Anda di halaman 1dari 23

1.

Kebutuhan Fisiologis

Ini adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif
konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis
yang akan datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.

2. Kebutuhan Keamanan

Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan
keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan
kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-
anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.

3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan

Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk
cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi
perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan
memberikan rasa memiliki.

4. Kebutuhan Esteem

Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan. Ini
melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan dari orang lain.
Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari
orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di
dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri
diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan
apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan
penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan.
Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman,
tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah
tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Teori hierarkhi kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida, lebih besar tingkat bawah mewakili
kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri. Maslow percaya bahwa
satu-satunya alasan bahwa orang tidak akan bergerak dengan baik di arah aktualisasi diri adalah karena
kendala ditempatkan di jalan mereka oleh masyarakat negara. Dia bahwa pendidikan merupakan salah
satu kendala. Dia merekomendasikan cara pendidikan dapat beralih dari orang biasa-pengerdilan taktik
untuk tumbuh pendekatan orang. Maslow menyatakan bahwa pendidik harus menanggapi potensi
individu telah untuk tumbuh menjadi orang-aktualisasi diri / jenis-nya sendiri. Sepuluh poin yang pendidik
harus alamat yang terdaftar:

Kita harus mengajar orang untuk menjadi otentik, untuk menyadari diri batin mereka dan mendengar
perasaan mereka-suara batin.

Kita harus mengajar orang untuk mengatasi pengkondisian budaya mereka dan menjadi warga negara
dunia.

Kita harus membantu orang menemukan panggilan mereka dalam hidup, panggilan mereka, nasib atau
takdir. Hal ini terutama difokuskan pada menemukan karier yang tepat dan pasangan yang tepat.

Kita harus mengajar orang bahwa hidup ini berharga, bahwa ada sukacita yang harus dialami dalam
kehidupan, dan jika orang yang terbuka untuk melihat yang baik dan gembira dalam semua jenis situasi,
itu membuat hidup layak.

Kita harus menerima orang seperti dia atau dia dan membantu orang belajar sifat batin mereka. Dari
pengetahuan yang sebenarnya bakat dan keterbatasan kita bisa tahu apa yang harus membangun di atas,
apa potensi yang benar-benar ada.

Kita harus melihat itu kebutuhan dasar orang dipenuhi. Ini mencakup keselamatan, belongingness, dan
kebutuhan harga diri.

Kita harus refreshen kesadaran, mengajar orang untuk menghargai keindahan dan hal-hal baik lainnya di
alam dan dalam hidup.

Kita harus mengajar orang bahwa kontrol yang baik, dan lengkap meninggalkan yang buruk. Dibutuhkan
kontrol untuk meningkatkan kualitas hidup di semua daerah.

Kita harus mengajarkan orang untuk mengatasi masalah sepele dan bergulat dengan masalah serius dalam
kehidupan. Ini termasuk masalah ketidakadilan, rasa sakit, penderitaan, dan kematian.

Kita harus mengajar orang untuk menjadi pemilih yang baik. Mereka harus diberi latihan dalam membuat
pilihan yang baik.
Teori Motivasi Prestasi dari Mc. Clelland

Konsep penting lain dari teori motivasi yang didasarkan dari kekuatan yang ada pada diri manusia adalah
motivasi prestasi menurut Mc Clelland seseorang dianggap mempunyai apabila dia mempunyai keinginan
berprestasi lebih baik daripada yang lain pada banyak situasi Mc. Clelland menguatkan pada tiga
kebutuhan menurut Reksohadiprojo dan Handoko (1996 : 85) yaitu :

1. Kebutuhan prestasi tercermin dari keinginan mengambil tugas yang dapat dipertanggung
jawabkan secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya. Ia menentukan tujuan yang wajar dapat
memperhitungkan resiko dan ia berusaha melakukan sesuatu secara kreatif dan inovatif.
2. Kebutuhan afiliasi, kebutuhan ini ditujukan dengan adanya bersahabat.
3. Kebutuhan kekuasaan, kebutuhan ini tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh
atas orang lain, dia peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dan ia mencoba menguasai
orang lain dengan mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan kepadanya, serta
selalu menjaga reputasi dan kedudukannya.

Teori X dan Y dari Mc. Gregor


Teori motivasi yang menggabungkan teori internal dan teori eksternal yang dikembangkan oleh Mc.
Gregor. Ia telah merumuskan dua perbedaan dasar mengenai perilaku manusia. Kedua teori tersebut
disebut teori X dan Y. Teori tradisional mengenai kehidupan organisasi banyak diarahkan dan dikendalikan
atas dasar teori X. Adapun anggapan yang mendasari teori-teori X menurut Reksohadiprojo dan Handoko
(1996:87)

a. Rata-rata pekerja itu malas, tidak suka bekerja dan kalau bisa akan menghidarinya.
b. Karena pada dasarnya tidak suka bekerja maka harus dipaksa dan dikendalikan, diperlakukan
dengan hukuman dan diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi.
c. Rata-rata pekerja lebih senang dibimbing, berusaha menghindari tanggung jawab, mempunyai
ambisi kecil, kemamuan dirinya diatas segalanya.

Anggapan dasar teori Y adalah :

 Usaha fisik dan mental yang dilakukan oleh manusia sama halnya bermain atau istirahat.

 Rata-rata manusia bersedia belajar dalam kondisi yang layak, tidak hanya menerima tetapi
mencari tanggung jawab.

 Ada kemampuan yang besar dalam kecedikan, kualitas dan daya imajinasi untuk memecahkan
masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh pegawai.

 Pengendalian dari luar hukuman bukan satu-satunya cara untuk mengarahkan tercapainya tujuan
organisasi.

Profesionalisme dalam Manajemen SDM.

Seperti profesi lain manajemen SDM mempunyai kode etik dan lembaga akreditasi serta prosedur
sertifikasi. Semua profesi mempunyai kode etik yang sama dimiliki manajemen SDM yaitu sebagai berikut
:
Para praktisi harus memandang kewajiban mengimplementasikan tujuan-tujuan dan melindungi
kepentingan umum sebagai hal yang lebih penting dari loyalitas buta kepada kepentingan-kepentingan
perusahaan.

Dalam praktek seharí-haripara profesional harus memahami masalah-masalah yang dihadapi dan harus
melakukan studi dan reset yang dibutuhkan untuk memastikan kompetensi yang berkesinambungan dan
profesionalisme yang terbaik.

Para praktisi harus memelihara kejujuran pribadi yang tinggi dan integritas disemua bidang kegiatan
seharí-hari.

Para profesional harus memberikan pertimbangan yang penuh pengertian terhadap kepentingan,
kesejahteraan, dan martabat pribadi semua pekerja yang terkena dampak perintah, rekomendasi dan
tindakan-tindakan mereka.

Para profesional harus memastikan bahwa organisasi yang mewakili mereka memelihara dan menghargai
kepentingan umum dan tidak mengabaikan kepentingan dan martabat pribadi para pekerja.
Budaya Kerja

Budaya berasal dari bahasa sangsekerta “budhayah” sebagai bentuk jamak dari kata dasar “budhi”
yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran. Kata budaya merupakan
perkembangan dari “budidaya” nilai-nilai dan sikap mental (Kepmenpan No: 25/KEP/M.PAN/04/2002).

Budidaya berarti: memberdayakan budi sebagaimana dalam bahasa inggris dikenal sebagi culture yang
semula artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu, kemudian berkembang sebagai cara manusia
mengakutualisasikan nilai (value), karsa (creativity) dan hasil karyanya (performance).

Budaya juga dapat diartikan sebagai keseluruhan usaha rohani dan materi termasuk potensi-potensi
maupun ketrampilan masyarakat atau kelompok manusia. Slocum dalam West (2000:128)
mendefenisikan budaya sebagai asumsi-asumsi dan pola-pola makna yang mendasar yang dianggap sudah
selayaknya dianut dan dimanifestasikan oleh semua pihak yang berpartisipasi dalam organisasi.

Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang melaksanakan kegiatan-kegiatan


dalam rangka pencapaian tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan pribadi anggota organisasi dan
tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan pribadi anggota organisasi dan tujuan global organisasi.

Melalui pendapat-pendapat para ahli dapat dipahami bahwa aktivitas manusia dalam mencapai
tujuan dilatarbelakangi oleh perilaku individu, prilaku, kelompok, dan prilaku organisasi. Ketiga prilaku
tersebut berdampak pada tinggi rendahnya kinerja pegawai, tingkat kemangkiran, perputaran karyawan
(turnover) dan kepuasan kerja. Pemahaman kepuasan kerja (job satisfacion) dapat dilihat dengan
mengenal istilah dan pengertian kepuasan kerja tersebut. Beberapa referensi berikut ini dapat
memberikan kejelasan makna kepuasan kerja. Handoko (2000) mengatakan: ”kepuasan kerja adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasan seseorang terhadap
pekerjaannya.”

Davis dalam Mangkunegara (2000) mengatakan: ”kepuasan kerja adalah perasaan menyongkong
atau tidak menyongkong yang dialami karyawan dalam bekerja.” Sedangkan menurut Hasibuan (2005) :
”kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya sikap ini
dicerminkan oleh moral kerja, kedisplinan dan kinerja.”

Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan
dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja
yang baik. Karyawan harus yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan ini akan lebih
mengutamakan pekerjaannya dari balas jasa, walaupun balas jasa itu penting. Adanya kepuasan kerja
tentunya mempengaruhi beberapa aspek yang melingkupi pada karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja
karyawan atau pegawai terbentuk karena adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Seperti kajian
teori-teori kepuasan kerja sebelumnya, kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Menurut Harianja (2002) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja berkaitan dengan
beberapa aspek yaitu: gaji, pekerjaan itu sendiri, rekan sekerja, atasan, promosi dan lingkungan kerja.
Menurut Hasibuan (2005) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah :

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.

3. Berat ringannya pekerjaan.

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.

6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.


BUDAYA KERJA, LINGKUNGAN KERJA, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KERJA PEGAWAI DALAM
SUATU ORGANISASI

Globalisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang begitu cepat, yang menuntut
organisasi untuk lebih mampu beradabtasi, dan mampu melakukan perubahan arah dengan cepat.
Globalisasi yang terjadi belakangan ini telah memberikan dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup
organisasi. Setiap organisasi dituntut untuk dapat mengoptimalkan sumberdaya manusia dan bagaimana
sumberdaya manusia dikelolah. Pengelolahan sumberdaya manusia tidak lepas dari faktor pegawai yang
diharapkan dapat berprestasi sebaik mungkin demi mencapai tujuan organisasi institusi. Pegawai
merupakan asset utama organisasi dan mempunyai peran yang strategis didalam organisasi yaitu sebagai
pemikir, perencana, dan pengendalian aktifitas suatu organisasi. Manusia merupakan faktor motor
penggerak, dalam rangka aktifitas dan rutinitas dari sebuah organisasi, (organisasi publik maupun non
publik) dan institusi. Sebagaimana diketahui sebuah organisasi atau institusi, didalamnya terdiri dari
berbagai macam individu yang tergolong dari berbagai status yang mana status tersebut berupa
pendidikan, jabatan dan golongan, pengalaman jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pengeluaran,
serta tingkat usia dari masing-masing individu tersebut, Hasibuan (2000 : 147). Pengertian manajeman
sumber daya manusia terdiri dari dua kalimat (Robbins,2006); manajeman dan sumber daya. Manajeman
adalah the art of getting things done through the effort of other people. Sumber daya manusia atau
personalia adalah tenaga kerja, buruh atau pegawai yang mengandung arti keseluruhan orang yang
berkerja atau pegawai, yaitu bagaimana mengatur pegawai didalam suatu organisasi, perusahan atau
pengaturan tenaga kerja dalam suatu organisasi dan lembaga, dimana pengaturan ini dalam arti seluas-
luasnya.Gereja sebagai suatu institusi atau disebut juga sebagai suatu organisasi non publik
membutuhkan manajemen sumber daya manusia yang handal dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab organisasi untuk mencapai tujuan. Manajeman sumber daya manusia adalah suatu bidang
manajeman yang khusus mempelajari hubungan peranan manusia dalam organisasi publik atau non
pablik. Fokus yang dipelajari.

Budaya Kerja

Budaya berasal dari bahasa sangsekerta “budhayah” sebagai bentuk jamak dari kata dasar “budhi”
yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran. Kata budaya merupakan
perkembangan dari “budidaya” nilai-nilai dan sikap mental (Kepmenpan No: 25/KEP/M.PAN/04/2002).

Budidaya berarti: memberdayakan budi sebagaimana dalam bahasa inggris dikenal sebagi culture yang
semula artinya mengolah atau mengerjakan sesuatu, kemudian berkembang sebagai cara manusia
mengakutualisasikan nilai (value), karsa (creativity) dan hasil karyanya (performance).
Budaya juga dapat diartikan sebagai keseluruhan usaha rohani dan materi termasuk potensi-potensi
maupun ketrampilan masyarakat atau kelompok manusia. Slocum dalam West (2000:128)
mendefenisikan budaya sebagai asumsi-asumsi dan pola-pola makna yang mendasar yang dianggap sudah
selayaknya dianut dan dimanifestasikan oleh semua pihak yang berpartisipasi dalam organisasi.

Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan kinerja karyawan.
Karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap karyawan didalam menyelesaikan
pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Suatu kondisi lingkungan kerja di
katakan baik apabila karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman.
Karena itu penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan
motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat menurunkan kinerja karyawan.

Kondisi dan suasana lingkungan kerja yang baik akan dapat tercipta dengan adanya penyusunan
organisasi secara baik dan benar sebagai mana yang dikatakan oleh Sarwoto (1991) bahwa suasana kerja
yang baik dihasilkan terutama dalam Organisasi yang tersusun secara baik, sedangkan suasana kerja yang
kurang baik banyak ditimbulkan oleh organisasi yang tidak tersusun dengan baik pula. Dari pendapat
tersebut dapat diterangkan bahwa terciptanya suasana kerja sangat dipegaruhi oleh struktur organisasi
yang ada dalam organisasi tersebut. Menurut Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar,
jenis lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu:

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang
dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Sedarmayanti 2001).
Menurut Komarudin (2002) lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala fisik
dan sosial kultiral yang mengelilingi atau mempengaruhi individu. Menurut Alex S.Nitisimito (2002).
lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak,
keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain.

Berdasarkan defenisi tersebut bahwa lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada disekitar
tempat kerja karyawan lebih banyak berfokus pada benda-benda dan situasi sekitar tempat kerja sehingga
dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugasnya, masalah lingkungan kerja dalam suatu
organisasi sangat penting, dalam hal ini diperlukan adanya pengaturan maupun penataan faktor-faktor
lingkungan kerja fisik dalam penyelengaraan aktifitas organisasi.
Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan kinerja karyawan.
Karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap karyawan didalam menyelesaikan
pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Suatu kondisi lingkungan kerja di
katakan baik apabila karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman.
Karena itu penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan
motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat menurunkan kinerja karyawan.

Kondisi dan suasana lingkungan kerja yang baik akan dapat tercipta dengan adanya penyusunan
organisasi secara baik dan benar sebagai mana yang dikatakan oleh Sarwoto (1991) bahwa suasana kerja
yang baik dihasilkan terutama dalam Organisasi yang tersusun secara baik, sedangkan suasana kerja yang
kurang baik banyak ditimbulkan oleh organisasi yang tidak tersusun dengan baik pula. Dari pendapat
tersebut dapat diterangkan bahwa terciptanya suasana kerja sangat dipegaruhi oleh struktur organisasi
yang ada dalam organisasi tersebut. Menurut Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar,
jenis lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu:

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang
dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Sedarmayanti 2001).
Menurut Komarudin (2002) lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala fisik
dan sosial kultiral yang mengelilingi atau mempengaruhi individu. Menurut Alex S.Nitisimito (2002).
lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak,
keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain.

Berdasarkan defenisi tersebut bahwa lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada disekitar
tempat kerja karyawan lebih banyak berfokus pada benda-benda dan situasi sekitar tempat kerja sehingga
dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugasnya, masalah lingkungan kerja dalam suatu
organisasi sangat penting, dalam hal ini diperlukan adanya pengaturan maupun penataan faktor-faktor
lingkungan kerja fisik dalam penyelengaraan aktifitas organisasi.

Kepuasan Kerja

Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang melaksanakan kegiatan-


kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan pribadi anggota
organisasi dan tujuan. Tujuan tersebut dapat berupa tujuan pribadi anggota organisasi dan tujuan global
organisasi.
Melalui pendapat-pendapat para ahli dapat dipahami bahwa aktivitas manusia dalam mencapai
tujuan dilatarbelakangi oleh perilaku individu, prilaku, kelompok, dan prilaku organisasi. Ketiga prilaku
tersebut berdampak pada tinggi rendahnya kinerja pegawai, tingkat kemangkiran, perputaran karyawan
(turnover) dan kepuasan kerja. Pemahaman kepuasan kerja (job satisfacion) dapat dilihat dengan
mengenal istilah dan pengertian kepuasan kerja tersebut. Beberapa referensi berikut ini dapat
memberikan kejelasan makna kepuasan kerja. Handoko (2000) mengatakan: ”kepuasan kerja adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasan seseorang terhadap
pekerjaannya.”

Davis dalam Mangkunegara (2000) mengatakan: ”kepuasan kerja adalah perasaan menyongkong
atau tidak menyongkong yang dialami karyawan dalam bekerja.” Sedangkan menurut Hasibuan (2005) :
”kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya sikap ini
dicerminkan oleh moral kerja, kedisplinan dan kinerja.”

Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan
dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja
yang baik. Karyawan harus yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan ini akan lebih
mengutamakan pekerjaannya dari balas jasa, walaupun balas jasa itu penting. Adanya kepuasan kerja
tentunya mempengaruhi beberapa aspek yang melingkupi pada karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja
karyawan atau pegawai terbentuk karena adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Seperti kajian
teori-teori kepuasan kerja sebelumnya, kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Menurut Harianja (2002) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja berkaitan dengan
beberapa aspek yaitu: gaji, pekerjaan itu sendiri, rekan sekerja, atasan, promosi dan lingkungan kerja.
Menurut Hasibuan (2005) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah :

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.

3. Berat ringannya pekerjaan.

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.


6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

Teori Kepuasan Kerja

Pada umumnya terdapat bayak teori yang membahas masalah kepuasan seseorang dalam bekerja.
Teori-teori kepuasan menurut Mangkunegara (2000) antara lain :

1. Teory Keseimbangan ( Ekuiti Theory)

Teori ini dikembangkan oleh Adam. Adapun komponen dari teori ini adalah imput, outcome, comparison,
dan equity-in-equty. Imput adalah semua nilai yang diterima karyawan atau pegawai yang dapat
menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi dan
jumlah jam kerja.

Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan karyawan atau pegawai. Misalnya upah,
keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali (recognition) kesempatan untuk berprestasi
atau mengeprisikan diri. Sedangkan comparition person adalah seorang pegawai atau karyawan dalam
organisasi yang sama, seorang pegawai atau karyawan dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri
dalam pekerjaan sebelumnya.

Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya pegawai atau karyawan merupakan hasil dari
membandingkan antara imput-outcome dirinya dengan perbandingan impu-outcome karyawan atau
pegawai lain (comparition person) jadi jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (eqity) maka
karyawan atau pegawai tersebut akan merasa puas. Tetapi apabila terjadi tidak seimbang (inequty) dapat
menyebabkan dua kemungkinan, yaitu uvor compensation inequity (ketidak seimbangan yang
menguntungkan dirinya ) dan sebaliknya, under compensation inequity (ketidak seimbangan yang
menguntungkan karyawan atau pegawai lain yang menjadi pembanding atau compenrison person.

2. Teori Perbedaan ( Discrepancy Theory )


Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan
dengan cara menghitung selisi antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan karyawan.
Locke mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan atau pegawai tergantung pada perbedaan antara
apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh karyawan atau pegawai. Apa bila yang didapat karyawan
atau pegawai ternyata lebih besar dari pada apa yang diharapkan maka karyawan atau pegawai tersebut
menjadi puas. Sebaliknya, apa bila yang didapat karyawan lebih rendah dari pada yang diharapkan, akan
menyebabkan karyawan tidak puas.

3. Teori Pemenuhan Kebutuhan ( Ned Fulfilment Theory )

Teori ini pertama kali dipelopori oleh: A.H. Maslow. Dikemukakan oleh A. H. Maslow tahun 1943. Teori ini
merupakan kelanjutan dari “Human Science theory” Elton Mayo (1880-1949) yang mengatakan bahwa
kebutuhan dan kepuasan seseorang itu jamak, yaitu kebutuhan biologis dan spikologis berupa kebutuhan
materil dan non materil.

Dalam teori ini Maslow menyatakan adanya suatu hirarki kebutuhan pada setiap orang. Setiap orang
memberi prioritas pada suatu kebutuhan sampai kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Jika suatu
kebutuhan sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang ke dua akan memenagkan peranan, demikian
seterusnya menurut urutannya.

4. Teori Pandangan Kelompok ( social reference grop theory )

Menurut teori ini, kepuasan kerja karyawan atau pegawai bukanlah tergantung pada pemenuhan
kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para
karyawan dianggap sebagai kelompok ajuan. Kelompok ajuan tersebut oleh karyawan atau pegawai di
jadikan tolok ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, pegawai atau karyawan akan
merasa puas apabila hasil kerjanya sesuatu degan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok
ajuan.

5. Teori Pengharapan (Ecpenpancy theory)

Teori pengharapan dikembangkan oleh Viktor H. Vroom. Kemudian teori ini diperluas oleh Porter
dan Lawler. Vroom menjelaskan bahwa motivasi suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan
sesuatu dan penafsiran seseorang aksi tertentu yang akan menuntunnya pernyataan ini berhubungan
dengan rumus di bawah ini :
Valensi x Harapan = Motivasi

Keterangan:

a. Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu

b. Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu.

c. Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu.

6. Teori Dua Faktor Herzberg ( Herzberg’s Two Faktor Theory)

Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzbeg (1950). Ia mengunakan teori Abraham
Maslow sebagai titik ajuannya. Penelitian Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap
subjek insinyur dan akuntan. Masing-masing subjek diminta menceritakan kejadian yang dialami mereka
baik yang menyenangkan (memberikan kepuasan) maupun yang tidak menyenangkan atau tidak
memberikan kepuasan. Kemudian analisis dengan analisis isi ( content analysis ) untuk menentukan
faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan atau ketidak puasan.

Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut Herzberg, yaitu
faktor pemeliharaan (maintenance factor) dan faktor pemotivasian (motivational factor). Faktor
memeliharan tersebut pula dissatisfier, hyiene factors, job context, exxtrinsic factor yang meliputi
atministrasi dan kebijakan organisasi kwalitas pegawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan
dengan sub ordinat, upah, keamanan kerja, kondisi kerja dan status. Sedangkan faktor pemotivatian
disebut pula satiafier, motivator’s. Job, compen, intrinsic factor yang meliputi dorongan berprestasi,
pengenalan, kemajuan (advancement), kesempatan berkembang dan tanggung jawab.

ASPEK-ASPEK ETOS KERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Oleh : Satria Hadi Lubis (Widyaiswara Madya STAN)


Isu tentang pentingnya meningkatkan etos (etika) kerja pada organisasi pemerintah dan swasta semakin
mencuat akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan semakin disadarinya pentingnya pemahaman etos kerja
sebagai solusi untuk memecahkan masalah, terutama yang terkait dengan moral hazard di tempat kerja.

Artikel ini mencoba untuk menjawab apa yang dimaksud tentang etos kerja, aspek dan faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi terwujudnya etos kerja di sebuah organisasi.

Pengertian Etos Kerja

Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti tempat
hidup. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu,
kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula
istilah ethikos yang berarti teori kehidupan, yang kemudian menjadi etika.

Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point,
to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat
menterjemahkannya sebagai sifat dasar, pemunculan - pemunculan atau disposisi (watak).

Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Etos
adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.

Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua
pemaknaan, yaitu:

The disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes
it from other peoples or group, fundamental values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus
orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang
mendasari, adat-istiadat.
The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like. Prinsip
utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.

Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan
terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan,
dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.

Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat
terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur
bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan
terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya
akan rendah.

Menurut Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan
fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika
seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan
berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka
yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.

Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik.
Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal
abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya
bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan
oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai
motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Sinamo lebih memilih menggunakan istilah etos karena
menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah
organisasi atau komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik
utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi,
keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.

Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos
kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk
menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan, sehingga
mempengaruhi perilaku kerjanya.
Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja

Menurut Sinamo (2005), setiap manusia memiliki spirit (roh) keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk
meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja
keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya. Lalu perilaku yang
khas ini berproses menjadi kerja yang positif, kreatif dan produktif.

Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005) menyederhanakannya
menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang
semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua
tingkatan. Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai
Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
Sinamo (2005)

Mencetak prestasi dengan motivasi superior.

Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.

Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.

Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.

Keempat darma ini kemudian dirumuskan menjadi delapan aspek etos kerja sebagai berikut:

Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar
sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup
oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara
moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja
sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.

Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu darma yang sesuai dengan panggilan jiwa sehingga kita
mampu bekerja dengan penuh integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita
bisa berucap pada diri sendiri, I'm doing my best!. Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil
karya kita kurang baik mutunya.

Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi,
sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan,
ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan
cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa ada. Bagaimanapun sibuk
bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.

Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui
pekerjaan manusia mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran
ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan
semata.

Kerja adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan perasaan senang seperti halnya
melakukan hobi. Sinamo mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia
mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa
menikmati pekerjaannya.

Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa
menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Sinamo mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap
bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan
sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi
untuk melayani, sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan
kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada
sesama.

Anoraga (2009) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasari seseorang
dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:

Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.

Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.

Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.

Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti.

Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih

Dalam tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu
sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat
dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,

Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,

Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia,

Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting
dalam mewujudkan cita-cita,

Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan
ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu :

Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,

Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos
kerja tinggi akan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya
bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

Etos (etika) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

Agama

Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber.Salah satu
unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika
Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan
mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak
seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan
beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu
pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi.

Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos
berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak
mengumbar kesenangan --namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi,
yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.

Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai
studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum
mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan
ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).

Budaya

Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga
disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja.
Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya,
masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah,
bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.

Sosial politik

Menurut Siagian (1995), tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada
atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil
kerja keras mereka dengan penuh.

Kondisi lingkungan (geografis)

Siagian(1995) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor
kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya
melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang
pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

Pendidikan

Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya
manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat
tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan
pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas
masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).

Motivasi intrinsik individu

Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang
bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-
nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos
kerja seseorang.

Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri,
tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia
membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan
faktor motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak
ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya
motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang
termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi,
hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih
tinggi, tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak
menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.

Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti
ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga
faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses (achievement), pengakuan
(recognition), kemungkinan untuk meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab
(responsibility), kemungkinan berkembang (growth possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work
itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pegawai
hingga mencapai performa yang tertinggi.
Dengan memahami apa itu etos kerja, serta aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan etos
kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan sebuah organisasi (termasuk organisasi
Kementerian Keuangan) akan meningkat produktifitas dan profesionalitas kerjanya.

Indonesia sangat membutuhkan peningkatan etos kerja di semua lini organisasi pemerintahan dan swasta,
sehingga di masa depan dapat terwujud bangsa Indonesia yang maju dan disegani masyarakat
internasional.

Apa itu Performance Appraisal (penilaian kinerja) ?

Posted by Yudha Argapratama on May 16th, 2011

Penilaian Kinerja adalah sebuah sistem manajemen formal yang menyediakan evaluasi kualitas untuk
kinerja individu dalam organisasi. Penilaian tersebut biasanya disusun oleh atasan langsung karyawan.
Prosedur ini biasanya memerlukan atasan untuk mengisi formulir penilaian standar yang mengevaluasi
individu pada dimensi yang berbeda dan kemudian membahas hasil evaluasi dengan karyawan.

Umumnya , penilaian kinerja dipandang hanya sebagai latihan sekali setahun dimandatkan oleh bagian
HRD / personalia. Tetapi dalam organisasi yang melaksanakan penilaian kinerja dengan serius dan
menggunakan sistem dengan baik, Penilaian kinerja digunakan sebagai proses yang berkelanjutan dan
bukan hanya sebagai acara tahunan.

Dalam perusahaan, penilaian kinerja mengikuti model empat fase:

Tahap 1: Perencanaan Kinerja.

Pada awal tahun, manajer dan bawahan berkumpul bersama untuk pertemuan perencanaan kinerja.

Dalam sesi ini mereka membahas apa yang akan dicapai selama dua belas bulan ke depan (tanggung jawab
pekerjaan seseorang dan tujuan-tujuan dan proyek yang akan dikerjakan bawahan tersebut) dan
bagaimana karyawan akan melakukan pekerjaannya (perilaku dan kompetensi yang diharapkan dari
anggota organisasi). Mereka biasanya juga membahas perkembangan individu rencana.

Tahap 2: Pelaksanaan Kinerja.

Selama tahun berjalan, karyawan bekerja untuk mencapai tujuan, sasaran, dan tanggung jawab kunci
dari pekerjaannya . Manajer memberikan pembinaan dan umpan balik kepada karyawan untuk
meningkatkan kemungkinan keberhasilan. Dia menciptakan kondisi yang memotivasi dan menyelesaikan
masalah kinerja apapun yang muncul. Di pertengahan tahun atau mungkin bahkan lebih sering mereka
bertemu untuk meninjau kinerja karyawan sejauh ini terhadap rencana dan tujuan yang mereka bahas
dalam rapat perencanaan kinerja.

Tahap 3: Penilaian Kinerja.

Dengan waktu untuk penilaian kinerja formal semakin dekat, manajer merefleksikan seberapa baik
bawahan telah dilakukan selama setahun, membuat berbagai formulir dan dokumen yang disediakan
organisasi penilaian ini, dan mengisinya. Manajer juga dapat merekomendasikan

perubahan kompensasi individu berdasarkan kualitas kerja karyawan individu. Bentuk penilaian dianggap
selesai biasanya setelah dipelajari dan disetujui oleh atasan penilai tersebut. Pimpinan departemen lain
atau Manager Compensation & Benefit juga dapat memeriksa dan menyetujui

penilaian.

Tahap 4: Review Kinerja.

Manajer dan bawahan bertemu, biasanya selama sekitar satu jam. Mereka meninjau bentuk penilaian
yang telah dibuat manajers dan berdiskusi tentang seberapa baik orang tersebut selama dua belas bulan
terakhir. Pada akhir pertemuan mereka menetapkan tanggal untuk bertemu lagi untuk mengadakan
diskusi perencanaan kinerja untuk dua belas bulan berikutnya, di mana proses manajemen kinerja dimulai
lagi.

Tentu saja mungkin ada variasi banyak individu atas dasar tema, tetapi perusahaan umumnya mengikuti
pola proses ini.
Performance appraisal hendaknya memberikan suatu gambaran akurat mengenai prestasi kerja karyawan
di mana sistem penilaian harus memiliki sifat sebagai berikut :

Job – related

Sistem penilaian harus mempnyai hubungan dengan pekerjaan. Sistem ini menilai perilaku – perilaku kritis
yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan kerja dari suatu perusahaan.

Praktis

Sistem penilaian harus dipahami dan dimengerti oleh penilai dan para karyawan.

Memiliki standar – standar pelaksanaan kerja

Pelaksanaan performance appraisal memerlukan standar – standar pelaksanaan kerja (performance


standards) untuk mengukur prestasi kerja. Agar efektif, hendaknya standar – standar tersebut
berhubungan dengan hasil – hasil yang diinginkan dari setiap pekerjaan.

Memiliki ukuran – ukuran prestasi kerja

Performance appraisal juga memerlukan ukuran prestasi kerja yang dapat diandalkan (performance
measures). Ukuran – ukuran tersebut harus mudah digunakan, bersifat reliable, dan dapat melaporkan
perilaku – perilaku kritis yang menentukan prestasi kerja. Dimensi lain dari ukuran – ukuran prestasi kerja
adalah apakah ukuran tersebut berdifat objektif ataukah subjektif. Ukuran – ukuran yang objektif adalah
yang dapat dibuktikan atau diuji oleh orang lain, sedangkan yang subjektif adalah yang tidak dapat
dibuktikan atau diuji oleh orang lain.

Sebelum melakukan performance appraisal hendaknya kita terlebih dahulu mempersiapkan orang yang
melakukan penilaian. Penilai seringkali melibatkan emosi dalam melakukan performance appraisal
sehingga evaluasi menjadi bias. Bias di sini maksudnya adalah adanya distorsi pengukuran yang tidak
akurat, terutama saat menilai ukuran – ukuran yang sifatnya subjektif.

Anda mungkin juga menyukai