Anda di halaman 1dari 121

IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN

FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI


KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR

AHMAD DANIL EFFENDI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
IDENTIFIKASI KEJADIAN LONGSOR DAN PENENTUAN
FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENYEBABNYA DI
KECAMATAN BABAKAN MADANG KABUPATEN BOGOR

AHMAD DANIL EFFENDI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor

DEPERTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan


Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH

PENDAHULUAN : Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting
yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith,
dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya
gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat
ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk
dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor sehingga
dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian longsor juga
penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran geologi
(batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui
penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
TUJUAN : Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran lokasi dan karakter/pola kejadian longsor di
daerah penelitian serta menentukan faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di daerah penelitian.
BAHAN DAN METODE : Objek penelitian ini adalah kasus longsor yang terjadi di Kecamatan Babakan
Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007. Bahan yang digunakan yaitu peta Kabupaten Bogor
berbagai layer dan sampel tanah di lokasi kejadian longsor. Metode yang digunakan dalam pemerian tekstur
tanah adalah metode uji rasa rabaan, dengan pengambilan contoh tanah terganggu (tanah tak utuh). Dalam
pengolahan peta digital digunakan metode tumpang susun (overlay) antara peta Kabupaten Bogor berbagai
layer dengan peta lokasi kejadian longsor hasil pemetaan dengan GPS menggunakan perangkat lunak
ArcView 3.2. Pengklasifikasian kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya ditentukan
menggunakan metode pemodelan daerah rawan kejadian longsor dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigas
Bencana Geologi (DVMBG) tahun 2004.
HASIL DAN KESIMPULAN : Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan Madang
ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus (66,7%), dan penurunan muka
tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi pada 8 kasus longsor (33,3 %). Desa Bojongkoneng adalah
wilayah yang paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa Karang Tengah (8
kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus). Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan
lahan kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan tegakan campuran
masing-masing sebanyak 6 kasus (25%) dan lahan kosong sebanyak 4 kasus (16,7%). Sebanyak 8 kasus
(33,3%) kejadian longsor termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus pada tingkat kerawanan
menengah, dan 7 kasus pada tingkat kerawanan rendah.
Terdapat 17 parameter yang menjadi penyebab utama terjadinya longsor yang dihimpun dalam 5 faktor
utama penyebab terjadinya longsor yaitu (1) Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol
merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung liat berpasir; serta ketebalan
tanah di atas 20 m, (2) Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun
campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan tanpa adanya tegakan
tanaman keras serta penggunaan lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi, (3) Faktor kelas lereng dengan
kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung, (4) Faktor
kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di daerah
tersebut, dan (5) Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan 2.000 – 2.500
mm/tahun

Kata Kunci : Longsor, Identifikasi, Faktor Penyebab


2

SUMMARY

AHMAD DANIL EFFENDI (E14103032). Identification of Landslide Case and


Determination Main Cause of Landslide Case in Babakan Madang Sub District,
Bogor District. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.

FOREWARD : Landslide is an example of a geological process called mass wasting, which is also recall as
mass movement. It is a movement of rock mass, regolith, and soil from a high position to a lower one due to
gravitation. Once the rock deform, gravity force will pull material (as a result of deformation) to a lower
position. Due to the impact by the landslide disaster, identification of areas which the landslide occurs is vital
to be performed so that the main cause and characteristic from each landslide case can be known.
Furthermore, a research in this area is expected to become reference in the next mitigation of landslide case.
Identification of landslide case is also important as a way to prevent other case of landslide and to
understand the relation between the location of landslide case versus the geological spread factor (rocks,
siklin, antiklin) and the use of land. Hopefully, we can identify the best use of land based on its land and
geological characteristic.
OBJECTIVE : The goal of this research is to identified the character and pattern of landslide that occurs in
area of research, identified and evaluate the main cause of landslide in the areas of research, and determine
the major cause of landslide in research area.
OBJECT AND METHODOLOGY: The object of this research is the landslide case in Babakan Madang Sub
District, Bogor District which happen in the February 2007. This research uses a map of Bogor District on a
various layer and a soil sample from the location of landslide case. The methodology of this research in
identifying soil texture is the touch sensing test, by sampling disturbed soil sample. Digital map imaging is
performed using overlay method by intersect extension between various layer of Bogor District map with
landslide are location map (as a result of Global Positioning System (GPS) mapping using ArcView 3.2
software). The methods to determine of the landslide hazard are the landslide hazard modeling method by
Department of Vulcanology and Mitigation of Geology Disaster (2004).
RESULT AND CONCLUSION : There are 2 (two) kind of landslide characteristic in research area, which is
slump (that build of 66,7 % case or 16 case) and subsidence (8 case or 33,3 %). Bojong Koneng village is an
area which landslide case is majorly found (13 case), followed by Karang Tengah village (8 case), and
Cijayanti village (3 case). Landslide is oftenly found in area that consist of mixed garden (8 case or 33,3%),
followed by bush and stand of wood (6 case or 25% of each), and unused land (4 case or 16,7 %). In the
research area there were found 3 classes of landslide hazard, namely: (1) Steady landslide zone equal to
29,2% (7 case); (2) potential landslide zone equal to 37,5% (9 case); (3) hazard landslide zone equal to
33,3% (8 case). Overall, there are 17 parameters that become an indicator of landslide with a high degree of
hazard that can be classified into 5 group (1) soil class factor, which is the class of complex red yellowish
latosol, brown reddish latosol, and litosol; soil texture of loam clay sandy; and a soil thickness above 20 m,
(2) the use of land, that consist of land cover with bush, mixed garden, and unused land, with mixed garden
that is cultivated without a stand of wood. And the use of land in the form of highway infrastructure by cutting
slope without the building of conservation building, (3) class of slope by a abruptness slope to very abrupt by
the mountainous landform, (4) geological class factor, by the kind of sediment stone (Tmj) and the existence
of history landslide movement in that area, (5) class of rain intensity that is moderate climate type with a rain
intensity between 2 000 – 2.500 mm/year.

Keywords : Landslide, Identification, Cause Factor


3

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kejadian


Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri
dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya
ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Ahmad Danil Effendi


NRP E14103032
Judul Skripsi : Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor
Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang
Kabupaten Bogor
Nama : Ahmad Danil Effendi
NIM : E14103032

Menyetujui :
Dosen Pembimbing

Dra. Nining Puspaningsih, MSi


NIP 131 918 662

Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr


NIP 131 578 788

Tanggal Lulus :
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat
dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.
Sholawat dan salam senantiasa tetap tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang tetap istiqomah mengikuti semua
sunahnya dan melanjutkan perjuangannya.
Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah longsor dengan judul Identifikasi Kejadian
Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Nining Puspaningsih,
Msi selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula
kepada Bapak Didi Supardi, Bapak Bambang, dan Ibu Nia dari Instansi Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor atas bahan
dan data yang digunakan dalam penelitian ini. Juga kepada Bapak Toni dan Bapak
Tuhudi (Dinas Pertambangan Kab. Bogor) dan Bapak Esda, dan Bapak Agus
(Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Bogor) yang telah membantu selama
pengumpulan data, semoga menjadi amalan ibadah dan mendapatkan balasan
yang lebih baik dari Allah SWT.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
Karya Ilmiah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, jika ada masukan,
kritik, dan saran dari pembaca dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan
penulisan hasil penelitian dapat disampaikan melalui
almar_adaniele@yahoo.com. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini
bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kehutanan khususnya.

Bogor, Maret 2008

Penulis
ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1985. Penulis


merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan
Alm. Bapak H. Abdul Matin Ciruas dan Ibu Hj. Ii Kusna Asliah.
Pendidikan penulis dimulai dari Pendidikan Dasar yang
diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Kedung Halang 1 Bogor, Sekolah
Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 1 Bogor dan Sekolah
Menengah Umum dilaksanakan di SMUN 1 Bogor yang diselesaikan tahun 2003.
Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2006 penulis
mengambil minat studi di Laboratorium Inventarisasi Sumber Daya Hutan.
Selama Mahasiswa, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan
Pengelolaan Hutan (P3H) yang terdiri dari Praktek Umum Kehutanan (PUK) di
KPH Batu Raden dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Getas
serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (PT.
PSPI), anak perusahaan PT. Arara Abadi Riau. Selain itu penulis aktif dalam
organisasi kemahasiswaan yaitu himpunan mahasiswa Departemen Manajemen
Hutan, Forest Manajemen Study Club (FMSC) Biro Planologi Kehutanan tahun
2005-2006. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah
Dendrologi Hutan dan mata kuliah Ilmu Ukur Hutan pada tahun 2005.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan
kegiatan penelitian dengan judul “ Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan
Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten
Bogor” di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, MSi.
iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahhirobil A’lamin

Segala puji syukur hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang
tercurah sejak pertama kali memandang dunia sampai akhir hayat nanti sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya yang istiqomah
dalam jalan panjang perjuangan dakwah.
Melalui karya tulis ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Umi Hj. Ii Kusna Asliah (kekuatan terbesarku) dan (Alm) Abah H. Abdul
Matin Ciruas atas segala upaya jerih payahnya dan doa yang selalu
diberikan dati setiap hembusan nafasnya, serta dukungan dari setiap
tetesan keringat dan cucuran air matanya.
2. Kakak-kakaku tercinta : Ka Akim & Teh Titin, Teh Wiwie & A Iwan, Teh
Iis & A Engkos, Teh Dedeh & A Irwan, Teh Nur & A Asep, Ka Arif &
Istri, Ka Embin & Teh Yati, Teh Tini, dan Ka Agus atas doa dan segala
pengorbanannya serta semangat dan dorongan kepada penulis. Juga
kepada Keluarga Besar H. Syamsudin, Bi Mamah, dan Keluarga Besar Hj.
Marpuah (Alm.) atas doa, perhatian, dan kasih sayangnya kepada penulis.
3. Dra. Nining Puspaningsih, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, ilmu, nasihat, serta curahan pikiran, tenaga, dan waktunya
dalam proses penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga Allah
memberikan balasan yang lebih baik.
4. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen
penguji Sidang Komprehensif atas bimbingan, saran, ilmu, dan nasihatnya
dalam perbaikan karya ilmiah ini. Semoga menjadi amal ibadah.
iv

5. Murobbi dan teman seperjuangan di Forum Komunikasi Alumni Muslim


SMUN 1 Bogor (Forkom Alim’s) beserta tim mentor atas persahabatan,
persaudaraan, motivasi, nasihat, dan dukungan selama ini.
6. Raafqi, Andika (Terima Kasih tak terhingga atas bantuan selama ini),
Fajar Jumat dan Dani Ardiyanto (Terima Kasih untuk bantuan dan transfer
ilmu statistika yang diberikan), Shinta, Ana, Fheny (Terima Kasih untuk
segala saran dan bantuannya) moga menjadi amalan bernilai ibadah.
7. Seluruh Dosen Fakultas Kehutanan IPB khususnya Dosen Departemen
Manajemen Hutan, juga para Laboran (Pak Uus, Pak Mul, dan Pak
Endim), semoga semua yang telah diberikan akan menjadi bekal yang
berguna khususnya bagi penulis.
8. Rekan-rekan seperjuangan : Silviana Venus dan Fheny Fuzi Lestari atas
dorongan, motivasi, dan kerja sama selama ini.
9. Teman-teman terbaikku : Sigit, Elang, Budi, Rizal, Eko, A Rama, Okky,
Hadi, Latif, Aan, Arizia, Agus, Azzam, Alim, Shinta, Elza, Vivi, Lita,
Melda, Ika, Vita, Dwi, Asri, Nur, Dhany, Dali, Anggit, Dede, Yandi,
Guruh, Dedi, Zae, Tegar, Intan, Ubay, Beno, Iis, Arfan, Heru, Faery, Aziz,
Edy, Maya, Irwan, Faisal, (Alm. Eko), Krisdianto, Zenathan, Ria, Bayu,
dan keluarga besar MNH 40, BDH 40, KSH 40, dan THH 40 lainnya yang
tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, kebersamaan,
motivasi, dan pelajaran berharga yang diberikan pada penulis, semoga
semua mendapatkan kesuksesan.
Akhir kata penulis menyadari adanya kekurangan dalam penelitian dan
penyajian naskah karya ilmiah ini, namun demikian inilah wujud dari kerja keras
yang dapat diraih berkat semua dukungan tersebut di atas. Semoga segala bantuan
yang telah diberikan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan balasan yang
lebih baik serta semoga Karya Ilmiah ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya. Amin.

Bogor, Maret 2008

Penulis
v

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
2.1 Definisi Tanah Longsor.................................................................. 4
2.2 Tipe Longsor .................................................................................. 5
2.3 Penyebab Tanah Longsor ............................................................... 9
2.3.1 Kelerengan (Slope) ......................................................................... 13
2.3.2 Penutupan Vegetasi ........................................................................ 16
2.3.3 Faktor Tanah .................................................................................. 17
2.3.4 Curah Hujan ................................................................................... 18
2.3.5 Faktor Geologi ............................................................................... 19
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 22
3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan .............................................. 22
3.3 Pengumpulan Data ......................................................................... 22
3.3.1 Pengumpulan Data Peta ................................................................. 22
3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan ........................................ 23
3.4 Pengolahan dan Analisa Data......................................................... 26
3.4.1 Pengolahan Data............................................................................. 26
3.4.2 Analisa Data ................................................................................... 26
3.5 Penetapan Tingkat Kerawanan ....................................................... 29
3.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor .............................................. 29
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 34
vi

4.1 Letak dan Luas ............................................................................... 34


4.2 Topografi ........................................................................................ 35
4.3 Klimatologi .................................................................................... 38
4.4 Karakteristik Tanah ........................................................................ 40
4.5 Penutupan Lahan ............................................................................ 42
4.6 Batuan dan Geologi ........................................................................ 46
4.7 Keadaan Sosial Ekonomi ............................................................... 48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 50
5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor ............................................. 50
5.2 Karakteristik Longsor Pada Wilayah Penelitian .............................. 52
5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor ....................... 54
5.3.1 Penggunaan Lahan ......................................................................... 54
5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi................................................. 61
5.3.3 Karakteristik Tanah ........................................................................ 66
5.3.4 Pergerakan Tanah ........................................................................... 70
5.3.5 Curah Hujan ................................................................................... 73
5.3.6 Geologi/Batuan Induk .................................................................... 74
5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor ............. 78
5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi ............................... 81
5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah ........................ 82
5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah ............................. 82
5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor ..... 84
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 91
6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91
6.2 Saran ................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 93
LAMPIRAN .................................................................................................. 97
vii

DAFTAR TABEL

No Halaman
1. Faktor penyebab dan faktor pemicu tanah longsor .................................. 11
2. Klasifikasi kedalaman tanah .................................................................... 18
3. Karakteristik tanah longsor ...................................................................... 20
4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan
teknik uji rasa rabaan ................................................................................. 25
5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor............................................... 30
6. Parameter penduga longsor yang diamati ................................................ 32
7. Luasan administratif tiap desa di Kecamatan Babakan Madang ............. 34
8. Ketinggian wilayah daerah Kecamatan Babakan Madang....................... 35
9. Kelas lereng dan luasannya di Kecamatan Babakan Madang .................. 35
10. Kelas kemiringan lereng ......................................................................... 36
11. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 ................. 38
12. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibinong 1994-2007 (lanjutan) ............ 39
13. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 ................. 39
14. Curah hujan bulanan di Stasiun Cibongas 1994-2007 (lanjutan)............ 40
15. Luasan jenis tanah di Kecamatan Babakan Madang ............................... 41
16. Sebaran kedalaman efektif di daerah penelitian...................................... 41
17. Kelas tekstur tanah di daerah penelitian.................................................. 41
18. Keadaan erosi di daerah penelitian ......................................................... 42
19. Luasan penutupan lahan di Kecamatan Babakan Madang ...................... 42
20. Luasan landuse (penggunaan lahan) di Kecamatan Babakan
Madang.................................................................................................... 45
21. Karakteristik geologi di Kecamatan Babakan Madang ........................... 46
22. Jenis batuan induk di daerah penelitian .................................................. 48
23. Karakteristik longsor dan tutupan lahannya ............................................ 52
24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor .......................... 54
25. Kelas Kemiringan Lereng ....................................................................... 61
26. Jenis Tanah di daerah Penelitian ............................................................. 66
27. Nilai erodibilitas tanah pada lokasi kejadian longsor ............................. 68
viii

28. Kepekaan erosi tanah di Indonesia (hasil penelitian lapangan) .............. 68


29. Jenis batuan di daerah penelitian............................................................. 74
30. Frekuensi ditemukannya variabel-variabel penyebab terjadinya
tanah longsor ........................................................................................... 77
31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor .............................................. 79
32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor ........................................ 79
33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian dan Variabel
Penyebabnya (DVMBG, 2004) ............................................................... 80
ix

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Macam-macam bentuk longsor ................................................................ 6
2. Peta kelas lereng Kecamatan Babakan Madang....................................... 37
3. Peta tutupan lahan Kecamatan Babakan Madang .................................... 44
4. Peta geologi Kecamatan Babakan Madang .............................................. 47
5. Longsor tipe nendatan/slump di Kp. Gombong (3) dan tipe longsor
amblesan/penurunan tanah di Kp. Cikeas (1) ......................................... 50
6. Peta titik lokasi kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang ............. 51
7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong
(4) dan longsor dengan penutupan kebun campuran .............................. 53
8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian
longsor di Kp. Wangun 1 ........................................................................ 56
9. Lahan dengan tegakan kayu afrika (Maesopsis eminii) yang tidak
mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai .......................................... 59
10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai....... 62
11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran
tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala ..................................... 63
12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung
tebing jalan di Kp. Wangun 1 ................................................................. 64
13.Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp.
Wangun 3 ................................................................................................ 65
14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3 ........................... 71
15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp.
Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug......................................................... 72
16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor Kp. Wangun 2 ............ 75
17. Grafik pengaruh faktor kelas tanah terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 84
18. Grafik pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat
kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................ 85
x

19. Grafik pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan


kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 86
20. Grafik pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang .................................. 86
21. Grafik pengaruh faktor kelas curah hujan terhadap tingkat
kerawanan kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang ................ 87
xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus
longsor di daerah penelitian .................................................................... 98
2. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian ........................... 99
3. Data parameter penyebab longsor di daerah penelitian (lanjutan) ........... 102
4. Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab longsor di
daerah penelitian ..................................................................................... 104
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi setiap saat
dimana saja dan kapan saja, yang menimbulkan kerugian material dan imaterial
bagi kehidupan masyarakat. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam
yang umumnya terjadi di wilayah pegunungan (mountainous area), terutama di
musim hujan, yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban
jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti
perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial
masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah.
Menurut Goenadi et al. (2003) dalam Alhasanah (2006), faktor penyebab
tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan
lahan, litologi, struktur geologi, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam,
seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan
penambangan.
Bencana tanah longsor dampaknya bersifat lokal (dibandingkan dengan
gempa bumi dan letusan gunung api), sering terjadi dan dapat mematikan manusia
karena kejadiannya yang tiba-tiba. Kejadian tanah longsor di Indonesia sejak
tahun 1994-1998 terjadi di 410 lokasi, tersebar di beberapa propinsi. Kejadian
tersebut mengakibatkan 597 korban jiwa, 3400 rumah rusak sampai hancur, 1003
ha lahan pertanian, dan 7483,5 m jalan rusak dan terancamnya saluran irigasi.
Lokasi yang tertimpa bencana umumnya tergolong sebagai desa tertinggal.
(Sutikno, 1997). Sedangkan sejak tahun 2003-2005 sedikitnya telah terjadi 103
kejadian longsor yang tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Kejadian tersebut
mengakibatkan 411 korban meninggal, 149 korban luka-luka, 4608 rumah rusak
dan hancur, 751 ha lahan pertanian rusak, dan 920 m jalan rusak. (DVMBG,
2007).
2

Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang paling rawan tanah longsor di
Indonesia. Selain kondisi alamnya yang rusak, banyaknya gunung api dan posisi
Propinsi Jawa Barat yang berada di sekitar tumbukan Lempeng Australia dan
Eurasia menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah yang rawan tanah longsor dan
gempa bumi. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Tahun 2005
diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di
sepuluh kabupaten/kota antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi,
Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta.
Di Jawa Barat, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang
merupakan titik rawan longsor. Bencana longsor yang terjadi di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor pada awal Februari 2007 telah menyita
banyak perhatian dan menyebabkan banyak kerugian. Jumlah korban mengungsi
dalam peristiwa longsor ini sebanyak 7.200 jiwa terdiri dari 3.912 jiwa dari Desa
Bojong Koneng dan 3.288 jiwa dari Desa Karang Tengah. Di Desa Bojong
Koneng kerusakan bangunan yang tergolong berat sejumlah 161 unit, kerusakan
sedang 216 unit, dan kerusakan ringan 546 unit yang terdiri dari rumah tinggal,
masjid/musholla, pondok pesantren, dan bangunan sekolah (SD/MI). Sedangkan
di Desa Karang Tengah kerusakan bangunan yang tergolong berat 187 unit,
sedang 124 unit, dan ringan 420 unit yang terdiri dari rumah tinggal,
masjid/musholla, dan pondok pesantren.
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor
tersebut, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan
agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian
longsor pada daerah-daerah di Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan
kejadian longsor nantinya dan merupakan langkah pertama dalam upaya
meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi daerah
kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian
longsor dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan
penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui
penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
3

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1 Mengetahui lokasi sebaran area kejadian longsor di daerah penelitian.
2 Mengetahui karakter dan pola longsor yang terjadi di daerah penelitian.
3 Mengidentifikasi dan mengevaluasi penyebab-penyebab terjadinya longsor di
daerah penelitian.
4 Menentukan fakfor-faktor penyebab utama terjadinya longsor di daerah
penelitian.

1.3 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang gambaran penyebab-penyebab longsor berdasarkan kejadian longsor yang
telah terjadi sehingga mampu menjadi rujukan dalam pencegahan dan mitigasi
bencana tanah longsor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tanah Longsor


Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana
pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang
relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan
sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru
akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan
terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kamus
Wikipidea menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi
dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar
tanah.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)
menyatakan bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah.
Didefinisikan sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir,
dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau
keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Gerakan tanah (tanah longsor) adalah suatu produk dari proses gangguan
keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke
tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng
tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah
yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh
pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam
dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng akibat penyerapan
air hujan, dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan
gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng,
penggalian tanah di tepi lereng, dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah
penduduk yang banyak mengalihfungsikan tanah-tanah berlereng menjadi
pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko
longsor.
5

Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi


yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif
pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-
bentuk erosi lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor
pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode yang sangat pendek.
Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis gerakan
tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan
(debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi
dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability)
pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau
penimbunan.
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan
mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement),
merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi
akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada
beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut
antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air,
gaya kohesi antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-
partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan
menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

2.2 Tipe longsor


Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan
gerakannya dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :
a. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.
b. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran
berbentuk tapal kuda.
c. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah
bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.
6

d. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan


berkembang lebih lanjut menjadi aliran.
e. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah,
penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada
daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah.
Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu
penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau
perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat
bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya.ataupun
pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat.
Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air
tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik,
sedangkan tekanan antar batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun.
Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh
batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).

Gambar 1 Macam-Macam Bentuk Longsor


1.Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan


batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau
menggelombang landai.

2.Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan


batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
7

3.Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang


bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran
ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

4.Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau


material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas.
Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar
yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

5.Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak


lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus.
Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.
Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini
bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah
miring ke bawah.
8

6.Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah


bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung
pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan
jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang
lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di
beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di
daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah
ini dapat menelan korban cukup banyak.

Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan


menjadi beberapa macam/tipe antara lain :
1. Jenis jatuhan
Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas
tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng
terjal.
2. Longsoran
Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan
bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran
dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan
mematikan karena tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran
dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap
tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.
3. Jenis aliran
Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan
aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya.
Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang
gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan sampai
9

ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran
tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
4. Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran
dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini
yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan
korban cukup tinggi.
Menurut Dwiyanto (2002), dilihat dari kenampakan bidang gelincirnya
terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya :
a. Kelongsoran rotasi (rotational slip).
b. Kelongsoran translasi (translational slip).
c. Kelongsoran gabungan (compound slip).

2.3 Penyebab Tanah Longsor


Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada
kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi
penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar
dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005),
tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu
terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu
lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan
kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api,
lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi sebagai
bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi,
tektonik).
b. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama,
ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh
karena air hujan.
10

c. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal)


d. Keadaan topografi: lereng yang curam.
e. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa
air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat,
banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama).
f. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong,
semak belukar di tanah kritis.

b. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah
yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan
menyebabkan tanah menjadi lembek
e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan
sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng
semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing
i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang
bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang
padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing
j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran

Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan


bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat
meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh
air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi
11

setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran akan terjadi jika
terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak
atau meluncur ke bawah,
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di
atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi, atau dapat juga berupa lapisan batuan.

Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis
merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan
kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah
manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga
pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. (Surono,
2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah,
keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi, dan aktivitas manusia
di wilayah tersebut.

Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor


No Faktor Penyebab Parameter
1. Faktor Pemicu Dinamis 1. Kemiringan Lereng
2. Curah Hujan
3. Penggunan Lahan (aktivitas manusia)
2. Faktor Pemicu Statis 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi
5. Kedalaman Solum Tanah
6. Permeabilitas Tanah
7. Tekstur Tanah
Sumber : Goenadi et. Al (2003) dalam Alhasanah (2006)

Menurut Barus (1999), gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai


sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase,
12

lereng/bentuk lahan, hujan, maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis


seperti penggunaan lahan dan infrastruktur.
Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi
bersamaan dengan terjadinya gempa. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat
sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah (Noor, 2006).
Karnawati (2004) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya
longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan di antaranya
geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya
proses-proses pemicu gerakan seperti : infiltrasi air ke dalam lereng, getaran,
aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan.
Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi,
struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling
berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau
berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi
rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila
ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun
non alamiah yang dapat mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak)
menjadi mulai bergerak.
Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa terdapat beberapa
ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu :
a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang
umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan
akan melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat
sarang, gembur, dan mudah meresapkan air.
b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah
pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin
dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang
kompak dan bidang luncuran tersebut miring kea rah lereng yang terjal.
c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada
daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan
dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan
sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.
13

d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan


lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila
daerah tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan
yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor.
e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di
lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok,
persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau
bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan
mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat
massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat
tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang
dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor.
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) faktor-faktor
penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut :
a. Topografi atau lereng,
b. Keadaan tanah/ batuan,
c. Curah hujan atau keairan,
d. Gempa /gempa bumi, dan
e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan
menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah
terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-
faktor ini satu sama lainnya.

2.3.1 Kelerengan (Slope)


Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting
dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait
dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu
mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya
dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya
sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan
14

yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada
lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya,
struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada
lereng tersebut.
Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang
rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu :
Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan
atau tanah yang lebih kompak.
Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng.
Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya
penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang
berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-
gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini
lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami
gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan
Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003).
Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan
sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003) :
1) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya
berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal
seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau
karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.
2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya
absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban guncangan atau beban berulang,
pengaruh pembekuan atau pencairan, hilangnya sementasi material, proses
pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada
lempung sensitif.
Sitorus (2006) menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat
disebabkan oleh banyak faktor lain :
a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan
kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
15

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan


di atas lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan
terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan.
c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.
d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,
e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan
pengembangan tanah.
f. Stuktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah
kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan,
patahan, rekahan, sesar,dan perlapisan batuan yang terlampau miring.
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.
Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau
kurang kompak.
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran
air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor.
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat
kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu
menembus sampai lapisan batuan dasar maka tubuhan tersebut akan sangat
berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi ain meskipun tumbuhan
memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang
memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.
Pada kadud tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan
tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong
terjadinya longsor.

Secara umum bentuk penampang keruntuhan lereng dibedakan atas : (1)


berbentuk rotasi lingkaran (circular rotational slips) untuk kondisi tanah
homogen, (2) tidak berbentuk lingkaran (non-circular) untuk kondisi tanah tidak
homogen, (3) bentuk translasi (translational slip) untuk kondisi tanah yang
mempunyai perbedaan kekuatan antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar
16

longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth)
serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4)
bentuk kombinasi (compound slip) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan
dalam yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri
dari lengkung dan datar (Peck dan Terzaghi, 1987; McKyes, 1989; Craig, 1992;
Bhandari, 1995, dalam Mustafril, 2003).
Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah
perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan
yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk
bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring
berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian
longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu:
a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak.
b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.
c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

2.3.2 Penutupan Vegetasi


Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan,
erosi, dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2)
Batang mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan
merusak butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan
pergerakan tanah, (4) Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.
Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor.
Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara,
sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah
penjenuhan material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007).
Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi
dan pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil.
Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng.
Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman
dalam mencegah longsor.
17

Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor.
Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi
geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok
ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki
jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).
Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer, 1993). Penutupan
menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan
(Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara
langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup
dalam penutupan lahan, yaitu :
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan
kehidupan binatang
3. Tipe pembangunan
Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan
menggunakan penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang
kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara
langsung dari penutupan lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).

2.3.3 Faktor Tanah


Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah
yang gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan
lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti
tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah.
Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami
erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K
makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar
kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah
bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian
18

besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi
air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat,
dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi
dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian,
2006).
Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada
intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih
cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah
lempung, 0,03 jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.

Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah


No. Kriteria Nilai (cm)

1 Sangat dangkal <25

2 Dangkal 50-25

3 Sedang 50-90

4 Dalam >90

Sumber : Arsyad, 1989

2.3.4 Curah Hujan


Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya
bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam
tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan
lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin
meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin
menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk
bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan
air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan
sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut.
Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin
cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah
tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin
tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang
19

longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah
menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara
gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng
dan menurunkan kuat geser tanah.
Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di
bagian-bagian lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama
berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan
dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak
diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng
dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi
rawan longsor.
Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat
rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berjalan
berkepanjangan lebih dari 1 atau 2 hari, akan berpeluang untuk menimbulkan
tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, (Litbang Departemen Pertanian,
2006) hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang
berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi
tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah.
Ada dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70 mm/jam
atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran
pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah
lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan
kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang
tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu
hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).

2.3.5 Faktor Geologi


Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur
geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan
gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah
20

kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan,


dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan
batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air
meresap (Surono, 2003).

Tabel 3. Karakteristik Tanah Longsor


1 Fenomena sebab Meluncurnya tanah pada lereng dan bebatuan sebgai akibat getaran-getaran yang
akibat terjadi secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air,
hilangnya dukungan yang berdekatan, pengisian beban, pelapukan, atau
manipulasi manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi lereng.
2 Karakteristik Tanah longsor berbeda-beda dalam tipe gerakannya (jatuh, meluncur, tumbang,
umum menyebar ke samping, mengalir), dan mungkin pengaruh-pengaruh sekundernya
adalah badai yang kencang, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Tanah
longsor lebih menyebar dibandingkan dengan kejadian geologi lainnya.
3 Bisa diramalkan Frekuensi kemunculannya, tingkat, dan konsekuensi dari tanah longsor bisa
diperkirakan dan daerah-daerah yang beresiko tinggi ditetapkan dengan
penggunaan informasi pada area geolog, geomorphologi, hidrologi, & klimatologi
dan vegetasi.

4 Faktor-faktor Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah yang lembek,
yang puncak batu karang.
memberikan Tempat hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, pada mulut-
kontribusi mulut sungai dari lembah-lembah gunung.
terhadap Jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi di daerah-daerah pegunungan.
kerentanan Bangunan dengan pondasi lemah.
Jalur-jalur pipa yang ditanam, pipa-pipa yang mudah patah.
Kurangnya pemahaman akan bahaya tanah longsor.

5 Pengaruh- Kerusakan fisik- Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor
pengaruh umum akan menderita kerusakan. Puing-puing bisa menutup jalan-jalan, jalur
yang merugikan komunikasi atau jalan-jalan air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung bisa mencakup
kerugian produktifitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, berkurangnya nilai
property. Korban –kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-
puing yang hebat atau aliran Lumpur telah membunuh beribu-ribu orang.
6 Tindakan Pemetaan bahaya
pengurangan Legislasi dan peraturan penggunaan bahaya
resiko yang Asuransi
memungkinkan
21

7 Tindakan Pendidikan komunitas


kesiapan khusus Monitoring. System peringatan dan sistem evakuasi

8 Kebutuhan SAR (penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah)


khusus pasca Bantuan medis, emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki
bencana tempat tinggal.

9 Alat-alat Formulir-formulir pengkajian kerusakan


penilaian
dampak

Sumber : UNDP 1992


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai dengan bulan
Desember 2007, dengan lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan, dan
pengambilan data di daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan Madang
Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk mengolah dan menganalisa data dilakukan di
Laboratorium Remote Sensing and Geographic Information System, Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan


Peralatan yang digunakan adalah Perangkat Keras (hardware) terdiri dari
personal computer dan printer. Perangkat lunak (software) terdiri dari ArcView
3.2, Mapsource, dan Ms-Office, selain itu dalam pengambilan data bio-fisik
lapangan juga digunakan suunto clinometer, meteran, GPS (Global Positioning
System) Garmin 12 XL, kamera digital, kalkulator, dan alat tulis.
Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah peta digital
Kabupaten Bogor hasil Interpretasi Citra satelit (landsat SPOT 5) tahun 2005
berbagai layer dan Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1: 100.000

3.3 Pengumpulan Data


3.3.1 Pengumpulan Data Peta
Data yang dikumpulkan berupa data spatial dan data atribut (data curah
hujan) yang diperoleh dari beberapa instansi terkait. Juga dilakukan pengamatan
di lokasi longsor pada daerah penelitian. Adapun data peta yang dikumpulkan
adalah sebagai berikut :
a. Peta digital Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala
1:25.000 diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
b. Peta digital Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000
yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
23

c. Peta digital Geologi Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
d. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 yang diperoleh dari Pusat
Penelitian Tanah
e. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 Skala 1:
25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
f. Peta digital Landuse (Penggunaan Lahan) Kabupaten Bogor Tahun 2005
Skala 1: 25000 yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bogor.
g. Peta digital Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang
diperoleh dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB
h. Peta digital Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2005 yang diperoleh
dari Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB
i. Peta digital Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005 skala 1:25.000
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
j. Data Atribut Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 1994-2007 diperoleh
dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor
k. Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Hutan Kecamatan Babakan
Madang pada Februari 2007 diperoleh dari KPH Bogor
l. Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di
Lapangan dengan Menggunakan GPS.

3.3.2 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan


Pengumpulan data di lapangan dilakukan secara langsung melalui kegiatan
survey dan pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang
bertujuan mencatat sifat-sifat fisik di lapangan. Pengamatan dan pengumpulan
data lapangan dilakukan setelah faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor
dapat teridentifikasi. Proses identifikasi dan pemilihan parameter yang diamati
berdasarkan atas kondisi wilayah penelitian dan hasil kajian pustaka. Dalam hal
ini pertimbangan teoritis (hasil studi pustaka) dan faktor kondisi fisik wilayah
24

penelitian menjadi acuan dalam menetapkan berbagai faktor penyebab tanah


longsor. Kondisi wilayah yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan suatu
parameter antara lain :
1) Kondisi Longsor (landslide), yaitu : tipe longsor, kondisi zona (wilayah) di
sekitar lokasi/titik longsor, dan luasan area kejadian longsor.
2) Keadaan vegetasi, yaitu : jenis vegetasi tutupan lahan (land cover) dan
jenis tanaman.
3) Karakteristik fisik tanah, yaitu : ketebalan tanah (solum), tekstur tanah,
dan struktur tanah pada lokasi kejadian longsor
4) Kelerengan yaitu slope (kemiringan lereng)
5) Bentang Lahan (landform), yaitu : material longsor, bentang lahan (bentuk
lahan)
6) Penggunaan lahan (landuse), yaitu : kebun campuran, tegakan campuran,
semak belukar, dan ladang/tegalan.
7) Usaha Konservasi, yaitu : upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah
terjadinya bahaya longsor : pembuatan teras, pembuatan saluran air, dan
pembangunan bronjong.

Dalam penentuan kelas tekstur dan struktur tanah di lokasi penelitian


dilakukan pengambilan contoh tanah terganggu atau tidak utuh (disturbed soil
sample). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut (Sitorus, et al, 1980) :
1) Gali tanah sampai kedalaman yang diinginkan, misalnya kedalaman 0-20
cm; 0-30 cm; 0-40 cm; dan sebagainya.
2) Ambil dan masukkan contoh tanah ke dalam kantong plastik. Beri nomor
pada label, bungkus lebel dengan plastik kecil, masukkan ke dalam
kantong plastik lalu diikat.
Pemerian kelas tekstur tanah dilakukan dengan metode uji rasa rabaan
dengan tahapan sebagai berikut :
1) Mengambil setengah genggam contoh tanah dan membuang benda asing,
misalnya akar, biji, binatang tanah, mineral dan batu sehingga menyisakan
pisahan tanah halus
25

2) Menambah sedikit air dari botol air (jika tanahnya kering),


membiarkannya terserap tanah, dikepal-kepal dan diuli dengan jari
telunjuk dan ibu jari sampai kebasahannya merata dan hancur menjadi
individu-individu jarah tanah (contoh tanah yang banyak lempungnyadan
awalnya kering membutuhkan pengulian lebih intensif)
3) Menambahkan massa tanah atau air, dilakukan pengulian sampai contoh
tanah tersebut berada pada titik lekatnya yaitu suatu keadaan tanah jika
ditingkatkan kebasahaannya akan menempel pada jari-jari tangan
4) Menetapkan kelas tekstur tanah kategori detil dan kategori semi detil.
5) Membuang contoh tanah yang diuji dan membersihkan sisa-sisanya yang
menempel di tangan sebelum melakukan pemerian pada contoh tanah
lainnya.
Adapun cara pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik
uji rasa rabaan terlampir dalam panduan pada Tabel 4.

Tabel 4. Panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori semi detil dengan teknik uji rasa rabaan
Penciri Kelas
Tekstur
Semi Detil
Galir dan berwujud butir-butir tunggal yang dapat dikenali dan dipisahkan segera Pasir
Perepihan massa tanah kering menyebabkan pisahan pasirnya mudah runtuh
Perepihan massa tanah lembab merangsang terbentuknya panduan tanah yang
lemah dan jika dikenai tekanan ringan akan tercerai berai
Massa tanahnya banyak mengandung pisahan pasir tetapi kandungan pisahan Geluh
lempungnya masih cukup banyak untuk dapat memberikan sensasi kelekatan pasiran
Butir-butir pasirnya dapat dikenali dan dipisahkan segera
Perepihan massa tanah lembab akan merangsang terbentuknya paduan tanah
tanpa memperlihatkan keretakan kecuali jika dikenai tekanan
Massa tanahnya mengandung campuran pisahan pasir, debu, dan lempung yang Geluh
memberikan sensasi rasa agak kasar, cukup halus, dan agak plastis
Peepihan massa tanah kering merangsang terbentuknya paduan tanah cukup
mantap dan jika diuli tidak menyebabkan kehancuran
Massa tanahnya mengandung pisahan pasir halus dalam jumlah cukup dan sedikit Geluh
pisahan lempung debuan
Massa tanah kering membentuk gumpalan yang mudah diremukkan dengan
26

remukannya terasa gembur dan lembut serupa tepung


Massa tanah kering atau lembab dapat membentuk paduan tanah yang dapat diuli
leluasa tanpa meremukkannya
Peremasan massa tanah basah dapat membentuk pita tanah – pita tanah
panjang/tidak terputus
Massa tanah keringnya keras dan jika dihancurkan membentuk/gumpal Geluh
Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanh mudah hancur lempungan
Pengulian massa tanah basah akan plastis, membentuk paduan tanah mantap, dan
jika ditekan cenderung membentuk massa pejal/padat
Massa tanah kering membentuk bungkah/gumpal sangat keras Lempung
Pengulian massa tanah lembab akan membentuk pita tanah lentur dan panjang
Pengulian massa tanah basah akan agak plastis dan lekat
Sumber : Soil Survey Staff (1975) dalam Purwowidodo (2003)

3.4 Pengolahan dan Analisa Data.


3.4.1 Pengolahan Data.
Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan
merangkaikan berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan
terinci menurut fungsi, klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Data yang
diperoleh dikelompokkan menurut jenisnya. Data yang diperoleh terdiri dari :
1. Data atribut hasil analisis data spatial.
2. Data bio-fisik hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan
(tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng, ketebalan tanah)
3. Data sosial, ekonomi dan budaya, jumlah penduduk, produktivitas pertanian,
mata pencaharian, budaya dan agama, dan sebagainya

3.4.2 Analisa Data


Analisa data adalah suatu proses saling menghadapkan dua jenis data atau
lebih untuk mendapatkan hubungan informasi antara data yang satu dengan
lainnya. Hubungan informasi tersebut diperlukan untuk mengidentifikasikan
permasalahan dan alternatif pemecahannya. Hasil analisa yang diharapkan yakni
dapat teridentifikasinya faktor-faktor penyebab terjadinya longsor di Kecamatan
Babakan Madang.
27

Proses analisa data spasial daerah kejadian longsor Kecamatan Babakan


Madang sebagian besar dilakukan dengan menggunakan alat (instrumen)
perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcView 3.2.
Proses analisa dengan menggunakan software SIG ini dapat dilaksanakan dengan
terlebih dahulu melakukan input data spasial beberapa tema yang telah dilakukan
koreksi data dari data survey lapangan.
a. Input Data Spasial (Parameter Penyebab Terjadinya Longsor).
Data spasial parameter penyebab terjadinya longsor diperoleh dari hasil analisis
terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu terjadinya
longsor, diantaranyai:
1) Kondisi Penutupan Lahan
2) Kondisi Penggunaan Lahan
3) Iklim (Cuaca, bulan basah, bulan kering)
4) Kemiringan Lereng
5) Batuan Induk (Geologi) dan
6) Kemampuan dan Kesesuaian Lahan
b. Analisis Spasial
Setelah data spasial parameter penentu faktor utama kejadian longsor
disusun, data tersebut selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi
mengenai faktor utama penyebab longsor. Analisis spasial dilakukan dengan
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penduga
penyebab longsor) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan
sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap
data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga
analisis tabular.
Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk
menghasilkan data spasial penyebab utama kejadian longsor. Untuk analisa
spasial, sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal
Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga
memungkinan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier
seperti jarak dan luas. Sistem proyeksi tersebut lazim digunakan dalam pemetaan
28

topografi sehingga sesuai juga digunakan dalam pemetaan tematik seperti halnya
pemetaan daerah kejadian longsor.
Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan faktor penyebab
terjadinya longsor dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis
(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing.
Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial
daerah kejadian longsor terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Tumpangsusun (Overlay) Data Spasial
Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis
(SIG) ArcView 3.2 dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan
(extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView 3.2 atau
extension X-Tools yang ditambahkan ke dalam extensions software ArcView
sangat berperan dalam proses ini. Di dalam extension ini terdapat beberapa
fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti: union, dissolve, merge, clip,
intersect, asign data.
Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan misalnya mulai
overlay theme vegetasi dengan theme wilayah administartif kemudian hasil
overlay tersebut dioverlaykan kembali dengan theme peta lokasi kejadian longsor.
Proses ini dilakukan untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama.
2. Editing Data Atribut
Editing data atribut pada intinya adalah menambah kolom (field) baru pada
atribut theme hasil overlay, hanya dilakukan apabila diperlukan.
3. Analisis Tabular
Analisis tabular ini pada prinsipnya adalah analisis terhadap atribut dari
theme hasil overlay, yang sebelumnya telah melewati tahap pengolahan dan
editing data atributnya.
4. Penyajian Data Spasial
Data secara umum adalah representasi fakta dari dunia nyata (real world).
Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain:
a. Bentuk Uraian (Deskriptif)
b. Bentuk Tabular
c. Bentuk Grafik dan Diagram
29

d. Bentuk Peta
Penyajian data dalam bentuk uraian (deskriptif), bentuk tabular, bentuk
grafik dan diagram dapat dilihat dalam pembahasan sedangkan penyajian data
dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah
kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa
mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah
kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam
proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta.
4.5 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor
Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian
didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004).
Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara
memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor.
Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena
diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor
tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG,
diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana
tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi
dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan
kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk
menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :
Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas
geologi) + (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas
penggunaan lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)

4.5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor


Parameter penyebab tanah longsor terbagi ke dalam 5 faktor utama yaitu
faktor tanah, faktor geologi, faktor penggunaan lahan, faktor curah hujan (tipe
iklim), dan faktor lereng. Urutan pemberian skor berdasarkan dari peranan
masing-masing variabel terhadap terjadinya longsor dimana semakin tinggi nilai
30

skor maka semakin besar pengaruhnya terhadap kejadian longsor. Perincian


penetapan skor dan bobot dapat dilihat pada Tabel 5 .
Tabel 5. Bobot dan skor parameter pemicu longsor
PARAMETER SKOR BOBOT
FAKTOR TANAH 0,3
JENIS TANAH
V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan 1
V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan 2
dan litosol
TEKSTUR TANAH
V3 Lempung-Liat 1
V4 Lempung liat Berpasir 2
KEPEKAAN EROSI
V5 Tidak Erosi 1
V6 Erosi 2
KETEBALAN TANAH
V7 (0-10 m) 1
V8 (>10 – 20 m) 2
V9 (>20 – 30 m) 3
V10 (> 30 m) 4
PENGGUNAAN LAHAN 0,15
TUTUPAN VEGETASI
Tegakan Campuran/perkebunan 1
Semak Belukar 2
Kebun Campuran 3
Tak bervegetasi/gundul 4
KONDISI KEBUN CAMPURAN
Dengan Tanaman Keras 1
Tanpa Tanaman Keras 2
TIPE INFRASTRUKTUR
Pemukiman 1
Jalan 2
BANGUNAN KONSERVASI
Bronjong penahan 1
Saluran air 2
Pembuatan teras 3
Tidak ada 4
31

FAKTOR LERENG 0,15


KEMIRINGAN LERENG
0-8 % 1
>8 – 15% 2
15-25% 3
25-40% 4
>40% 5
KONDISI PERBUKITAN (BENTANG LAHAN)
Datar (0-3%) 1
Berombak (3-8%) 2
Bergelombang (8-15%) 3
Berbukit (15-30%) 4
Bergunung (>30%) 5
KONDISI GEOLOGI 0,2
JENIS BATUAN
Bahan Volkanik (Qvk, Qvsl, Qvu dll) 1
Bahan Sedimen (Tmn, Tmj, Tmb, Tmbl, Tmtb) 2
KEJADIAN LONGSOR SEBELUMNYA
Tidak Pernah 1
Pernah 2
FAKTOR CURAH HUJAN (TIPE IKLIM) 0,3
Tipe Iklim Kering 1
(CH 1.000 – 2.000 mm/tahun)
Tipe Iklim Sedang 2
(CH 2.000 – 2.500 mm/tahun)
Tipe Iklim Basah 3
(CH 2.500 – 3.000 mm/tahun)
Tipe Iklim Sangat Basah 4
(CH >3. 000 mm/tahun
Sumber : Sitorus (2006); Rejekiningrum (2007); Subhan (200
32

Tabel 6. Parameter Penduga Longsor yang Diamati


Indikator Parameter Skor Ket.
Jenis Tanah V1 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan 1 Data Peta
V2 Kompleks latosol merah kekuningan latosol 2
coklat kemerahan dan litosol
Tektur Tanah V3 Lempung-Liat 1 PL
V4 Lempung liat Berpasir 2

Kondisi Erosi V5 Tidak Erosi 1 Data Peta


V6 Erosi 2
Ketebalan tanah V7 (0-10 m) 1 PL
V8 (>10 – 20 m) 2
V9 (>20 – 30 m) 3
V10 (> 30 m) 4
Tutupan Vegetasi V11 Tegakan Campuran 1 PL
V12 Semak Belukar 2
V13 Kebun Campuran 3
V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput 4
Kebun campuran V15 Dengan tanaman keras 1 PL
V16 Tanpa tanaman keras 2
Tipe Infrastruktur V17 Pemukiman 1 PL
V18 Jalan 2
Bangunan V19Bronjong penahan 1 PL
Konservasi Tanah V20 Saluran air 2
dan Air V21 Pembuatan teras 3
V22 Tidak ada 4
Kemiringan Lereng V23 0-8% 1 PL
V24 >8-15% 2
V25 >15-25% 3
V26 >25-40% 4
V27 >40% 5
Kondisi Perbukitan V28Datar 1 PL
V29 Berombak 2
V30 Bergelombang 3
V31 Berbukit 4
V32 Bergunung 5
Jenis Batuan V33 Batuan Gunung Api 1 Data Peta
V34 Batuan Sedimen 2
33

Sejarah Kejadian V35 Tidak Pernah 1 Wa


Longsor V36 Pernah 2
Kondisi Cuaca (curah V37 Kering 1 Data Peta
hujan) V38 Sedang 2
V39 Basah 3
V 40 Sangat Basah 4
Ket : Data Peta : Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)
PL : Pengamatan atau pengujian lapangan
Wa : Wawancara
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas


Wilayah studi Kecamatan Babakan Madang terletak di bagian Timur
Kabupaten Bogor. Menurut analisis data spasial yang dikeluarkan oleh Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Kecamatan
Babakan Madang meliputi areal seluas kira-kira 9181 hektar, terbentang antara
6°30’ - 6°39’ LS dan 106°50’-106°58’ BT dengan batas-batas geografis sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Citeureup
Sebelah Selatan : Kecamatan Megamendung
Sebelah Timur : Kecamatan Sukamakmur
Sebelah Barat : Kecamatan Sukaraja
Secara admisnistratif Kecamatan Babakan Madang meliputi 9 desa yaitu
Desa Babakan Madang, Bojongkoneng, Cijayanti, Cipembuan, Citaringgul,
Kadumanggu, Karang Tengah, Sentul, dan Sumur Batu. Adapun luasan
administratif dari tiap-tiap desa terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luasan Administratif Tiap Desa di Kecamatan Babakan Madang


No. Desa Luasan (ha)
1 Babakan Madang 328,178
2 Bojongkoneng 1.884,795
3 Cijayanti 1.684,178
4 Cipembuan 250,159
5 Citaringgul 362,574
6 Kadumanggu 497,102
7 Karangtengah 3.554,845
8 Sentul 359,192
9 Sumurbatu 260,067
Jumlah 9.181,090
Sumber : Peta Wilayah Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor
(Diolah)
35

4.2 Topografi
Kecamatan Babakan Madang dilewati beberapa sungai-sungai yang
memiliki debit air cukup besar seperti Sungai Cilaya, Sungai Ciherang, Sungai
Ciwangun, Sungai Cijayanti, Sungai Cikeruh, Sungai Cibatu dan Sungai Cileungsi
serta dikeliling beberapa gunung seperti Gunung Pancar (864 mdpl), Gunung
Hambalang, Gunung Astana, dan Gunung Wangun sehingga menyebabkan
Kecamatan Babakan Madang mempunyai ketinggian yang sangat bervariasi yaitu
antara 100 – 1.750 m dpl. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 8. Karakteristik
topografi Kecamatan Babakan Madang scecara umum berada pada daerah dengan
kemiringan lereng beragam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-8%) memiliki
luasan terbesar yakni meliputi 40,5 % dari total wilayah, diikuti wilayah dengan
kelerengan landai 21,4 % dari total wilayah, curam 21,2 %, agak curam (15,9 %)
dan sangat curam (1,11 %) seperti yang tertulis dalam Tabel 9, sedangkan sebaran
kemiringan lereng pada tiap-tiap desa dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 8. Ketinggian Wilayah Daerah Kecamatan Babakan Madang


No Ketinggian Luas (ha) Persentase (%)
1 1.500 m – 1.750 m 18,5300 0,16
2 1.250 m – 1.500 m 243,5130 2,17
3 1.000 m – 1.250 m 687,2270 6,11
4 750 m – 1.000 m 826,9520 7,35
5 500 m – 750 m 1.527,7340 13,6
6 250 m – 500 m 3.864,0530 34,4
7 100 m – 250 m 4.079,4960 36,3
Total 11.247,505 100
Sumber : Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Tabel 9. Kelas Lereng dan Luasannya di Kecamatan Babakan Madang


No. Kelas Lereng (%) Jumlah (Ha) Persentase (%)
1 0-8 3.714,6270 40,5
2 8-15 1.961,4300 21,4
3 15-25 1.459,4470 15,9
4 25-45 1.943,7262 21,2
5 > 45 101,7410 1,11
Total 9.181,090 100
Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
36

Tabel 10. Kelas Kemiringan Lereng


Desa Kelas Kemiringan Lereng
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
(0-8%) (8-15%) (15-25%) (25-45%) (> 45%)
Karang Tengah 679,9330 527,1530 847,7870 1.424,1000 75,7970
Bojong Koneng 447,9620 575,6480 356,9870 479,4640 24,7020
Cijayanti 911,5720 615,8990 140,9370 15,5030 0,2500
Sumur Batu 172,2670 59,2920 23,2090 4,7990 0,5000
Babakan 211,3860 66,8380 43,6290 6,3200 -
Madang
Cipembuan 232,5810 11,5950 3,7130 2,0310 0,2420
Citaringgul 251,5700 66,5960 35,9690 8,1860 0,2500
Kadumanggu 462,3690 29,7680 3,9020 1,0600 -
Sentul 344,9870 8,6410 3,3140 2,2500 -
Sumber : Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
37
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000

PETA KELAS LERENG

92 820 00
9 28 200 0

KECAMATAN BABAKAN MADANG


N

W E

92 800 00
9 28 000 0

Skala 1 : 31.000

92 780 00
9 27 800 0

Legenda :
Lokasi Longsor Bds Tk. Kerawanan
# Rendah

92 760 00
9 27 600 0

# Sedang
# Tinggi
Kelas Lereng
0-8

92 740 00
9 27 400 0

15-25
25-45
8-15
>45

92 720 00
9 27 200 0

#
#

Skala 1 : 450.000
# # Lok as i P en el iti an
# #
#

92 700 00
9 27 000 0

92 680 00
9 26 800 0

#
#
#
#
##
###
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
# #
#

92 660 00
9 26 600 0

Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor


##

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )


Manajemen Hutan

92 640 00
9 26 400 0

Fakultas Kehutanan IPB


2008
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000

Gambar 2. Peta Kelas Lereng Kecamatan Babakan Madang


38

4.3 Klimatologi
Secara umum, keadaan iklim Kecamatan Babakan Madang relatif sama
dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis tipe A (sangat basah)
di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Suhu udara berkisar antara
20-30 C, wilayah Selatan Kabupaten Bogor memiliki hawa yang sejuk sedangkan
bagian Utara memiliki hawa yang panas. Curah hujan tahunan 2.500 - 5.000
mm, kecuali di wilayah bagian Utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta,
Kabupaten Tangerang dan Bekasi curah hujannya kurang dari 2.500 mm/tahun,
karena itulah Kabupaten Bogor mendapat sebutan sebagai kota hujan. Curah hujan
tinggi terjadi pada wilayah bagian Selatan yang merupakan bentang pegunungan
yaitu di Kecamatan Caringin, Cijeruk, Tamansari, Pamijahan, Leuwiliang,
Nanggung dan Kecamatan Sukajaya sebanyak 4.000-5.000 mm/tahun.
Data curah hujan bulanan pada daerah penelitian berdasarkan data
Pencatatan Data Curah Hujan pada Stasiun Cibinong dan Stasiun Cibongas
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 11-12 dan Tabel 13-14.

Tabel 11. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong (1994-2007)


Bulan Curah Hujan

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000


Januari 751 500 - 207 - 506 282
Februari 221 497 416 86 - - 161
Maret 427 152 165 95 102 - 117
April 366 - 112 233 376 - 156
Mei 52 113 71 127 - 180 358
Juni 76 268 37 7 481 249 159
Juli 7 88 - - 371 137 85
Agustus 33 5 - 15 264 197 241
September 45 - - - 289 72 242
Oktober 31 328 426 - - 294 84
November 493 306 254 277 - 149 460
Desember - 284 - * - 242 349
Jumlah 2502 2541 1481 1047 1883 2026 2694
Rata-rata 209 212 123 87 157 169 225
39

Tabel 12. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibinong Tahun 1994-2007 (lanjutan)
Bulan Curah Hujan

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Rata2


Januari 219 742 212 286 491 763 489 5448 389
Februari 345 316,5 322 464 491 535 610 3014 215
Maret 403 384 127 207 441 448 81 2405 172
April 181 401 194 336 192 344 298 2711 194
Mei 83 140 87 153 202 278 174 1782 127
Juni 109 68 73 24 401 55 203 1829 131
Juli 95 76 4 68 97 56 178 1167 83.4
Agustus 48 82 - 15 124 15 116 1117 79.8
September 62 94 - 93 35 21 - 908 64.9
Oktober 417 83 291 265 303 90 222 2049 146
November 347 158 213 352 258 169 174 2557 183
Desember 498 171 249 637 178 550 ** 2874 205
Jumlah 2807 2399 1772 2900 3213 3324 2545 27861 1990
Rata-rata 234 200 148 242 268 277 212 2322 166

Tabel 13. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas (1994-2007)


Bulan Curah Hujan

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000


Januari - 473 - 207 - - **
Februari 220 360 416 86 - 386 **
Maret 525 - 165 95 102 227 **
April 631 306 112 233 376 234 **
Mei 328 290 71 127 - 585 **
Juni - 464 37 7 481 350 **
Juli 3 132,5 - - 371 229 **
Agustus 54 - - 15 264 168 **
September 171,9 250 - - 289 73 **
Oktober 469 586 426 - - - **
November 480 490 254 277 - 357 **
Desember - 205 - * - 235 **
Jumlah 2710 3424 1481 1047 1883 2844
Rata-rata 226 285 123 87 157 237 0
40

Tabel 14. Curah Hujan Bulanan di Stasiun Cibongas Tahun 1994-2007 (lanjutan)
Bulan Curah Hujan

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Rata2


Januari 219 742 212 286 491 763 489 5448 389
Februari 345 316,5 322 464 491 535 610 3014 215
Maret 403 384 127 207 441 448 81 2405 172
April 181 401 194 336 192 344 298 2711 194
Mei 83 140 87 153 202 278 174 1782 127
Juni 109 68 73 24 401 55 203 1829 131
Juli 95 76 4 68 97 56 178 1167 83.4
Agustus 48 82 - 15 124 15 116 1117 79.8
September 62 94 - 93 35 21 - 908 64.9
Oktober 417 83 291 265 303 90 222 2049 146
November 347 158 213 352 258 169 174 2557 183
Desember 498 171 249 637 178 550 ** 2874 205
Jumlah 2807 2399 1772 2900 3213 3324 2545 27861 1990
Rata-rata 234 200 148 242 268 277 212 2322 166
Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor
Keterangan : * : Rusak
- : Tidak Ada Hujan
** : Data Belum Masuk

4.4 Karakteristik Tanah


Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengolahan Peta Tanah Tinjau
Kabupaten Bogor tahun 2005, terdapat beberapa jenis tanah di Kecamatan
Babakan Madang, dengan jenis tanah yang memiliki luasan terbesar yaitu asosiasi
latosol coklat dan latosol kemerahan (50,01%) dan kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol (38,4 %), lihat Tabel 15.
Sedangkan kedalaman tanah efektif di wilayah studi juga memiliki variasi antara
kurang dari 30 cm sampai lebih dari 90 cm seperti terlihat pada Tabel 16.
41

Tabel 15. Luasan Jenis Tanah di Kecamatan Babakan Madang.


No. Jenis Tanah Luas (ha) Persentase
(%)
1 Asosiasi Latosol Merah Latosol Coklat Kemerahan 994,1660 10,83
2 Asosiasi Latosol Coklat Latosol Kemerahan 4.591,8600 50,01
3 Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol Coklat
Kemerahan dan Litosol 3.525,3170 38,4
4 SNG 69,7470 0,76
Jumlah 9.181,090 100
Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

Tabel 16. Sebaran Kedalaman Tanah Efektif di Daerah Penelitian


No. Kedalaman Efektif (cm) Kriteria Luas (ha) Persentase (%)
1 < 30 Sangat dangkal 69,7450 0,76
2 30-60 Dangkal 767,3050 8,36
3 60-90 Sedang 5.040,1150 54,9
4 > 90 Dalam 3.303,9250 36
Total 9.181,090 100
Sumber : Laboratorium Inventarisasi Hutan, Fahutan IPB

Adapun sebaran karakteristik tanah di daerah penelitian berdasarkan kelas


tekstur tanah dan kepekaannya terhadap erosi terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18.
Tabel 17. Kelas Tekstur Tanah di Daerah Penelitian
No. Tektur Tanah Keterangan Luas (ha) Persentase (%)
1 Halus Liat berpasir-liat-liat berdebu 5.310,4670 57,84
2 Sedang Lempung berpasir sangat 3.800,8820
halus-lempung-lempung
berdebu-debu 41,4
3 Unclass Badan-badan air 69,7410 0,76
Jumlah 9.181,090 100
Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)
42

Tabel 18. Keadaan Erosi di Daerah Penelitian


No. Keadaan Erosi Luas (ha) Persentase (%)
1 Erosi 1.084,8320 11,82
2 Tidak erosi 8.026,5170 87,42
3 Unclass 69,7410 0,76
Total 9.181,090 100
Sumber : Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor (Diolah)

4.5 Penutupan Lahan


Data penutupan lahan tahun 2005 di Kecamatan Babakan Madang
menunjukkan bahwa kawasan kebun campuran dan semak belukar merupakan
bentuk penutupan lahan yang terluas yaitu meliputi luasan lebih kurang 5.860,
7540 ha atau sekitar 63,8 % dari luas total wilayah. Penggunaan lahan lain yang
relatif luas adalah hutan/vegetasi lebat (12,2%) dan pemukiman (5,7%). Luasan
tiap tipe penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Luasan Penutupan Lahan di Kecamatan Babakan Madang


No. Tipe Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase
1 Kebun Campuran/Semak Belukar 5.860,7540 63,8
2 Hutan /Vegetasi Lebat 1.118,9460 12,2
3 Perkebunan 281,3015 3,06
4 Pemukiman/Perkampungan 522,9800 5,7
5 Lahan-Lahan Kosong 16,1930 0,18
6 Sawah Irigasi 152,9560 1,67
7 Kawasan Industri 47,8420 0,52
8 Badan-Badan Air 7,8000 0,08
9 Unclass (Awan dan Bayangannya) 1.172,3220 12,8
Jumlah 9.181,090 100
Sumber : Peta Penutupan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor
(Diolah)
43
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000
PETA TUTUPAN LAHAN
KECAMATAN BABAKAN MADANG

92 820 00
9 28 200 0

W E

92 800 00
9 28 000 0

S
Skala 1 : 31.000
Legenda :

92 780 00
9 27 800 0

Lokasi Longsor Bds. Tk. K erawanan


# Rendah
# Sedang

92 760 00
9 27 600 0

# Tinggi
Tutupan Lahan
Awan (no data)
Badan-badan air
Bayangan awan (no data)

92 740 00
9 27 400 0

Hutan/vegetasi lebat
Kawasan Industri
Kebun c am puran/s em ak belukar
Lahan-lahan kosong

92 720 00
9 27 200 0

Perkebunan
#
#
Permuki m an/perkam pungan
Sawah irigas i
# #
#
#
# Skala 1 : 450.000
Lo k a si P e n e li tia n

92 700 00
9 27 000 0

92 680 00
9 26 800 0

#
#
#
#
##
#
Peta Administrasi Kabupaten Bogor
##

92 660 00
9 26 600 0

# #
#

## Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )


Manajemen Hutan

92 640 00
9 26 400 0

Fakultas Kehutanan IPB


2008
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000

Gambar 3. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Babakan Madang


44

Sedangkan penggunaan lahan yang paling dominan seperti terlihat pada


Tabel 20 adalah hutan dengan luasan 3.026,65 ha atau sekitar 32,89 % dari luas
total wilayah. Penggunaan lahan lainnya yang relatif luas yaitu kebun campuran
(18,1 %), tegalan (17,47 %), pemukiman (12,48 %), dan tanah kosong (9,64 %).
Ditinjau dari penyebaran penutupan lahan, kebun campuran dan semak belukar
mendominasi di semua bentang lahan mulai dari lahan dengan kemiringan datar
sampai dengan sangat curam. Penutupan lahan lainnya yang memiliki luasan
relatif besar di semua karakteristik lereng adalah hutan/vegetasi lebat.

Tabel 20. Luasan Landuse (Penggunaan Lahan) di Kecamatan Babakan Madang


No. Jenis Landuse Luasan (ha) Persentase
1 Emplasemen Tetap 3,7510 0,041
2 Hutan Belukar 0,4850 0,005
3 Hutan Lebat 2,423,8290 26,4
4 Hutan Sejenis Buatan 595,5260 6,486
5 Industri 14,5770 0,159
6 Kebun Campuran 1.661,5580 18,1
7 Keburan 4,8210 0,053
8 Lapangan Golf 114,8550 1,251
9 Lapangan Olah Raga 12,6790 0,138
10 Perkampungan 726,9180 7,918
11 Perumahan 418,3030 4,556
12 Rumput 18,3810 0,2
13 Sawah 1x Padi/tahun 0,1180 0,001
14 Sawah 2x Padi/tahun 624,8530 6,806
15 Semak 0,8590 0,009
16 Sungai/danau/setu/waduk 69,7450 0,76
17 Tanah kosong diperuntukkan 885,3260 9,643
18 Tanah rusak 0,2270 0,002
19 Tegalan 1.604,2790 17,47
Total 9.181,090 100
Sumber : Peta Penggunaan Lahan (Landuse) Kabupaten Bogor Tahun 2005, Bappeda Kab. Bogor
(Diolah)
45

4.6 Batuan dan Geologi


Secara geologis sebagian besar lahan Kecamatan Babakan Madang tersusun
dari batuan gunung api berupa produk gunung api muda dan gunung api tua
(endapan breksi, lahar, lava, tufa) yang meliputi 36 % wilayah, batuan sedimen
(47 % wilayah), serta sedikit gamping, endapan permukaan, dan batuan intrusi.
(Tabel 21).

Tabel 21. Karakteristik Geologi di Kecamatan Babakan Madang


No. Klasifikasi Jenis Batuan Deskripsi Luas (ha) Persentase
Geologis (%)
1 QVK Batuan Bongkahan andesit dan breksi 3.290,7980 35,84
Gunung Api andesit dengan banyak sekali
fenokris piroksen dan lava
basal
2 Qa Endapan Aluvium, lempung, lanau, 682,2130 7,43
Permukaan kerikil, dan kerakal, terutama
endapan sungai termasuk pasir
dan kerikil endapan
3 Qav Endapan Kipas alluvium, terutama 847,5290 9,23
Permukaan lanau, batu pasir, kerikil, dan
kerakal dari batuan gunung api
kuarter, diendapkan kembali
sebagai kipas alluvium
4 Tmj Batuan Napal dan serpih lempungan, 4.280,033 46,62
Sedimen dan sisipan batu pasir kuarsa
5 a Batuan Andesit dengan oligoklos- 80,5170 0,88
Terobosan andesin, augit, hipesiten, dan
horenblenda, membentuk
sumbat dan retas
Total 9.181,090 100
Sumber : Peta Geologi Bersistem, Indonesia. Lembar Bogor, 9/XIII-D atau 1209-1. Skala 1:
100.000
47
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000

PETA GEOLOGI

92 820 00
KECAMATAN BABAKAN MADANG
9 28 200 0

92 800 00
9 28 000 0

W E

92 780 00
9 27 800 0

Skala 1 : 31.000
Legenda :

92 760 00
9 27 600 0

Lokasi Longsor Bds. Tk K erawanan


# Rendah
# Sedang
# Tinggi
Jeni s Batuan

92 740 00
9 27 400 0

QVK
Qa
Qav
Sungai Cileungsi

92 720 00
9 27 200 0

# #
TM J
Tm j
# #
# #
a
#
Skala 1 : 450.000
# Lo k a si P e n e li tia n

92 700 00
9 27 000 0

92 680 00
9 26 800 0

#
#
#
#
##
##
## #
#
Peta Administrasi Kabupaten Bogor

92 660 00
9 26 600 0

##
Sumber : Bappeda, Kabupaten Bogor

Oleh : Ahmad Danil Effendi ( E 14103032 )


Manajemen Hutan

92 640 00
9 26 400 0

Fakultas Kehutanan IPB


2008
704 000 706 000 708 000 710 000 712 000 714 000 716 000 718 000 720 000

Gambar 4. Peta Geologi Kecamatan Babakan Madang


48

Sedangkan berdasarkan Peta Digital Sebaran Geologi Kabupaten Bogor,


jenis batuan induk di daerah penelitian terlampir seperti pada Tabel 22.

Tabel 22. Jenis Batuan Induk di Daerah Penelitian


No. Jenis Batuan Luasan (ha) Persentase (%)
1 Gunung api muda 4.030,5 43,9
2 Gunung api tua 3.583,146 39
3 Endapan permukaan 1.425,3720 15,5
4 Batu gamping 1.42,072 1,55
Total 9.181,090 100
Sumber : Peta Sebaran Geologi Kab. Bogor, Badan Perencanaan Daerah Kab. Bogor.

4.7 Keadaan Sosial Ekonomi


Sosial dan Budaya
Kecamatan Babakan Madang berpenduduk campuran suku Sunda, Suku
Jawa, dan keturunan Cina dengan dominasi suku Sunda.

Struktur dan Jumlah Penduduk


Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kecamatan Babakan Madang sebanyak
72.828 jiwa yang terdiri dari 36.967 laki-laki dan 35.861 perempuan, dengan
tingkat kepadatan penduduk sebesar 738 jiwa/km2. Di Kecamatan Babakan
Madang tercatat jumlah rumah tangga yang ada mencapai 25.208 rumah tangga,
dengan 198 Rukun Tetangga (RT) dan 49 Rukun Warga (RW).

Mata Pencaharian
Pada tahun 2003 tercatat sebagian besar penduduk memiliki mata
pencaharian yang bergerak di sektor perdagangan sebanyak 5.385 jiwa, sektor
pertanian sebanyak 5.406 jiwa, industri sebanyak 1.545 jiwa, angkutan sebanyak
1.343 jiwa, konstruksi sebanyak 124 jiwa, jasa-jasa sebanyak 3.774 jiwa,
pertambangan dan galian sebanyak 321 jiwa, dan pada sector lainnya sekitar 7.310
jiwa.
Dalam sektor pertanian, komoditas yang dibudidayakan adalah umbi-
umbian seperti singkong (ubi kayu) dan ubi jalar; sayuran seperti jagung, kacang
49

tanah, kacang panjang timun; dan buah-buahan (mangga,pepaya, sawo, pisang,


dan rambutan). Adapun komoditas utama yang paling banyak dihasilkan
masyarakat setempat adalah umbi-umbian dan pisang. Hasil pertanian pisang
menyumbang 90,23 % (192.580 kg) komoditas buah-buahan pada tahun 2003.
Sedangkan umbi-umbian menyumbang hasil sebanyak 13.795 kg dan sayuran
15.172,2 kg. (BPS, 2003)

Agama
Di Kecamatan Babakan Madang hingga tahun 2006 fasilitas peribadatan
berupa masjid berjumlah 66 buah dan musholla 176 buah. Sedangkan jumlah
penduduk berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2003 terdiri dari pemeluk
agama Islam sebanyak 72.219 jiwa, Katolik sebanyak 66 jiwa, Protestan sebanyak
463 jiwa, Hindu sebanyak 21 jiwa dan pemeluk agama Budha sebanyak 59 jiwa
(Kabupaten Bogor dalam Angka 2007). Kerukunan hidup antar umat beragama
tumbuh dan berkembang dengan baik, terlihat dari tidak adanya kasus kerusuhan
sosial yang bernuansa agama ataupun potensi konflik yang muncul akibat dari isu
SARA.

Pendidikan
Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Babakan Madang terdiri dari
1 Sekolah Taman Kanak-Kanak Negeri, 44 SD Negeri, 1 SLTP Negeri, 2 SD
Swasta, 3 SLTP Swasta, 1 SLTA Negeri, 1 SLTA Swasta 30 Madrasah Ibtidaiyah,
dan 4 Madrasah Tsanawiyah. Adapun tingkat pendidikan yang ditempuh
penduduk Kecamatan Babakan Madang beragam. Penduduk yang tidak tamat SD
atau sederajat sebanyak 12.238 orang, tamat SD sebanyak 24.131 orang, tamat
SLTP 6.989 orang, tamat SLTA sebanyak 980 orang, tamat akademi sebanyak 80
orang, tamat universitas sebanyak 39 orang, dan penduduk yang belum sekolah
sebanyak 28.371 orang.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor


Kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang terjadi di 3 desa yaitu
Desa Karang Tengah, Desa Bojong Koneng, dan Desa Cijayanti. Di Desa Karang
Tengah ditemukan 8 kasus kejadian longsor yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan
Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp.
Wangun 3, dan Kp. Cimandala. Di Desa Bojong Koneng ditemukan 13 lokasi
kejadian longsor yang tersebar di Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu
babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (3 kasus), Kp. Curug (4 kasus), Kp. Gombong
(2 kasus), dan Kp. Cikeas (2 kasus). Sedangkan di Desa Cijayanti kasus kejadian
longsor ditemukan di Kp. Cijayanti dan Kp. Legok Banteng (2 kasus).

Gambar 5. Longsor tipe nendatan/slump (kiri) di Kp. Gombong (3) dan tipe amblesan/penurunan
tanah (kanan) di Kp. Cikeas (1)
51
52

5.2 Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian


Berdasarkan hasil pengamatan pada 24 titik longsor, terdapat 2 karakteristik
longsor yang ditemukan, yaitu 1) nendatan (slump) dan 2) penurunan tanah/
amblesan (subsidence). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 24 titik longsor tersebut
disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Karakteristik Longsor dan Tutupan Lahannya


Tipe Longsor Penutupan Lahan Lokasi Frekuensi Persentase (%)
Ditemukan
(kasus)
Nendatan Kebun campuran Kp. Cilaya, Kp. Wangun 6 37,5
(Slump) Landeuh (1), Kp. Wangun 1,
Kp. Cimandala, Kp. Cikeas
(2), Kp. Legok Banteng (2)
Lahan gundul Kp. Babakan Ngantai, Kp. 4 25
Gunung Batu Kidul (3), Kp.
Curug (2) , Kp. Cijayanti
Alang-alang dan Kp. Wangun Landeuh (2), 6 37,5
semak Kp. Wangun 2, Kp. Wangun
3, Kp. Gombong (2 titik), Kp.
Curug (1)
Total 16 16 100
Amblesan/Penur Kebun campuran Kp. Garungsang Pasir, Kp. 2 25
unan tanah Curug (3)
(subsidence)
Tegakan Kp. Gunung Batu Kidul (1), 6 75
campuran Kp. Gunung Batu Kidul (2),
Kp. Legok Banteng (1)
Kp. Gunung Batu Babakan,
Kp. Curug (4), Kp. Cikeas (1)
Total 8 8 100
Sumber : Data Primer (Diolah)

Tipe longsor nendatan (slump) merupakan tipe gerakan tanah luncuran ke


bawah berupa perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang umumnya
berbentuk lengkung (rotasional). Longsoran tipe ini berkomposisi material yang
53

kaya akan liat dan mengambang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya
gaya kohesi antar butir tanah. Di samping itu, kondisi lokal penelitian yang
berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini
banyak ditemukan. Di samping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan
pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air
menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat.

Gambar 7. Longsor dengan penutupan lahan semak belukar di Kp. Gombong (4) (kiri) dan
Longsor dengan penutupan kebun campuran pada tepi jalan di Kp. Cikeas (1)

Nendatan (slump) ini disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang


terdapat pada lereng perbukitan yang terjal berupa pembukaan lahan untuk
bercocok tanam tanpa menerapkan upaya konservasi tanah, pembangunan
infrastruktur berupa jalan dan rumah (pemukiman) yang memotong/memapas
lereng, serta kondisi penutupan lahan yang tidak mendukung stabilnya agregat
tanah terutama terjadi saat hujan lebat yang relatif lama. Saat musim penghujan
tanah-tanah yang diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang terdapat di
atasnya, di samping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong terjadinya
longsor, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga membuat badan
lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban).
Tata guna lahan pada daerah kejadian longsor dengan karakteristik nendatan
ini umumnya berupa kebun campuran, semak belukar, atau lahan kosong pada
lereng bagian atas sedangkan di bagian bawah tebing berupa bangunan
infrastruktur baik berupa pemukiman ataupun jalan. Sedangkan daerah kejadian
54

longsor dengan karakteristik amblesan (subsidence) tataguna lahan umumnya


berupa pemukiman penduduk, kebun campuran dan tegakan campuran pada
bagian atas lereng sedangkan di kaki lerengnya berupa lembah bukit dan lembah
sungai.

5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor


5.3.1 Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan area kejadian longsor di daerah
penelitian seperti yang tertera dalam Tabel 24, ada empat tipe tata guna lahan
berupa penutupan vegetasi yang ditemukan yaitu kebun campuran, semak
belukar, lahan gundul, dan tegakan campuran.

Tabel 24. Jenis Penutupan Vegetasi di Lokasi Kejadian Longsor


Penutupan Lahan Lokasi Frekuensi Persentase
Ditemukan (kasus) (%)
Kebun campuran Kp. Cilaya, Kp. Wangun 8 33,3
Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp.
Cimandala, Kp. Garungsang
Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas,
Kp. Legok Banteng
Semak belukar Kp. Wangun Landeuh, Kp. 6 25
Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp.
Curug, Kp. Gombong (2 titik),
Lahan Gundul Kp. Babakan Ngantai, Kp. 4 16,7
Gunung Batu Kidul, Kp.
Curug, Kp. Cijayanti
Tegakan campuran Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. 6 25
Legok Banteng
Kp. Gunung Batu Babakan, Kp.
Gunung Batu Kidul, Kp.
Curug, Kp. Cikeas
Total 24 100
Sumber : Diolah dari data primer
55

Tipe penutupan lahan kebun campuran paling sering ditemukan pada daerah
kejadian longsor. Dari 24 kasus longsor, terdapat 8 titik kejadian longsor atau
sekitar 33,3% yang penutupan lahannya berupa kebun campuran yaitu di Kp.
Cilaya, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang
Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, dan Kp. Legok Banteng. Jenis tanaman yang
mengisi kebun campuran ini biasanya terdiri dari tanaman singkong, pisang,
nanas, dan pandan. Jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat
jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan
lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya
tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah.
Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya
longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki
perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah
yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat
tanah. Apalagi perakarannya berupa perakaran serabut yang relatif kurang kuat
menghujam dan mengikat tanah sehingga mudah tergoyahkan jika terjadi hujan
deras yang berangin kencang.
Sebagian kebun campuran yang terdapat di lokasi kejadian longsor
merupakan hasil perambahan masyarakat setempat terhadap tegakan pinus yang
ada. Perubahan tata lahan dengan mengganti tanaman keras seperti pinus ini
menjadi tanaman semusim menyebabkan resiko longsor menjadi lebih besar.
Tanaman semusim membutuhkan tanah yang gembur, padahal tanah yang gembur
menyerap air permukaan dengan baik, sehingga saat hujan datang air permukaan
ini akan terus terserap dan menjenuhi tanah sehingga beban tanah bertambah yang
beresiko menyebabkan terjadinya longsor.
56

Gambar 8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor
di Kp. Wangun 1

Berdasarkan data dari KPH Bogor Kabupaten Bogor ada beberapa titik
longsor yang terjadi di kawasan hutan dan penyebab utama kejadian longsor
tersebut adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Adapun luasan total dari perambahan hutan pinus oleh masyarakat adalah seluas
180,9 ha. Areal perambahan tersebut digunakan masyarakat setempat untuk lahan
kebun campuran (berupa tanaman singkong dan pisang) dan lahan pemukiman.
Hal ini makin diperparah karena mereka membangun pemukiman dan kebun
campuran tersebut di lokasi dengan kelerengan curam hingga sangat curam dan
tanpa pengelolaan yang sesuai. Kejadian longsor di kawasan hutan ditemukan di
kawasan hutan pinus yang dikelola Perhutani, tepatnya di Kelompok Hutan
Hambalang Barat, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kejadian
longsor tersebut terjadi pada petak 17 di Kp. Cibingbin dan petak 20 di Kp. Muara
Desa Bojong Koneng dengan luasan longsor masing-masing sebesar 10 ha dan 3
ha. Sedangkan di Desa Karang Tengah terjadi pada petak 15 dan petak 16 di Kp.
Cimandala dan pada petak 4 di Kp. Wangun 2 dengan luasan longsor masing-
masing sebesar 7 ha dan 15 ha.
57

Penutupan lahan kedua yang banyak ditemukan pada lokasi kejadian


longsor adalah alang-alang dan semak belukar yang ditemukan di 6 titik kejadian
longsor yaitu di Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp.
Curug, dan 2 titik di Kp. Gombong. Semak belukar yang paling banyak
ditemukan adalah paku-pakuan, alang-alang, jenis rumput-rumputan, dan sedikit
tanaman keras seperti cengkeh atau pinus. Sebagian semak belukar tersebut
sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus, namun karena perawatan yang
tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh masyarakat setempat, tegakan
pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak belukar. Menurut petugas
KPH Bogor, hal itu dimungkinkan karena areal tersebut merupakan lahan
sengketa yang sampai kejadian longsor tersebut berlangsung sengketanya belum
terselesaikan, akibatnya berpengaruh pada terhambatnya perawatan dan
penanaman pada areal tersebut.
Berdasarkan analisis Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005,
hampir 64% penutupan lahan di wilayah Kecamatan Babakan Madang berupa
kebun campuran dan semak belukar. Jumlah ini mengalami peningkatan
signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 luasan kebun
campuran dan semak belukar hanya meliputi 46,36 % wilayah Kecamatan
Babakan Madang dan pada tahun 2003 sebesar 46,44 %. Peningkatan luas kebun
campuran dan semak belukar ini diikuti penurunan luasan hutan dan perkebunan.
Selama periode 2000 – 2005 luasan hutan menurun dari 1.452,5570 ha atau 15,82
% dari luasan wilayah Kecamatan Babakan Madang menjadi hanya sekitar
1118,9460 ha atau 12,2 % dari luasan wilayah. Sedangkan luasan perkebunan
menurun dari 815,4170 ha (8,88 %) menjadi 281,3020 ha (3,06 %). Banyaknya
perubahan penutupan vegetasi ini (sebagai tutupan lahan) dari areal tegakan hutan
atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak belukar, pemukiman, atau
menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan lereng
terutama terutama pada areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian
(agricultural), sehingga menyebabkan Kecamatan Babakan Madang selalu
mengalami kejadian longsor tiap tahunnya. Dan dalam kenyataanya, deforestasi
yang terjadi pada lahan-lahan berlereng selalu diikuti kejadian longsor. Selain itu,
kegiatan manusia lainnya seperti penambangan, pembangunan jalan dan
58

pemukiman dengan memotong/memapas lereng/bukit atau mengubah tata lahan


pertanian juga mendorong terjadinya bencana longsor.
Penutupan lahan lainnya yaitu lahan kosong, lahan yang arealnya tidak
ditumbuhi oleh vegetasi apapun di atasnya atau belum dimanfaatkan oleh
masyarakat. Kejadian longsor dengan tipe penutupan berupa lahan kosong
ditemukan di 4 titik yaitu di Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul (3),
Kp. Curug (2), dan Kp. Cijayanti. Lahan kosong ini memiliki kerentanan sangat
tinggi terhadap kejadian longsor. Selain tanpa penutupan yang menyebabkan titik
hujan mudah memicu erosi, apabila hujan turun dengan intensitas yang cukup
tinggi akan langsung terserap oleh tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh
terhadap air yang mengakibatkan bobot tanah menjadi bertambah dan lebih labil.
Hal ini semakin diperparah karena lahan kosong tersebut menempati badan lereng
yang cukup curam (31-63%). Hal ini sangat beresiko besar terhadap peluang
terjadinya kejadian longsor terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu
relatif lama yang menyebabkan kawasan ini lebih rawan terhadap terjadinya
tingkat erosi yang tinggi akibat pekanya tanah tergerus energi kinetik hujan.
Lahan kosong di wilayah penelitian umumnya tidak hanya tersebar pada
lokasi kejadian longsor, tapi juga nampak pada bukit-bukit dan lereng-lereng yang
curam tanpa pengelolaan. Menurut pihak KPH Bogor sebagian lahan kosong
tersebut merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah
Kabupaten Bogor kepada beberapa perusahaan real estate dan perkebunan, namun
karena belum dikelola akhirnya lahan-lahan tersebut terlantar dan menjadi lahan
kosong tanpa penutupan.
Penutupan lahan di daerah penelitian yang sebagian besar berupa kebun
campuran, semak belukar, dan tanah kosong tersebut turut memicu terjadinya
longsor. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penanaman pepohonan berupa
tanaman keras pada lahan-lahan kosong/lahan gundul dan semak belukar, juga
perlu diintensifkannya penanaman tanaman keras yang dipadukan di dalam kebun
campuran dalam mekanisme agroforestri yang sesuai. Penanaman tanaman keras
ini perlu digalakkan karena terbukti efektif. Sebagai pembanding, di beberapa titik
dekat lokasi bencana longsor terdapat sebidang lahan yang ditanami tanaman
keras tahunan seperti tanaman kayu afrika (Maesopsis eminii), ketapang
59

(Terminalia catappa), dan sengon/jeunjing (Paraseriantehs falcataria), ternyata


tempat ini tidak mengalami longsoran.

Gambar 9. Lahan dengan tegakan Kayu Afrika (Maesopsisi eminii)


yang tidak mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai

Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto ( 2005) sistem pertanaman


dengan model agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan
penggunaannya yang efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri
mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang
peran air dalam terjadinya tanah longsor.
Namun, pemilihan jenis pohon atau tegakan pun harus disesuaikan dengan
kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek litologis, geologis,
ekonomis, dan kelerengannya. Ini dikarenakan kejadian longsor juga ternyata
terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang
memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1)
Desa Cijayanti. Kp. Legok Banteng (1) yang bentang lahannya berbukit
bergelombang dengan kemiringan lereng agak curam (22%) memiliki penutupan
vegetasi berupa pohon yang cukup rapat dengan tegakan batang yang tinggi dan
berdiameter relatif besar (15-25 cm). Pepohonan yang terdapat pada lokasi
longsor tersebut diantaranya adalah pohon manggis, menteng, pisitan, bembem,
gandaria, kelapa, dan rumpun bambu. Keadaan penutupan vegetasi berupa
60

tegakan campuran yang memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata
malah menambah beban lereng terutama ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat.
Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak menancap pada batuan
dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut ditimpa hujan
yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin
kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal
inilah yang menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya
menyebabkan longsor.
Sutikno (2000) dalam Alhasanah (2006) menyatakan bahwa peranan
vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang
hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah
beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Namun, pemotongan pohon-
pohonan secara tidak tepat untuk mencegah longsornya tanah tidak dibenarkan
karena rongga-rongga di dalam tanah yang terbentuk akibat lapuknya akar tumbuh
tumbuhan dapat menambah tampungan air di dalam rongga pori tanah sehingga
menambah potensi kelongsoran lereng.
Oleh karenanya, perlu dilakukan rekayasa vegetatif untuk menanggulangi
hal ini yaitu dengan menanami lereng dengan tanaman pohon yang memiliki
kemampuan akar yang kuat menembus batuan dasar (bahan induk) sebagai
pengikat atau pasak yang mampu menahan gerakan tanah namun memiliki bobot
dan tajuk yang ringan sehingga tidak menambah beban terlalu besar terhadap
lereng. Apabila pada kondisi lereng di mana lapisan batuan dasar relatif jauh dari
permukaan lereng, maka dapat digunakan tipe tanaman yang dapat mengurangi
infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Atau tanaman yang mempunyai daya
evapotranspirasi yang tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman. Menurut
Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan air dengan
baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya adalah : nangka
(Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,
Indigofera galegoides, sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia spp.),
jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca).
Adapun jenis vegetasi yang direkomendasikan Bank Dunia dalam
pengembangan dan pengelolaan lahan pada kawasan budidaya yang rawan
61

longsor yaitu pohon yang dapat menghasilkan seperti pohon buah-buahan dan
kemiri. Sedangkan pada kawasan lindung ditanami vegetasi atau pohon yang
sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri,
dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu.
(Sitorus, 2006).

5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi


Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor
adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap
longsor, dimana makin curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor
terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga merupakan 2 unsur topografi yang
paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989).
Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila
lereng semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka
kecepatan aliran permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut
meningkat pula, dan lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang
mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto (2003) menambahkan
bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi
kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.
Berdasarkan Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, daerah
penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kelas kemiringan lereng seperti pada Tabel
25.
Tabel 25. Kelas Kemiringan Lereng
Desa Kelas Kemiringan Lereng
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat
(0-8%) (8-15%) (15-25%) (25-45%) Curam
(> 45%)
Karang Tengah 679.9330 527.1530 847.7870 1424.1000 75.7970
Bojong Koneng 447.9620 575.6480 356.9870 479.4640 24.7020
Cijayanti 911.5720 615.8990 140.9370 15.5030 0.2500
Sumur Batu 172.2670 59.2920 23.2090 4.7990 0.5000
Babakan Madang 211.3860 66.8380 43.6290 6.3200 -
Cipembuan 232.5810 11.5950 3.7130 2.0310 0.2420
Citaringgul 251.5700 66.5960 35.9690 8.1860 0.2500
62

Kadumanggu 462.3690 29.7680 3.9020 1.0600 -


Sentul 344.9870 8.6410 3.3140 2,2500 -

Berdasarkan pengamatan, 29,17% kejadian tanah longsor (7 kasus) terjadi


pada kondisi lereng sangat curam, 25% terjadi pada kondisi lereng curam (6
kasus), 20,83% (5 kasus) terjadi pada kondisi lereng agak curam, sedangkan 25%
lainnya terjadi pada kondisi lereng yang landai. Frekuensi kejadian longsor pada
tingkat kelerengan >30% (pada kondisi lereng sangat curam dan curam)
ditemukan sebanyak 10 kasus, tersebar pada beberapa lokasi yaitu di Kp. Cilaya,
Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh (2 kasus), Kp. Wangun 1, Kp.
Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala, Kp. Gunung Batu Kidul, dan Kp.
Cijayanti dengan karakteristik tanah longsor keseluruhannya berupa nendatan
(slump). Sedangkan 6 kasus kejadian longsor dengan tipe nendatan lainnya terjadi
pada tingkat kelerengan agak curam (13-28%) yaitu di Kp.Curug (2 kasus), Kp.
Legok Banteng (2), Kp. Cikeas (2) dan Kp. Gombong (2 kasus). Sedangkan
longsor dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah umumnya terjadi
pada tingkat kelerengan landai (6-24%), ditemukan sebanyak 8 kasus yaitu di Kp.
Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Gunung Batu Kidul (1) dan
(2), Kp. Curug (3) dan (4), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Cikeas.

Gambar 10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai
63

Kejadian longsor yang terjadi di Desa Karang Tengah keseluruhannya


merupakan longsor dengan tipe nendatan (slump), hal ini dikarenakan sebagian
besar wilayahnya (40,06%) berada pada wilayah dengan kemiringan curam
sehingga memicu terjadinya nendatan. Sedangkan di Desa Bojong Koneng tipe
longsor yang terjadi merata antara tipe nendatan dan tipe amblesan, hal ini juga
dipengaruhi pula oleh kondisi lapangan yang sebaran kemiringan lerengnya
hampir merata mulai dari datar hingga curam. Namun, karena kemiringan lereng
di Desa Cijayanti dominan datar (54,13 %), maka kejadian longsor yang terjadi di
sana lebih banyak berupa tipe penurunan tanah/amblesan yang dipicu terjadinya
gerakan tanah.

Gambar 11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa
tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala

Pada beberapa titik longsor terlihat adanya pemotongan lereng dalam upaya
pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman. Ini terlihat terutama pada kasus
longsor di Desa Karang Tengah yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Wangun Landeuh (1), Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2,
dan Kp. Wangun 3. Pembangunan jalan membentuk gawir yang cukup terjal. Pada
beberapa gawir memang sudah dilakukan penanaman vegetasi penguat lereng
64

berupa tegakan campuran atau rumpun bambu, tapi karena penanaman tersebut
umumnya tidak diikuti pembuatan terasering maka usaha tersebut tidak mampu
menahan laju gerakan tanah dan hujan lebat yang melanda wilayah tersebut pada
awal Februari 2007 lalu. Apalagi bila terjadi hujan lebat yang disertai angin
kencang, maka akar pepohonan tersebut akan ikut bergerak dan menggoyahkan
lereng yang terjal. Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan
lereng juga beresiko meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang
menyebabkan kemantapan lereng berkurang. Hal ini menyebabkan lereng menjadi
rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya
hujan lebat dalam waktu lama. Pembangunan pemukiman dan jalan yang
memotong/memapas lereng juga membuat kestabilan tanah menjadi terganggu
sehingga tanah menjadi rentan longsor saat ada sedikit saja pergerakan tanah.

Gambar 12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi


pelindung tebing jalan di Kp. Wangun 1

Hal lain yang membuat kemantapan lereng berkurang dan


menyebabkannya rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor adalah
adanya penambangan batuan (batu gunung) pada lereng yang curam. Ini terlihat
pada kasus longsor di Kp. Wangun 1 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu
Kidul Desa Bojong Koneng, dan pada badan jalan menuju Kp. Wangun 3, lihat
65

gambar 12. Penambangan batu tersebut dilakukan pada badan lereng yang
memiliki kecuraman masing-masing 57% dan 63%. Penambangan batu ini
menjadikan badan lereng bagian bawah menjadi tidak stabil dan rentan gerakan
tanah akibat hilangnya tahanan bagian bawah lereng.

Gambar 13. Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul(3) dan Kp. Wangun 3

Pada kasus longsor di Kp. Wangun 2 dan Kp. Wangun 3, Desa Karang
Tengah, terlihat banyak rembesan air pada tebing dan kaki tebing terutama pada
batas antara tanah dan batuan di bawahnya yang kedap air. Ini sangat beresiko
terhadap kejadian longsor selanjutnya. Karena ketika tanah sudah jenuh air akibat
hujan lebat, dengan medan gelincir yang mendukung dapat menyebabkan
terjadinya longsor.
Lereng yang rentan terhadap longsor pada umumnya memiliki tutupan
vegetasi berupa pepohonan atau tanaman yang berakar serabut seperti singkong,
pisang, pandan, dan rimpang-rimpangan pada kebun campuran. Tapi ternyata
pada lereng yang ditanami pohon yang massanya besar dengan jarak tanam yang
rapat pun tak luput dari potensi terjadinya bencana longsor seperti yang ditemukan
pada kasus kejadian longsor di Kp. Legok Banteng (1) Desa Cijayanti. Ini
menyebabkan lereng dengan penutupan hanya berupa kebun campuran, semak
belukar, atau rumput-rumputan menjadi rawan terhadap kejadian longsor. Hal ini
dikarenakan meski tajuk daun tanaman dan penutupan rumput tersebut mampu
menghalangi dan mengurangi kekuatan energi kinetik hujan, namun keadaan
tersebut menjadi kurang efektif saat terjadinya hujan yang lebat dalam waktu
relatif lama. Air hujan tetap dapat meresap ke dalam tanah membuat tanah jenuh
66

air sehingga mengurangi ikatan kohesi tanah dan membuat tanah rentan terhadap
gerakan tanah, apalagi jika tanah tersebut berada pada lapisan batuan yang kedap
air dan berada pada tingkat kemiringan lereng yang mendukung terjadinya
longsor.
Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk
longsor, hal ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu
terutama respon lereng terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk
persawahan, kebun campuran, tegalan, maupun semak belukar terutama pada
daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan
tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan
tanah atau kelongsoran. Kondisi litologi/bahan induk yang berupa batuan dan
tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan
tanah. Dan kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat
memicu terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari
tekstur dan struktur tanah).

5.3.3 Karakteristik Tanah


Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan
peta tanah tinjau, terdapat 2 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian
longsor yaitu jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis
tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol.
Adapun sebaran ditemukan jenis tanah tersebut terlihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Jenis Tanah di Daerah Penelitian


Jenis Tanah Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase
Ditemukan
Gabungan Latosol merupakan jenis tanah Kp. Cimandala 66,67%
latosol coklat Kp. Garungsang Pasir
dan latosol Kp. Gn. Batu Babakan
kemerahan Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus)
Kp. Curug (4 kasus)
Kp. Gombong (2 kasus)
Kp. Cikeas (2 kasus)
Kp. Legok Banteng (2 kasus)
67

Kompleks Litosol merupakan jenis tanah yang Kp. Cilaya 33,33%


latosol merah umumnya berpasir, pada umumnya Kp. Babakan Ngantai
kekuningan dengan semakin besarnya ukuran Kp. Wangun Landeuh (2
latosol coklat partikel tanah (tekstur kasar), maka kasus)
kemerahan akan memiliki tingkat kepekaan Kp. Wangun 1
dan litosol bahaya longsoran yang besar Kp. Wangun 2
Kp. Wangun 3
Kp. Cijayanti
Jumlah 24 kasus 100%
Sumber : Data primer (diolah)

Jenis tanah yang paling luas ditemukan di Kecamatan Babakan Madang


adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol kemerahan. Tanah latosol
merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan
tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah
ini mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya
mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Adapun keadaan erosi di
daerah penelitian berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor, hampir
88 % wilayah daerah penelitian tidak peka terhadap erosi. Sedangkan yang peka
terhadap erosi hanya lebih kurang 12%. Sedangkan berdasarkan hasil
tumpangsusun peta lokasi kejadian longsor dengan peta kesesuaian lahan, hanya 4
kejadian longsor atau sekitar 16,67 % saja yang terjadi pada wilayah yang peka
terhadap erosi yaitu di Kp. Cimandala, Kp. Cijayanti, dan Kp. Legok Banteng (2
kasus), sedangkan 83,33 % sisanya terjadi pada wilayah tidak peka erosi.
Ketidakpekaan tanah di lokasi penelitian terhadap kejadian longsor didukung
dengan nilai erodibilitas atau nilai kepekaan erosi tanah latosol yang sangat kecil
hanya sebesar 0,067 sedangkan pada jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan, latosol coklat kemerahan & litosol hanya 0,064, seperti terlihat pada
Tabel 27 dan Tabel 28 Namun, menurut Arsyad (1989), indeks erodibilitas yang
ditetapkan di laboratorium tidak dapat dimanfaatkan untuk menduga besarnya
erosi yang akan terjadinya sebenarnya di lapangan. Suatu tanah yang mempunyai
kepekaan rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terletak
pada lereng yang curam dan panjang serta curah hujan dengan intensitas yang
selalu tinggi. Sebaliknya suatu tanah yang mempunyai kepekaan erosi yang tinggi,
68

mungkin memperlihatkan gejala erosi yang ringan atau tidak memperlihatkan


adanya erosi jika terdapat pada lereng yang landai, dengan tanaman penutup tanah
yang baik dan hujan yang tidak berintensitas tinggi.

Tabel 27. Nilai Erodibilitas Tanah pada Lokasi Kejadian Longsor


No. Jenis Tanah Nilai Erodibilitas
(K)
1 Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 0,067
2 Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan & 0,064
litosol
Sumber: Nilai Erodibilitas Tanah untuk 50 Jenis Tanah di Jawa. Puslitbang Pengairan. Bandung
(Wulandary, 2004)

Tabel 28. Kepekaan Erosi Tanah di Indonesia (Hasil Penelitian Lapangan)


Kelas Nilai K Harkat
1 0,00 – 0,10 Sangat rendah
2 0,11 – 0,20 Rendah
3 0,21 – 0,32 Sedang
4 0,33 – 0,43 Agak tinggi
5 0,44 – 0,55 Tinggi
6 0,56 – 0,64 Sangat tinggi
Sumber : Sitorus (2006)

Menurut Arsyad (1971), beberapa sifat-sifat tanah lainnya yang


mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan
organik, sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah.
Tekstur, struktur tanah, dan kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air
limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air.
Hampir 85% tanah di wilayah penelitian (sekitar 8344,04 ha) memiliki
kedalaman efektif sedang hingga dalam (60 - >90 cm) sehingga kurang peka
terhadap erosi. Menurut Arsyad (1989), tanah-tanah yang dalam dan permeable
kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeable tapi dangkal hal ini
dikarenakan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Namun,
berdasarkan hasil pemerian tanah secara langsung dengan metode uji rasa rabaan
diketahui tekstur tanah di lokasi kejadian longsor didominasi tekstur lempung liat
69

pasiran dan tekstur lempung sampai liat. Tekstur tanah lempung liat pasiran
ditemukan di 15 lokasi kejadian longsor atau meliputi 62,5 % dari seluruh
kejadian longsor dan 9 kasus lainnya (37,5 % kasus) memiliki tekstur tanah
lempung sampai liat.
Tanah lempung sangat mudah menyerap/meresapkan air hujan terutama
dalam kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan
batuan terutama batuan gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini
memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat
subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya
jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap
air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal
berpotensi mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada
musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut
tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan
bencana tanah longsor.
Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung
liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat.
Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat atau
sering disebut sebagai longsor.
Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu
berlebihannya kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai
penahan, seperti pepohonan. Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak
sarang) akan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pula. Tanah di lokasi
kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai dengan butiran
kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau
granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat
daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal
ini menyebabkan struktur tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat
terjadi hujan lebat dalam waktu lama yang akhirnya berdampak pada terjadinya
longsor.
70

5.3.4 Pergerakan Tanah


Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi
bersamaan dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut
masyarakat setempat kejadian longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah.
Gerakan tanah ini memicu terjadinya lungsuran material longsor berupa tanah dan
batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan Gunung Wangun dan Gunung
Pancar. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi
lapisan tanah berupa lempung, lempung liat berpasir, hingga liat yang mempunyai
sifat mengembang (swelling clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi
kering sangat rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan prinsip
fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung dan air (clay-water
interaction) merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat
menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat
lempung tertentu terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan
menyebabkan membesarnya jarak antar fraksi lempung dan mengakibatkan
kenaikan volume tanah atau mengembang (Hermawan & Tri Endah Utami,
2003).
Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada
bangunan pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan
berupa retakan-retakan atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian
longsor seperti di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul,
Kp. Curug dan Kp. Cikeas Desa Bojong Koneng, dan Kp. Legok Banteng Desa
Cijayanti. Pada kasus longsor di Kp. Gunung Batu Kidul, patahan akibat gerakan
tanah ini memanjang hingga menyebabkan 60 rumah rusak ringan hingga rusak
berat (hancur). Sedangkan pada kasus longsor di Kp. Curug patahan menyebabkan
8 rumah hancur dan 50 rumah rusak ringan (miring dan sebagainya). Sementara di
Kp. Cikeas, patahan menyebabkan sekurang-kurangnya 1 rumah rusak ringan dan
1 rumah rusak berat. Begitu pun longsor yang terjadi di Kp. Wangun 3 Desa
Karang Tengah juga dipicu gerakan tanah yang sedikitnya menyebabkan 2 rumah
rusak berat akibat retakan dan timbunan material longsor sedangkan di Kp. Legok
Banteng Desa Cijayanti patahan yang terjadi memanjang sekitar 2 km ke arah
Barat Daya. Patahan atau retakan yang terjadi berkisar antara 10-20 cm.
71

Retakan/patahan yang terjadi kini telah tertutup kembali akibat proses sedimentasi
dan infiltrasi air saat hujan.

Rekahan besar
akibat gerakan
tanah

Gambar 14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3

Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini


berkarakteristik longsor berupa amblesan (subsidence). Adapun terjadinya
amblesan pada kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan
tanah turun sedalam 0,5-4 m. Amblesan atau nendatan ini dapat terjadi akibat
adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses
pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan lapisan tanah
ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama (lambat). Akan tetapi, proses
ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya
dukung tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan
dan permukaan tanah di atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di
Kecamatan Babakan Madang, terjadinya dengan karakteristik amblesan atau
penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga dikarenakan
padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng
misalnya yang terjadi di Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Curug, dan Kp. Cikeas.
Selain itu, pembebanan lereng dapat pula disebabkan adanya tegakan pohon yang
berbatang besar dan tinggi dengan kerapatan tinggi yang membebani lereng. Hal
ini seperti yang terjadi pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti.
72

Amblesan pada
kejadian longsor di
Kp. Gn. Batu Babakan

Gambar 15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor
di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug.

Menurut Sutikno (2000), struktur geologi yang berpotensi mendorong


terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan,
adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau
miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi Lembar Bogor, daerah penelitian
terletak pada wilayah patahan dan sesar (fault) terutama pada kawasan Gunung
Pancar dan Gunung Hambalang serta memiliki struktur geologi berupa antiklin
dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jatiluhur. Selain itu, adanya lapisan
batupasir tufaan dan batu lempung dari Formasi Jatiluhur yang kedap air menjadi
pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian, karena lapisan batuan
tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah.
73

5.3.5 Curah Hujan


Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air
hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng,
sehingga memacu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas dan
lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng.
Faktor curah hujan yang berpengaruh terhadap bahaya longsoran adalah
besarnya curah hujan, intensitas curah hujan, dan distribusi curah hujan. Air hujan
yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi,
selanjutnya sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas
permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah
tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air (kapasitas infiltrasi). Oleh
karena itu, untuk mencegah agar tanah tidak terdispersi, maka perlu adanya
vegetasi yang menutupi permukaan tanah, sehingga air yang turun diserap dan
disimpan oleh vegetasi tersebut.
Pada hari sebelum dan selama kejadian longsor berlangsung, di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor hujan turun dalam jangka waktu yang cukup
lama yaitu mulai pukul 21.00 WIB sampai dengan pagi hari berikutnya. Karena
kondisi lahan pada kawasan hutan sudah gundul, maka tenaga potensial yang
dihasilkan oleh air hujan semakin besar.
Sebelum terjadinya longsor, di Kecamatan Babakan Madang hujan
berlangsung lama dan lebat, mencapai 245 mm/hari dan berlangsung lebih dari 6
jam. Keadaan tersebut di luar batas normal dan terbilang tinggi. Curah hujan dapat
mempengaruhi kadar air di dalam tanah. Semakin tinggi curah hujan maka kadar
air dalam tanah pun tinggi, hal ini menyebabkan kuat geser lereng menurun
karena meningkatnya massa tanah akibat tanah jenuh air. Kondisi ini
menyebabkan menurunnya nilai kohesi, agregat tanah mudah lepas dan memicu
terjadinya gerakan tanah dan longsor.
Berdasarkan hasil tumpangsusun peta curah hujan dan peta lokasi kejadian
longsor, 19 kasus longsor (79,17 %) berada pada wilayah dengan iklim sedang
dengan curah hujan tahunan 2.000 – 2.500 mm/tahun dan 5 kasus lainnya (20,83
%) berada pada wilayah iklim basah dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000
mm/tahun. Bulan basah pada iklim sedang di daerah penelitian terjadi sekitar 5-6
74

bulan dan bulan keringnya berkisar 3-6 bulan. Sedangkan bulan basah pada iklim
basah terjadi 7-9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya
bulan basah yang terjadi menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan
terutama pada bulan-bulan November-April. Hal inilah yang memicu sering
terjadinya peristiwa longsor di daerah penelitian.

5.3.6 Geologi/Batuan Induk


Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanah/batuan,
susunan dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau
batuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya longsor.
Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan peta
Geologi Kabupaten Bogor diketahui bahwa struktur geologi yang terdapat di 10
lokasi kejadian longsor atau 41,67 % dari keseluruhan kejadian longsor adalah
jenis batuan gunung api (Qvk) berupa bongkahan andesit dan breksi andesit
dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal, sedangkan 14 kasus
kejadian longsor lainnya (58,33 %) berstruktur geologi jenis batuan sedimen
(Tmj) berupa napal dan serpih lempungan, dan sisipan batu pasir kuarsa (Tabel
29).
Tabel 29. Jenis Batuan di Daerah Penelitian
Klasifikasi Jenis Batuan Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase
Geologis Ditemukan
QVK Batuan Bongkahan andesit dan Kp.Wangun 2 41,67 %
Gunung Api breksi andesit dengan Kp. Curug (4 kasus)
banyak sekali fenokris Kp. Gombong (2 kasus)
piroksen dan lava basal Kp. Cikeas (2 kasus)
Kp. Cijayanti
Tmj Batuan Napal dan serpih Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. 58,33 %
Sedimen lempungan, dan sisipan Wangun Landeuh (2 kasus), Kp.
batu pasir kuarsa Wangun 1
Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala
Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gn. Batu
Babakan, Kp. Gn. Batu Kidul (3 kasus),
Kp. Legok Banteng (2 kasus)
Jumlah 24 kasus 100%
Sumber : Data primer (diolah)
75

Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi
merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air.
Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai
bidang gelincir untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim
hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran maka pada daerah yang
memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor.

Gambar 16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor di Kp. Wangun 2

Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup


tanah lempung pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit.
Adapun sifat tanah lempung pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau
dapat mengembang. Namun, dalam kondisi kering lapisan tanah ini menjadi
pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan cenderung
mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Kecamatan Babakan Madang
ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam
karena terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di
sekitar lereng dan akan terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di
atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor.
Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya
dengan kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan
76

dikombinasikan dengan batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta
dengan kemiringan yang curam, maka akan menjadikan daerah tersebut rawan
longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam meningkatkan infiltrasi tanah. Jika
tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi lebih berat.
Berdasarkan tumpangsusun peta sebaran geologi dan peta wilayah
administratif Kabupaten Bogor tahun 2005 menunjukkan bahwa daerah penelitian
juga terletak pada satuan endapan tanah permukaan yang mempunyai daya
dukung rendah dan sangat tidak stabil. Jika di atas endapan tanah permukaan
tersebut terdapat bangunan atau penggunaan lahan lainnya yang tidak sesuai
dengan daya dukung tanahnya maka akan dapat memicu terjadinya gerakan tanah.
Gerakan tanah ini dapat berupa longsoran, retakan, dan pergeseran tanah yang
terindikasi pada dinding bangunan yang retak maupun amblesan pada lahan atau
badan jalan. Kejadian retakan maupun pergerakan yang signifikan ini
mempengaruhi terjadinya longsoran. Apalagi jika retakan-retakan hasil
pergerakan tanah tersebut tidak segera ditutupi dengan tanah kembali akan
beresiko menyebabkan air masuk ke dalam tanah dan membuat tanah cepat jenuh
air sehingga massa tanah menjadi lebih berat dan memicu terjadinya longsor.
Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter
yang menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah
penelitian tersusun dari breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan
batupasir serta lempung hitam yang bagian permukaannya telah mengalami
pelapukan berupa lempung pasiran-lempung lanauan yang cukup tebal. Jenis
tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang mudah
meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika
tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada
kemiringan tertentu maka air yang masuk akan tertahan dan tanah pada
kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir menjadi longsor
Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab terjadinya ongsor di
daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini.
77

Tabel 30. Frekuensi Ditemukannya Variabel-Variabel Penyebab Terjadinya Tanah Longsor


Indikator Parameter Jumlah Persentase
Ditemukan (%)
Jenis Tanah Kompleks latosol merah kekuningan, latosol 16 66,67
coklat kemerahan, dan litosol
Gabungan latosol coklat dan latosol 8 33,33
kemerahan
Tekstur Tanah Lempung liat berpasir 10 41,67
Lempung s/d liat 14 58,33
Kondisi Erosi Erosi 20 83,33
Tidak Erosi 4 16,67
Ketebalan Tanah 0-5 7 29,17
5-10 2 8,33
10-15 9 37,5
15-20 - -
20-25 - -
25-30 1 4,17
>30 5 20,83
Tutupan Vegetasi Tegakan Campuran 6 25
Semak Belukar 6 25
Kebun Campuran 8 33,33
Lahan Kosong/Lap. Rumput 4 16,67
Kebun Campuran Dengan tan. keras 2 8,33
Tanpa tan. keras 22 91,67
Kemiringan 0-8 2 8,34
Lereng 8-15 5 20,83
15-25 5 20,83
25-40 4 16,67
>40 8 33,33
Kondisi Datar - -
Perbukitan Berombak 1 4,17
Bergelombang 5 20,83
Berbukit 8 33,33
Bergunung 10 41,67
Kejadian Longsor Pernah 14 58,33
Belum pernah 10 41,67
Tipe Infrastruktur Jalan 12 50
78

Pemukiman 12 50
Bangunan Bronjong penahan 3 12,5
Konservasi Saluran air 1 4,17
Pembuatan teras 1 4,17
Tidak ada 19 79,16
Cuaca Kering - -
Sedang 19 79,17
Basah 5 20,83
Sangat Basah - -
Jenis Batuan Batuan sediment 14 58,33
Batuan gunung api 10 41,67
Tipe Longsor Nnedatan (Slump) 16 66,67
Penurunan Tanah/Amblesan (Subsidence) 8 33,33
Sumber : Data Primer (diolah)

5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor


Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian
didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/DVMBG (2004).
Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara
memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor.
Pemberian proporsi nilai/pembobotan berbeda pada setiap parameter karena
diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor
tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG,
diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana
tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi
dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu (parameter) kerawanan
kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk
menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu :

Skor = (30 % x faktor kelas curah hujan) + (20 % x faktor kelas geologi)
+ (20 % x faktor kelas jenis tanah) + (15 % x faktor kelas penggunaan
lahan) + (15 % x faktor kelas lereng)
79

Untuk kejadian longsor di daerah penelitian, setelah dilakukan penghitungan


total skor dari seluruh parameter penyebab terjadinya longsor sesuai dengan nilai
bobotnya masing-masing, dihasilkan 3 tingkat kerawanan daerah kejadian longsor
yaitu daerah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, menengah, dan tinggi.
Pengkelasan tingkat kerawanan longsor ini berdasarkan pembagian rentangan
nilai skor kumulatif ke dalam 3 kelas dengan selang skor (interval) yang sama.
Berdasarkan hasil penghitungan total skor untuk seluruh kejadian longsor
diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 6,3 untuk kasus longsor di Kp. Gn. Batu
Kidul (3) dan skor terendah yaitu 3,75 pada kasus longsor di Kp. Cikeas (1).
Sehingga pengkelasan tingkat kerawanan kejadian longsor ditetapkan seperti pada
Tabel 31 berikut ini.
Tabel 31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor
No. Total Skor Tingkat Kerawanan Longsor
1 3,75 – 4,5 Rendah
2 4,55 – 5,4 Menengah
3 5,45 – 6,3 Tinggi

Berdasarkan nilai skor kumulatif tiap kasus kejadian longsor diketahui


bahwa terdapat 8 kasus yang termasuk ke dalam kejadian longsor dengan tingkat
kerawanan tinggi, 9 kasus dengan tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus
dengan tingkat kerawanan rendah. Adapun rincian sebaran daerah kejadian
longsor berdasarkan tingkat kerawanannya dapat di lihat pada Tabel 32 sedangkan
sebaran ditemukannya tiap parameter pada tiap tingkat kerawanan kejadian
longsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor


Tingkat Kerawanan Longsor
Tinggi Menengah Rendah
1. Kp. Gn. Batu Kidul (3) 1. Kp. Legok Banteng (2) 1. Kp. Garungsang Pasir
2. Kp. Wangun 3 2. Kp. Curug (2) 2. Kp. Curug (3)
3. Kp. Cimandala 3. Kp. Cilaya 3. Kp. Curug (4)
4. Kp. Babakan Ngantai 4. Kp. Curug (1) 4. Kp. Gn. Batu Kidul (2)
5. Kp. Wangun 1 5. Kp. Wangun Landeuh (2) 5. Kp. Gn. Batu Babakan
6. Kp. Cijayanti 6. Kp. Cikeas (2) 6. Kp. Gn Batu Kidul (1)
80

7. Kp. Wangun 2 7. Kp. Gombong (1) 7. Kp. Cikeas (1)


8. Kp. Wangun Landeuh (1) 8. Kp. Legok Banteng (1)
9. Kp. Gombong (2)

Tabel 33. Kondisi Zona Longsor di Daerah Penelitian & Variabel Penyebabnya (DVMBG, 2004)
Indikator Parameter Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor Longsor
Tinggi Menengah Rendah
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Jenis Tanah Gabungan latosol coklat dan 2 25 7 77.8 7 100
latosol kemerahan
Kompleks latosol merah 6 75 2 22.2 0 0
kekuningan, latosol coklat
kemerahan, dan litosol
Tekstur Lempung s/d liat 4 50 3 33.3 3 42.9
Tanah Lempung liat berpasir 4 50 6 66.7 4 57.1
Kondisi Tidak Erosi 6 75 8 88.9 6 85.7
Erosi Erosi 2 25 1 11.1 1 14.3
Ketebalan 0-10 1 12.5 4 44.4 7 100
Tanah 11-20 1 12.5 5 55.6 0 0
21-30 3 37.5 0 0 0 0
31-40 3 37.5 0 0 0 0
Tutupan Tegakan Campuran 0 0 0 0 6 85.7
Vegetasi Semak Belukar 2 25 4 44.4 0 0
Kebun Campuran 3 37.5 4 44.4 1 14.3
Lahan Kosong/Lap. Rumput 3 37.5 1 11.1 0 0
Kebun Dengan tan. keras 3 37.5 3 33.3 6 85.7
Campuran Tanpa tan. keras 5 62.5 6 66.7 1 14.3
Kemiringan 0-8 0 0 0 0 0 0
Lereng 8-15 0 0 2 22.2 2 28.6
15-25 0 0 3 33.3 3 42.9
25-40 1 12.5 3 33.3 0 0
>40 7 87.5 1 11.1 0 0
Kondisi Datar 0 0 0 0 0 0
Perbukitan Berombak 0 0 0 0 1 14.3
Bergelombang 0 0 2 22.2 3 42.9
Berbukit 0 0 5 55.6 3 42.9
Bergunung 8 100 2 22.2 0 0
81

Kejadian Belum Pernah 1 12.5 2 22.2 7 100


Longsor Pernah 7 87.5 7 77.8 0 0
Tipe Pemukiman 2 25 3 33.3 7 100
Infrastruktur Jalan 6 75 6 66.7 0 0
Bangunan Bronjong penahan 0 0 1 11.1 0 0
Konservasi Saluran air 1 12.5 0 0 0 0
Pembuatan teras 1 12.5 0 0 0 0
Tidak ada 6 75 8 88.9 7 100
Cuaca Kering 0 0 0 0 0 0
Sedang 7 87.5 8 88.9 3 42.9
Basah 1 12.5 1 11.1 4 57.1
Sangat Basah 0 0 0 0 0 0
Jenis Batuan Batuan sediment 6 75 5 55.6 2 28.6
Batuan gunung api 2 25 4 44.4 5 71.4

5.4.1 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Tinggi


Berdasarkan hasil pengklasifikasian tingkat kerawanan longsor diketahui
bahwa terdapat 8 lokasi yang tergolong ke dalam kejadian longsor dengan tingkat
kerawanan tinggi yaitu : Kp. Gn. Batu Kidul (3), Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Wangun Landeuh (1), Kp.
Cimandala, dan Kp. Cijayanti atau meliputi 33,3 % dari seluruh kejadian longsor.
Seluruh kejadian longsor memiliki tipe longsor berupa nendatan dengan bentuk
penampang longsor rotasional (melengkung) menyerupai tapal kuda. Faktor utama
penyebab tingkat kerawanan longsor tinggi yang terdapat pada setiap kasus
longsor di lokasi tersebut adalah karakter kemiringan lereng curam hingga sangat
curam dimana 7 kasus (87,5 %) terjadi pada lokasi dengan tingkat kemiringan
lereng sangat curam (43-74%) dan 1 kasus (12,5 %) pada kemiringan lereng
curam (31 %) dengan kondisi perbukitan bergunung. Tingginya tingkat
kemiringan lereng pada daerah kejadian longsor dipicu pula oleh adanya
pembangunan infrastruktur jalan dan pemukiman (rumah) yang dibangun dengan
cara memapas (memotong) lereng. Terdapat 6 kasus longsor yang terjadi pada
daerah dekat jalan yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng,
sedangkan 2 kasus lainnya terjadinya pada daerah dengan infrastruktur berupa
pemukiman. Selain itu, tingginya tingkat kemiringan lereng juga dikarenakan
82

adanya penambangan batu gunung seperti yang ditemukan pada kasus longsor di
Kp. Gunung Kidul (3) dan Kp. Wangun 2.
Selain itu hampir di setiap lokasi kejadian longsor tidak terdapat bangunan
konservasi yang dapat melindungi lereng dari terjadinya peristiwa longsor.
Bangunan konservasi hanya ditemukan pada 2 kasus longsor yaitu di Kp. Wangun
2 berupa saluran air dan di Kp. Wangun Landeuh (1) berupa pembuatan teras pada
tebing jalan. Dari segi penggunaan lahannya, kasus longsor yang terjadi pada
daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa lahan kosong dan kebun
campuran ditemukan masing-masing 3 kasus. Sedangkan 2 kasus lainnya terjadi
pada daerah dengan kondisi penggunaan lahan berupa semak belukar.
Jenis tanah di lokasi kejadian adalah jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol (ditemukan pada 6 kasus) serta
jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan (ditemukan pada 2
kasus) yang tidak terlalu peka terhadap erosi, namun jenis batuan berupa batuan
sedimen (6 kasus) dan batuan gunung api (2 kasus) yang mudah lapuk membentuk
tekstur tanah lempung berpasir sampai dengan liat, menyebabkannya rawan
terhadap kejadian longsor. Selain itu, 7 lokasi kejadian longsor tersebut (87,5 %)
sebelumnya juga pernah mengalami peristiwa longsor, hal ini menyebabkan
daerah-daerah tersebut menjadi lebih rentan terhadap terjadinya longsor.
Kerawanan terjadinya kejadian longsor juga disebabkan ketebalan tanah pada
daerah tersebut yang relatif tebal berkisar antara 7-40 m. Ini akan memberikan
dampak sangat berbahaya yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta lebih
besar akibat luasnya daerah kejadian longsor. Hal ini dikarenakan makin tebalnya
tanah pada tingkat kelerengan curam sampai sangat curam tanpa penutupan
vegetasi yang memadai yang dapat menghujam batuan induk sebagai bidang
gelincir ditambah dengan jenis batuan yang relatif peka terhadap terjadinya
longsor akan menyebabkan longsor mudah terjadi dengan material longsoran
berupa tanah dan batuan yang lebih luas.

5.4.2 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Menengah


Terdapat 9 kasus (37,5 %) kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat
kerawanan menengah yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (2), Kp. Curug
83

(2), Kp. Cilaya, Kp. Curug (1), Kp. Wangun Landeuh (2), Kp. Cikeas (2), Kp.
Gombong (1), Kp. Legok Banteng (1), dan Kp. Gombong (2). Hampir semua
kejadian longsor tingkat kerawanan menengah ini memiliki karakteristik longsor
tipe nendatan, hanya 1 kasus berupa longsor tipe penurunan tanah (amblesan)
yaitu kasus longsor di Kp. Legok Banteng (1). Kejadian longsor tersebut
umumnya terjadi pada tingkat kemiringan lereng agak curam hingga curam (13-46
%) pada bentang lahan berbukit hingga bergunung dengan kondisi tipe iklim
sedang. Jenis tanah yang paling banyak ditemukan adalah jenis tanah gabungan
latosol coklat dan latosol kemerahan (7 kasus) dan 2 kasus lainnya dengan jenis
tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan dan litosol,
kedua jenis tanah tersebut kurang peka terhadap erosi. Namun dengan kondisi
batuan yang mudah lapuk (batuan sedimen dan gunung api) membentuk tekstur
tanah yang umumnya lempung liat berpasir daerah tersebut tetap berpotensi
menimbulkan longsor dengan tingkat kerawanan menengah. Adapun kondisi
penggunaan lahan yang ditemukan meliputi tegakan campuran, semak belukar,
dan kebun campuran yang mayoritas tanpa penanaman tanaman keras. Sebanyak 5
kasus (56 %) terjadi pada daerah dengan tipe infrastruktur jalan dan 4 kasus (46
%) berupa pemukiman dan sebelumnya juga pernah mengalami kejadian longsor.

5.4.3 Kejadian Longsor Tingkat Kerawanan Rendah


Terdapat 7 kasus kejadian longsor yang termasuk ke dalam tingkat
kerawanan rendah yaitu pada Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug (3), Kp. Curug
(4), Kp. Gn. Batu Kidul (2), Kp. Gn. Batu Babakan, Kp. Gn Batu Kidul (1), dan
Kp. Cikeas (1). Kejadian longsor yang memiliki tingkat kerawanan rendah
tersebut umumnya terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam (6 –
24 %) pada daerah pemukiman penduduk dengan bentang lahan berombak hingga
berbukit. Seluruh kejadian longsor yang terjadi memiliki karakteristik nendatan
(amblesan). Tutupan lahan pada tingkat kerawanan rendah ini relatif lebih baik
dimana 70 % (5 kasus) kejadiannya terjadi pada lahan dengan penutupan vegetasi
berupa tegakan campuran. Selain itu, hampir 86% lokasi kasus longsor tersebut
sebelumnya belum pernah mengalami longsor.
84

5.5 Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor


Pada grafik dalam gambar 17, faktor kelas tanah yang paling berpengaruh
terhadap tingkat kerawanan longsor tinggi di Kecamatan Babakan Madang adalah
jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan
litosol (V2) dengan tekstur tanah lempung liat berpasir (V4) serta ketebalan tanah
di atas 20 m (V9 dan V10). Meski kondisi tanah di daerah penelitian hampir 84
% (20 kasus) tidak peka terhadap erosi (V5), namun karena ketiga indikator kelas
tanah lainnya berperan dalam memicu longsor, maka potensi terjadinya longsor
tetaplah tinggi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan


Kejadian Longsor di Kecamatan Babakan Madang

8
Frekuensi Ditemukan (kasus)

7
6
5
Tinggi
4
Menegah
3
Rendah
2
1
0
-1
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10

Jenis Tekstur Kondisi Ketebalan Tanah


Tanah Tanah Erosi

Tinggi 2 6 4 4 6 2 1 1 3 3
Menegah 7 2 3 6 7 2 4 5 0 0
Rendah 7 0 3 4 7 0 7 0 0 0

Gambar 17. Grafik Pengaruh Faktor Kelas Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor
di Kecamatan Babakan Madang

Sedangkan untuk faktor kelas penggunaan lahan (Gambar 18) yang memicu
tingkat kerawanan longsor tinggi pada kejadian longsor di Kecamatan Babakan
Madang adalah tutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran
(V13), dan lahan kosong (V14). Kondisi kebun campuran yang terutama memiliki
kerawanan tinggi terhadap terjadinya longsor adalah kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16) dan biasanya hanya
85

berupa tanaman pangan berupa singkong dan pisang. Kondisi tutupan vegetasi
seperti itu kurang mampu mendukung kemantapan agregat tanah sehingga struktur
tanah akan mudah rapuh terutama saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama. Tipe
infrastruktur yang paling rawan terhadap kejadian longsor adalah tipe infrastruktur
jalan (V18), terutama yang dibangun dengan cara memapas (memotong) lereng
sehingga meningkatkan tingkat kemiringan lereng yang memang sudah relatif
curam. Meski pada beberapa lokasi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi
terdapat bangunan konservasi berupa saluran air (V19) ataupun adanya
pembangunan teras pada tebing (V21), namun karena kondisi bangunan
konservasi tersebut tidak memadai ditambah kondisi kelerengan yang curam
sampai sangat curam dan curah hujan lebat, membuat beberapa lokasi tersebut
tetap rawan terhadap terjadinya longsor. Lokasi dengan kondisi tanpa adanya
bangunan konservasi (V22) terutama pada daerah-daerah yang relatif curam
tentunya akan lebih mudah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan longsor
tinggi.

Histogram Pengaruh Faktor Kelas Penggunaan Lahan T erhadap T ingkat


Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan babakan Madang

8
Frekuensi Ditemukan (kasus)

6
5
4
3

2
1
0
V11 V12 V13 V14 V15 V16 V17 V18 V19 V20 V21 V22
T utupan Vegetasi Kebun T ipe Bangunan
Campuran
Infrastruktur Konservasi
T inggi 0 2 3 3 3 5 2 6 0 1 1 6
Menegah 1 4 3 1 3 6 4 5 1 0 0 8
Rendah 5 0 2 0 6 1 6 1 0 0 0 7

Gambar 18. Grafik Pengaruh faktor kelas penggunaan lahan terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang
Dalam Grafik pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat bahwa kejadian
longsor yang terdapat pada daerah dengan kondisi kemiringan lereng curam (V26)
86

sampai dengan sangat curam (V27) dengan bentang lahan yang berbukit (V31)
hingga bergunung (V32) dengan jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga
pernah memiliki sejarah kejadian longsor (V36), sebagian besar tergolong ke
dalam tingkat kerawanan longsor tinggi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Lereng Terhadap Tingkat Kerawanan Kejadian


Longsor di Kecamatan babakan Madang
9
8
Frekuensi Ditemukan (kasus)

7
6
5
4
3
2
1
0
-1
V23 V24 V25 V26 V27 V28 V29 V30 V31 V32
Kemiringan Lereng Kondisi Perbukitan
Tinggi 0 0 0 1 7 0 0 0 0 8
Menegah 0 1 4 3 1 0 0 1 6 2
Rendah 2 3 2 0 0 0 1 4 2 0

Gambar 19. Grafik Pengaruh faktor kelas lereng terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor

Histogram Pengaruh Faktor Kelas Geologi Terhadap


Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan babakan
Madang

8
Ditemukan (kasus)

6
Frekuensi

0
V33 V34 V35 V36
Jenis Batuan Kejadian Longsor
T inggi 2 6 1 7
Menegah 3 6 3 6
Rendah 6 1 6 1

Gambar 20. Grafik Pengaruh faktor kelas geologi terhadap tingkat kerawanan kejadian longsor di
Kecamatan Babakan Madang
87

Sedangkan berdasarkan Grafik pada gambar 21, kejadian longsor di daerah


penelitian baik dengan tingkat kerawanan tinggi, menengah, ataupun tingkat
kerawanan rendah umumnya terjadi pada kondisi tipe iklim sedang dengan curah
hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38). Namun karena curah hujan harian
aktual saat terjadinya longsor relatif sangat besar 245,5 mm/hari yang merata di
seluruh lokasi kejadian longsor, maka longsor sangat potensial terjadi.

Grafik Pengaruh Faktor Kelas Curah Hujan Terhadap


Tingkat Kerawanan Kejadian Longsor di Kecamatan
Babakan Madang

8
Frekuensi Ditemukan (kasus)

7 7
6
5 Tinggi
4 4 Menegah
3 3 Rendah
2 2
1 1
0 0 0
Kering Sedang Basah Sangat
Basah

Kondisi Cuaca (Curah Hujan)

Gambar 21. Grafik Pengaruh faktor kelas tipe iklim (curah hujan) terhadap tingkat kerawanan
kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang

Dari uraian di atas diketahui bahwa secara umum parameter yang memicu
terjadinya longsor pada daerah penelitian adalah :
(1) jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan
litosol (V2),
(2) tekstur tanah lempung liat berpasir (V4),
(3) ketebalan tanah di atas 20 m (V9 dan V10),
(4) penutupan vegetasi berupa semak belukar (V12), kebun campuran (V13), dan
lahan kosong (V14) dengan kondisi kebun campuran yang dibudidayakan
tanpa adanya tegakan tanaman keras (V16),
88

(5) tipe infrastruktur jalan (V18) dibangun dengan cara memapas (memotong)
lereng,
(6) kondisi daerah rawan longsor terutama tebing jalan tanpa adanya bangunan
konservasi (V22),
(7) kondisi kemiringan lereng curam (V26) sampai dengan sangat curam (V27)
dengan bentang lahan yang berbukit (V31) hingga bergunung (V32) dengan
jenis batuan sedimen (V34) dan sebelumnya juga pernah memiliki sejarah
kejadian longsor (V36), serta
(8) kondisi tipe iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000-2.500 mm/tahun (V38).
Seluruh parameter terpilih tadi dihimpun dalam 5 faktor utama penyebab
terjadinya longsor berikut ini :
1. Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah lempung
liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m.
2. Faktor kelas penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar,
kebun campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan
lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi.
3. Faktor kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam
dengan bentuk bentang lahan berbukit-bergunung.
4. Faktor kelas geologi yaitu jenis batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah
gerakan tanah longsor di daerah tersebut.
5. Faktor kelas curah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan curah hujan
2.000 – 2.500 mm/tahun
Berdasarkan hasil identifikasi kasus-kasus kejadian longsor di daerah
penelitian diketahui bahwa jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol
coklat kemerahan dan litosol meski memiliki kepekaan erosi yang kecil, namun
apabila berada pada kondisi lereng curam sampai sangat curam pada bentang
lahan berbukit hingga bergunung, areal tersebut tetap akan memiliki potensi besar
untuk menjadi longsor. Apalagi dengan kondisi tanah pelapukan yang tebal
dengan tekstur lempung liat berpasir yang bersifat mengembang dan sarang air
89

saat terjadinya hujan lebat, serta berada pada satuan batuan induk yang mudah
melapuk dan mudah bergerak apabila terjadi pembebanan yang melebihi
kemampuan (batuan sedimen/Tmj) maka akan sangat berpotensi untuk mengalami
longsor.
Kerawanan terhadap terjadinya longsor tersebut akan semakin tinggi apabila
banyak aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan alam seperti
perambahan hutan menjadi lahan-lahan budidaya tanpa usaha-usaha konservasi,
penambangan batu pada tebing curam, dan atau pemotongan lereng dalam
pembuatan jalan dan pemukiman.
Penutupan vegetasi berpenutupan tajuk jarang dengan perakaran serabut
yang tidak dapat menghujam lapisan batuan induk kedap air pun harus
diminimalisir, terutama pada lahan-lahan dengan tingkat kecuraman tinggi. Ini
dikarenakan, vegetasi berpenutupan tajuk jarang seperti lahan kosong/padang
rumput, semak belukar, ataupun kebun campuran tidak mampu menahan laju
energi kinetik butir-butir air hujan dengan cukup baik sehingga membuat tingkat
infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menjadi lebih
besar. Akibatnya, tanah yang jenuh air pada satuan lereng curam dengan batuan
induk kedap air serta penutupan vegetasi dengan perakaran serabut sangat
potensial untuk mengalami longsor.
Oleh karenanya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap
terjadinya longsor ini. Salah satunya melalui usaha rekayasa bio-engginering
seperti penanaman tanaman keras yang dipadukan dengan tanaman budidaya
(kebun campuran) dalam mekanisme agroforestri serta penanaman tanaman keras
(pohon) pada lahan-lahan kosong dan semak belukar yang disesuaikan dengan
kondisi litologis, kelerengan, geologis, serta ekonomis. Untuk lahan-lahan dengan
kondisi lereng curam dan lapisan batuan kedap air dapat ditanami pohon-pohon
berakar dalam yang mampu menghujam lapisan kedap air tersebut. Namun perlu
diperhatikan pemilihan jenis pohonnya yaitu jenis pohon yang bermassa dan
bertajuk ringan sehingga tidak akan menambah beban yang terlalu besar terhadap
tanah/lereng yang ditumpanginya.
Untuk lereng atau lahan yang lapisan kedap airnya dalam dengan ketebalan
tanah yang tinggi dimana akar-akar pepohonan tidak mampu menghujam ke
90

lapisan tersebut, dapat ditanami tegakan atau pohon yang dapat mengurangi
intensitas infiltrasi atau masuknya air hujan, yaitu pohon-pohon yang memiliki
daya evapotranspirasi tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman tersebut.
Menurut Manan (1976) dalam Dahlan (2004), tanaman yang dapat menguapkan
air dengan baik (menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi) diantaranya
adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia
vilosa, tarum (Indigofera galegoides), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni
(Swietenia spp.), jati (Tectona grandis), Kihujan (Samanes saman) dan lamtoro
(Leucaena glauca). Satu hal yang perlu diperhatikan juga dalam penanaman
pepohonan pada kondisi lereng seperti disebutkan di atas adalah kerapatan antar
pohon yang ditanam harus tidak terlalu rapat agar massa pohon yang membebani
tanah/lereng tidak terlalu besar.
Untuk menarik minat masyarakat dalam memelihara tegakan-tegakan yang
diusahakan dalam rekayasa bio-engginering ini, maka sebisa mungkin lahan-lahan
rawan longsor juga ditanami pepohonan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat setempat seperti pohon buah-buahan dan
pohon kemiri yang juga direkomndasikan oleh Bank Dunia. Sedangkan pada
kawasan lindung, Bank Dunia menyarankan agar ditanami vegetasi atau pohon
yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati,
kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami
bambu. (Sitorus, 2006).
Rekayasa bio-engginering juga dapat dipadukan dengan rekayasa teknik
konservasi tanah dan air seperti dengan membangun saluran air yang baik dan
tidak mudah bocor, sehingga air hujan yang menjenuhi tanah dapat dialirkan
dengan baik. Ataupun dengan membuat teras-teras seperti teras bangku pada
badan-badan lereng yang curam dan pembuatan bronjong pada tebing-tebing jalan
dan tebing sungai. Dan satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah harus
dikuranginya atau bahkan dihentikan aktivitas-aktivitas manusia yang benar-benar
dapat memicu terjadinya longsor seperti penambangan pada kaki lereng yang
curam, pembangunan pemukiman di bawah tebing curam atau pada tebing sungai,
dan aktivitas pertanian intensif pada areal curam tanpa melakukan upaya-upaya
konservasi.
91

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Kecamatan Babakan
Madang ada 2 macam yaitu nendatan (slump) yang terdapat pada 16 kasus
(66,7%) dan penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) yang terjadi
pada 8 kasus longsor (33,3%). Desa Bojongkoneng adalah wilayah yang
paling banyak ditemukan kasus kejadian longsor (13 kasus), diikuti Desa
Karang Tengah (8 kasus), dan Desa Cijayanti ( 3 kasus).
2. Longsor paling banyak ditemukan pada areal dengan penutupan vegetasi
kebun campuran sebanyak 8 kasus atau 33,33%, diikuti semak belukar dan
tegakan campuran sebanyak 6 kasus (25%), dan lahan kosong sebanyak 4
kasus (16,7%).
3. Berdasarkan metode pemodelan tingkat kerawanan kejadian longsor
DVMBG (2004) diketahui bahwa 8 kasus (33,3 %) kejadian longsor
termasuk ke dalam tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus (37,5 %) pada
tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus (29,2 %) termasuk ke dalam
tingkat kerawanan longsor rendah.
4. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya longsor di Kecamatan Babakan
Madang yaitu :Faktor kelas jenis tanah yaitu jenis tanah kompleks latosol
merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol; tekstur tanah
lempung liat berpasir; serta ketebalan tanah di atas 20 m. Faktor kelas
penggunaan lahan berupa penutupan vegetasi semak belukar, kebun
campuran, dan lahan kosong, dengan kondisi kebun campuran yang
dibudidayakan tanpa adanya tegakan tanaman keras serta penggunaan
lahan berupa infrastruktur jalan yang dibangun dengan cara memapas
(memotong) lereng tanpa disertai pembuatan bangunan konservasi. Faktor
kelas lereng dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam dengan
bentuk bentang lahan berbukit-bergunung. Faktor kelas geologi yaitu jenis
batuan sedimen (Tmj) serta adanya sejarah gerakan tanah longsor di
daerah tersebut. Faktor kelas yurah hujan yaitu tipe iklim sedang dengan
92

curah hujan 2.000 – 2.500 mm/tahun

6.2 Saran
1. Aktivitas penambangan batu gunung pada lokasi-lokasi rawan longsor
seperti di Kp. Gunung Batu Kidul (3), Kp. Wangun 1, dan Kp. Wangun 3
harus dikurangi atau bahkan dihentikan karena akan mengganggu
kemantapan lereng dan mengurangi daya tahan lereng terhadap terjadinya
gerakan tanah.
2. Perlu dilakukan penanaman tegakan keras pada kawasan lahan kosong,
padang rumput, dan semak belukar dengan tanaman keras (pohon) yang
disesuaikan dengan kondisi fisik kawasannya juga dipadukannya
penanaman tanaman keras pada lahan kebun campuran milik masyarakat
setempat dalam mekanisme agroforestri.
3. Perlu dilakukan usaha konservasi tanah dan air pada lokasi kejadian
longsor tingkat kerawanan tinggi seperti di Kp. Babakan Ngantai, Kp.
Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1 yang berada areal tepi jalan yang
memiliki tebing yang curam dengan membuat saluran air yang tahan
bocor, bronjong penahan yang kuat, atau dengan pembuatan teras.
4. Retakan dan rekahan yang terjadi akibat gerakan tanah seperti yang terjadi
di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug perlu segera ditutupi lagi oleh
tanah agar air hujan tidak terlalu cepat menyerap dan menjenuhi tanah
kembali sehingga resiko terjadinya longsor dapat dikurangi.
5. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi
pencegahan longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan.
6. Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal
pada kawasan rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah
timbulnya korban jiwa pada bencana yang akan datang.
7. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai jenis tanaman atau
tutupan vegetasi yang cocok pada daerah kawasan rawan longsor serta
efektifitasnya dalam mencegah terjadinya longsor.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Setyawan, Wahyu Wilopo, Supriyanto Suparno. 2006. Mengenal Bencana


Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya. http://www.io.ppi-
jepang.org/article.php?1d=196 [10 Jul 2007]

Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor
Serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan.


http://www.d-infokom-jatim.go.id/news.php?id=11029 [26 Juli 2007]

Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M.


2001. Aplikasi Citra Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana
Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung.

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Asdak, S. 1995. Hidrologi & Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

_______.2003. Faktor Hutan Geomorfologi, dan Anomali Iklim pada Bencana


Longsor di Hulu DAS Cimanuk. Hal 39-52 dalam Prosiding Semiloka
Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. H. Ramdan (Ed.)
Alqaprint Jatinangor. Sumedang. Pemerintah Kabupaten Garut.

Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik


Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-Puncak-
Pacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 7-16 Jurusan Ilmu
Tanah, In Press (April 1999).

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2007. Bogor.
Humas Kabupaten Bogor.

____________________. 2003. Kecamatan Babakan Madang Dalam Angka


2003. Kerjasama Kabupaten Bogor dan BPS Kabupaten Bogor.

Dahlan, Endes N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor.

Darsoatmojo, A. Dan Soedradjat, G. M. 2002. Bencana Tanah Longsor Tahun


2001. Year Book Mitigasi Bencana Tahun 2001.

Das, B. M. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis).


Diterjemahkan : Endah, N. M. Dan I. B. M. Surya. Jakarta : Erlangga.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan
Energi. Jakarta.

[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005.


Manajemen Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm [14 Juli 2007]

[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007.


Pengenalan Gerakan Tanah.
http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm
[18 Mei 2007]

Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Pusdi


Kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang.

Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.

Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang
Diskontinuitas: Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata
Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 44-51.

Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000


(Evaluasi dan Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Karnawati, Dwikorita. 2006. Wilayah yang Tak Pernah Luput Bencana oleh
Madina Nusrat. Artikel Internet. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0601/14/Fokus/2360408.htm [13 Jul 2007]

Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim


Longsoran Teknik Geologi UGM Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Lillesand, T. M. & R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.


Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Litbang Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian di


Lahan Pegunungan.
http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-II.pdf [13 Juli
2007]

Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Penerbit Universitas


Indonesia. Jakarta.

Mustafril, 2003. Analisis Stabilitas Lereng Untuk Konservasi Tanah dan Air di
Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Tesis. Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
95

Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau
Jawa Tahun 2001. BPPT. Jakarta.

Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Paripurno, ET. 2006. Pengenalan Longsor Untuk Penanggulangan Bencana. Di


dalam: [UNDP] United Nation Development Program. Pustaka Pelajar dan
Oxfam B.G., penerjemah;

Purwowidodo. 2003. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah.


Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Sumberdaya


Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Rejekiningrum, Popi. 2007. Teknologi Inderaja dan SIG untuk Identifikasi Potensi
Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor. Paper Mata Kuliah Teknik
Analisis Citra Dijital Untuk Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Rusli, Salim ST. 2007. Waspada Hujan dan Longsor. Jakarta

Sangadji, Ismail. 2003. Formasi Geologi, Penggunaan Lahan, dan Pola Sebaran
Aktivitas Penduduk di Jabodetabek. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas
Pertanian IPB.

Saptohartono, Endri. 2007. Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat


Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung [Skripsi].
Bandung. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral. Institut
Teknologi Bandung.

Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai


Kontrol Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Sudrajat, Adjat. 2007. Menunggu Longsor. http://www.pikiran-


rakyat.com/cetak/2007/112007/16/0901.htm [15 Jan 2008].

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.

Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka


Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten
Garut.

Suryolelono, K. B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu


Geoteknik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Teknik UGM.
UGM Press.
96

Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana


Alam Gerakan Tanah. Jakarta.
_______. 2001. Tanah Longsor Goyang Pulau Jawa. Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

[UNDP] United Nation Development Program. 1992. Introduction of Hazard..


Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah; Paripurno ET, editor.

Wahyono.2003. Evaluasi Geologi Teknik Atas kejadian Gerakan Tanah di


Kompleks Perumahan Lereng Bukit Gombel-Semarang. Kasus Longsoran
Gombel, 8 Februari 2002. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1
Mei 2003. Hal 32-43

Wahyu Wilopo, Priyono Suryanto. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa


Vegetasi Pada Kawasan Rawan Longsor. J Hutan Rakyat 7 (1) : 1-15

Wulandary, Anna. 2004. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Kondisi


Sub DAS Cisadane Hulu Meliputi Aliran Permukaan, Erosi, dan
Sedimentasi Mempergunakan Model AGNPS (Agricultural Non Point
Source Pollution Model). Skripsi
97
98

Lampiran 1. Rekapitulasi nilai skor parameter penyebab longsor pada tiap kasus longsor di daerah penelitian

No. Lokasi Longsor V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V11 V12 V13 Total Kelas Kerawanan
Skor Longsor
Kp. Gn. Batu Kidul (3) 1 2 1 4 4 2 5 5 2 2 4 2 2
1 6.3 Tinggi
Kp. Wangun 3 2 1 1 4 2 2 5 5 2 2 4 2 2
2 6 Tinggi
Kp. Cimandala 1 2 2 3 3 2 5 5 2 1 4 2 2
3 6 Tinggi
Kp. Babakan Ngantai 2 1 1 3 4 1 5 5 2 2 4 2 2
4 5.95 Tinggi
Kp. Wangun 1 2 1 1 3 3 2 5 5 2 2 4 2 2
5 5.95 Tinggi
Kp. Cijayanti 2 2 2 1 4 1 4 5 1 2 4 3 1
6 5.7 Tinggi
Kp. Wangun 2 2 2 1 4 2 2 5 5 2 1 2 2 1
7 5.55 Tinggi
8 Kp. Wangun Landeuh (1) 2 1 1 2 3 1 5 5 2 2 3 2 2 5.45 Tinggi
Kp. Legok Banteng (2) 1 2 2 2 3 2 3 4 2 1 4 2 2
9 5.35 Sedang
10 Kp. Curug (2) 1 2 1 2 4 2 2 3 2 2 4 2 2 5.15 Sedang
Kp. Cilaya 2 1 1 1 3 1 4 5 2 1 4 2 2
11 5.1 Sedang
Kp. Curug (1) 1 2 1 1 2 2 3 4 2 2 4 3 1
12 5.05 Sedang
Kp. Wangun Landeuh (2) 2 1 1 2 2 1 5 5 2 2 1 2 2
13 5 Sedang
Kp. Cikeas (2) 1 2 1 1 3 2 3 4 2 1 4 2 2
14 4.95 Sedang
Kp. Gombong (1) 1 2 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1
15 4.9 Sedang
Kp. Legok Banteng (1) 1 2 2 1 1 1 3 4 1 1 4 3 2
16 4.8 Sedang
Kp. Gombong (2) 1 1 1 2 2 2 4 4 1 2 4 2 1
17 4.7 Sedang
Kp. Garungsang Pasir 1 2 1 1 3 1 2 3 2 2 4 2 1
18 4.45 Rendah
Kp. Curug (3) 1 2 1 1 3 1 2 3 1 1 4 3 1
19 4.4 Rendah
Kp. Curug (4) 1 2 1 1 1 1 1 3 1 1 4 3 2
20 4.15 Rendah
99

Kp. Gn. Batu Kidul (2) 1 1 1 1 1 1 3 4 1 1 4 2 1


21 3.9 Rendah
Kp. Gn. Batu Babakan 1 1 1 1 1 1 3 4 1 1 4 2 1
22 3.9 Rendah
Kp. Gn. Batu Kidul (1) 1 2 1 1 1 1 2 3 1 1 4 2 1
23 3.8 Rendah
24 Kp. Cikeas (1) 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 4 3 1 3.75 Rendah

Keterangan :
V1 : Jenis Tanah V8 : Kondisi Perbukitan
V2 : Tekstur Tanah V9 : Kejadian Longsor
V3 : Kepekaan Tanah Terhadap Erosi V10 : Tipe Infrastruktur
V4 : Ketebalan Tanah V11 : Bangunan Konservasi
V5 : Tutupan Vegetasi V12 : Tipe Iklim-Cuaca (Curah Hujan)
V6 : Kebun Campuran V13 : Jenis Batuan
V7 : Kemiringan Lereng

Lampiran 2. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian


No. Lokasi Longsor Tingkat V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8
Kerawanan
Kp. Gn. Batu Kidul (3) Tinggi Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 40 Lahan Kosong Tanpa Tan. Keras 63 Bergunung
1 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi
Kp. Wangun 3 Tinggi Kompleks latosol merah Lempung- Tidak 40 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 63 Bergunung
kekuningan latosol coklat Liat Erosi
2 kemerahan dan litosol
100

Kp. Cimandala Tinggi Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 25 Kebun Tanpa Tan. Keras 43 Bergunung
3 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Babakan Ngantai Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 30 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 46 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi
4 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun 1 Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 30 Kebun Tanpa Tan. Keras 57 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
5 kemerahan dan litosol
Kp. Cijayanti Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Erosi 7 Lahan Kosong Dengan Tan. Keras 31 Bergunung
kekuningan latosol coklat liat Berpasir
6 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun 2 Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 40 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 74 Bergunung
kekuningan latosol coklat liat Berpasir Erosi
7 kemerahan dan litosol
Kp. Wangun Landeuh Tinggi Kompleks latosol merah Lempung Tidak 15 Kebun Dengan Tan. Keras 48 Bergunung
(1) kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
8 kemerahan dan litosol
Kp. Legok Banteng (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 15 Kebun Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit
9 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Curug (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 12 Lahan Kosong Tanpa Tan. Keras 13 Bergelomba
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi ng
10
101

Kp. Cilaya Menengah Kompleks latosol merah Lempung Tidak 10 Kebun Dengan Tan. Keras 33 Bergunung
kekuningan latosol coklat Erosi Campuran
11 kemerahan dan litosol
Kp. Curug (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 8 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 18 Berbukit
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi
12
Kp. Wangun Landeuh Menengah Kompleks latosol merah Lempung- Tidak 13 Semak Belukar Dengan Tan. Keras 46 Bergunung
(2) kekuningan latosol coklat Liat Erosi
13 kemerahan dan litosol
Kp. Cikeas (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 10 Kebun Tanpa Tan. Keras 24 Berbukit
14 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran
Kp. Gombong (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 26 Berbukit
15 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi
Kp. Legok Banteng (1) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Erosi 10 Tegakan Dengan Tan. Keras 22 Berbukit
16 latosol kemerahan liat Berpasir Campuran
Kp. Gombong (2) Menengah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 15 Semak Belukar Tanpa Tan. Keras 28 Berbukit
17 latosol kemerahan Erosi
Kp. Garungsang Pasir Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 4 Kebun Dengan Tan. Keras 14 Bergelomba
18 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
Kp. Curug (3) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 3 Kebun Dengan Tan. Keras 9 Bergelomba
latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
19
102

Kp. Curug (4) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 8 Bergelomba
20 latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran ng
Kp. Gn. Batu Kidul (2) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung- Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 24 Berbukit
21 latosol kemerahan Liat Erosi Campuran
Kp. Gn. Batu Babakan Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung- Tidak 3 Tegakan Dengan Tan. Keras 16 Berbukit
22 latosol kemerahan Liat Erosi Campuran
Kp. Gn. Batu Kidul Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 2 Tegakan Dengan Tan. 11 Bergelomba
23 (1) latosol kemerahan liat Berpasir Erosi Campuran 24Keras ng
Kp. Cikeas (1) Rendah Gabungan latosol coklat dan Lempung Tidak 1 Tegakan Tanpa Tan. Keras 6 Berombak
24 latosol kemerahan Erosi Campuran

Lampiran 3. Data Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian (lanjutan)


No. Lokasi Longsor Tingkat V9 V10 V11 V12 V13 Tipe Longsor
Kerawanan
1 Kp. Gn. Batu Kidul (3) Rawan Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
2 Kp. Wangun 3 Rawan Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
3 Kp. Cimandala Rawan Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
4 Kp. Babakan Ngantai Rawan Pernah Jalan Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
5 Kp. Wangun 1 Rawan Pernah Jalan Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
6 Kp. Cijayanti Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Basah Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
7 Kp. Wangun 2 Rawan Pernah Pemukiman Saluran air Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
8 Kp. Wangun Landeuh (1) Rawan Pernah Jalan Pembuatan teras Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
103

9 Kp. Legok Banteng (2) Rawan Pernah Pemukiman Tidak Ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
10 Kp. Curug (2) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
11 Kp. Cilaya Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
12 Kp. Curug (1) Potensial Pernah Jalan Tidak ada Basah Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
13 Kp. Wangun Landeuh (2) Rawan Pernah Jalan Bronjong penahan Sedang Batuan Sedimen Nendatan/Slump
14 Kp. Cikeas (2) Potensial Pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan
15 Kp. Gombong (1) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan

16 Kp. Legok Banteng (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen Nendatan/Slump

17 Kp. Gombong (2) Rawan Belum pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
18 Kp. Garungsang Pasir Ptensial Pernah Jalan Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api Nendatan/Slump
19 Kp. Curug (3) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
20 Kp. Curug (4) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Sedimen PenurunanTanah/Amblesan
21 Kp. Gn. Batu Kidul (2) Potensial Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
22 Kp. Gn. Batu Babakan Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
23 Kp. Gn. Batu Kidul (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Sedang Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
24 Kp. Cikeas (1) Stabil Belum pernah Pemukiman Tidak ada Basah Batuan Gunung Api PenurunanTanah/Amblesan
104

Lampiran 4. Rekapitulasi Ditemukannya Tiap Parameter Penyebab Longsor di Daerah Penelitian


Indikator Parameter Skor Frekuensi Ket.
Ditemukan
Jenis Tanah V1 Gabungan latosol coklat dan latosol 1 16 Data Peta
kemerahan
V2 Kompleks latosol merah kekuningan 2 8
latosol coklat kemerahan dan litosol
Tektur Tanah V3 Lempung-Liat 1 10 PL
V4 Lempung liat Berpasir 2 14

Kondisi Erosi V5 Tidak Erosi 1 20 Data Peta


V6 Erosi 2 4
Ketebalan tanah V7 (0-10 m) 1 12 PL
V8 (>10 – 20 m) 2 6
V9 (>20 – 30 m) 3 3
V10 (> 30 m) 4 3
Tutupan Vegetasi V11 Tegakan Campuran 1 6 PL
V12 Semak Belukar 2 6
V13 Kebun Campuran 3 8
V14 Lahan Kosong/Lap. Rumput 4 4
Kebun campuran V15 Dengan tanaman keras 1 12 PL
V16 Tanpa tanaman keras 2 12
Tipe Infrastruktur V17 Pemukiman 1 12 PL
V18 Jalan 2 12
Bangunan V19Bronjong penahan 1 1 PL
Konservasi Tanah V20 Saluran air 2 1
dan Air V21 Pembuatan teras 3 1
V22 Tidak ada 4 21
Kemiringan V23 0-8% 1 2 PL
Lereng V24 >8-15% 2 5
V25 >15-25% 3 5
V26 >25-40% 4 4
V27 >40% 5 8
Kondisi V28Datar 1 0 PL
Perbukitan V29 Berombak 2 1
V30 Bergelombang 3 5
V31 Berbukit 4 8
V32 Bergunung 5 10
105

Jenis Batuan V33 Batuan Gunung Api 1 11 Data Peta


V34 Batuan Sedimen 2 13
Sejarah Kejadian V35 Tidak Pernah 1 10 Wa
Longsor V36 Pernah 2 14
Kondisi Cuaca V37 Kering 1 0 Data Peta
(curah hujan) V38 Sedang 2 19
V39 Basah 3 5
V 40 Sangat Basah 4 0
Ket : Data Peta : Hasil Pengolahan Peta Digital (berbagai layer)
PL : Pengamatan atau pengujian lapangan
Wa : Wawancara

Anda mungkin juga menyukai