Anda di halaman 1dari 22

ANATOMI HIDUNG

Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis
tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas :
kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal
hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila
dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum.

Anatomi Hidung Luar

Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Anatomi Hidung Dalam

Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina
perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, Krista palatine serta krista
sfenoid.

Anatomi Septum nasi


Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari :

Dasar hidung,

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung

Atap hidung

terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus
os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju

bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis
os platinum dan lamina pterigoideus medial.

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior dengan
dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior
dan palatum.

Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa
lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus
superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan
di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus

sfenoid.
Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan
dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat
celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci
dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan
kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval
dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid,
frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang
berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap
ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang
dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.

Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada
dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus
frontal. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium
sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung.
Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum
etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.

Kompleks Ostio Meatal


Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotisinterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang
– cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,a.etmoid


anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(pendarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang
merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2),
serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius

Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada
sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan
sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.

Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal,
empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri
(anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus
sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior.
Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus
frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat
di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka
media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa
salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi
yang dialirkan ke mukosa hidung.

Embriologi sinus paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau
resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang
menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila
sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior.
Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

Sinus Maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus
pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan.
Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di
bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini
kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam
perkembangannya, celah ini akan lebih kearah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan
berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi
dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi
dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan
sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18
tahun.

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan
sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia,
ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x
19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil,
yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya
terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya.
Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila
sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh
mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui
pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga
sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3)
Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak
silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari
sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang
pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Bentuk dan ukuran sinus
frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan
pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya
tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal: tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-
rata 6-7 ml.

Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.
Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling
penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sel-sel etmoid, mula-mula
terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok
sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14
ml.

Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat
di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius,
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada
bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.

Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior
superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini
belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3
tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun.
Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan
satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus
akan lebih besar daripada sisi lainnya.

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm,
dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah
dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang
pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan
Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena
mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan oleh Proetz , bahwa
binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar.
Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital
terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa,
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai
fungsi sinus paranasal antara lain adalah :

(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif
antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.

(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari
suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

(3) Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila
udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1%
dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

(4) Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.

(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.

(6) Membantu produksi mukus.


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

Mukosa Hidung

Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum nasi sekitar
150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh
mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa
yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa olfaktorius) dan
sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori). Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan
atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas
epitel, membran basalis dan lamina propia.

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan
berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu
: Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri
atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius terdapat pada
permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa
respiratorius terdiri atas epitel membran basalis dan lamina propia Mukosa respiratori terdapat pada
sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri
dari empat macam sel.

Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai
50-200 silia tiap selnya. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok
pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili). Epitel
respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan epitel
transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini
dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi.
Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak
tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang
dan tersusun rapi.

Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang berjumlah lebih
kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti
jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya
± 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya
mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga
memperluas permukaan sel.

Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi
untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. Secara struktural susunan lapisan
mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan
selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis
dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan
ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak
ditemukan didekat ostium
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel seperti
makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini
memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis.

Sel goblet (kelenjar mukus)

Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan endoskopis tampak
berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.
Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di
septum nasi (5700 sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet
yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring.

Silia hidung

Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki mikrovilia dan
silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200
silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut, menonjol dari permukaan sel dan
berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel
dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 µm
dengan diameter 0,3 µm. Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada
mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang
disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah
permukaan sel.

Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali
tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat
bergerak akibat adanya energi berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia.
Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400 kali/menit. Silia ini dapat
terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di
depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini
merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron.

Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada tahun 1835, dalam
penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap
hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan oleh Hilding, tahun 1932, dengan melakukan penelitian
pada hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan
mukosa hidung. Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan mukosa
terhadap tulang hidung. Dan berikutnya, Messerklinger memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik
nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan
mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi.

Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah
berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk memindahkan
panas; normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta
melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah
uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering yang dapat berakibat
mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus
ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut
berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur tubuh.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang
dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya adalah
ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang
mikrotubulus (outer double microtubulus).

Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril B. Subfibril
A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan mikrotubulus luar
ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling
meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal
dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan mikrotubulus
dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang
lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang disebut neksin.

Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan
ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali
lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya
kira-kira 1: 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang.
Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino ( metachronical waves) pada
satu area arahnya sama.

Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar
mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau
sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini
juga mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus, telinga dan
lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersamaan dengan materi-materi asing
yang terperangkap olehnya, secara berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan
atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis
dan kurang lengket; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat
diatasnya (superfisialis) terdapat lendir yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak
sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang
menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan
penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. Secara keseluruhan
kedua lapisan ini dinamakan palut lendir.

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein sekresi dengan
molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar
batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan
diatur oleh elektrolit. Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi digerakkan oleh
klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh keseimbangan antara kedua elektrolit
ini, dan derajat permukaan ini menentukan kekentalan palut lendir. Lapisan superfisial yang lebih tebal
utamanya mengandung glikoprotein mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel
terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang terinhalasi, serta
menginaktifkan virus yang terperangkap.

Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat
menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial
yang pekat akan masuk kedalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar,
maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia
terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan cairan perisiliar sedikit lebih rendah
dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat mengganggu transport mukosiliar.

Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus medius untuk berfungsi
sebagai pengatur kondisi udara yang utama. Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus
atau sel goblet dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting
dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar.

Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan
dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke arah
nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga
clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. Transportasi mukosiliar terdiri dari
dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk
menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang
terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi
mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar
ke ostium sinus alami.

Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel
yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase),
dimana enzim ini dapat merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan
Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia
tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan
di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.

Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila
sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat
adalah antara 1 sampai 20 mm / menit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media
maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus
dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,
dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.

Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium
silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral rongga hidung sekret
dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di
dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke
arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga
nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda
pada setiap bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6
segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit.

Rinosinusitis

Sinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal,
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas
sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan kronik bila
lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-
masing serangan lebih dari 10 hari. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto
polos hidung dan sinus paranasal atau SPN.

Gejala Mayor :

Hidung tersumbat

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND

Sakit kepala

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)


Gejala Minor :

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas

Sakit gigi

Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis kronis
pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :

Gejala dan tanda

Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu. Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah
hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung (cairan hidung yang menetes keluar bisa
melalui anterior maupun posterior):

a) ± disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah

b) ± berkurang / hilangnya penciuman

Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti: bersin, ingus yang cair, hidung gatal dan mata gatal
berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi.

Pada tahun 1996, di Amerika Serikat, seluruh pelayanan kesehatan mencatat bahwa pelayanan yang
dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis “sinusitis” diperkirakan lebih dari 5,8 miliar dolar
Amerika dan termasuk dalam 10 besar diagnosis penyakit pada seluruh kunjungan praktik dokter di
Amerika Serikat. Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan bahwa rinosinusitis adalah salah satu keluhan
medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi, dan diperkirakan 13 juta setiap tahunnya
yang berkunjung ke praktik dokter di Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6
milliar dolar Amerika setiap tahunnya. (Chen B, 2006) Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita
rinosinusitis dari bulan Januari 2006 – Desember 2008 adalah 1967 orang.
Patofisiologi

Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus agar tetap normal. Hal
ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita. Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan
gangguan drainase dan ventilasi yang menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO2, menurunkan
pH, mengurangi aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.

Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik berawal dari adanya
suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoaktif amin, proteases,
arachidonic acid metabolit, imun kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal tersebut menyebabkan
terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar. Adanya
disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus. Akibatnya bakteri akan semakin mudah
untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali terjadi.

Gejala Klinis Dan Diagnosa

Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor.
Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan sebagai
persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding.

Gejala Mayor :

Obstruksi hidung

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung

Sakit kepala

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Universitas Sumatera Utara

Gejala Minor :

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas


Sakit gigi

Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga

Penatalaksanaan Rhinosinusitis

Cairan Salin

Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi krusta pada rongga
hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong gumpalan
mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat
mengurangi edema mukosa secara difusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya. Hal ini dapat
meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder dapat memperbaiki patensi dari ostium
sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam
peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci
dengan cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin.

Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK) masih belum dimengerti.
Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-
sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang
pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis. Hiperosmolaritas dari cairan
terhadap jalan napas dapat meningkatkan jumlah pengeluaran Ca2+ dari dalam sel (intraseluler) dan
peningkatan Ca2+ ini mungkin dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini
kemungkinan juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh axon-axon
silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat memperbaiki luka dan mencuci
luka yang terbuka.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk penatalaksanaan
rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah apabila
dibandingkan dengan tehnik operasi yang lain, (Kennedy DW,2006).

Tehnik bedah ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamberger
di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutan functional endoscopik sinus surgery (FESS). Tehnik
operasi ini dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai
etmoidektomi total. Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi
mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di daerah
komplek osteomeatal / KOM dan untuk memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal
di daerah KOM ke jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu
ventilasi sinus dan mucociliary clearance.

Setelah penelitian Messerklinger pada tahun 1950-1960 an telah banyak peneliti lain yang mengkaji
ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan
mengevaluasi secara patologi pada sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa.
Menurut beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi
mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di
daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah
mungkin dan bersamaan itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
daya pembersihan mukosiliar meningkat.

Anda mungkin juga menyukai