Sejak zaman portugis di Indonesia telah mulai dilakukan penyelaman mutiara oleh penyelam-penyelam alam. Kemudian pada zaman perang kemerdekaan sebelum perang dunia II, telah dilakukan kegiatan penyelaman, kapal selam dan lain-lain di Indonesia. Selanjutnya pada zaman kemerdekaan setelah penyerahan kedaulatan, Kesehatan Bawah Air mulai maju pesat. Dalam upaya bangsa Indonesia mewujudukan tujuan nasional yang meliputi aspek keamanan dan aspek kesejahteraan, telah dilaksanakan rangkaian pembangunan nasional yang terencana, bertahap, dan terpadu. Pelaksanaan pembangunan nasional bagi suatu negara kepulauan terdiri atas 13.677 pulau besar dan kecil, dimana 2/3 wilayahnya adalah laut mengharuskan pula tersedianya tenaga kerja matra laut. Tenaga kerja matra laut di masa kini dan mendatang harus dapat mengawaki lapangan pekerjaan di laut yang makin bertambah luas dan besar. Apalagi telah diumumkan berlakunya ketentuan zona ekonomi eksklusif 200 mil oleh pemerintah dimana bangsa Indonesia berdaulat atas sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di wilayah tersebut. Di lain pihak, kepentingan bangsa Indonesia di laut nusantara adalah pemanfaatan laut nusantara sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia. Pemanfaatan ini telah terlihat dengan laju pembangunan ekonomi dewasa ini yang memungkinkan berkembangnya dengan pesat kegiatan eksplorasi kekayaan laut, termasuk penambangan kekayaan alam di dasar laut dan pemanfaatan teknologi bawah air. Teknologi bawah air atau kemampuan kerja di bawah air yang merupakan salah satu teknologi matra laut, belum banyak berkembang. Kalau hal ini dikaitkan dengan penambangan atau pemasangan pipa dan kabel di lepas pantai di dasar laut dalam lebih lagi di landas kontinen atau di laut ZEE dengan kedalaman lebih dari 100 meter, maka diperlukan adalah teknologi penyelaman dalam. Saat ini dukungan teknologi bawah air dan teknologi laut dalam masih didominasi pihak asing, karena penguasaan pengetahuan dan ketrampilan bangsa Indonesia dalam bidang ini masih kurang. Mengingat laut sangat vital bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, maka teknologi laut dalam ini perlu dikembangkan bangsa Indonesia. Pengembangan teknologi laut dalam harus diikuti dengan pengembangan ilmu kesehatan bawah air. Pengembangan ilmu ini mencakup bagaimana penyiapan tenaga kerja matra laut yang mengawaki lapangan pekerjaan di laut dan fasilitas yang akan digunakan untuk bekerja di bawah permukaan air. Selanjutnya harus dikembangkan fasilitas untuk penanggulangan keadaan darurat yang sewaktu-waktu dapat menimpa tenaga kerja matra laut. Pengembangan ilmu kesehatan bawah air atau kesehatan udara bertekanan tinggi sangat erat hubungannya dengan tenaga kerja matra laut, khususnya dengan pekerja-pekerja bawah air baik para penyelam maupun awak kapal selam. Dengan kata lain, kesehatan udara bertekanan tinggi digunakan pada pengobatan penyakit akibat bekerja di bawah air atau tekanan tinggi. Tenaga kerja matra laut yang mengawaki lapangan pekerjaan di laut sangat berkepentingan dengan teknologi bawah air atau teknologi laut dalam. Semuanya adalah demi pemanfaatan laut nusantara baik untuk aspek kesejahteraan maupun keamanan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia. Depkes RI dan TNI AL mengadakan kesepakatan untuk penataran dan pelatihan serta penanggulangan kecelakaan akibat tenggelam dan penyelaman yang sasaran subjeknya adalah tenaga medis dan paramedis puskesmas di wilayah pesisir. Kerjasama ini telah memberikan bekal ketrampilan kepada tenaga medis dan paramedis untuk dapat menangani korban akibat tenggelam dan penyelaman sedini mungkin secara cermat dan tepat, dimana untuk pusat rujukan terakhir penderita dengan kondisi paska kecelakaan penyelaman adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas RUBT. TNI AL sendiri telah mengirimkan perwira kesehatannya untuk menempuh studi ilmu kesehatan hiperbarik pada jenjang paska sarjana bahkan doktoral dalam rangka mengantisipasi perkembangan ilmu kesehatan hiperbarik ke depan dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. TNI AL juga mempunyai sarana RUBT di beberapa fasilitas kesehatan yang berguna untuk megobati penderita, baik akibat kecelakaan penyelaman maupun penyakit klinis lain yang bisa dibantu penyembuhannya dengan RUBT
Teknologi dalam bidang ilmu kedokteran semakin dituntut
kemajuannya. Karena kesehatan adalah “harta” terbesar bagi setiap individu.Untuk itu berbagai macam penelitian lebih lanjut dilakukan guna memajukan tingkat kesehatan makhluk hidup, khususnya manusia.Selain obat-obatan kimia, perkembangan pada peralatan medis juga diperlukan untuk kemajuan pada ilmu kedokteran.Bidang engineering juga mengambil bagian penting dalam upaya pengembangan peralatan medis untuk menyembuhkan penyakit.Salah satu peralatan medis yang dapat dikembangkan dari sisi engineeringnya adalah ruang udara bertekanan tinggi atau yang sering disebut ruangan hiperbarik (Hyperbaric Chamber).Ruangan hiperbarik digunakan untuk tempat dilakukannya terapi oksigen hiperbarik atau disebut Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT).Terapi oksigen hiperbarik ini merupakan penggunaan oksigen pada tingkat tekanan yang lebih tinggi.Rata-rata tekanan terapi oksigen hiperbarik dilakukan mencapai tekanan 3 ATA. Terapi oksigen hiperbarik bisa menjadi terapi perawatan utama maupun perawatan alternatif untuk menyembukan berbagai macam penyakit, baik penyakit yang bersifat serius maupun pernyakit ringan yang dapat disembuhkan dengan lebih cepat.Penggunaan terapi ini sangat bervariasi pada tekanannya.Hingga saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap metode perawatan ini dalam bidang medis. Terapi oksigen hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan jumlah molekul oksigen yang masuk ke dalam tubuh melaui pernafasan maupun pori-pori atau jaringan luar tubuh.Dengan meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen yang terlarut di dalam darah semakin meningkat.Oksigen diangkut oleh darah ke seluruh sel-sel dan jaringan- jaringan tubuh. Banyak fungsi-fungsi sel dan jaringan tubuh yang bergantung pada oksigen, sehingga meningkatkan kemampuan sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh untuk membelah atau beregenerasi, membunuh kuman penyakit, dan masih banyak lagi..Indikasi-indikasi pada terapi oksigen hiperbarik dibahas pada landasan teori. Ruangan hiperbarik adalah ruangan tempat dimana dilakutan terapi oksigen hiperbarik.Ruangan ini dibangun untuk menahan kenaikan tekanan internal ketika udara ataupun oksigen dikompresikan langsung ke dalam ruangan hiperbarik hingga mencapai tekanan tertentu di atas tekanan atmosfir normal pada durasi waktu tertentu.Biasanya ruangan hiperbarik berbentuk silindris, bulat, ataupun persegi panjang.Di dalam ruangan ini, pasien menghirup oksigen murni (O2 100%) yang bertekanan selama menjalani terapi. Biasanya terapi oksigen hiperbarik diberikan pada 2,4 hingga 2,8 ATA dalam durasi 60 hingga 90 menit. Ada dua tipe utama ruangan hiperbarik: ruangan hiperbarik monoplace dan ruangan hiperbarik multiplace. Ruangan hiperbarik monoplace adalah ruangan terapi hanya untuk satu orang, sedangkan ruangan hiperbarik multiplace adalah ruangan terapi untuk dua orang atau lebih.Namun sebenarnya banyak sekali jenis terapi hiperbarik yang disebabkan karena variasi penggunaannya sangat banyak. Di samping sebagai pengobatan utama untuk penyakit akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengoabtan tambahan dan pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus, serta untuk kesehatan dan kebugaran, terutama untuk pasien lanjut usia. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau sudah tidak dapat ditunda lagi dan masyarakat Indonesia yang dinamis dan semakin kritis menuntut pelayanan profesional yang mutakhir dan manusiawi. Tugas Departemen Kesehatan adalah mewujudkannya seoptimal mungkin, hingga masyarakat semakin percaya akan pelayanan tersebut dan kepercayaan masyarakat ini menjadi andalan untuk memperoleh peluang pasar dalam persaingan global. Departemen Kesehatan memiliki kebijakan pelayanan kesehatan yang berlandaskan pada visi masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat dan memiliki misi untuk membuat rakyat sehat. Dengan nilai-nilai inti keberpihakan kepada rakyat, dengan pelaksanaan kebijakan yang cepat dan tepat serta dilaksanakan secara transparan dan akuntabel oleh pelaksana yang memiliki integritas dan mampu bekerjasama secara tim yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu strategi Departemen Kesehatan dalam melaksanakan kebijakan pelayanan kesehatan dalah dengan menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah sejak abad ke 16 digunakan sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan pengobatan. Tepatnya di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan Tinggi digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan rickets. Dan di Perancis tahun 1834 dr.Junot menyatakan adanya penyembuhan bermakna pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner yang diobati dengan hiperbarik. Sedangkan pada awal tahun 1900 di Inggris dr.John Haldane, berhasil menemukan tabel rekompresi dan penyelaman, sampai sekarang tabel rekompresi ini masih dipakai dalam pelayanan pengobatan. Pengobatan hiperbarik semakin berkembang pesat. Pada tahun 1956 dr.I. Boereina dari Belanda, melaporkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan jantung paru yang dilakukan dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi diikuti laporan dr.W.Brummelkamp 1961 bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat digunakan sebagai cara lain terapi gangren dengan menghambat infeksi anaerob pada kaki pasiennya. Sejak itu pengobatan hiperbarik ini tersebar luas dan telah digunakan di berbagai negara. Indonesia telah lama ikut berperan dalam penggunaan pengoatan hiperbarik. Tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh TNI AL yang selanjutnya dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambon, dan Lakesla Surabaya, yang digunakan untuk menangani kasus cedera penyelaman seperti keracunan gas pernapasan dan penyakit dekompresi. Selanjutnya penggunaan pengobatan hiperbarik berkembang untuk kepentingan pariwisata / wisata bahari dan kepentingan offshore drilling. Di samping sebagai pengobatan utama untuk penyaki akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan tambahan dan pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis, seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes melitus, serta untuk kesehatan dan kebugaram, terutama untuk pasien lanjut usia. Dalam perkembangannya di Indonesia, saat ini telah terdapat berbagai organisasi progesi berupa perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan seminat dalam bidang hiperbarik, yaitu perhimpunan kedokteran kelautan dan perhimpunan kesehatan hiperbarik indonesia. Organisasi tersebut bekerja sama secara erat dengan rumah sakit angkatan laut dan lembaga kesehatan angkatan laut untuk melaksanakan pelayanan, pendidikan, dan penelitian pembinaan serta pengembangan hiperbarik sebagai pengobatan utama dan pengobatan tambahan dalam penyelenggaraan pelayanan medik di sarana pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran, Departeman Kesehatan mendukung penggunaan hiperbarik sebagai salah satu jenis pengobatan dalam penyelenggaraan pelayanan medik di sarana pelayanan kesehatan. Untuk mendukung penggunaan hiperbarik sebagai bagian dari pelayanan medik yang aman, bermanfaat, dan terjangkau, maka diperlukan adanya suatu standar yang dapat dijadikan acuan dalam pelayanan medik hiperbarik. Adanya standar pelayanan medik hiperbarik ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan, serta melindungi masyarakat penerima pelayanan dan pelaksana pelayanan dari segi hukum. Pada tanggal 14 Maret 2016 terjadi kecelakaan kebakaran pada ruang udara bertekanan tinggi di RSAL Mintoharjo Jakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada saat terapi oksigen hiperbarik sedang berlangsung sehingga 4 orang yang sedang berada di dalamnya pun meninggal dunia. Akibat kejadian tersebut, berbagai pihak mendesak Kementerian Kesehatan dan pemerintah untuk melakukan investigasi terhadap kejadian tersebut. Disamping itu juga perlu melakukan pembenahan dan menegakkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan KUHP, serta merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 120 Tahun 2008 tentang standar pelayanan medik hiperbarik. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa sajah perundang-undangan tentang kesehatan hiperbarik? 2. Apa sajakah penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyakit lain akibat penyelaman? 3. Bagaimana talaksana penyakit akibat kerja karena pajanan hiperbarik dan penyakit lain akibat penyelaman? BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perundang-undangan Tentang Kesehatan Hiperbarik
Keputusan Menteri Kesehatan No 120/Menkes/SK/II/208 Tentang Standar Pelayanan Medik Hiperbarik Undang-undang No 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Undang-undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Permenkes No 61 Tahun 2013 Tentang Kesehatan Matra Permenkes No 2052/Menkes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran Permenkes No 1109/Menkes/Per/IX/2007 Tentang Penyelenggaran Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 2.4. Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perundang-undangan K3 ialah salah satu alat kerja yang penting bagi para Ahli K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) guna menerapkan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di tempat kerja. Kumpulan perundang-undangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Republik Indonesia tersebut antara lain : 2.4.1. Undang-Undang yang Mengatur Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Undang-undang adalah ketentuan dan peraturan negara yang dibuat pemerintah (menteri, badan eksekutif, dan sebagainya), disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan sebagainya), ditandatanganin oleh kepala negara (presiden, pemerintah, raja) dan mempunyai kekuatan mengikat. Undang-undang yang mengatur tentang keselamatan dan kesehatan kerja di negara Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang uap tahun 1930 (stoom ordonantie). 2. Undang-undang no 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. 3. Undang-undang republik Indonesia no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. 2.4.2. Peraturan menteri terkait tentang keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut : 1. Permenakertrans RI no 1 tahun 1976 tentang kewajiban latihan hiperkes bagi dokter perusahaan. 2. Permenakertrans RI no 3 tahun 1978 tentang penunjukan dan wewenang serta kewajiban pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja dan ahli dalam keselematan kerja. 3. Permenakertrans RI no 2 tahun 1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja. 4. Permenakertrans RI no 4 tahun 1980 tentang sarat-sarat pemasangan dan pemeliharaan alat-alat pemadam api ringan. 5. Permenakertrans RI no 1 tahun 1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja. 6. Permenakertrans RI no 2 tahun 1982 tentang kualifikasi juru las. 7. Permenakertrans RI no 3 tahun 1982 tentang pelayanan kesehatan tenaga kerja. 8. Permenakertrans RI no 2 tahun 1983 tentang intalasi alarm kebakaran otomatis kebakaran otomatis. 9. Permenakertrans RI no 4 tahun 1987 tentang panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja serta tata cara penunjukan ahli keselamatan kerja. 10. Permenakertrans RI no 2 tahun 1989 tentang instalasi-instalasi penyalur petir. 11. Permenakertrans RI no 2 tahun 1992 tentang tata cara penunjukan, kewajiban dan wewenang ahli keselamatan dan kesehatan kerja. 12. Permenakertrans RI no 4 tahun 1995 tentang jasa keselamatan dan kesehatan kerja. 13. Permenakertrans RI no 1996 tentang sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. 14. Permenakertrans RI no 1 tahun 1998 tentang penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja dan manfaat lebih dari paket jaminan pemeliharan dasar jaminan sosial tenaga kerja. 15. Permenakertrans RI no 3 tahun 1998 tentang tata cara pelapor dan pemeriksaan kecelakaan. 16. Permenakertrans RI no 4 tahun 1998 tentang pengangkatan , pemberhentian dan tata kerja dokter penasehat. 2.4.3. Keputusan Menteri Terkait Keselamatan dan Kesehatan 1. Kepmenaker RI no 155 tahun 1984 tentang penyempurnaan keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no kep 125/MEN/82 tentang pembentukan, susunan dan tata kerja dewan keselamatan dan kesehatan kerja nasional. Dewan keselamatan dan kesehetan wilayah dan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Keputusan bersama menteri tenaga kerja dan menteri pekerjaan umum RI no 174 tahu 1986 no 104/KPTS/1986 tentang keselamatan dan kesehatan kerja pada tempat kerja kegiatan kontruksi. 3. Kepmenaker RI no 1135 tahun 1987 tentang bendera keselamatan dan kesehatan kerja. 4. Kepmenaker RI no 333 tahun 1989 tentang diagnosis dan pelapor penyakit akibat kerja. 5. Kepmenaker RI no 245 tahun 1990 tentang hari keselamatan dan kesehatan kerja nasional. 6. Kepmenaker RI no 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja. 7. Kepmenaker RI no 186 tahun 1999 tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja. 8. Kepmenaker RI no 75 tahun 2002 tentang pemberlakuan standar nasional indonesia (SNI) no SNI-04-0225-2000 mengenai persaratan umum instalasi listrik 2000(puil 2000)ditempat kerja. 9. Kepmenaker RI no 235 tahun 2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan keselamatan, kesehatan atau moral anak. 2.4.4. Surat edaran keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan terkait keselamatan dan kesehatan kerja 1. Surat keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan departemen tenaga kerja RI no 84 tahun 1998 tentang cara pengisian formulir laporan dan analisis statistik kecelakaan. 2. Surat keputusan Dirjen pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenaga kerjaan no 311 tahun 2002 tentang sertifikasi kompetensi keselamatan dan kesehatan kerja teknisi listrik. 2.6. Kelainan dan Penyakit pada Penyelaman 2.6.1. Barotrauma Bagian tubuh yang akan mendapat pengaruh langsung dari tekanan adalah rongga-rongga udara fisiologis dalam tubuh dan bagian tubuh yang membentuk rongga udara artifisial dengan peralatan selam yang dipakai. Rongga-rongga udara fiologis dalam tubuh, misalnya paru, ruang telinga tengah, dan sinus paranasal, umumnya memiliki ventilasi atau saluran penghubung yang memungkinkan ekualisasi tekanan antara udara dalam rongga dengan tekanan sekeliling.Barotrauma timbul bila terjadi sumbatan pada saluran penghubung sehingga terjadi kegagalan ekualisasi dan mengakibatkan kerusakan jaringan akibat tekanan yang tidak seimbang. Secara umum dikatakan bahwa barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sekuelnya akibat ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh dengan tekanan lingkungan di sekitarnya. Contohnya : barotrauma telinga, barotrauma gigi, barotrauma wajah, barotrauma sinus paranasal, barotrauma kulit, barotrauma kepala dan badan, barotrauma intestinal, barotrauma paru. 2.6.1.1. Barotrauma Telinga Barotrauma telinga merupakan barotrauma yang paling sering terjadi dalam kegiatan penyelaman. Dikenal 2 bentuk barotrauma telinga, yaitu : 1. Barotrauma telinga waktu turun 2. Barotrauma telinga waktu naik Barotrauma telinga waktu turun dibagi lagi menurut anatomi telinga yang dikenal sebagai : 1. Barotrauma telinga luar 2. Barotrauma telinga tengah 3. Barotrauma telinga dalam Untuk barotrauma telinga luar pengobatan harus mengusahakan agar canalis akustikus eksternus tetap kering. Canalis akustikus eksternus boleh dibersihkan dengan larutan H2O2. Selanjutnya penderita dilarang menyelam sampai epitel permukaan canalis akustikus eksternus pulih. Untuk barotrauma telinga tengah pengobatan yang dianjurkan adalah 1. Istirahat, dilarang menyelan atau melakukan manuver valsava 2. Penggunaan dekongestan atau antihistamin peroral lewat hidung 3. Pemberian antibiotika pada kasus-kasus terjadi perdarahan atau perforasi membran timpani. Untuk barotrauma telinga dalam pengobatannya adalah 1. Operasi rekonstruksi mikroskopos membrana foramen rotundum yang ruptur\ 2. Dilarang menyelam termasuk melakukan manuver valsava 3. Simptomatik Sedangkan pada barotrauma telinga waktu naik dilakukan pengobatan sebagai berikut : 1. Dilarang menyelam lagi sampai pendengaran atau fungsi vestibuler normal kembali 2. Dekongestan 3. Antibiotika bila diperlukan 2.6.1.2. Barotrauma Sinus Paranasal Dalam tulang tengkorak terdapat rongga-rongga fisiologis, yaitu sinus paranasal, yang pada dasarnya merupakan rongga tulang yang dilapisi mukosa dan berhubungan dengan cavum nasi lewat ostium atau saluran. Pengobatan yang dianjurkan untuk barotrauma sinus waktu descent adalah 1. Pengobatan faktor predisposisi 2. Dekongestan nasal untuk mengurangi oedema mukosa di daerah ostium nasi 3. Antibiotika bila diperlukan 4. Kadang diperlukan drainage Sedangkan untuk barotrauma sinus waktu ascent umumnya tidak membutuhkan pengobatan khusus 2.6.1.3. Barotrauma Gigi Barotrauma gigi biasanya terjadi pada akar gigi terinfeksi atau di sekeliling tambalan gigi yang berlubang, rongga dalam gigi akibat adanya karies dengan lapisan semen tipis,setelah oral surgery,pencabutan gigi. Pengobatan dengan analgetik dan reparasi gigi. Selain itu bila terjadi nyeri pada gigi premolar sampai molar perlu dipikirkan kemungkinan nyeri akibat barotrauma sinus maksilaris. 2.6.1.4. Barotrauma Wajah Kegunaan masker adalah sebagai alat peolong penglihatan saat menyelam, tetapi dengan memakai masker akan terbentuk ruangan berisi udara di dalam wajah penyelam. Bila tidak dapat menyamakan tekanan waktu menyelam lewat udara dari hidung maka wajah akan tertarik ke dalam rongga tersebut. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah 1. Simtomatik dan dilarang menyelam sementara 2. Kompres dingin pada bagian yang oedema atau mengalami perdarahan. 2.6.1.5. Barotrauma Kulit Terjadi karena memakai dry suit atau wet suit yang tidak cocok sehingga terjadi rongga udara antara kulit dan pakaian, lalu akan timbul tekanan negatif pada saat turun sehingga kulit terhisap ke arah rongga udara tersebut. Barotrauma ini dapat sembuh dalam beberapa hari. 2.6.1.6. Barotrauma Intestinal Pada waktu ascent terjadi pengembangan gas yang mengakibatkan kembung, flatus, serta timbul kolik. Pengobatannya dilakukan dengan mengurangi kecepatan waktu ascent atau dilakukan rekompresi, selain itu juga dengan melepaskan ikat pinggang atau pakaian yang rusak 2.6.1.7. Barotrauma Kepala dan Badan Penggunaan alat selam klasik dimana udara dalam helmet tidak bertambah maka akan menimbulkan kecelakaan serius dan menimbulkan kematian Alat selam klasik juga pada saat ascent gas yang ada dalam pakaian harus dapat keluar karena jika tidak udara dalam pakaian akan menggembung dan menyebabkan naik dengan cepat tanpa kontrol dan menimbulkan barotrauma ascent, penyakit dekompresi atau trauma fisik. Selain itu bila pakaian sudah tidak bisa menahan maka akan robek dan penyelam akan tenggelam dengan cepat. 2.6.1.8. Barotrauma Paru Barotrauma paru termasuk barotrauma yang paling serius diantara lainnya. Pada barotrauma paru waktu turun dapat diobati dengan pemberian O2 100% dan intermittent possitive pressure inspiratory therapy, pencegahan infeksi, perawatan umum terhadap gejala lain yang mungkin timbul, bronkodilator dan gravitational drainage bila ada perdarahan atau eksudasi yang berat. Sedangkan pada barotrauma pada waku naik ada empat kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kerusakan jaringan paru, emfisema surgikalis, pneumothoraks, emboli udara. Terapi untuk kerusakan jaringan paru akibat barotrauma dengan mengusahakan pernafasan yang adekuat dengan inhalasi oksigen 100% agar tercapai kadar gas-gas yang memadai dalam sistem arteri. Hindari penggunaan metode tekanan positif karena hal itu dapat memperbesar kerusakan jaringan paru. Metode tersebut hanya boleh dipakai bila mutlak diperlukan. Harus pula diperhatikan pengobatan suportif terhadap gangguan kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Terapi untuk emfisema surgikalis akibat barotrauma harus dipikirkan dulu apakah ada emboli udara atau pneumothoraks karena bila ada maka harus didahulukan penanganannya. Terapi terhadap emfisema mediastinalis ringan adalah simtomatis. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan inhalasi oksigen 100% untuk membantu resolusi udara yang terperangkap. Bila emfisema mediastinalis berat, dapat diberikan terapi rekompresi. Sedangkan untuk emfisema subkutan yang berat dapat diberi terapi inhalasi oksigen 100% untuk mempercepat absorpsinya. Terapi untuk pneumothoraks ringan hanya butuh oksigen secara intermiten tanpa tekanan positif lalu diberikan analgetik, tirah baring, dan fisioterapi. Apabila sudah terjadi kolaps paru lebih dari 20% dapat dipasang kanul interkosta dan suction drainage. Terapi untuk emboli udara akibat barotrauma adalah urgen dan harus segera dilaksanakan mendahului pengobatan barotrauma lainnya dan yang paling efektif adalah rekompresi. Akan tetapi bila terjadi bersamaan dengan pneumothoraks maka sebelum dilakukan rekompresi harus dilakukan thorakosentesis terlebih dulu. Tindakan yang penting antara lain resusitasi kardiopulmonal sebelum dan selama rekompresi, oksigen 100% dengan masker, letakkan miring ke kiri untuk pertahankan kardiak output dan datar horisontal untuk menghindari memburuknya oedema cerebral, rekompresi segera sampai 6 ATA 2.6.2. Penyakit Dekompresi Pada kasus dekompresi yang berat timbul gelembung gas dalam pembuluh darah dan jaringan ekstravaskular akibat supersaturasi gas dalam darah atau jaringan tubuh pada waktu proses penurunan tekanan di sekitar tubuh. Berat ringannya penyakit dekompresi berhubungan dengan jumlah gelembung gas. Gelembung ekstravaskular menimbulkan distorsi jaringan dan kerusakan sel-sel di sekitarnya. Gelembung gas intravaskular akan menimbulkan 2 akibat, yaitu : 1. Akibat langsung, akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemik atau kerusakan jaringan sampai infark jaringan. 2. Akibat tidak langsung, akibat sekunder adanya gelembung gas dalam darah menimbulkan fenomena hipoksia Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia pada jaringan. Terdiri dari 3 tindakan yang saling melengkapi : 1. Oksigenasi (hiperbarik atau nomobarik) 2. Rekompresi 3. Medikamentosa (cairan dan elektrolit, anti platelet agregasi, steroid, gliserol, anti konvulsi) 2.6.3. Dysbaric Osteonecrosis Merupakan manifestasi lambat dari penyakit dekompresi, ada beberapa teori mengenai hubungan sebab akibatnya, antara lain teori pelepasan gas inert, teori emboli arterial, teori oksigen toksisitas, teori pengaruh osmose. Dysbaric osteonecrosis terjadi akibat infark pada jaringan tulang yang akan diikuti kematian dari osteosit dan autolisis sumsum tulang. Prinsip terapi pada sendi yang akan rusak adalah dengan mengurangi beban semaksimal mungin dengan tirah baring pada sendi yang menanggung beban berat. Sedangkan terhadap lesi juxta articular yang lebih berat adalah dengan tindakan chirurrgis. 2.7. Hiperbarik 2.7.1. Definisi Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) adalah suatu cara pengobatan dimana pasien masuk ke dalam suatu ruangan tertutup (chamber) yang disebut RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi ) kemudian diberi tekanan yang lebih besar dari tekanan udara normal yaitu lebih dari 1 atm (atmosfer) dan bernafas dengan oksigen murni (100%). Terapi ini dapat merupakan terapi utama atau terapi penunjang untuk berbagai pengobatan penyakit dan dapat dikombinasikan dengan terapi medis konvensional.
Gambar 2.1. Animal Chamber
Gambar 2.1. Multiplace Chamber
Gambar 2.2. Monoplace Chamber
Di dalam RUBT ini diberikan oksigen 100%, dan diberikan tekanan 1,5-2,4 ATA. Total waktu terapi 60-120 menit. Waktu interval antara penghirupan oksigen bergantung kondisi pasien (biasanya 5 menit). Bentuk dan jenis RUBT antara lain 1. Large multi compartment chamber Dipakai dalam pengobatan Mampu diisi tekanan lebih dari 5 ATA Mampu menampung beberapa orang 2. Large multi compartment for treatmen Dipakai dalam pengobatan Mampu diisi tekanan 2-4 ATA Mampu menampung beberapa orang 3. Portable high pressure multi-man chamber Dapat dipindahkan Dipakai untuk pengobatan penyelaman Mampu menampung lebih dari 1 orang 4. Portable high or llow pressure one-man chamber Dapat dipindahkan Untuk peengobatan penyelaman Mampu menampung 1 orang 2.7.2. Persyaratan sebelum TOHB 1. Medik • Thorax foto • Tidak sedang flu dan demam • Pemeriksaan laboratorium bila ada penyakit tertentu (missal Diabetes Mellitus) 2. Sarapan pagi 3. Berpakaian berbahan katun dan disarankan agar bercelana panjang 4. Tidak membawa barang elektronika, barang yang mengandung alcohol, telepon genggam, remote control , minyak angin dan minyak wangi 5. Tidak menggunakan jam tangan, perhiasan lainnya, gigi palsu, lensa kontak .hearing aids 6. Melakukan Equalisasi, yaitu upaya untuk menyamakan tekanan telinga bagian tengah dan bagian luar. Hal ini perlu dilakukan pada saat anda masuk dalam hyperbaric Chamber. 2.7.3 Efek Oksigen Hiperbarik Efek terapi oksigen hiperbarik terhadap mikroorganisme adalah merusak jasad renik tanpa merugikan host. Oleh karena itu prinsipnya untuk mencapai tingkat tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang dapat merusak jasad renik, bukan malah membantu pertumbuhannya, tanpa adanya efek negatif terhadap tuan rumah. Sebagai zat antimikroba, oksigen tidak bersifat selektif, nampaknya oksigen menghambat bakteri gram positif maupun gram negatif dengan kekuatan yang sama. Jadi dengan demikian oksigen dapat dianggap obat antimikroba yang berspektrum luas.Terhadap kuman anaerob oksigen hiperbarik bersifat bakterisid sedangkan terhadap kuman aerob bersifat bakteriostatik.Infeksi anaerob seperti clostridium penyebab gas gangrene, clostridium tetani, non-spore forming anaerobes, flora usus, dan flora mulut.Sedangkan untuk infeksi aerob seperti mycobacterium leprae, mycobacterium tuberculosis, mycobacterium ulserans, pneumococcus, dan staphylococcus. Tujuan dari terapi oksigen hiperbarik terhadap sel jaringan tubuh adalah mempunyai efek yang baik terhadap aliran darah dan kelangsungan hidup jaringan yang iskemik.Penggunaan oksigen hiperbarik dalam klinik meningkat dengan cepat dimana perbaikan jaringan yang hipoksia dan pengurangan pembengkakan merupakan faktor utama dalam mekanismenya.Namun sampai saat ini pembenaran pemakaian oksigen hiperbarik untuk memperbaiki kelangsungan hidup jaringan didasarkan pada pengamatan klinis belaka, meskipun begitu diadakan penyempurnaan-penyempurnaan dalam metode penelitian untuk dapat menentukan dengan tepat pengaruh oksigen hiperbarik terhadap kelangsungan hidup jaringan. Dasar-dasar terapi oksigen hiperbarik secara umum adalah sebagai berikut: • pemakaian tekanan akan memperkecil volume gelembung gas dan penggunaan oksigen hiperbarik juga akan mempercepat resolusi gelembung gas • daerah-daerah yang iskemik atau hipoksik akan menerima oksigen secara maksimal • di daerah yang iskemik, oksigen hiperbarik mendorong atau merangasang pembentukan pembuluh darah kapiler baru • penekanan pertumbuhan kuman-kuman baik gram positif maupun gram negatif dengan pemberian oksigen hiperbarik • oksigen hiperbarik mendorong pembentukan fibroblas dan meningkatkan efek fagositosis dari leukosit. 2.7.4. Efek Tekanan Seiring dengan peningkatan tekanan pada chamber, volume udara diberbagai ruang kosong didalam tubuh menjadi tertekan.Rongga udara yang besar dalam tubuh, termasuk paru, teling tengah dan dalam, GIT, dan sinus.Sebagian besar tubuh pasien dapat menyesuaikan terhadap perubahan tekanan ini, tetapi ada beberapa yang membutuhkan bantuan penyesuaian.Paru-paru dapat menyesuaikan perubahan tekanan ini dengan nafas biasa.Satu hal yang harus diingat adalah, jangan pernah menahan nafas selama didalam RUBT. Selama perubahan tekanan juga dapat berpengaruh pada ruang yang ada ditelinga, pasien akan merasa ada rasa penuh pada telinga (rasa ini seperti saat di dalam elevator, atau di dalam pesawat), keadaan ini dapat diatasi dengan penyesuaian sederhana. Pasien akan diajarkan bagaimana melakukan penyesuaian ini sebelum masuk RUBT. Perubahan tekanan, berpengaruh juga pada temperatur.Peningkatan tekanan diikuti juga dengan peningkatan temperatur.Penurunan tekanan diikuti juga dengan penurunan temperatur dan ada kabut dipengaruhi oleh kelembapan dalam RUBT. 2.8.Kelainan dan Penyakit Akibat Gas 2.8.1. Narkosis Nitrogen Pencegahan paling sederhana adalah menghindari paparan terhadap tekanan parsial gas inert yang diketahui menyebabkan keracunan. Dalam praktek penyelaman yang aman dengan menggunakan udara bertekanan memerlukan kesadaran terhadap kondisi dan efek pada penampilan dan pengambilan keputusan pada kedalaman lebih dari 30 m. Batas kedalaman maksimal 50-60 m, tergantung pada pengalaman penyelam dan tugas yang dilakukannya. Penyelam yang aman pada kedalaman yang lebih dalam memerlukan substitusi zat yang kurang narkotik untuk melarutkan oksigen. Helium telah umum digunakan untuk maksud ini tetapi hidrogen dan neon juga telah diajukan dan dicoba dalam tingkatan tertentu Saturasi pada kedalaman 30-50m memberikan perkembangan toleransi. Penyelam profesional yang menyelam lebih dalam dalam dapat lebih aman dan menunjukkan penampilan yang lebih baik. Penyelam pekerja konvensional sampai 100m tak layak bila menggunakan udara sebagai media pernafasan. Dimasa mendatang, percobaan Kulstra dengan media pernafasan cair mungkin dapat menyelesaikan problem narkosis dengan mengurangi kebutuhan pelarut oksigen untuk pernafasan. Sebagai alternatif, lebih diperhatikan pemakaian obat yang dapat mencegah atau melindungi dari narkosis, antara lain dengan metil fenidat dan azasiklonal hidroklorida. Saat ini belum dilakukan penggunaan obat untuk tujuan ini. Belum ditemukan pengobatan yang spesifik, selain kembali ke permukaan atau mengurangi tekanan. 2.8.2. Keracunan Oksigen 2.8.2.1. Keracunan Oksigen Pulmoner Faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan oksigen paru adalah tekanan parsial oksigen, lama paparan dan variasi suseptibilitas perorangan. Dalam suatu penelitin paparan oksigen 2ATA, beberapa subjek timbul gejala setelah 3 jam, sedangkan 1 subjek lainnya bebas gejala selama 8 jam paparan. Gejala permulaan biasanya iritasi ringan pada trakea, sesuai dengan trakeitis pada infeksi saluran nafas atas. Iritasi diperberat oleh inspirasi dalam yang kemudian menyebabkan batuk. Rasa nyeri substernal yang timbul diperberat pernafasan yang dalam dan batuk. Batuk secara progresif bertambah berat sampai tidak dapat dikendalikan. Rasa sakit pada inspirasi menunjukkan adanya kelainan pada trakeobronkial. Dispneu yang kemudian timbul akan cepat memburuk bila paparan dilanjutkan. Tanda-tanda fisik seperti ronki, hiperemi membran mukosa hidung dan demam, hanya akan didapatkan sesudah paparan yang lama pada subjek normal. Perubahan pada foto thorak bukan merupakan hal yang patognomonik dari keracunan oksigen. Densitas pulmoner bilateral yang difus pernah dilaporkan pada keracunan oksigen. Pada paparan lebih lanjut didapatkan infiltrat dengan batas ireguler yang meluas dan kemudan menyatu. Pengukuran kapasitas bital merupakan suatu cara monitor yang sensitif pada saat terjadinya keracunan dan perkembangan selanjutnya. Penurunan ini berlanjut untuk beberapa jam sesudah paparan dihentukan dan kadang memerlukan waktu sampai 12 jam untuk kembali normal. Karena pengukuran kapasitas vital butuh pasien yang kooperatif, maka penggunaanya dalam situasi terapeutik sangat terbatas. Tidak ada terapi spesifik yang dapat menunda atau memperbaiki kerusakan paru yang disebabkan oleh hiperoksia. Paparan yang intermiten dapat menunda terjadinya keracunan. Bila tanda keracunan oksigen mulai tampak, tekanan parsial oksigen harus diturunkan. Oleh karenanya sangat perlu untuk mengetahui tanda dini dari sindroma ini. Monitoring kapasitas vital paru merupakan indikator yang bermanfaat untuk mendeteksi timbulnya dan mengetahui perkembangan keracunan oksigen. Sampai dengan penurunan 20% masih dapat ditoleransi pada pengobatan penyakit dekompresi yang berat, penurunan 10% sudah memerlukan perhatian pada kondisi penyelaman operasional. Tingkat keracunan oksigen yag ekuivalen dengan penurunan kapasitas vital 2% dapat membaik sempurna, asimtomatik dan sangat sulit untuk mengetahuinya dalam situasi yang normal. Dengan peningkatan tekanan oksigen yang digunakan pada pengobatan penyakit serius, misalnya penyakit dekompresi yang berat atau gas gangren, cukup beralasan untuk menerima resiko keracunan oksigen pada paru yang lebih besar saat mengobati pasien tersebut. Tingkat keracunan paru yang menyebabkan penurunan kapasitas vital sebesar 10% dapat dihubungkan dengan terjadinya gejala yang moderat, yakni batuk dan rasa sakit dada saat inspirasi dalam. Pada tingkat ini, secara eksperimen, akan kembali membaik dalam beberapa hari. Dinyatakan bahwa penurunan kapasitas vital sebesar 10% merupakan batas yang dapat diterima untuk prosedur terapi oksigen hiperbarik. Hiperinflasi paru secara periodik dianjurkan dalam mencegah atelektasis. Juga ketaatan terhadap batas tekanan dan lama paparan yang telah ditentukan untuk mencegah keracunan oksigen paru. 2.8.2.2. Keracunan Oksigen – Neurologik Manifestasi klinik secara subjektif dan objektif dapat timbul sendiri atau bersamaan, antara lain nausesa, muntah, kepala terasa ringan, pusing, tinitus, vertigo, rasa segera terjadi kolaps, muka pucat, berkeringat, bradikardia, penyempitan lapangan pandang, silau, bibir gemetar, otot seluruh badan gemetar, cegukan, parestesi,dispneu, amnesia retrogade,ilusi, gangguran rasa yang khusus, halusinasi, dan kekacauan. Wajah gemetar adalah tanda objektif yang umum nampak dalam RUBT dengan tekanan lebih dari 2ATA dan merupakan tanda awal konvulsi. Pengobatan terutama ditujukan untuk mencegah trauma fisik karena konvulsinya. Di dalam RUBT diperlukan penekan lidah untuk mencegah lidah tergigit. Di dalam air penyelam harus diangkat ke permukaan sesudah fase tonik konvulsi menghilang. Hal ini juga sama bila di dalam RUBT, tetapi harus memperhatikan tabel dekompresi. Dilakukan pengurangan oksigen pada media pernafasannya. Dekonvulsan diberikan pada keadaan tertentu. 2.8.2.3. Keracunan Oksigen pada Organ Lain Keracunan oksigen juga dapat terjadi pada eritrosit, mata, telinga, dan tulang. 2.8.3. Hipoksia Hipoksia dapat terjadi pada penyelaman dengan peralatan, penyelaman tahan nafas, dan penyelaman dalam. Pada beberapa kasus diagnosis hipoksia tidak mudah oleh karena gejala dari beberapa penyakit seperti oksigen narkosis, keracunan oksigen, kelebihan CO2, emboli udara serebral atau penyakit dekompresi mirip seperti gejala hipoksia. Bila teradapat keraguan, penderita diterapi seperti penderita hipoksia dan diobservasi sampai dapat ditentukan diagnosisnya. Kenyataannya pada penyakit seperti disebutkan di atas, hipoksia merupakan problem yang umum terjadi dan pertolongan terhadap hipoksia akan sangat membantu. Pengobatan dari berbagai bentuk hipoksia mencakup koreksi dari penyebab hipoksia. Pada kebanyakan kasus yang terjadi pada penyelam biasanya diperlukan tindakan pertolongan yang lazim seperti : 1. Jalan nafas (bersihkan mulut dan sebagainya) 2. Pernafasan (mulut ke mulut) 3. Sirkulasi (bila perlu lakukan pijat jantung) Pada kasus hipoksia-hipoksik harus diberkan oksigen 100% diperlukan untuk menjamin kadar oksigen arteri yang cukup. Bila pertolongan telah berhasil maka tekanan dan prosentase oksigen dapat diturunkan secara bertahap sambil diikuti monitor gas-gas dalam arteri. Tujuan terapi hipoksia stagnansi adalah menaikkan perfusi pada daerah yang terkena. Hal ini memerlukan perbaikan dari volume sirkulasi total anemik dengan penambahan eritrosit secara hati-hati serta memperhatikan faktor lain yang mendasarinya. Pada kasus keracunan karbon monoksida pemberian oksigenasi hiperbarik dapat menyelamatkan jiwa saat fase awal yang kritis. Keadaan hipoksia histotoksik diatasi dengan menghilangkan bahan toksik dan diberikan hiperoksigenasi. Tindakan definitif lebih lanjut dibicarakan pada kasus tenggelam, penyakit dekompresi dan barotrauma paru. Sindroma yang dikenal sebagai oksigen paradoks harus diwaspadai oleh mereka yang mengerjakan resusitasi. Pada penderita hipoksia tingkat sedang, pada saat pertama kali diberi oksigen konsentrasi tinggi, mungkin akan memburuk sementara dengan ditandai adanya bradikardia, hipotensi, depresi pernafasan, dan kemungkinan kehilangan kesadaran. Mekanisme terjadinya belum jelas, diduga akibat dari berkurangnya aliran darah otak. 2.8.4. Keracunan Karbondioksida Membiasakan para penyelam mengenal sindroma yang dapat dikendalikan dengan aman, sehingga tindakan yang tepat dapat segera diambil pada saat timbul gejala pertama kali. Di dalam air mungkin tidak ada gejala peningkatan CO2, sehingga metode ini kurang dapat berhasil. Pencegahan ideal adalah dengan memonitor kadar CO2 yang membahayakan. Saat ini telah tersedia di RUBT, kapal selan dan lainnya tetapi belum ada pada alat penyelam sistem tertutup. Bila kadar CO2 tidak termonitor harus diperhatikan faktor-faktor seperti ventilasi yang memadai di RUBT, menghindarkan kerja fisik yang berat, memelihara batas yang aman pada sistem absorben dan lainnya. Harus diingat bahwa prosentase CO2 dalam media pernafasan menjadi meningkat sesuai dengan kenaikan tekanan. Walaupun CO2 3% di udara pada permukaan air laut hanya memberikan efek yang ringan, tetapi pada tekanan 4 ATA atau kedalam 30 meter menjadi ekuivalen dengan kadar CO2 12% di permukaan air laut dan hal ini sangat berbahaya. Pada kedalaman yang sangat besar prosentase minimal CO2 dapat menjadi sangat berbahaya. Penyelam yang menggunakan alat pernafasan tertutup harus benar- benar terlatih dalam mengambil tindakan segera bila diduga terjadi keracunan CO2. Penyelam harus berhenti dan istirahat sehingga aktivitas otot menurun, pada saat yang sama harus memberi tanda pada pasangannya untuk segera dibantu dan tidak terjadi kehilangan kesadaran. Penyelam atau pasangannya dapat pula menghisap media pernafasan yang bersih sebanyak-banyaknya, melepas pemberat, dan naik ke permukaan sesuai dengan peraturan. Pada penyelaman dalam mungkin perlu untuk masuk kembali ke dalam RUBT. Bila telah sampai di permukaan air atau di RUBT, penyelam harus segera bernafas dengan udara atmosfer. Pertolongan pertama adalah mengangkat dari lingkungan yang toksik, memelihara pernafasan, dan sirkulasi untuk beberapa waktu. PCO2 dan PH arterial akan kembali normal bila ventilasi alveolar memadai dan sirkulasi membaik. 2.8.5. Keracunan Karbon Monoksida Pengobatan meliputi proteksi saluran pernafasan, memberikan ventilasi cukup, pemberian oksigen hiperbarik, pemberian steroid untuk melawan oedema serebral dan pemberian alkali bila terjadi asidosis yang dapat mengancam kehidupan. Valium dapat diberikan untuk mengatasi kejang. 2.8.6. Sindroma Neurologi Akibat Tekanan Tinggi Sindroma biasanya timbul pada kedalaman lebih dari 150 meter dan menggunakan campuran helium-oksigen dan lebih sedikit pada pemakai campuran hidrogen-oksigen. Gejala-gejala berasal dari kelainan sistem saraf pusat dan dimulai dengan kelainan neuromuskuler yaitu tremor, fasikulasi, dan inkoordinasi sebagai tanda dini. Manifestasi lanjut dimana tekanan semakin besar, meliuti gangguan fungsi serebral luhur, yaitu disorientasi , kebingungan, somnolensi, rasa mengantuk, dan permulaan konvulsi, koma dan mati. 2.9. Kelainan dan Penyakit Akibat Lingkungan Air 2.9.1. Tenggelam Tenggelam adalah kesulitan bernafas sewaktu terbenam di dalam air tawar atau laut. Nyaris tenggelam adalah keadaan nyaris terganggunya pernafasan selagi tenggelam yang berhasil diselamatkan nyawanya dengan resusitasi dan tindakan medis lain. Korban nyaris tenggelam dapat berakhir dengan kematian akibat perubahan sekunder sewaktu episode akut. Nyaris tenggelam tanpa aspirasi secara faal serupa dengan terhentinya pernafasan. Pengobatannya dengan memperbaiki laringospasme dan pernafasan. Segera dilakukan pernafasan buatan dari mulut kemulut, pemberian O2 bertekanan positif dengan masker atau intubasi endotrakeal, memperbaiki asidosis, pijat jantung tertutup, dan tindakan lain yang diperlukan. Nyaris tenggelam tanpa aspirasi dapat pulih kembali bila terjadinya asfiksia hanya sebentar. Bila agak lama akan didapatkan kerusakan jaringan yang lebih banyak terutama kerusakan sel saraf. Hal ini yang menentukan ada tidaknya sekuele, karena pengaruh kerusakan jatingan, misalnya oedema otak, gejalanya baru timbul belakangan. Sebaiknya korban nyaris tenggelam dirawat di rumah sakit untuk pengobatan selanjutnya. Organ yang merupakan sasaran utama pada nyaris tenggelam yang disertai aspirasi cairan adalah paru dengan gangguan utama berupa hipoksia dan asidosis metabolik. Kelainan sekunder termasuk gangguan keseimbangan carian, elektrolit, dan hemolisis intravaskuler. Pengobatannya harus segera diberikan, terdiri dari perbaikan udara pernafasan dan hipoksia serta asidosis. Tindakan resusitasi lain termasuk penggantian volume plasma yang diperlukan. Pengobatan jangka panjang yaitu pemberian oksigen bertekanan positif dengan tambahan oksigen, pemberian aerosol bronkodilator, terapi bronkoskopi bila foto rontgen dada menunjukkan pneumonia dan diperlukan analisis gas darah serial. Pemberian antibiotika dan steroid untuk mengatasi aspirasi pneumonia dan atau oedema otak serta mengawasi plasma hemoglobin, hemoglobinuria, BUN, dan produksi urin. Tidak perlu cairan hipertonik untuk memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit. Semua korban dirawat di rumah sakit. 2.9.2. Hipotermi Hipotermi terjadi apabila hilangnya panas dari tubuh lebih besar dari panas yang dihasilkan. Meresusitasi korban hipotermi yang berat kadang sulit oleh karena penderita dingin, apneu, nadi tak teraba, reflek hilang, pupil melebar. Selalu usahakan resusitasi, rekam ECG, ukur suhu rektal, foto thoraks, laboratorium darah, urin, elektrolit, osmolaritas, hematokrit, glukosa, BUN, kreatinin, fungsi pembekuan, dan analisis gas darah. Tangani penderita dengan hati-hati karena dapat terjadi ventrikel fibrilasi terutama waktu dipanaskan kembali. Perbaiki asidosis dengan bikarbonat. Aritmia ventrikel dapat diberikan lidocaine, dosisnya dikurangi. Memasukkan penderita hipotermi ke dalam bak air panas dan minuman beralkohol merupakan kontraindikasi. Beri pakaian kering, selimut, dan minuman hangat. 2.9.3. Penyakit Infeksi Pada Penyelaman 2.9.3.1. Infeksi Spesifik Dekat Permukaan Air 1. Schistosoma dermatitis Memakai pakaian pelindung, membersihkan kulit setelah tercelup air, memakai obat-obatan repelen, pembersihan siput air di payau-payau maupun rumput liar. 2. Erisipeloid Pencegahan luka segera diobati secara lokal dan sistemik 3. Granuloma Terapi anti tuberkulosa, trimetoprim sulfamethoxazole, kompres hangat, pakaian pelindung 4. Tinea pedis Rendam kalium permanganat, anti jamur lokal 5. Tinea versikolor Menjaga kebersihan tubuh 2.9.3.2. Infeksi Non Spesifik 1. Otitis eksterna Pengobatan analgesik, antiseptik lokal dan antibiotik lokal/sistemik 2. Otitis media Pengobatan dengan antibiotik dan pencegahan dengan menghilangkan/mengurangi faktor resiko 3. Sinusitis Pengobatan/pencegahan sesuai terapi THT 4. Luka oleh karena karang Pengobatan antiseptik, pengambilan benda asing, antibiotik / antiseptik lokal / sistemik, anti tetanus serum 5. Infeksi sekunder akibat luka lecet lain 2.9.3.3. Infeksi Sistemik Spesifik 1. Meningoensefalitis karena amuba Pengobatan dengan antibiotik dan pencegahan dengan higiene lingkungan air 2. Leptospirosis Pengobatan antibiotik dan pencegahan kontrol lingkungan 3. Faringokonjungtival fever Pengobatan simtomatis dan pencegahan klorinasi aktif pada kolam renang 4. Infeksi lain Pengobatan simptomatis pencegahan klorinasi aktif pada kolam renang 2.9.3.4. Infeksi Sistemik Non Spesifik 1. Penyakit Key West karena scuba 2. Sindroma tertelan air asin Pengobatan dalam keadaan akut berikan O2 100% 3. Nyaris tenggelam dengan komplikasi infeksi sekunder Terapi antibiotika 2.9.4. Binatang Laut Berbahaya 2.9.4.1. Binatang yang Berbahaya karena Gigitannya 1. Ikan hiu Pertolongan pertama penderita dikeluarkan dari air secepat mungkin, lakukan pertolongan secepatnya di pantai, jangan langsung dikirim ke rumah sakit, tekan luka untuk mengurangi perdarahan, tenangkan penderita, tidurkan di tempat datar dengan posisi kepala lebih rendah dan diberi selimut, siapkan untuk dikirim ke rumah sakit dengan ambulans, jangan berikan sesuatu lewat mulut, penderita sebaiknya tetap tinggal paling sedikit 30 menit, baik diberikan pengobatan/tidak Pengobatan di tempat siapkan perlengkapan transfusi untuk penderita, berikan analgesik / sedatif, buat catatan status penderita dengan lengkap, setelah syok diatasi penderita dikirim dengan ambulans kalau perlu dengan resusitasi Perawatan di rumah sakit langsung ke ruang bedah untuk operasi, kultur bakteriologis 2. Barracuda Pertolongan pertama tekan luka untuk menghentikan perdarahan, penderita dibaringkan jangan dipindah-pindah, usahakan pengobatan setempat, tenangkan penderita, jangan beri sesuatu lewat mulut. Pengobatan kalau perlu berikan hemostasis, tunggu sampai kondisi stabil dan tenang, terapi cairan/transfusi darah bila diperlukan, berikan sedatif, antibiotika, kirim ke rumah sakit. 3. Moray Eels Pertolongan pertama tekan luka untuk menghentikan perdarahan, tidurkan penderita, jangan digerakkan, tenangkan penderita, jangan berikan sesuatu lewat mulut. Pengobatan seperti pada luka gigitan baracuda 4. Groper Pertolongan pertama seperti pada gigitan baracuda. Pengobatan seperti pada gigitan baracuda. 2.9.4.2. Binatang yang Berbahaya karena Racunnya 1. Ikan pari Pengobatan atasi perdarahan, anestesi lokal tanpa adrenalin, analgesik, foto rontgen, monitor tanda vital dan elektrolit, antibiotika, debridemen, terapi simtomatik 2. Ular laut Insisi dan pengobatan luka, anti bisa ular, kalau perlu pernafasan endotrakeal tube, koreksi elektrolit, kontrol fungsi ginjal, kontrol terhadap syok kardiovaskular, sedatif kalau perlu 3. Ikan kalajengking Pegobatan umum stonefish antivene 1 ml menetralkan 10 mg racun (racun 1 duri), tetanus profilaksis, antibiotik sistemik, debrimen luka, resusitasi, pengontrolan gejala klinik, tensi, nadi, fungsi paru, awasi komplikasi paralisis bulbar 4. Ikan sembilang, lele Pengobatan anestesi lokal tanpa adrenalin, pemanasan lampu infra merah, analgesik, antibiotik lokal/sistemik 5. Ubur-ubur Pengobatan anestesi lokal, analgetik kalau perlu morphin/pethidine, hidrokortison, menolong pernafasan dengan resusitasi O2, Largactil, noradrenalin, monitoring EKG dan tekanan darah, sea wasp anti toksin, salep yang mengandung kortikosteroid 6. Cone shell Pengobatan pernafasan buatan pada paralisis respirasi, pada paralisis umum jangan berikan makanan/minuman lewat mulut, pijat jantung, anestesi lokal, jangan berikan obat yang menekan pernafasan 7. Sea urchin Pengobatan lokal dengan pengambilan semua duri, antibiotik lokal, antibiotik spektrum luas. Pengobatan umum pernafasan buatan, pada paralisis bulbar jangan beri makan/minum lewat ulut, perawatan mata, adrenalin/anti histamin, steroid sistemik, infus BAB III PEMBAHASAN
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang kegiatan penyelaman. Salah satu peraturan yang berhubungan dengan kesehatan kelautan dan bawah air adalah Permenkes RI No 61 Tahun 2013 Tentang Kesehatan Matra. Kesehatan Kelautan dan Bawah Air adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan di laut dan berhubungan dengan keadaan lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik). Kesehatan penyelaman merupakan Kesehatan Matra yang dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas di lingkungan bertekanan lebih dari satu atmosfer absolut. Penyelenggaran kesehatan matra dilakukan dengan memenuhi standar dan persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana terdiri dari persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan, kegiatan operasional penyelaman, dan setelah kegiatan operasional sampai dengan 24 jam. Selain itu Undang-undang No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, undang-undang tersebut berlaku di tempat kerja dimana dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air. Terdapat beberapa aspek kesehatan pada penyelaman yang harus dipenuhi guna meminimalisir akibat-akibat yang tidak diinginkan akibat penyelaman seperti barotrauma, penyakit dekompresi, dan dysbaric osteonecrosis. Penyakit dekompresi selain membutuhkan terapi medikamentosa juga memerlukan oksigenasi dan rekompresi melalui terapi hiperbarik oksigen. Terapi hiperbarik oksigen bukan tanpa resiko, terdapat banyak aspek yang harus dipenuhi sebelumnya baik sarana prasarana maupun sumber daya manusianya. Meskipun tidak ada peraturan perundang- undangan yang khusus mengenai kesehatan hiperbarik, tetapi telah terdapat standar pelayanan medik hiperbarik melalui keputusan menteri kesehatan No 120/Menkes/SK/II/2008. Standar pelayanan medik hiperbarik merupakan acuan dalam upaya untuk menyelenggarakan pelayanan medik hiperbarik sebagai bagian dari pelayanan medik di sarana pelayanan kesehatan yang terjamin keamannya dan berkualitas, serta bermanfaat dan dapat dijangkau masyarakat luas. Hal tersebut sesuai dengan situasi saat ini dimana hiperbarik telah berkembang pesat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan telah digunakan tidak hanya sebagai pengobatan utama pada kasus kelautan dan penyelaman, tetapi juga sebagai pengobatan tambahan dan pengobatan pilihan lain yang telah dipilih dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas dalam hal pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan penyakit, dan pemeliharaan kualitas hidup. Standar pelayanan medik hiperbarik disusun oleh departemen kesehatan bekerja sama dengan para pakar, organisasi profeis, dan lembaga lintas sektor terkait, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan keamanan penyelenggaraan pelayanan medik hiperbarik yang telah berjalan selama ini di Indonesia agar dapat melindungi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan maupun pelaksana pelayanan tersebut. Diharapkan dengan menjalankan standar pelayanan medik hiperbarik dapat dihindari terjadinya penyakit akibat pajanan hiperbarik seperti narkosis nitrogen, keracunan oksigen pulmoner dan neurologik, keracunan organ lain seperti eritrosit, mata, telinga, dan tulang, hipoksia, keracunan karbon dioksida, keracunan karbon monoksida, sindrom neurologi akibat tekanan tinggi. Sesuai dengan standar pelayanan medik hiperbarik maka sumber daya manusia yang bekerja dalam pelayanan hiperbarik harus memiliki kompetensi dalam pelayanan medik hiperbarik. Hal tersebut juga ditujukan agar apabila terjadi penyakit akibat pajanan hiperbarik dapat segera dikenali melalui tanda dan gejalanya serta dapat segera dilakukan tatalaksana yang baik.