangsa:
(sebagai identitas klien dengan klien lainnya dan apabila ada suatu adat budaya
yang berpengaruh)
Pendidikan:
(perlu, sebagai patokan dasar pengetahuan dan mempermudah cara bidan dalam
penyampaian KIE)
Pekerjaan:
(perlu, untuk mengetahui aktivitas atau rutinitas ibu yang mempengaruhi kondisi
emosional ibu)
Alamat:
(perlu, sebagai identitas klien dengan klien lainnya dan apabila bidan ingin
melakukan kunjungan untuk memantau ibu)
No Telepon/ Hp:
(perlu, sebagai identitas klien dengan klien lainnya dan mempermudah memberi
info ke pasien apabila tidak dapat bertemu)

Suami
Nama:
(mempermudah bidan apabila membutuhkan dukungan keluarga untuk turut
memberi asuhan ibu)
Umur:
(sebagai identitas, dan juga umur suami menjadi factor predisposisi kelainan
genetika pada kehamilan selanjutnya)
Agama:
(mengetahui keyakinan yang dianut pasien apabila terdapat hal yang bersangkutan
dalam pemberian asuhan perawatan)
Suku/bangsa:
(apabila ada suatu adat budaya yang berpengaruh terhadap pemberian asuhan
untuk pemulihan kesehatan masa nifas ibu)
Pendidikan:
(sebagai patokan dasar pengetahuan dan mempermudah cara bidan dalam
penyampaian KIE pada keluarga sebagai dukungan)
Pekerjaan:
(sebagai patokan dasar mengetahui keadaan ekonomi suatu keluarga, yang dapat
mempengaruhi kondisi emosional ibu)
Alamat:
(untuk memastikan bahwa ibu dan suami tinggal bersama yang nantinya
berpengaruh dengan emosional dan perawatan bayi)
No Telepon/ Hp:
(mempermudah bidan memberikan info bila tanpa harus bertemu)
B. DATA SUBJEKTIF
1. Alasan datang:
(Perlu untuk mengetahui asuhan apa yang akan diberika petugas pada klien)
2. Keluhan utama:
(mengetahui keadaan ibu saat ini, apa yang dirasakan (memfollow up))
3. Riwayat perkawinan
(mengetahui data perkawinan ibu untuk mengetahui kemungkinan gangguan
psikologis postpartum)
Status perkawinan:
(mengetahui status perkawinan ibu, yang mungkin saja nantinya dapat
berpengaruh pada dampak psikologis ibu)
Menikah ke:
(mengetahui status perkawinan ibu, yang mungkin saja nantinya dapat
berpengaruh pada dampak psikologis ibu)
Lama:
(mengetahui status perkawinan ibu, yang mungkin saja nantinya dapat
berpengaruh pada dampak psikologis ibu dan sebarapa besar keinginan ibu
pada anak sekarang)
Usia menikah pertama kali:
(mengetahui status perkawinan ibu, yang mungkin saja nantinya dapat
berpengaruh pada dampak psikologis ibu)
4. Riwayat Obstetrik
(mengetahui riwayat kehamilan, persalinan, nifas ibu yang berhubungan
dengan kondisi PTSD)

Ham Persalinan Nifas


il ke
tanggal UK Jenis Penolong Komplika J BB Laktas Komplikasi
persalinan si K lahi i
r

5. Keadaan Bayi Baru lahir


Lahir tanggal/jam:
(Sebagai rekam medis)
BB/PB lahir:
(Untuk mengetahui apakah bayi yang dilahirkan normal atau tidak.
Normalnya bayi lahir dengan BB ±2500 gram)
6. Riwayat kontrasepsi yang digunakan
(mengetahui jenis KB yang digunakan untuk merencanakan KB
selanjutnya)
N Jenis Mulai memakai Berhenti/ganti cara
o kontrasepsi
tanggal Oleh tempat keluhan tanggal oleh tempat alasan

7. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari:


a. Nutrisi
(mengetahui apakah energi ibu sudah terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap pemulihan keadaan ibu masa nifas)
Makan
(mengetahui apakah energi ibu sudah terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap pemulihan keadaan ibu masa nifas)
Frekuensi:
(mengetahui apakah energi ibu sudah terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap pemulihan keadaan ibu masa nifas)
Jenis:
(mengetahui apakah energi ibu sudah terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap pemulihan keadaan ibu masa nifas)
Porsi:
(mengetahui apakah energi ibu sudah terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap pemulihan keadaan ibu masa nifas)
Keluhan:
(mengetahui apakah ada gangguan dalam pemenuhan nutrisi)
Minum
(mengetahui apakah asupan cairan ibu telah cukup)
Frekuensi:
(mengetahui apakah asupan cairan ibu telah cukup)
Jenis:
(mengetahui apakah asupan cairan ibu telah cukup)
Porsi:
(mengetahui apakah asupan cairan ibu telah cukup)
Keluhan:
(mengetahui adakah gangguan pada pemenuhan cairan)
b. Eliminasi
(mengetahui ada tidaknya perubahan fungsi pencernaan karena tekanan
rektum saat persalinan)
BAB
(mengetahui ada tidaknya perubahan fungsi pencernaan karena tekanan
rektum saat persalinan)
Frekuensi:
(mengetahui ada tidaknya perubahan fungsi pencernaan karena tekanan
rektum saat persalinan)
Warna:
(mengetahui ada tidaknya perubahan fungsi pencernaan karena tekanan
rektum saat persalinan)
Konsistensi:
(mengetahui ada tidaknya perubahan fungsi pencernaan karena tekanan
rektum saat persalinan)
Keluhan:
(mengetahui keluhan yang terjadi akibat perubahan fungsi pencernaan
karena tekanan rektum saat persalinan)
BAK
(mengetahui kondisi kandung kemih ibu yang berpengaruh pada proses
involusi uterus)
Frekuensi:
(kandung kemih yang penuh dapat menghambat proses involusi uterus dan
mengetahui perubahan fisiologis masa nifas)
Warna:
(mengetahui apakah asupan cairan ibu tercukupi)
Konsistensi:
(mengetahui apakah asupan cairan ibu tercukupi)
Keluhan:
(mengetahui adakah perubahan fisiologis ibu pada masa nifas seperti
diuresis, nyeri perineum)
c. Istirahat
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Tidur siang
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Lama:
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Keluhan:
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Tidur malam
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Lama:
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
Keluhan:
(mengetahui kecukupan ibu dalam beristirahat yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya)
d. Pola aktivitas (terkait kegiatan fisik)
(mengetahui mobilisasi dini yang memperlancar involusi uterus)
10. Riwayat Kesehatan :

(Data-data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit


yang diderita sebelum hamil yang ada hubungannya dengan masa nifas)

a. Riwayat yang pernah diderita/ sedang diderita :


Menular : Tidak perlu dikaji
Menurun : Tidak perlu dikaji
b. Riwayat yang pernah diderita/ sedang diderita keluarga: Tidak ada
(Untuk mengetahui apakah ada riwayat penyakit yang menurun dalam
keluarga seperti depresi)

c. Riwayat alergi obat:

(Perlu dikaji agar menghindari pemberian obat yang membuat ibu alergi)

11. Kebiasaan yang mengganggu kesehatan :


(Kebiasaan yang mengganggu kesehatan seperti merokok, konsumsi alkohol
dan minum jamu yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan ibu)

12. Riwayat psikospiritual

- Penerimaan klien terhadap kelahiran bayi:

(Tidak perlu dicantumkan)

- Social support dari:

(Dengan adanya support dari suami, orang tua, mertua dan keluarga lain ibu
akan membuat ibu merasa tenang dalam menghadapi masalah)

- Kegiatan ibadah (sembahyang):

(Kedekatan diri dengan pencipta merupakan hal yang baik, sehingga ibu akan
memiliki kondisi emosional yang baik)

DATA OBYEKTIF

Keadaan umum :

Kesadaran :

Status emosional :

TTV :

TD:

(mengetahui apakah ibu memiliki TD yang tinggi atau tidak dikarenakan


emosinya yang kurang stabil)

RR:

(mengetahui apakah ibu memiliki RR yang lambat atau tidak dikarenakan


emosinya yang kurang stabil)

BB:
(menegtahui kecukupan gizi ibu sesudah persalinan)

N:

((mengetahui apakah ibu memiliki N yang cepat atau tidak dikarenakan emosinya
yang kurang stabil)

S:

Tidak perlu dikaji

Pemeriksaan fisik:

a. Kepala :
(Hal ini berhubungan dengan personal hygine pada ibu)
b. Mata :
(Perlu dikaji untuk menentukan apakah ibu tetap focus dalam
pembicaraan)
c. Mulut :
(Tidak perlu dikaji)
d. Dada :
(Tidak perlu dikaji)
e. Payudara:
(Meskipun ibu tidak menyusui pemeriksaan payudara sangat perlu
dilakukan untuk mengetahui bagaimana produksi ASI)
f. Abdomen:
(Untuk mengetahui bagaimana kontraksi ibu setelah melahirkan)
g. Ekstremitas atas:
(Untuk mengetahui apakah ada luka dikarenakan kondisi psikologis ibu
yang kurang baik
h. Ekstremitas bawah:
(Untuk mengetahui apakah ada luka dikarenakan kondisi psikologis ibu
yang kurang baik
i. Genetalia :
Jahitan dalam :
(Untuk mengecek apakah ada secret pada jahitan)
Jahitan luar :
(Untuk mengecek apakah ada secret pada jahitan)
Lokhea :
(Untuk mengetahui pengeluaran lokhea apakah sudah sesuai pada
waktunya atau belum)

II. INTERPRETASI DATA


1. Diagnosa kebidanan
Dx : P……. dengan post traumatic stress disorder
Data dasar
a. Data Subjektif :
Rasionalisasi : hasil pengkajian data subjektif ini baik secara fisik maupun
psikologis hasilnya akan digunakan untuk merumuskan/menganalisis
diagnosa/masalah maupun kebutuhan ibu.
b. Data Objektif :
 TTV : TD :
Rasionalisasi : untuk mengetahui timbulnya preeklamsia pada
postpartum.
Suhu :
Rasionalisasi : untuk mengetahui adanya komplikasi misalnya
infeksi jika suhu >380C. Suhu badan inpartu tidak lebih dari
37,20C, sesudah partus naik ± 0,5 0C dari keadaan normal.Tetapi
tidak melebihi 380C.
Nadi :
Rasionalisasi : nadi berkisar antara 60-80 x/ menit. Segera setelah
partus dapat bradikardi.Bila terdapat bradikardi sedangkan badan
tidak panas, mungkin ada pendarahan berlebih.Pada masa nifas
umumnya denyut nadi tidak lebih labil dibandingkan dengan suhu
tubuh
Respirasi :
Rasionalisasi : untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pada
paru-paru ibu masa nifas, karena diketahui adanya perubahan baik
bentuk maupun besarnya paru-paru pada ibu selama kehamilan,
pada masa nifas ada perubahan ke bentuk semula
 Kontraksi uterus
Rasionalisasi : untuk mengetahui proses involusi uterus baik atau tidak,
karena jika involusi uterus kurang baik akan menyebabkan
pendarahan.
 TFU
Rasionalisasi : untuk mengetahui proses involusi uterus baik atau tidak,
karena jika involusi uterus kurang baik akan menyebabkan
pendarahan. (Syafrudin, dkk. 2009. Kebidanan komunitas. Jakarta :
EGC)
 Terdapat pengeluaran
Rasionalisasi : untuk mengetahui apakah pengeluaran lokea pada 6 jam
postpartum normal atau tidak, pada lokhea rubra hari 1-2 hari darah
yang keluar merah segar yang berasal dari tempat lepasnya plasenta.
(Bahiyatun. 2009. Buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. Jakarta :
EGC)
2. Masalah
Rasionalisasi : untuk mengetahui masalah yang timbul dari diagnosa dan
data yang sudah ada.

III. IDENTIFIKASI DIAGNOSA/MASALAH POTENSIAL


Rasionalisasi : untuk mengetahui komplikasi yang akan terjadi apabila masalah
diagnosa tidak ditangani.

IV. ANTISIPASI TINDAKAN SEGERA


Rasionalisasi : untuk antisipasi segera terjadinya masalah potensial yang dapat
menyebabkan mortalitas ibu

V. PERENCANAAN

Tanggal :, Jam :, Oleh :


Rasionalisasi : merencanakan asuhan yang sesuai dengan temuan dari langkah
sebelumnya untuk memberikan management yang baik untuk ibu. Pada jam
seharusnya pukul

VI. PELAKSANAAN
Tanggal :, Jam :, Oleh :
Rasionalisasi : mengarahkan atau melaksanaan rencana asuhan secara efisien dan
aman tehadap kontak dini dan sesering mungkin dengan bayi, mobilisasi atau
istirahat baring ditempat tidur,gizi, perawatan perineum, BAK spontan, obat anti
nyeri. Pada jam seharusnya pukul : 22.00 WIB karena 6 jam postpartum.
(Rukiyah, aiyeyeh,dkk. 2011. Asuhan kebidanan III (Nifas). Jakarta : Trans info
media)
VII. EVALUASI Tanggal :, Jam : , Oleh :

Rasionalisasi : Mengevaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan. (Rukiyah,


aiyeyeh,dkk. 2011. Asuhan kebidanan III (Nifas). Jakarta : Trans info media)
BAB IV
CONTOH KASUS DAN ASKEB
4.1 Kasus
Ny. Hayati usia 30 tahun baru saja melahirkan putranya 2 hari yang lalu, namun
dalam persalinan mengalami kesulitan, lama persalinan sekitar 13 jam namun
tetap tidak ada kemajuan persalinan sehingga tim dokter memutuskan untuk
mengeluarkan bayinya dengan melakukan ektraksi. Ketika dilahirkan kondisi bayi
sangat buruk dengan nilai APGAR skore 5, bayi tidak menunjukkan respon, dan
beberapa menit kemudian bayi meninggal dunia. Sehingga meninggalkan kesan
yang mendalam bagi Ny. Hayati mengingat bahwa anak tersebut merupakan anak
yang diinginkan selama 7 tahun yang lalu. Setelah kejadian itu, ibu masih
terbayang –bayang hingga kini akan proses persalinan yang dialami yang
menyebabkan bayinya meninggal dunia. Selain itu ibu menjadi mudah marah
apabila bertemu dengan dokter dan ibu menjadi memiliki kebiasaan merokok.
Selain itu ibu juga sering menangis, dan menyendiri.
4.2 ASKEB
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS POST TRAUMATIC STRESS
DISORDER
Ny. H umur 30 tahun P1000 2 hari postpartum
Di BPS Aini. S.keb

No Register:0071
Masuk BPS tanggal/ jam:17 September 2015/ 14.30 WIB
Dirawat diruang: Mawar

II. PENGKAJIAN
Tanggal:17 September 2015
Jam: 14.30 WIB
Oleh: Bd. Aini, S.Keb

C. IDENTITAS
Ibu
Nama:Ny. H
Umur: 30 tahun
Agama: Islam
Suku/bangsa: Sunda/Indonesia
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Alamat: Jl. Kebonagung 4, Pasuruan
No Telepon/ Hp: 081378473951

Suami
Nama:Tn. A
Umur: 34 tahun
Agama: Islam
Suku/bangsa: Madura/ Indonesia
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: PNS
Alamat: Jl. Kebonagung 4, Pasuruan
No Telepon/ Hp: 08178243200
D. DATA SUBJEKTIF
1. Alasan datang: menurut suami, ibu kehilangan kendali
2. Keluhan utama: menurut suami, ibu sering marah, menyendiri, menangis,
dan merokok
3. Riwayat menstruasi
Menarche: 14 tahun
Lama: 7 hari
Sifat Darah: Merah
Siklus: 28 hari
Teratur: Iya
Keluhan: Tidak ada
4. Riwayat perkawinan
Status perkawinan: Menikah
Menikah ke: 1
Lama: 7 tahun
Usia menikah pertama kali: 23 tahun
5. Riwayat Obstetrik
Ha Persalinan Nifas
mil
Tanggal UK Jenis Penolo Komplik JK BB Lakta Kom
ke
persalin ng asi lah si plika
an ir si
Persalina 35
1 15/09/15 39mg Ekstrak Dokter n Macet L 00 - -
si g

6. Riwayat kontrasepsi yang digunakan


N Jenis Mulai memakai Berhenti/ganti cara
o kontrasepsi
Tangga Oleh tempat keluhan Tanggal oleh tempat alasan
l
1 - - - - - - - - -

7. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari:


a. Nutrisi
Makan : Suami mengatakan ibu tidak nafsu makan
Frekuensi : 1x/ hari
Jenis : Nasi
Porsi : sedikit
Pantangan: -
Keluhan: tidak nafsu makan
Minum
Frekuensi: Jarang
Jenis: Air putih
Porsi: Sedikit
Pantangan: -
Keluhan: -
b. Eliminasi
BAB : Tidak pernah sejak melahirkan
Frekuensi: -
Warna: -
Konsistensi: -
Keluhan: -

BAK
Frekuensi: 3x sehari
Warna: Suami tidak mengetahui
Konsistensi: Suami tidak mengetahui
Keluhan: -
c. Istirahat
Tidur siang : Ibu tidak pernah tidur siang
Lama: -
Keluhan:-

Tidur malam
Lama: 2 jam/ hari
Keluhan: Ibu sering terbangun waktu tidur dan menangis ketika terbangun
d. Pola aktivitas
1. Ibu tidak pernah melakukan kegiatan apapun setelah melahirkan
2. Ibu hanya bisa menangis, dan menyendiri
10. Riwayat Kesehatan :

a. Riwayat yang pernah diderita/ sedang diderita :


Menular : Tidak ada
Menurun : Tidak ada
Menahun : Tidak ada
b. Riwayat yang pernah diderita/ sedang diderita keluarga: Tidak ada

11. Kebiasaan yang mengganggu kesehatan : Merokok

12. Riwayat psikospiritual

- Penerimaan klien terhadap kelahiran bayi: ibu dan keluarga sangat


menantikan kelahiran anak tersebut

- Social support dari: Suami, orang tua, mertua, keluarga lain mensupport
kehamilan dan persalinan ibu

- Kegiatan ibadah (sembahyang): sering namun saat ini sudah jarang

- Persiapan keuangan ibu dan keluarga: Sudah

DATA OBYEKTIF

Keadaan umum :pucat, terlihat berantakan

Kesadaran :Apatis

Status emosional :Labil

TTV :

TD: 100/ 60 mmHg

RR: 25x / menit

TB: 160cm

BB setelah melahirkan:58 kg BB sekarang :54 kg

N:96x/ menit

S:37º C

Pemeriksaan fisik:
a. Kepala : Simetris, Rambut berminyak, Kulit kepala kotor, tidak ada
lesi dan tidak ada benjolan abnormal
b. Muka : Oval, bersih, tidak ada oedema, ada cloasma, dan pucat
c. Mata : Simetris, ada secret, tidak ada strabismus, conjungtiva
merah muda, sclera putih, terdapat kantung mata dan reflex pupil baik
d. Hidung : Simetris, tidak ada polip, tidak ada secret, dan tidak ada
gerak cuping hidung pada saat bernafas
e. Mulut : Bibir pucat, tidak ada stomatitis pada bibir, tidak ada
karies gigi, lidah kotor, tidak ada perdarahan gusi, dan tidak ada
peradangan kelenjar tonsil
f. Telinga: Simetris, tidak ada serumen dan pendengaran baik
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran vena
jugularis, dan tidak ada pembesaran kelenjar parotis.
h. Dada : Simetris, tidak ada sedikit retraksi dinding dada, tidak ada
wheezing, tidak ada benjolan abnormal, dan denyut jantung kurang
teratur.
i. Payudara: Simetris, puting susu menonjol, areola hiperpigmentasi,
tidak ada benjolan abnormal dan payudara membengkak.
j. Abdomen: Simetris, tidak ada benjolan abnormal, tidak ada bekas luka,
ada strie gravidarum, ada linea nigra, kontraksi keras dan kuat, TFU 2
jari dibawah px)
k. Ekstremitas atas: Simetris, tidak ada oedema, kuku sedikit bersih, tidak
ada nyeri sendi, gerakan aktif, jumlah jari lengkap
l. Ekstremitas bawah: Simetris, tidak ada oedema, kuku sedikit bersih,
tidak ada nyeri sendi, gerakan aktif, jumlah jari lengkap, reflex patella
baik.
m. Genetalia: Tidak ada varises, tidak ada oedema, tidak ada
pembengkakan kelenjar bartholini, ada bekas luka, ada pengeluaran
lokhea.
Jahitan dalam : Jelujur terkunci
Jahitan luar : Satu- Satu
Lokhea : Rubra
n. Anus : Tidak ada hemoroid

II. INTERPRETASI DATA


1. Diagnosa kebidanan
Ny “H” P1000 Usia 30 tahun poostpartum dengan post traumatic stress
disorder
Data dasar
c. Data Subjektif :
 Suami mengatakan ibu berusia 30 tahun
 Suami mengatakan ibu menjadi sering menyindiri, sedih dan
mudah marah mungkin dikarenakan kekecewaan yang mendalam
akibat meninggalnya anak yang di nantikan karena ini merupakan
anak pertama yang dinanti-nantikan
 Suami mengatakan bila melihat darah nifas ibu merasa ketakutan
sehingga ibu mudah marah, sedih.
d. Data Objektif :
 KU penampilan berantakan, dan wajah terlihat pucat
 Kesadaran ibu apatis
 TTV : TD : 100/60 mmHg
Suhu : 37oC
Nadi :96x/menit
Respirasi : 25x/menit
 Kontraksi uterus baik dan kuat
 TFU 2 jari dibawah Px
 Terdapat pengeluaran lokhea rubra
3. Masalah
Ibu mengalami trauma

III. IDENTIFIKASI DIAGNOSA/MASALAH POTENSIAL

Depresi postpartum

IV. ANTISIPASI TINDAKAN SEGERA

Rujukan atau kolaborasi dengan dokter jiwa dan psikiater

V. PERENCANAAN

Tanggal :17 September 2015, Jam : 16.30 WIB, Oleh : Bidan Aini. S.keb
1. Beri tahu suami hasil pemeriksaan
2. Beri tahu suami penyebab kehilangan kendali yang dirasakan ibu
3. Observasi KU, TTV, kontraksi uterus dan pendarahan
4. Diskusikan perawatan lanjut untuk ibu
5. Minta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
6. Antar ibu dan suami ke rumah sakit yang dituju
7. Rujuk dan lakukan kolaborasi dengan dokter jiwa dan psikiater
VI. PELAKSANAAN
Tanggal :17 September 2015, Jam : 17.00 WIB, Oleh : Bidan Aini, S.keb
1. Memberitahu suami hasil pemeriksaan bahwa keadaan ibu sangat tidak
stabil emosionalnya sehingga perlu perawatan lanjutan
2. Memberitahu suami diagnosa sementara yang dirasakan ibu merupakan
post traumatic stress disorder. Merupakan gangguan stress pascatrauma
adalah reaksi mal adaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman
traumatis. Dan memberitahukan jika tidak segera di beri perawatan
khusus kemungkinan bisa berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun,
atau sampai beberapa decade.
3. Mengobservasi KU, TTV, kontraksi uterus dan perdarahan
- KU ibu baik
- TTV
- TD : 100/60 mmHg
- Suhu : 37 oC
- Nadi : 96x/menit
- Respirasi : 25x/menit
- Kontraksi uterus baik dan kuat
4. Membertahu suami jika ibu membutuhkan perawatan yang lebih, jika
tidak ditangani maka akan lebih parah. Untuk itu memberitahu pada
suami bahwa ibu perlu di rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
memadai.
5. Meminta persetujuan untuk menyetujui dilakukan rujukan
6. Bidan mengantar suami dan ibu ke RS yang dituju
7. Bidan melakukan kolaborasi dengan dokter jiwa

VII. EVALUASI
Tanggal :17 september 2015, Jam : 19.00 WIB
1. Ibu telah diberi penanganan lanjutan oleh dokter jiwa
2. Suami merasa tenang karena ibu telah diberi perawatan yang lebih baik
3. Ibu telah diberikan penanganan psikologi berupa EMDR terapi yang
menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunteer untuk
mengurangi kecemasan dan farmakologi berupa obat hidrokortisol dan
juga propanol oleh dokter jiwa
BAB V
PEMBAHASAN

Gangguan stress pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)


adalahreaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman
traumatis. PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau
sampaibeberapa decade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau
tahun setelahadanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Jeffrey, 2009)
Sebagai bidan apabila mendapati klien dengan kondisi PTSD maka bidan
harus berkolaborasi dengan dokter spesialis kejiwaan dalam menanganinya.
Namun, ketika klien datang ke bidan praktek swasta, bidan harus melakukan
anamnesa maupun asuhan awal sebelum berkolaborasi dengan dokter spesialis
kejiwaan. Seperti pada asuhan kebidanan yang terlampir pada bab sebelumnya,
bidan harus menanyakan identitas lengkap ibu dan suami sebagai identitas klien
dan agar mengetahui adakah faktor-faktor yang berkaitan terhadap keluhan ibu.
Identitas ibu dan suami meliputi : Nama, Umur, Agama, Suku bangsa, Pendidikan,
pekerjaan, alamat, dan No Telepon.
Setelah itu bidan mengkaji data subjektif ibu. Apabila ibu tidak kooperatif
dalam pengumpulan data ini dapat dibantu oleh saudara yang menemani ibu
datang ke BPS. Pada kasus ini, ibu ditemani oleh suami. Suami dapat membantu
menjawab pertanyaan bidan dalam kelengkapan data. Setelah mengetahui keluhan
yang dialami ibu, bidan harus dapat memilih data-data apa saja yang berkaitan
dengan kondisi ibu saat ini dan data yang dapat membantu penegakan diagnosa.
Sehingga data yang didapat hanya terfokus pada penegakan diagnosa berdasarkan
keluhan yang ada.
Untuk data Riwayat mestruasi sebenarnya tidak perlu ditanyakan karena
berdasarkan teori tidak ada hubungannya dengan penegakan diagnosa dan rencana
asuhan selanjutnya berdasarkan keluhan utama ibu yang menurut suaminya ibu
sering marah, menyendiri, menangis, tertawa, dan memiliki kebiasaan merokok
sejak usai persalinan. Riwayat perkawinan, riwayat obstetrik, riwayat kontrasepsi
diperlukan untuk mengetahui adakah riwayat yang dapat menjadi faktor kondisi
ibu saat ini. Didapatkan ibu baru dapat hamil ketika usia perkawinan 7 tahun
tanpa penggunaan alat KB. Dapat disimpulkan bahwa kehamilan tersebut
merupakan kehamilan yang dinanti-nantikan. Pada riwayat persalinan didapatkan
persalinan ibu memiliki masalah karena macet. Dalam asuhan kebidanan tersebut
kurang data yang menyebutkan bagaimana kondisi bayi baru lahir ibu.
Data nutrisi dan pola istirahat sangat penting untuk ditanyakan karena
berkaitan dengan gambaran klinis dari PTSD itu sendiri. Seperti menurut teori
yang mengatakan bahwa gambaran klinis penderita PTSD ada 3, yaitu re-
experience, avoidance, dan hyperarousal. Penderita PTSD cenderung
kehilangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari(Bisson, 2007).
Keluhanlainnyaadalahmeningkatnyakewaspadaan(hyperarousal),dimana hal ini
menimbulkan kesulitan untuk tidur, sangat sensitif, mudah marah, dan sulit
berkonsentrasi(Bisson, 2007). Sehingga dengan menanykan bidan dapat
mengetahui adakah gambaran klinis dari PTSD pada ibu. Data BAK dan BAB
juga perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah dari perubahan pola nutrisi dan
istirahat ibu berdampak pada pola eliminasinya. Gangguan pola tidur juga sesuai
dengan teori yang mengatakan faktor neurobiologi dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas dan respon dari sistem saraf autonom yang ditandai dengan
peningkatan di tekanan darah serta adanya pola tidur yang abnormal
(Sadock,2007). Sehingga apabila ada masalah yang ditemukan dapat ditangani
sedini mungkin.
Riwayat kesehatan perlu ditanyakan karena menurut teori, ternyata
terdapat Penelitian yang menyimpulkan pada orang kembar dan keluarga
menunjukkan kemungkinan diathesis genetic dalam PTSD. Terlebih lagi, trauma
dapat mengaktifkan systemnoradrenergic, meningkatkan level norepinefrin
sehingga membuat orang yangbersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat
mengekspresikan emosi disbanding kondisi normal. Pada riwayat kesehatan tidak
disebutkan adanya trauma masa kecil yang merupakan faktor psikodinamik
terjadinya PTSD ini.
Pada askeb juga didapatkan bahwa ibu menjadi memiliki kebiasaan buruk
seperti merokok dikarenakan trauma ini. Hal ini sesuai teori bahwa penderita
PTSD seringkali diluar kontrol hingga dapat menggunakan zat terlarang.
Riwayat psikospiritual penting ditanyakan karena memiliki pengaruh besar
dalam PTSD ini. Seperti adanya dorongan dari keluarga yang tidak dapat
dipenuhi sehingga memunculkan perasaan kecewa. Seperti menurut teroi bahwa
salah satu faktor PTSD akibat perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa
hidunya beresiko, merasa kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut
dan putus harapan, serta adanya gejala disosiatif saat kejadian (Adshead, 2007)
Dukungan keluarga sendiri merupakan hal yang penting untuk mencegah
resiko PTSD. Sehingga dalam riwayat psikososial dapat ditanyakan bagaiman
dukungan keluarga dalam mengatasi pasca trauma penderita PTSD, seperti pada
teori faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar
ataupenolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar. (Adshead, 2007) Namun, dalam teori tidak secara eksplisit menyebutkan
bahwa ada hubungan antara kegiatan ibadah dengan PTSD. Namun secara
rasional ketenangan yang didapat ketika seseorang beribah tentu dapat
menurunkan kejadian PTSD.
Untuk data obyektif perlu diperiksa keadaan umum, kesadaran, dan status
emosional ibu karena penderita PTSD terganggu pada emosionalnya. Tanda-tanda
Vital perlu dikaji karenaseperti dijelaskan bahwa PTSD dapat meningkatkan
tekanan Darah, namun pada kasus tekanan ibu tergolong rendah. Berat badan
diukur untuk mengetahui kecukupan nutrisi ibu yang merupakan menjadi dampak
PTSD ini.
BAB VI
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi atau


keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatic atau
kejadian buruk dalam hidupnya. Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan
adanya stressor namun melibatkan factor lainnya yang terjadi sebelum dan
sesudah trauma. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh
stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya
pengalaman tertentu.
Gejala ini mencakup sulit tidur, sulit berkonsentrasi, waspada
berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan. Secara garis besar ada
beberapa gambaran klinis yang ada pada penderita Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) yaitu merasakan kembali mengalami peristiwa
(reexperience), baik dalam mimpi atau bayangan yang muncul secara tiba-
tiba (flashback) ataupun merasakan perasaan bahwa peristiwa tersebut akan
terulang kembali. Hal tersebut biasanya dipicu oleh sesuatu yang
berhubungan dengan trauma yang dialami yang mengingatkan akan trauma
yang dialami. Gangguan ini menyebabkan penderita mengalami kegagalan
dalam fungsi sosial, pekerjaan maupun fungsi lain dalam kehidupannya.
Terdapat dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD), yakni terapi psikologi dan pharmakologi.
3.2 SARAN
Petugas kesehatan sebaiknya mengevaluasi perubahan psikologi
ibu yang merupakan dampak kematian bayinya sebelum dipulangkan ke
rumahnya untuk mengetahui kondisi psikis ibu pasca kehilangan bayinya
dan agar dapat ditangani sejak awal bagaimana pencegahan terjadinya post
traumatic stress disorder pada ibu nifas. Sehingga terjadinya post traumatic
stress disorder dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

AdsheadG,FerrisS.TreatmentOfVictimsofTrauma.AdvancesinPsychiatric
Treatment.2007;13:358-368.
BenedekDM,UrsanoRJ.Posttraumaticstressdisorder:fromPhenomenologyto
clinicalPractice.Spring2009,VolVII,No2.
Bisson JI, et al. Psychological Treatmentsfor Cronic Post Traumatic Stress
Disorder.BritishJournalofPsychiatry.2007;190:97-104
CoetzeeRH,RegelS.EyeMovementDesensitisation andReprocessing:anupdate.
AdvancesinPsychiatricTreatment.2005;11:347-354
Fitri Fausiah dan Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa.
Jakarta: UI Press
Gerald C. Davison, John M. Neale, dan Ann M. Kring. 2006. Psikologi Abnormal/
Edisi ke-9, Penerjemah: Noermalasari Fajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2009. Psikologi
Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 1. Penerbit Erlangga
KaplowJB,etal.PathwaystoPTSD,PartII:SexuallyAbusedChildren.AmJ
Psychiatry.2005;162:1305-1310.
Labetal.TreatingPostTraumaticStressDisorderinthe‘RealWorld’.Psychiatric
Bulletin.2008;32:8-12.
Leserman J. Sexual AbuseHistory: Prevalence, Health effects, Mediator, and
PsychologicalTreatment.PsychosomaticMedicine.2005;67:906-915
SadockBJ,SadockVA.Posttraumaticstressdisorderandacutestressdisorders.
th
Synopsisofpsychiatry.10 ED.Philadelphia:LippincotWilliams&Wilkins.
2007.p.612-21.

Anda mungkin juga menyukai