Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor
PENDAHULUAN : Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting
yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith,
dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya
gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat
ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk
dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor sehingga
dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian longsor juga
penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran geologi
(batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui
penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
TUJUAN : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran lokasi dan karakter/pola kejadian longsor di
daerah penelitian serta menentukan faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian.
BAHAN DAN METODE : Objek penelitian ini adalah kasus longsor yang terjadi di Kecamatan Babakan
Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007. Bahan yang digunakan yaitu peta Kabupaten Bogor
berbagai layer dan sampel tanah di lokasi kejadian longsor. Metode yang digunakan dalam pemerian tekstur
tanah adalah metode uji rasa rabaan, dengan pengambilan contoh tanah terganggu (tanah tak utuh). Dalam
pengolahan peta digital digunakan metode tumpang susun (overlay) antara peta Kabupaten Bogor berbagai
layer dengan peta lokasi kejadian longsor hasil pemetaan dengan GPS menggunakan perangkat lunak
ArcView 3.2. Pengklasifikasian kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya ditentukan
menggunakan metode pemodelan daerah rawan kejadian longsor dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigas
Bencana Geologi (DVMBG) tahun 2004.
HASIL DAN KESIMPULAN : Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang
ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus (66,7%), dan penurunan muka
tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi pada 8 kasus longsor (33,3 %). Desa Bojongkoneng adalah
wilayah yang paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa Karang Tengah (8
kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus). Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan
lahan kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan tegakan campuran
masing-masing sebanyak 6 kasus (25%) dan lahan kosong sebanyak 4 kasus (16,7%). Sebanyak 8 kasus
(33,3%) kejadian longsor termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus pada tingkat kerawanan
menengah, dan 7 kasus pada tingkat kerawanan rendah.
Terdapat 17 parameter yang menjadi penyebab utama terjadinya longsor yang dihimpun dalam 5 faktor
utama penyebab terjadinya longsor yaitu (1) Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol
merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan
tanah di atas 20 m, (2) Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun
campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan
tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi, (3) Faktor kelas lereng dengan
kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung, (4) Faktor
kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah
tersebut, dan (5) Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan 2.000 – 2.500
mm/tahun
SUMMARY
FOREWARD : Landslide is an example of a geological process called mass wasting, which is also recall as
mass movement. It is a movement of rock mass, regolith, and soil from a high position to a lower one due to
gravitation. Once the rock deform, gravity force will pull material (as a result of deformation) to a lower
position. Due to the impact by the landslide disaster, identification of areas which the landslide occurs is vital
to be performed so that the main cause and characteristic from each landslide case can be known.
Furthermore, a research in this area is expected to become reference in the next mitigation of landslide case.
Identification of landslide case is also important as a way to prevent other case of landslide and to
understand the relation between the location of landslide case versus the geological spread factor (rocks,
siklin, antiklin) and the use of land. Hopefully, we can identify the best use of land based on its land and
geological characteristic.
OBJECTIVE : The goal of this research is to identified the character and pattern of landslide that occurs in
area of research, identified and evaluate the main cause of landslide in the areas of research, and determine
the major cause of landslide in research area.
OBJECT AND METHODOLOGY: The object of this research is the landslide case in Babakan Madang Sub
District, Bogor District which happen in the February 2007. This research uses a map of Bogor District on a
various layer and a soil sample from the location of landslide case. The methodology of this research in
identifying soil texture is the touch sensing test, by sampling disturbed soil sample. Digital map imaging is
performed using overlay method by intersect extension between various layer of Bogor District map with
landslide are location map (as a result of Global Positioning System (GPS) mapping using ArcView 3.2
software). The methods to determine of the landslide hazard are the landslide hazard modeling method by
Department of Vulcanology and Mitigation of Geology Disaster (2004).
RESULT AND CONCLUSION : There are 2 (two) kind of landslide characteristic in research area, which is
slump (that build of 66,7 % case or 16 case) and subsidence (8 case or 33,3 %). Bojong Koneng village is an
area which landslide case is majorly found (13 case), followed by Karang Tengah village (8 case), and
Cijayanti village (3 case). Landslide is oftenly found in area that consist of mixed garden (8 case or 33,3%),
followed by bush and stand of wood (6 case or 25% of each), and unused land (4 case or 16,7 %). In the
research area there were found 3 classes of landslide hazard, namely: (1) Steady landslide zone equal to
29,2% (7 case); (2) potential landslide zone equal to 37,5% (9 case); (3) hazard landslide zone equal to
33,3% (8 case). Overall, there are 17 parameters that become an indicator of landslide with a high degree of
hazard that can be classified into 5 group (1) soil class factor, which is the class of complex red yellowish
latosol, brown reddish latosol, and litosol; soil texture of loam clay sandy; and a soil thickness above 20 m,
(2) the use of land, that consist of land cover with bush, mixed garden, and unused land, with mixed garden
that is cultivated without a stand of wood. And the use of land in the form of highway infrastructure by cutting
slope without the building of conservation building, (3) class of slope by a abruptness slope to very abrupt by
the mountainous landform, (4) geological class factor, by the kind of sediment stone (Tmj) and the existence
of history landslide movement in that area, (5) class of rain intensity that is moderate climate type with a rain
intensity between 2 000 – 2.500 mm/year.
PERNYATAAN
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat
dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.
Sholawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang tetap istiqomah mengikuti semua
sunahnya dan melanjutkan perjuangannya.
Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah longsor dengan judul Identifikasi Kejadian
Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Nining Puspaningsih,
Msi selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula
kepada Bapak Didi Supardi, Bapak Bambang, dan Ibu Nia dari Instansi Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor atas bahan
dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Juga kepada Bapak Toni dan Bapak
Tuhudi (Dinas Pertambangan Kab. Bogor) dan Bapak Esda, dan Bapak Agus
(Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Bogor) yang telah membantu selama
pengumpulan data, semoga menjadi amalan ibadah dan mendapatkan balasan
yang lebih baik dari Allah SWT.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, jika ada masukan,
kritik, dan saran dari pembaca dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan
penulisan hasil penelitian dapat disampaikan melalui
almar_adaniele@yahoo.com. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini
bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kehutanan khususnya.
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahhirobil A’lamin
Segala puji syukur hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang
tercurah sejak pertama kali memandang dunia sampai akhir hayat nanti sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya yang istiqomah
dalam jalan panjang perjuangan dakwah.
Melalui karya tulis ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Umi Hj. Ii Kusna Asliah (kekuatan terbesarku) dan (Alm) Abah H. Abdul
Matin Ciruas atas segala upaya jerih payahnya dan doa yang selalu
diberikan dati setiap hembusan nafasnya, serta dukungan dari setiap
tetesan keringat dan cucuran air matanya.
2. Kakak-kakaku tercinta : Ka Akim & Teh Titin, Teh Wiwie & A Iwan, Teh
Iis & A Engkos, Teh Dedeh & A Irwan, Teh Nur & A Asep, Ka Arif &
Istri, Ka Embin & Teh Yati, Teh Tini, dan Ka Agus atas doa dan segala
pengorbanannya serta semangat dan dorongan kepada penulis. Juga
kepada Keluarga Besar H. Syamsudin, Bi Mamah, dan Keluarga Besar Hj.
Marpuah (Alm.) atas doa, perhatian, dan kasih sayangnya kepada penulis.
3. Dra. Nining Puspaningsih, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, ilmu, nasihat, serta curahan pikiran, tenaga, dan waktunya
dalam proses penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga Allah
memberikan balasan yang lebih baik.
4. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen
penguji Sidang Komprehensif atas bimbingan, saran, ilmu, dan nasihatnya
dalam perbaikan karya ilmiah ini. Semoga menjadi amal ibadah.
iv
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
2.1 Definisi Tanah Longsor.................................................................. 4
2.2 Tipe Longsor .................................................................................. 5
2.3 Penyebab Tanah Longsor ............................................................... 9
2.3.1 Kelerengan (Slope) ......................................................................... 13
2.3.2 Penutupan Vegetasi ........................................................................ 16
2.3.3 Faktor Tanah .................................................................................. 17
2.3.4 Curah Hujan ................................................................................... 18
2.3.5 Faktor Geologi ............................................................................... 19
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 22
3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan .............................................. 22
3.3 Pengumpulan Data ......................................................................... 22
3.3.1 Pengumpulan Data Peta ................................................................. 22
3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan ........................................ 23
3.4 Pengolahan dan Analisa Data......................................................... 26
3.4.1 Pengolahan Data............................................................................. 26
3.4.2 Analisa Data ................................................................................... 26
3.5 Penetapan Tingkat Kerawanan ....................................................... 29
3.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor .............................................. 29
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 34
vi
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Faktor penyebab dan faktor pemicu tanah longsor .................................. 11
2. Klasifikasi kedalaman tanah .................................................................... 18
3. Karakteristik tanah longsor ...................................................................... 20
4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan
teknik uji rasa rabaan ................................................................................. 25
5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor............................................... 30
6. Parameter penduga longsor yang diamati ................................................ 32
7. Luasan administratif tiap desa di Kecamatan Babakan Madang ............. 34
8. Ketinggian wilayah daerah Kecamatan Babakan Madang....................... 35
9. Kelas lereng dan luasannya di Kecamatan Babakan Madang .................. 35
10. Kelas kemiringan lereng ......................................................................... 36
11. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 ................. 38
12. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong 1994-2007 (lanjutan) ............ 39
13. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 ................. 39
14. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas 1994-2007 (lanjutan)............ 40
15. Luasan jenis tanah di Kecamatan Babakan Madang ............................... 41
16. Sebaran kedalaman efektif di daerah penelitian...................................... 41
17. Kelas tekstur tanah di daerah penelitian.................................................. 41
18. Keadaan erosi di daerah penelitian ......................................................... 42
19. Luasan penutupan lahan di Kecamatan Babakan Madang ...................... 42
20. Luasan landuse (penggunaan lahan) di Kecamatan Babakan
Madang.................................................................................................... 45
21. Karakteristik geologi di Kecamatan Babakan Madang ........................... 46
22. Jenis batuan induk di daerah penelitian .................................................. 48
23. Karakteristik longsor dan tutupan lahannya ............................................ 52
24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor .......................... 54
25. Kelas Kemiringan Lereng ....................................................................... 61
26. Jenis Tanah di daerah Penelitian ............................................................. 66
27. Nilai erodibilitas tanah pada lokasi kejadian longsor ............................. 68
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Macam-macam bentuk longsor ................................................................ 6
2. Peta kelas lereng Kecamatan Babakan Madang....................................... 37
3. Peta tutupan lahan Kecamatan Babakan Madang .................................... 44
4. Peta geologi Kecamatan Babakan Madang .............................................. 47
5. Longsor tipe nendatan/slump di Kp. Gombong (3) dan tipe longsor
amblesan/penurunan tanah di Kp. Cikeas (1) ......................................... 50
6. Peta titik lokasi kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang ............. 51
7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong
(4) dan longsor dengan penutupan kebun campuran .............................. 53
8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian
longsor di Kp. Wangun 1 ........................................................................ 56
9. Lahan dengan tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) yang tidak
mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai .......................................... 59
10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai....... 62
11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran
tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala ..................................... 63
12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung
tebing jalan di Kp. Wangun 1 ................................................................. 64
13.Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp.
Wangun 3 ................................................................................................ 65
14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3 ........................... 71
15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp.
Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug......................................................... 72
16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor Kp. Wangun 2 ............ 75
17. Grafik pengaruh faktor kelas tanah terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 84
18. Grafik pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat
kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................ 85
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus
longsor di daerah penelitian .................................................................... 98
2. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian ........................... 99
3. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian (lanjutan) ........... 102
4. Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab longsor di
daerah penelitian ..................................................................................... 104
BAB I
PENDAHULUAN
Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang paling rawan tanah longsor di
Indonesia. Selain kondisi alamnya yang rusak, banyaknya gunung api dan posisi
Propinsi Jawa Barat yang berada di sekitar tumbukan Lempeng Australia dan
Eurasia menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah yang rawan tanah longsor dan
gempa bumi. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Tahun 2005
diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di
sepuluh kabupaten/kota antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi,
Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta.
Di Jawa Barat, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang
merupakan titik rawan longsor. Bencana longsor yang terjadi di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007 telah menyita
banyak perhatian dan menyebabkan banyak kerugian. Jumlah korban mengungsi
dalam peristiwa longsor ini sebanyak 7.200 jiwa terdiri dari 3.912 jiwa dari Desa
Bojong Koneng dan 3.288 jiwa dari Desa Karang Tengah. Di Desa Bojong
Koneng kerusakan bangunan yang tergolong berat sejumlah 161 unit, kerusakan
sedang 216 unit, dan kerusakan ringan 546 unit yang terdiri dari rumah tinggal,
masjid/musholla, pondok pesantren, dan bangunan sekolah (SD/MI). Sedangkan
di Desa Karang Tengah kerusakan bangunan yang tergolong berat 187 unit,
sedang 124 unit, dan ringan 420 unit yang terdiri dari rumah tinggal,
masjid/musholla, dan pondok pesantren.
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor
tersebut, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan
agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian
longsor pada daerah-daerah di Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan
kejadian longsor nantinya dan merupakan langkah pertama dalam upaya
meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi daerah
kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian
longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan
penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui
penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
3
2.Longsoran Rotasi
3.Pergerakan Blok
4.Runtuhan Batu
5.Rayapan Tanah
ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran
tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
4. Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran
dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini
yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan
korban cukup tinggi.
Menurut Dwiyanto (2002), dilihat dari kenampakan bidang gelincirnya
terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya :
a. Kelongsoran rotasi (rotational slip).
b. Kelongsoran translasi (translational slip).
c. Kelongsoran gabungan (compound slip).
b. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah
yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan
menyebabkan tanah menjadi lembek
e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan
sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng
semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing
i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang
bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang
padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing
j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran
setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran akan terjadi jika
terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak
atau meluncur ke bawah,
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di
atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi, atau dapat juga berupa lapisan batuan.
Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis
merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan
kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah
manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga
pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. (Surono,
2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah,
keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi, dan aktivitas manusia
di wilayah tersebut.
yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada
lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya,
struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada
lereng tersebut.
Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang
rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu :
Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan
atau tanah yang lebih kompak.
Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.
Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya
penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang
berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-
gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini
lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami
gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan
Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003).
Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan
sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003) :
1) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya
berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal
seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau
karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.
2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya
absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban guncangan atau beban berulang,
pengaruh pembekuan atau pencairan, hilangnya sementasi material, proses
pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada
lempung sensitif.
Sitorus (2006) menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat
disebabkan oleh banyak faktor lain :
a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan
kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
15
longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth)
serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4)
bentuk kombinasi (compound slip) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan
dalam yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri
dari lengkung dan datar (Peck dan Terzaghi, 1987; McKyes, 1989; Craig, 1992;
Bhandari, 1995, dalam Mustafril, 2003).
Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah
perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan
yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk
bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring
berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian
longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu:
a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak.
b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.
c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor.
Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi
geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok
ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki
jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).
Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Penutupan
menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan
(Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara
langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup
dalam penutupan lahan, yaitu :
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan
kehidupan binatang
3. Tipe pembangunan
Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan
menggunakan penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang
kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara
langsung dari penutupan lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).
besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi
air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat,
dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi
dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian,
2006).
Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada
intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih
cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah
lempung, 0,03 jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.
2 Dangkal 50-25
3 Sedang 50-90
4 Dalam >90
longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah
menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara
gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng
dan menurunkan kuat geser tanah.
Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di
bagian-bagian lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama
berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan
dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak
diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng
dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi
rawan longsor.
Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat
rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berjalan
berkepanjangan lebih dari 1 atau 2 hari, akan berpeluang untuk menimbulkan
tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, (Litbang Departemen Pertanian,
2006) hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang
berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi
tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah.
Ada dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70 mm/jam
atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran
pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah
lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan
kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang
tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu
hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).
4 Faktor-faktor Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah yang lembek,
yang puncak batu karang.
memberikan Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-
kontribusi mulut sungai dari lembah-lembah gunung.
terhadap Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan.
kerentanan Bangunan dengan pondasi lemah.
Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah.
Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor.
5 Pengaruh- Kerusakan fisik- Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor
pengaruh umum akan menderita kerusakan. Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur
yang merugikan komunikasi atau jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup
kerugian produktifitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, berkurangnya nilai
property. Korban –kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-
puing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang.
6 Tindakan Pemetaan bahaya
pengurangan Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya
resiko yang Asuransi
memungkinkan
21
c. Peta digital Geologi Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
d. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 yang diperoleh dari Pusat
Penelitian Tanah
e. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1:
25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
f. Peta digital Landuse (Penggunaan Lahan) Kabupaten Bogor Tahun 2005
Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bogor.
g. Peta digital Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang
diperoleh dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB
h. Peta digital Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang diperoleh
dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB
i. Peta digital Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala 1:25.000
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
j. Data Atribut Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 1994-2007 diperoleh
dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor
k. Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Hutan Kecamatan Babakan
Madang pada Februari 2007 diperoleh dari KPH Bogor
l. Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di
Lapangan dengan Menggunakan GPS.
Tabel 4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan
Penciri Kelas
Tekstur
Semi Detil
Galir dan berwujud butir-butir tunggal yang dapat dikenali dan dipisahkan segera Pasir
Perepihan massa tanah kering menyebabkan pisahan pasirnya mudah runtuh
Perepihan massa tanah lembab merangsang terbentuknya panduan tanah yang
lemah dan jika dikenai tekanan ringan akan tercerai berai
Massa tanahnya banyak mengandung pisahan pasir tetapi kandungan pisahan Geluh
lempungnya masih cukup banyak untuk dapat memberikan sensasi kelekatan pasiran
Butir-butir pasirnya dapat dikenali dan dipisahkan segera
Perepihan massa tanah lembab akan merangsang terbentuknya paduan tanah
tanpa memperlihatkan keretakan kecuali jika dikenai tekanan
Massa tanahnya mengandung campuran pisahan pasir, debu, dan lempung yang Geluh
memberikan sensasi rasa agak kasar, cukup halus, dan agak plastis
Peepihan massa tanah kering merangsang terbentuknya paduan tanah cukup
mantap dan jika diuli tidak menyebabkan kehancuran
Massa tanahnya mengandung pisahan pasir halus dalam jumlah cukup dan sedikit Geluh
pisahan lempung debuan
Massa tanah kering membentuk gumpalan yang mudah diremukkan dengan
26
topografi sehingga sesuai juga digunakan dalam pemetaan tematik seperti halnya
pemetaan daerah kejadian longsor.
Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan faktor penyebab
terjadinya longsor dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis
(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing.
Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial
daerah kejadian longsor terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Tumpangsusun (Overlay) Data Spasial
Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis
(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan
(extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView 3.2 atau
extension X-Tools yang ditambahkan ke dalam extensions software ArcView
sangat berperan dalam proses ini. Di dalam extension ini terdapat beberapa
fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti: union, dissolve, merge, clip,
intersect, asign data.
Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan misalnya mulai
overlay theme vegetasi dengan theme wilayah administartif kemudian hasil
overlay tersebut dioverlaykan kembali dengan theme peta lokasi kejadian longsor.
Proses ini dilakukan untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama.
2. Editing Data Atribut
Editing data atribut pada intinya adalah menambah kolom (field) baru pada
atribut theme hasil overlay, hanya dilakukan apabila diperlukan.
3. Analisis Tabular
Analisis tabular ini pada prinsipnya adalah analisis terhadap atribut dari
theme hasil overlay, yang sebelumnya telah melewati tahap pengolahan dan
editing data atributnya.
4. Penyajian Data Spasial
Data secara umum adalah representasi fakta dari dunia nyata (real world).
Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain:
a. Bentuk Uraian (Deskriptif)
b. Bentuk Tabular
c. Bentuk Grafik dan Diagram
29
d. Bentuk Peta
Penyajian data dalam bentuk uraian (deskriptif), bentuk tabular, bentuk
grafik dan diagram dapat dilihat dalam pembahasan sedangkan penyajian data
dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah
kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa
mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah
kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam
proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta.
4.5 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor
Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian
didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004).
Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara
memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor.
Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena
diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor
tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG,
diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana
tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi
dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan
kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk
menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :
Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas
geologi) + (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas
penggunaan lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)
4.2 Topografi
Kecamatan Babakan Madang dilewati beberapa sungai-sungai yang
memiliki debit air cukup besar seperti Sungai Cilaya, Sungai Ciherang, Sungai
Ciwangun, Sungai Cijayanti, Sungai Cikeruh, Sungai Cibatu dan Sungai Cileungsi
serta dikeliling beberapa gunung seperti Gunung Pancar (864 mdpl), Gunung
Hambalang, Gunung Astana, dan Gunung Wangun sehingga menyebabkan
Kecamatan Babakan Madang mempunyai ketinggian yang sangat bervariasi yaitu
antara 100 – 1.750 m dpl. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 8. Karakteristik
topografi Kecamatan Babakan Madang scecara umum berada pada daerah dengan
kemiringan lereng beragam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-8%) memiliki
luasan terbesar yakni meliputi 40,5 % dari total wilayah, diikuti wilayah dengan
kelerengan landai 21,4 % dari total wilayah, curam 21,2 %, agak curam (15,9 %)
dan sangat curam (1,11 %) seperti yang tertulis dalam Tabel 9, sedangkan sebaran
kemiringan lereng pada tiap-tiap desa dapat dilihat pada Tabel 10.
92 820 00
9 28 200 0
W E
92 800 00
9 28 000 0
Skala 1 : 31.000
92 780 00
9 27 800 0
Legenda :
Lokasi Longsor Bds Tk. Kerawanan
# Rendah
92 760 00
9 27 600 0
# Sedang
# Tinggi
Kelas Lereng
0-8
92 740 00
9 27 400 0
15-25
25-45
8-15
>45
92 720 00
9 27 200 0
#
#
Skala 1 : 450.000
# # Lok as i P en el iti an
# #
#
92 700 00
9 27 000 0
92 680 00
9 26 800 0
#
#
#
#
##
###
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
# #
#
92 660 00
9 26 600 0
92 640 00
9 26 400 0
4.3 Klimatologi
Secara umum, keadaan iklim Kecamatan Babakan Madang relatif sama
dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah)
di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Suhu udara berkisar antara
20-30 C, wilayah Selatan Kabupaten Bogor memiliki hawa yang sejuk sedangkan
bagian Utara memiliki hawa yang panas. Curah hujan tahunan 2.500 - 5.000
mm, kecuali di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta,
Kabupaten Tangerang dan Bekasi curah hujannya kurang dari 2.500 mm/tahun,
karena itulah Kabupaten Bogor mendapat sebutan sebagai kota hujan. Curah hujan
tinggi terjadi pada wilayah bagian Selatan yang merupakan bentang pegunungan
yaitu di Kecamatan Caringin, Cijeruk, Tamansari, Pamijahan, Leuwiliang,
Nanggung dan Kecamatan Sukajaya sebanyak 4.000-5.000 mm/tahun.
Data curah hujan bulanan pada daerah penelitian berdasarkan data
Pencatatan Data Curah Hujan pada Stasiun Cibinong dan Stasiun Cibongas
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 11-12 dan Tabel 13-14.
Tabel 12. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 (lanjutan)
Bulan Curah Hujan
Tabel 14. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 (lanjutan)
Bulan Curah Hujan
92 820 00
9 28 200 0
W E
92 800 00
9 28 000 0
S
Skala 1 : 31.000
Legenda :
92 780 00
9 27 800 0
92 760 00
9 27 600 0
# Tinggi
Tutupan Lahan
Awan (no data)
Badan-badan air
Bayangan awan (no data)
92 740 00
9 27 400 0
Hutan/vegetasi lebat
Kawasan Industri
Kebun c am puran/s em ak belukar
Lahan-lahan kosong
92 720 00
9 27 200 0
Perkebunan
#
#
Permuki m an/perkam pungan
Sawah irigas i
# #
#
#
# Skala 1 : 450.000
Lo k a si P e n e li tia n
92 700 00
9 27 000 0
92 680 00
9 26 800 0
#
#
#
#
##
#
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
##
92 660 00
9 26 600 0
# #
#
92 640 00
9 26 400 0
PETA GEOLOGI
92 820 00
KECAMATAN BABAKAN MADANG
9 28 200 0
92 800 00
9 28 000 0
W E
92 780 00
9 27 800 0
Skala 1 : 31.000
Legenda :
92 760 00
9 27 600 0
92 740 00
9 27 400 0
QVK
Qa
Qav
Sungai Cileungsi
92 720 00
9 27 200 0
# #
TM J
Tm j
# #
# #
a
#
Skala 1 : 450.000
# Lo k a si P e n e li tia n
92 700 00
9 27 000 0
92 680 00
9 26 800 0
#
#
#
#
##
##
## #
#
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
92 660 00
9 26 600 0
##
Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor
92 640 00
9 26 400 0
Mata Pencaharian
Pada tahun 2003 tercatat sebagian besar penduduk memiliki mata
pencaharian yang bergerak di sektor perdagangan sebanyak 5.385 jiwa, sektor
pertanian sebanyak 5.406 jiwa, industri sebanyak 1.545 jiwa, angkutan sebanyak
1.343 jiwa, konstruksi sebanyak 124 jiwa, jasa-jasa sebanyak 3.774 jiwa,
pertambangan dan galian sebanyak 321 jiwa, dan pada sector lainnya sekitar 7.310
jiwa.
Dalam sektor pertanian, komoditas yang dibudidayakan adalah umbi-
umbian seperti singkong (ubi kayu) dan ubi jalar; sayuran seperti jagung, kacang
49
Agama
Di Kecamatan Babakan Madang hingga tahun 2006 fasilitas peribadatan
berupa masjid berjumlah 66 buah dan musholla 176 buah. Sedangkan jumlah
penduduk berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2003 terdiri dari pemeluk
agama Islam sebanyak 72.219 jiwa, Katolik sebanyak 66 jiwa, Protestan sebanyak
463 jiwa, Hindu sebanyak 21 jiwa dan pemeluk agama Budha sebanyak 59 jiwa
(Kabupaten Bogor dalam Angka 2007). Kerukunan hidup antar umat beragama
tumbuh dan berkembang dengan baik, terlihat dari tidak adanya kasus kerusuhan
sosial yang bernuansa agama ataupun potensi konflik yang muncul akibat dari isu
SARA.
Pendidikan
Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Babakan Madang terdiri dari
1 Sekolah Taman Kanak-Kanak Negeri, 44 SD Negeri, 1 SLTP Negeri, 2 SD
Swasta, 3 SLTP Swasta, 1 SLTA Negeri, 1 SLTA Swasta 30 Madrasah Ibtidaiyah,
dan 4 Madrasah Tsanawiyah. Adapun tingkat pendidikan yang ditempuh
penduduk Kecamatan Babakan Madang beragam. Penduduk yang tidak tamat SD
atau sederajat sebanyak 12.238 orang, tamat SD sebanyak 24.131 orang, tamat
SLTP 6.989 orang, tamat SLTA sebanyak 980 orang, tamat akademi sebanyak 80
orang, tamat universitas sebanyak 39 orang, dan penduduk yang belum sekolah
sebanyak 28.371 orang.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5. Longsor tipe nendatan/slump (kiri) di Kp. Gombong (3) dan tipe amblesan/penurunan
tanah (kanan) di Kp. Cikeas (1)
51
52
kaya akan liat dan mengambang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya
gaya kohesi antar butir tanah. Di samping itu, kondisi lokal penelitian yang
berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini
banyak ditemukan. Di samping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan
pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air
menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat.
Gambar 7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong (4) (kiri) dan
Longsor dengan penutupan kebun campuran pada tepi jalan di Kp. Cikeas (1)
Tipe penutupan lahan kebun campuran paling sering ditemukan pada daerah
kejadian longsor. Dari 24 kasus longsor, terdapat 8 titik kejadian longsor atau
sekitar 33,3% yang penutupan lahannya berupa kebun campuran yaitu di Kp.
Cilaya, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang
Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, dan Kp. Legok Banteng. Jenis tanaman yang
mengisi kebun campuran ini biasanya terdiri dari tanaman singkong, pisang,
nanas, dan pandan. Jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat
jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan
lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya
tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah.
Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya
longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki
perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah
yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat
tanah. Apalagi perakarannya berupa perakaran serabut yang relatif kurang kuat
menghujam dan mengikat tanah sehingga mudah tergoyahkan jika terjadi hujan
deras yang berangin kencang.
Sebagian kebun campuran yang terdapat di lokasi kejadian longsor
merupakan hasil perambahan masyarakat setempat terhadap tegakan pinus yang
ada. Perubahan tata lahan dengan mengganti tanaman keras seperti pinus ini
menjadi tanaman semusim menyebabkan resiko longsor menjadi lebih besar.
Tanaman semusim membutuhkan tanah yang gembur, padahal tanah yang gembur
menyerap air permukaan dengan baik, sehingga saat hujan datang air permukaan
ini akan terus terserap dan menjenuhi tanah sehingga beban tanah bertambah yang
beresiko menyebabkan terjadinya longsor.
56
Gambar 8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor
di Kp. Wangun 1
Berdasarkan data dari KPH Bogor Kabupaten Bogor ada beberapa titik
longsor yang terjadi di kawasan hutan dan penyebab utama kejadian longsor
tersebut adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Adapun luasan total dari perambahan hutan pinus oleh masyarakat adalah seluas
180,9 ha. Areal perambahan tersebut digunakan masyarakat setempat untuk lahan
kebun campuran (berupa tanaman singkong dan pisang) dan lahan pemukiman.
Hal ini makin diperparah karena mereka membangun pemukiman dan kebun
campuran tersebut di lokasi dengan kelerengan curam hingga sangat curam dan
tanpa pengelolaan yang sesuai. Kejadian longsor di kawasan hutan ditemukan di
kawasan hutan pinus yang dikelola Perhutani, tepatnya di Kelompok Hutan
Hambalang Barat, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kejadian
longsor tersebut terjadi pada petak 17 di Kp. Cibingbin dan petak 20 di Kp. Muara
Desa Bojong Koneng dengan luasan longsor masing-masing sebesar 10 ha dan 3
ha. Sedangkan di Desa Karang Tengah terjadi pada petak 15 dan petak 16 di Kp.
Cimandala dan pada petak 4 di Kp. Wangun 2 dengan luasan longsor masing-
masing sebesar 7 ha dan 15 ha.
57
tegakan campuran yang memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata
malah menambah beban lereng terutama ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat.
Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak menancap pada batuan
dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut ditimpa hujan
yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin
kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal
inilah yang menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya
menyebabkan longsor.
Sutikno (2000) dalam Alhasanah (2006) menyatakan bahwa peranan
vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang
hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah
beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Namun, pemotongan pohon-
pohonan secara tidak tepat untuk mencegah longsornya tanah tidak dibenarkan
karena rongga-rongga di dalam tanah yang terbentuk akibat lapuknya akar tumbuh
tumbuhan dapat menambah tampungan air di dalam rongga pori tanah sehingga
menambah potensi kelongsoran lereng.
Oleh karenanya, perlu dilakukan rekayasa vegetatif untuk menanggulangi
hal ini yaitu dengan menanami lereng dengan tanaman pohon yang memiliki
kemampuan akar yang kuat menembus batuan dasar (bahan induk) sebagai
pengikat atau pasak yang mampu menahan gerakan tanah namun memiliki bobot
dan tajuk yang ringan sehingga tidak menambah beban terlalu besar terhadap
lereng. Apabila pada kondisi lereng di mana lapisan batuan dasar relatif jauh dari
permukaan lereng, maka dapat digunakan tipe tanaman yang dapat mengurangi
infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Atau tanaman yang mempunyai daya
evapotranspirasi yang tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman. Menurut
Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan air dengan
baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya adalah : nangka
(Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,
Indigofera galegoides, sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia spp.),
jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca).
Adapun jenis vegetasi yang direkomendasikan Bank Dunia dalam
pengembangan dan pengelolaan lahan pada kawasan budidaya yang rawan
61
longsor yaitu pohon yang dapat menghasilkan seperti pohon buah-buahan dan
kemiri. Sedangkan pada kawasan lindung ditanami vegetasi atau pohon yang
sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri,
dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu.
(Sitorus, 2006).
Gambar 10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai
63
Gambar 11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa
tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala
Pada beberapa titik longsor terlihat adanya pemotongan lereng dalam upaya
pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman. Ini terlihat terutama pada kasus
longsor di Desa Karang Tengah yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Wangun Landeuh (1), Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2,
dan Kp. Wangun 3. Pembangunan jalan membentuk gawir yang cukup terjal. Pada
beberapa gawir memang sudah dilakukan penanaman vegetasi penguat lereng
64
berupa tegakan campuran atau rumpun bambu, tapi karena penanaman tersebut
umumnya tidak diikuti pembuatan terasering maka usaha tersebut tidak mampu
menahan laju gerakan tanah dan hujan lebat yang melanda wilayah tersebut pada
awal Februari 2007 lalu. Apalagi bila terjadi hujan lebat yang disertai angin
kencang, maka akar pepohonan tersebut akan ikut bergerak dan menggoyahkan
lereng yang terjal. Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan
lereng juga beresiko meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang
menyebabkan kemantapan lereng berkurang. Hal ini menyebabkan lereng menjadi
rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya
hujan lebat dalam waktu lama. Pembangunan pemukiman dan jalan yang
memotong/memapas lereng juga membuat kestabilan tanah menjadi terganggu
sehingga tanah menjadi rentan longsor saat ada sedikit saja pergerakan tanah.
gambar 12. Penambangan batu tersebut dilakukan pada badan lereng yang
memiliki kecuraman masing-masing 57% dan 63%. Penambangan batu ini
menjadikan badan lereng bagian bawah menjadi tidak stabil dan rentan gerakan
tanah akibat hilangnya tahanan bagian bawah lereng.
Gambar 13. Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul(3) dan Kp. Wangun 3
Pada kasus longsor di Kp. Wangun 2 dan Kp. Wangun 3, Desa Karang
Tengah, terlihat banyak rembesan air pada tebing dan kaki tebing terutama pada
batas antara tanah dan batuan di bawahnya yang kedap air. Ini sangat beresiko
terhadap kejadian longsor selanjutnya. Karena ketika tanah sudah jenuh air akibat
hujan lebat, dengan medan gelincir yang mendukung dapat menyebabkan
terjadinya longsor.
Lereng yang rentan terhadap longsor pada umumnya memiliki tutupan
vegetasi berupa pepohonan atau tanaman yang berakar serabut seperti singkong,
pisang, pandan, dan rimpang-rimpangan pada kebun campuran. Tapi ternyata
pada lereng yang ditanami pohon yang massanya besar dengan jarak tanam yang
rapat pun tak luput dari potensi terjadinya bencana longsor seperti yang ditemukan
pada kasus kejadian longsor di Kp. Legok Banteng (1) Desa Cijayanti. Ini
menyebabkan lereng dengan penutupan hanya berupa kebun campuran, semak
belukar, atau rumput-rumputan menjadi rawan terhadap kejadian longsor. Hal ini
dikarenakan meski tajuk daun tanaman dan penutupan rumput tersebut mampu
menghalangi dan mengurangi kekuatan energi kinetik hujan, namun keadaan
tersebut menjadi kurang efektif saat terjadinya hujan yang lebat dalam waktu
relatif lama. Air hujan tetap dapat meresap ke dalam tanah membuat tanah jenuh
66
air sehingga mengurangi ikatan kohesi tanah dan membuat tanah rentan terhadap
gerakan tanah, apalagi jika tanah tersebut berada pada lapisan batuan yang kedap
air dan berada pada tingkat kemiringan lereng yang mendukung terjadinya
longsor.
Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk
longsor, hal ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu
terutama respon lereng terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk
persawahan, kebun campuran, tegalan, maupun semak belukar terutama pada
daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan
tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan
tanah atau kelongsoran. Kondisi litologi/bahan induk yang berupa batuan dan
tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan
tanah. Dan kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat
memicu terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari
tekstur dan struktur tanah).
pasiran dan tekstur lempung sampai liat. Tekstur tanah lempung liat pasiran
ditemukan di 15 lokasi kejadian longsor atau meliputi 62,5 % dari seluruh
kejadian longsor dan 9 kasus lainnya (37,5 % kasus) memiliki tekstur tanah
lempung sampai liat.
Tanah lempung sangat mudah menyerap/meresapkan air hujan terutama
dalam kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan
batuan terutama batuan gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini
memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat
subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya
jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap
air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal
berpotensi mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada
musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut
tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan
bencana tanah longsor.
Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung
liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.
Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat atau
sering disebut sebagai longsor.
Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu
berlebihannya kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai
penahan, seperti pepohonan. Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak
sarang) akan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pula. Tanah di lokasi
kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai dengan butiran
kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau
granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat
daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal
ini menyebabkan struktur tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat
terjadi hujan lebat dalam waktu lama yang akhirnya berdampak pada terjadinya
longsor.
70
Retakan/patahan yang terjadi kini telah tertutup kembali akibat proses sedimentasi
dan infiltrasi air saat hujan.
Rekahan besar
akibat gerakan
tanah
Amblesan pada
kejadian longsor di
Kp. Gn. Batu Babakan
Gambar 15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor
di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug.
bulan dan bulan keringnya berkisar 3-6 bulan. Sedangkan bulan basah pada iklim
basah terjadi 7-9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya
bulan basah yang terjadi menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan
terutama pada bulan-bulan November-April. Hal inilah yang memicu sering
terjadinya peristiwa longsor di daerah penelitian.
Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi
merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air.
Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai
bidang gelincir untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim
hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran maka pada daerah yang
memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor.
Gambar 16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor di Kp. Wangun 2
dikombinasikan dengan batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta
dengan kemiringan yang curam, maka akan menjadikan daerah tersebut rawan
longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam meningkatkan infiltrasi tanah. Jika
tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi lebih berat.
Berdasarkan tumpangsusun peta sebaran geologi dan peta wilayah
administratif Kabupaten Bogor tahun 2005 menunjukkan bahwa daerah penelitian
juga terletak pada satuan endapan tanah permukaan yang mempunyai daya
dukung rendah dan sangat tidak stabil. Jika di atas endapan tanah permukaan
tersebut terdapat bangunan atau penggunaan lahan lainnya yang tidak sesuai
dengan daya dukung tanahnya maka akan dapat memicu terjadinya gerakan tanah.
Gerakan tanah ini dapat berupa longsoran, retakan, dan pergeseran tanah yang
terindikasi pada dinding bangunan yang retak maupun amblesan pada lahan atau
badan jalan. Kejadian retakan maupun pergerakan yang signifikan ini
mempengaruhi terjadinya longsoran. Apalagi jika retakan-retakan hasil
pergerakan tanah tersebut tidak segera ditutupi dengan tanah kembali akan
beresiko menyebabkan air masuk ke dalam tanah dan membuat tanah cepat jenuh
air sehingga massa tanah menjadi lebih berat dan memicu terjadinya longsor.
Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter
yang menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah
penelitian tersusun dari breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan
batupasir serta lempung hitam yang bagian permukaannya telah mengalami
pelapukan berupa lempung pasiran-lempung lanauan yang cukup tebal. Jenis
tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang mudah
meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika
tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada
kemiringan tertentu maka air yang masuk akan tertahan dan tanah pada
kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir menjadi longsor
Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab terjadinya ongsor di
daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.
77
Pemukiman 12 50
Bangunan Bronjong penahan 3 12,5
Konservasi Saluran air 1 4,17
Pembuatan teras 1 4,17
Tidak ada 19 79,16
Cuaca Kering - -
Sedang 19 79,17
Basah 5 20,83
Sangat Basah - -
Jenis Batuan Batuan sediment 14 58,33
Batuan gunung api 10 41,67
Tipe Longsor Nnedatan (Slump) 16 66,67
Penurunan Tanah/Amblesan (Subsidence) 8 33,33
Sumber : Data Primer (diolah)
Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas geologi)
+ (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas penggunaan
lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)
79
Tabel 33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian & Variabel Penyebabnya (DVMBG, 2004)
Indikator Parameter Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor Longsor
Tinggi Menengah Rendah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Jenis Tanah Gabungan latosol coklat dan 2 25 7 77.8 7 100
latosol kemerahan
Kompleks latosol merah 6 75 2 22.2 0 0
kekuningan, latosol coklat
kemerahan, dan litosol
Tekstur Lempung s/d liat 4 50 3 33.3 3 42.9
Tanah Lempung liat berpasir 4 50 6 66.7 4 57.1
Kondisi Tidak Erosi 6 75 8 88.9 6 85.7
Erosi Erosi 2 25 1 11.1 1 14.3
Ketebalan 0-10 1 12.5 4 44.4 7 100
Tanah 11-20 1 12.5 5 55.6 0 0
21-30 3 37.5 0 0 0 0
31-40 3 37.5 0 0 0 0
Tutupan Tegakan Campuran 0 0 0 0 6 85.7
Vegetasi Semak Belukar 2 25 4 44.4 0 0
Kebun Campuran 3 37.5 4 44.4 1 14.3
Lahan Kosong/Lap. Rumput 3 37.5 1 11.1 0 0
Kebun Dengan tan. keras 3 37.5 3 33.3 6 85.7
Campuran Tanpa tan. keras 5 62.5 6 66.7 1 14.3
Kemiringan 0-8 0 0 0 0 0 0
Lereng 8-15 0 0 2 22.2 2 28.6
15-25 0 0 3 33.3 3 42.9
25-40 1 12.5 3 33.3 0 0
>40 7 87.5 1 11.1 0 0
Kondisi Datar 0 0 0 0 0 0
Perbukitan Berombak 0 0 0 0 1 14.3
Bergelombang 0 0 2 22.2 3 42.9
Berbukit 0 0 5 55.6 3 42.9
Bergunung 8 100 2 22.2 0 0
81
adanya penambangan batu gunung seperti yang ditemukan pada kasus longsor di
Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp. Wangun 2.
Selain itu hampir di setiap lokasi kejadian longsor tidak terdapat bangunan
konservasi yang dapat melindungi lereng dari terjadinya peristiwa longsor.
Bangunan konservasi hanya ditemukan pada 2 kasus longsor yaitu di Kp. Wangun
2 berupa saluran air dan di Kp. Wangun Landeuh (1) berupa pembuatan teras pada
tebing jalan. Dari segi penggunaan lahannya, kasus longsor yang terjadi pada
daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa lahan kosong dan kebun
campuran ditemukan masing-masing 3 kasus. Sedangkan 2 kasus lainnya terjadi
pada daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa semak belukar.
Jenis tanah di lokasi kejadian adalah jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol (ditemukan pada 6 kasus) serta
jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan (ditemukan pada 2
kasus) yang tidak terlalu peka terhadap erosi, namun jenis batuan berupa batuan
sedimen (6 kasus) dan batuan gunung api (2 kasus) yang mudah lapuk membentuk
tekstur tanah lempung berpasir sampai dengan liat, menyebabkannya rawan
terhadap kejadian longsor. Selain itu, 7 lokasi kejadian longsor tersebut (87,5 %)
sebelumnya juga pernah mengalami peristiwa longsor, hal ini menyebabkan
daerah-daerah tersebut menjadi lebih rentan terhadap terjadinya longsor.
Kerawanan terjadinya kejadian longsor juga disebabkan ketebalan tanah pada
daerah tersebut yang relatif tebal berkisar antara 7-40 m. Ini akan memberikan
dampak sangat berbahaya yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta lebih
besar akibat luasnya daerah kejadian longsor. Hal ini dikarenakan makin tebalnya
tanah pada tingkat kelerengan curam sampai sangat curam tanpa penutupan
vegetasi yang memadai yang dapat menghujam batuan induk sebagai bidang
gelincir ditambah dengan jenis batuan yang relatif peka terhadap terjadinya
longsor akan menyebabkan longsor mudah terjadi dengan material longsoran
berupa tanah dan batuan yang lebih luas.
(2), Kp. Cilaya, Kp. Curug (1), Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Cikeas (2), Kp.
Gombong (1), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Gombong (2). Hampir semua
kejadian longsor tingkat kerawanan menengah ini memiliki karakteristik longsor
tipe nendatan, hanya 1 kasus berupa longsor tipe penurunan tanah (amblesan)
yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1). Kejadian longsor tersebut
umumnya terjadi pada tingkat kemiringan lereng agak curam hingga curam (13-46
%) pada bentang lahan berbukit hingga bergunung dengan kondisi tipe iklim
sedang. Jenis tanah yang paling banyak ditemukan adalah jenis tanah gabungan
latosol coklat dan latosol kemerahan (7 kasus) dan 2 kasus lainnya dengan jenis
tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol,
kedua jenis tanah tersebut kurang peka terhadap erosi. Namun dengan kondisi
batuan yang mudah lapuk (batuan sedimen dan gunung api) membentuk tekstur
tanah yang umumnya lempung liat berpasir daerah tersebut tetap berpotensi
menimbulkan longsor dengan tingkat kerawanan menengah. Adapun kondisi
penggunaan lahan yang ditemukan meliputi tegakan campuran, semak belukar,
dan kebun campuran yang mayoritas tanpa penanaman tanaman keras. Sebanyak 5
kasus (56 %) terjadi pada daerah dengan tipe infrastruktur jalan dan 4 kasus (46
%) berupa pemukiman dan sebelumnya juga pernah mengalami kejadian longsor.
8
Frekuensi Ditemukan (kasus)
7
6
5
Tinggi
4
Menegah
3
Rendah
2
1
0
-1
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10
Tinggi 2 6 4 4 6 2 1 1 3 3
Menegah 7 2 3 6 7 2 4 5 0 0
Rendah 7 0 3 4 7 0 7 0 0 0
Gambar 17. Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor
di Kecamatan Babakan Madang
Sedangkan untuk faktor kelas penggunaan lahan (Gambar 18) yang memicu
tingkat kerawanan longsor tinggi pada kejadian longsor di Kecamatan Babakan
Madang adalah tutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran
(V13), dan lahan kosong (V14). Kondisi kebun campuran yang terutama memiliki
kerawanan tinggi terhadap terjadinya longsor adalah kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16) dan biasanya hanya
85
berupa tanaman pangan berupa singkong dan pisang. Kondisi tutupan vegetasi
seperti itu kurang mampu mendukung kemantapan agregat tanah sehingga struktur
tanah akan mudah rapuh terutama saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama. Tipe
infrastruktur yang paling rawan terhadap kejadian longsor adalah tipe infrastruktur
jalan (V18), terutama yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng
sehingga meningkatkan tingkat kemiringan lereng yang memang sudah relatif
curam. Meski pada beberapa lokasi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi
terdapat bangunan konservasi berupa saluran air (V19) ataupun adanya
pembangunan teras pada tebing (V21), namun karena kondisi bangunan
konservasi tersebut tidak memadai ditambah kondisi kelerengan yang curam
sampai sangat curam dan curah hujan lebat, membuat beberapa lokasi tersebut
tetap rawan terhadap terjadinya longsor. Lokasi dengan kondisi tanpa adanya
bangunan konservasi (V22) terutama pada daerah-daerah yang relatif curam
tentunya akan lebih mudah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan longsor
tinggi.
8
Frekuensi Ditemukan (kasus)
6
5
4
3
2
1
0
V11 V12 V13 V14 V15 V16 V17 V18 V19 V20 V21 V22
T utupan Vegetasi Kebun T ipe Bangunan
Campuran
Infrastruktur Konservasi
T inggi 0 2 3 3 3 5 2 6 0 1 1 6
Menegah 1 4 3 1 3 6 4 5 1 0 0 8
Rendah 5 0 2 0 6 1 6 1 0 0 0 7
Gambar 18. Grafik Pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
Dalam Grafik pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa kejadian
longsor yang terdapat pada daerah dengan kondisi kemiringan lereng curam (V26)
86
sampai dengan sangat curam (V27) dengan bentang lahan yang berbukit (V31)
hingga bergunung (V32) dengan jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga
pernah memiliki sejarah kejadian longsor (V36), sebagian besar tergolong ke
dalam tingkat kerawanan longsor tinggi.
7
6
5
4
3
2
1
0
-1
V23 V24 V25 V26 V27 V28 V29 V30 V31 V32
Kemiringan Lereng Kondisi Perbukitan
Tinggi 0 0 0 1 7 0 0 0 0 8
Menegah 0 1 4 3 1 0 0 1 6 2
Rendah 2 3 2 0 0 0 1 4 2 0
Gambar 19. Grafik Pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor
8
Ditemukan (kasus)
6
Frekuensi
0
V33 V34 V35 V36
Jenis Batuan Kejadian Longsor
T inggi 2 6 1 7
Menegah 3 6 3 6
Rendah 6 1 6 1
Gambar 20. Grafik Pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di
Kecamatan Babakan Madang
87
8
Frekuensi Ditemukan (kasus)
7 7
6
5 Tinggi
4 4 Menegah
3 3 Rendah
2 2
1 1
0 0 0
Kering Sedang Basah Sangat
Basah
Gambar 21. Grafik Pengaruh faktor kelas tipe iklim (curah hujan) terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
Dari uraian di atas diketahui bahwa secara umum parameter yang memicu
terjadinya longsor pada daerah penelitian adalah :
(1) jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan
litosol (V2),
(2) tekstur tanah lempung liat berpasir (V4),
(3) ketebalan tanah di atas 20 m (V9 dan V10),
(4) penutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran (V13), dan
lahan kosong (V14) dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan
tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16),
88
(5) tipe infrastruktur jalan (V18) dibangun dengan cara memapas (memotong)
lereng,
(6) kondisi daerah rawan longsor terutama tebing jalan tanpa adanya bangunan
konservasi (V22),
(7) kondisi kemiringan lereng curam (V26) sampai dengan sangat curam (V27)
dengan bentang lahan yang berbukit (V31) hingga bergunung (V32) dengan
jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga pernah memiliki sejarah
kejadian longsor (V36), serta
(8) kondisi tipe iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38).
Seluruh parameter terpilih tadi dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab
terjadinya longsor berikut ini :
1. Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung
liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m.
2. Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar,
kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan
lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi.
3. Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam
dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung.
4. Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah
gerakan tanah longsor di daerah tersebut.
5. Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan
2.000 – 2.500 mm/tahun
Berdasarkan hasil identifikasi kasus-kasus kejadian longsor di daerah
penelitian diketahui bahwa jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol
coklat kemerahan dan litosol meski memiliki kepekaan erosi yang kecil, namun
apabila berada pada kondisi lereng curam sampai sangat curam pada bentang
lahan berbukit hingga bergunung, areal tersebut tetap akan memiliki potensi besar
untuk menjadi longsor. Apalagi dengan kondisi tanah pelapukan yang tebal
dengan tekstur lempung liat berpasir yang bersifat mengembang dan sarang air
89
saat terjadinya hujan lebat, serta berada pada satuan batuan induk yang mudah
melapuk dan mudah bergerak apabila terjadi pembebanan yang melebihi
kemampuan (batuan sedimen/Tmj) maka akan sangat berpotensi untuk mengalami
longsor.
Kerawanan terhadap terjadinya longsor tersebut akan semakin tinggi apabila
banyak aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan alam seperti
perambahan hutan menjadi lahan-lahan budidaya tanpa usaha-usaha konservasi,
penambangan batu pada tebing curam, dan atau pemotongan lereng dalam
pembuatan jalan dan pemukiman.
Penutupan vegetasi berpenutupan tajuk jarang dengan perakaran serabut
yang tidak dapat menghujam lapisan batuan induk kedap air pun harus
diminimalisir, terutama pada lahan-lahan dengan tingkat kecuraman tinggi. Ini
dikarenakan, vegetasi berpenutupan tajuk jarang seperti lahan kosong/padang
rumput, semak belukar, ataupun kebun campuran tidak mampu menahan laju
energi kinetik butir-butir air hujan dengan cukup baik sehingga membuat tingkat
infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menjadi lebih
besar. Akibatnya, tanah yang jenuh air pada satuan lereng curam dengan batuan
induk kedap air serta penutupan vegetasi dengan perakaran serabut sangat
potensial untuk mengalami longsor.
Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap
terjadinya longsor ini. Salah satunya melalui usaha rekayasa bio-engginering
seperti penanaman tanaman keras yang dipadukan dengan tanaman budidaya
(kebun campuran) dalam mekanisme agroforestri serta penanaman tanaman keras
(pohon) pada lahan-lahan kosong dan semak belukar yang disesuaikan dengan
kondisi litologis, kelerengan, geologis, serta ekonomis. Untuk lahan-lahan dengan
kondisi lereng curam dan lapisan batuan kedap air dapat ditanami pohon-pohon
berakar dalam yang mampu menghujam lapisan kedap air tersebut. Namun perlu
diperhatikan pemilihan jenis pohonnya yaitu jenis pohon yang bermassa dan
bertajuk ringan sehingga tidak akan menambah beban yang terlalu besar terhadap
tanah/lereng yang ditumpanginya.
Untuk lereng atau lahan yang lapisan kedap airnya dalam dengan ketebalan
tanah yang tinggi dimana akar-akar pepohonan tidak mampu menghujam ke
90
lapisan tersebut, dapat ditanami tegakan atau pohon yang dapat mengurangi
intensitas infiltrasi atau masuknya air hujan, yaitu pohon-pohon yang memiliki
daya evapotranspirasi tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman tersebut.
Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan
air dengan baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya
adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia
vilosa, tarum (Indigofera galegoides), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni
(Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanes saman) dan lamtoro
(Leucaena glauca). Satu hal yang perlu diperhatikan juga dalam penanaman
pepohonan pada kondisi lereng seperti disebutkan di atas adalah kerapatan antar
pohon yang ditanam harus tidak terlalu rapat agar massa pohon yang membebani
tanah/lereng tidak terlalu besar.
Untuk menarik minat masyarakat dalam memelihara tegakan-tegakan yang
diusahakan dalam rekayasa bio-engginering ini, maka sebisa mungkin lahan-lahan
rawan longsor juga ditanami pepohonan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat setempat seperti pohon buah-buahan dan
pohon kemiri yang juga direkomndasikan oleh Bank Dunia. Sedangkan pada
kawasan lindung, Bank Dunia menyarankan agar ditanami vegetasi atau pohon
yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati,
kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami
bambu. (Sitorus, 2006).
Rekayasa bio-engginering juga dapat dipadukan dengan rekayasa teknik
konservasi tanah dan air seperti dengan membangun saluran air yang baik dan
tidak mudah bocor, sehingga air hujan yang menjenuhi tanah dapat dialirkan
dengan baik. Ataupun dengan membuat teras-teras seperti teras bangku pada
badan-badan lereng yang curam dan pembuatan bronjong pada tebing-tebing jalan
dan tebing sungai. Dan satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah harus
dikuranginya atau bahkan dihentikan aktivitas-aktivitas manusia yang benar-benar
dapat memicu terjadinya longsor seperti penambangan pada kaki lereng yang
curam, pembangunan pemukiman di bawah tebing curam atau pada tebing sungai,
dan aktivitas pertanian intensif pada areal curam tanpa melakukan upaya-upaya
konservasi.
91
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan
Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus
(66,7%) dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi
pada 8 kasus longsor (33,3%). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang
paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa
Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus).
2. Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan vegetasi
kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan
tegakan campuran sebanyak 6 kasus (25%), dan lahan kosong sebanyak 4
kasus (16,7%).
3. Berdasarkan metode pemodelan tingkat kerawanan kejadian longsor
DVMBG (2004) diketahui bahwa 8 kasus (33,3 %) kejadian longsor
termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus (37,5 %) pada
tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus (29,2 %) termasuk ke dalam
tingkat kerawanan longsor rendah.
4. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Babakan
Madang yaitu :Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol
merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah
lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m. Faktor kelas
penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun
campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan
lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi. Faktor
kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan
bentuk bentang lahan berbukit-bergunung. Faktor kelas geologi yaitu jenis
batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di
daerah tersebut. Faktor kelas yurah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan
92
6.2 Saran
1. Aktivitas penambangan batu gunung pada lokasi-lokasi rawan longsor
seperti di Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Wangun 1, dan Kp. Wangun 3
harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena akan mengganggu
kemantapan lereng dan mengurangi daya tahan lereng terhadap terjadinya
gerakan tanah.
2. Perlu dilakukan penanaman tegakan keras pada kawasan lahan kosong,
padang rumput, dan semak belukar dengan tanaman keras (pohon) yang
disesuaikan dengan kondisi fisik kawasannya juga dipadukannya
penanaman tanaman keras pada lahan kebun campuran milik masyarakat
setempat dalam mekanisme agroforestri.
3. Perlu dilakukan usaha konservasi tanah dan air pada lokasi kejadian
longsor tingkat kerawanan tinggi seperti di Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1 yang berada areal tepi jalan yang
memiliki tebing yang curam dengan membuat saluran air yang tahan
bocor, bronjong penahan yang kuat, atau dengan pembuatan teras.
4. Retakan dan rekahan yang terjadi akibat gerakan tanah seperti yang terjadi
di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug perlu segera ditutupi lagi oleh
tanah agar air hujan tidak terlalu cepat menyerap dan menjenuhi tanah
kembali sehingga resiko terjadinya longsor dapat dikurangi.
5. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi
pencegahan longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan.
6. Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal
pada kawasan rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah
timbulnya korban jiwa pada bencana yang akan datang.
7. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai jenis tanaman atau
tutupan vegetasi yang cocok pada daerah kawasan rawan longsor serta
efektifitasnya dalam mencegah terjadinya longsor.
DAFTAR PUSTAKA
Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor
Serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2007. Bogor.
Humas Kabupaten Bogor.
Dahlan, Endes N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor.
Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang
Diskontinuitas: Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata
Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 44-51.
Karnawati, Dwikorita. 2006. Wilayah yang Tak Pernah Luput Bencana oleh
Madina Nusrat. Artikel Internet. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0601/14/Fokus/2360408.htm [13 Jul 2007]
Mustafril, 2003. Analisis Stabilitas Lereng Untuk Konservasi Tanah dan Air di
Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Tesis. Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
95
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau
Jawa Tahun 2001. BPPT. Jakarta.
Rejekiningrum, Popi. 2007. Teknologi Inderaja dan SIG untuk Identifikasi Potensi
Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor. Paper Mata Kuliah Teknik
Analisis Citra Dijital Untuk Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran
Aktivitas Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas
Pertanian IPB.
Lampiran 1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus longsor di daerah penelitian
No. Lokasi Longsor V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V11 V12 V13 Total Kelas Kerawanan
Skor Longsor
Kp. Gn. Batu Kidul (3) 1 2 1 4 4 2 5 5 2 2 4 2 2
1 6.3 Tinggi
Kp. Wangun 3 2 1 1 4 2 2 5 5 2 2 4 2 2
2 6 Tinggi
Kp. Cimandala 1 2 2 3 3 2 5 5 2 1 4 2 2
3 6 Tinggi
Kp. Babakan Ngantai 2 1 1 3 4 1 5 5 2 2 4 2 2
4 5.95 Tinggi
Kp. Wangun 1 2 1 1 3 3 2 5 5 2 2 4 2 2
5 5.95 Tinggi
Kp. Cijayanti 2 2 2 1 4 1 4 5 1 2 4 3 1
6 5.7 Tinggi
Kp. Wangun 2 2 2 1 4 2 2 5 5 2 1 2 2 1
7 5.55 Tinggi
8 Kp. Wangun Landeuh (1) 2 1 1 2 3 1 5 5 2 2 3 2 2 5.45 Tinggi
Kp. Legok Banteng (2) 1 2 2 2 3 2 3 4 2 1 4 2 2
9 5.35 Sedang
10 Kp. Curug (2) 1 2 1 2 4 2 2 3 2 2 4 2 2 5.15 Sedang
Kp. Cilaya 2 1 1 1 3 1 4 5 2 1 4 2 2
11 5.1 Sedang
Kp. Curug (1) 1 2 1 1 2 2 3 4 2 2 4 3 1
12 5.05 Sedang
Kp. Wangun Landeuh (2) 2 1 1 2 2 1 5 5 2 2 1 2 2
13 5 Sedang
Kp. Cikeas (2) 1 2 1 1 3 2 3 4 2 1 4 2 2
14 4.95 Sedang
Kp. Gombong (1) 1 2 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1
15 4.9 Sedang
Kp. Legok Banteng (1) 1 2 2 1 1 1 3 4 1 1 4 3 2
16 4.8 Sedang
Kp. Gombong (2) 1 1 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1
17 4.7 Sedang
Kp. Garungsang Pasir 1 2 1 1 3 1 2 3 2 2 4 2 1
18 4.45 Rendah
Kp. Curug (3) 1 2 1 1 3 1 2 3 1 1 4 3 1
19 4.4 Rendah
Kp. Curug (4) 1 2 1 1 1 1 1 3 1 1 4 3 2
20 4.15 Rendah
99
Keterangan :
V1 : Jenis Tanah V8 : Kondisi Perbukitan
V2 : Tekstur Tanah V9 : Kejadian Longsor
V3 : Kepekaan Tanah Terhadap Erosi V10 : Tipe Infrastruktur
V4 : Ketebalan Tanah V11 : Bangunan Konservasi
V5 : Tutupan Vegetasi V12 : Tipe Iklim-Cuaca (Curah Hujan)
V6 : Kebun Campuran V13 : Jenis Batuan
V7 : Kemiringan Lereng
Kp. Cimandala Tinggi Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 25 Kebun Tanpa Tan. Keras 43 Bergunung
3 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Babakan Ngantai Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 30 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 46 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi
4 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun 1 Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 30 Kebun Tanpa Tan. Keras 57 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
5 kemerahan dan litosol
Kp. Cijayanti Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Erosi 7 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 31 Bergunung
kekuningan latosol coklat liat Berpasir
6 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun 2 Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 40 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 74 Bergunung
kekuningan latosol coklat liat Berpasir Erosi
7 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun Landeuh Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 15 Kebun Dengan Tan. Keras 48 Bergunung
(1) kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
8 kemerahan dan litosol
Kp. Legok Banteng (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 15 Kebun Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit
9 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Curug (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 12 Lahan Kosong Tanpa Tan. Keras 13 Bergelomba
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi ng
10
101
Kp. Cilaya Menengah Kompleks latosol merah Lempung Tidak 10 Kebun Dengan Tan. Keras 33 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
11 kemerahan dan litosol
Kp. Curug (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 8 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 18 Berbukit
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi
12
Kp. Wangun Landeuh Menengah Kompleks latosol merah Lempung- Tidak 13 Semak Belukar Dengan Tan. Keras 46 Bergunung
(2) kekuningan latosol coklat Liat Erosi
13 kemerahan dan litosol
Kp. Cikeas (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 10 Kebun Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit
14 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran
Kp. Gombong (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 26 Berbukit
15 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi
Kp. Legok Banteng (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 10 Tegakan Dengan Tan. Keras 22 Berbukit
16 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Gombong (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 28 Berbukit
17 latosol kemerahan Erosi
Kp. Garungsang Pasir Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 4 Kebun Dengan Tan. Keras 14 Bergelomba
18 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
Kp. Curug (3) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 3 Kebun Dengan Tan. Keras 9 Bergelomba
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
19
102
Kp. Curug (4) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 8 Bergelomba
20 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
Kp. Gn. Batu Kidul (2) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung- Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 24 Berbukit
21 latosol kemerahan Liat Erosi Campuran
Kp. Gn. Batu Babakan Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung- Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 16 Berbukit
22 latosol kemerahan Liat Erosi Campuran
Kp. Gn. Batu Kidul Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 2 Tegakan Dengan Tan. 11 Bergelomba
23 (1) latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran 24Keras ng
Kp. Cikeas (1) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 1 Tegakan Tanpa Tan. Keras 6 Berombak
24 latosol kemerahan Erosi Campuran
9 Kp. Legok Banteng (2) Rawan Pernah Pemukiman Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
10 Kp. Curug (2) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
11 Kp. Cilaya Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
12 Kp. Curug (1) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Basah Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
13 Kp. Wangun Landeuh (2) Rawan Pernah Jalan Bronjong penahan Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
14 Kp. Cikeas (2) Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan
15 Kp. Gombong (1) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
16 Kp. Legok Banteng (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen Nendatan/Slump
17 Kp. Gombong (2) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
18 Kp. Garungsang Pasir Ptensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
19 Kp. Curug (3) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
20 Kp. Curug (4) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan
21 Kp. Gn. Batu Kidul (2) Potensial Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
22 Kp. Gn. Batu Babakan Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
23 Kp. Gn. Batu Kidul (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
24 Kp. Cikeas (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
104