Anda di halaman 1dari 97

Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua

meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"


Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"


Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"


Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"


Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"


Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua
meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah
kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga
mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan,
gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi
kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.

Cerita Rakyat Nusantara "Legenda Telaga Bidadari"

Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu,
ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya
menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-
burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak
dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi
getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin
erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-
bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam
keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah
sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-
burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil
berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui
tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan
irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan
suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-
semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat
untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan
mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan.
Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai
(lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling
cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara
bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.

Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat
serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini.
Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam
hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung
sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas
kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya
yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya
sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang
Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika
ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala.
Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma
bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap
membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari,
terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya,
delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan.

Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.

Anda mungkin juga menyukai