A. Konsep Dasar
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
Brunner & Suddart (2001) menguraikan patofisiologi TB paru,
yaitu kuman tuberculosis masuk ke dalam tubuh melalui udara
pernafasan. Bakteri yang terhirup akan dipindahkan melalui jalan
nafas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk
memperbanyak diri. Selain itu, bakteri juga dapat dipindahkan melalui
1
system limfe dan aliran darah yaitu aliran vena pulmonalis yang
melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkat material
mengandung bakteri tuberculosis sehingga bakteri ini dapat mencapai
berbagai organ melalui aliran darah; yaitu tulang, ginjal, kelenjar
adrenal otak dan meningen.System imun tubuh berespon dengan
melakukan reaksi inflamasi dan fagositosis. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli dan menyebabkan
bronkhopneumoni. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu.
Masa jaringan baru disebut granuloma yang merupakan gumpalan
basil yang masih hidup dan sudah mati dikelilingi makrofag serta
membentuk dinding protektif. Granuloma tersebut kemudian diubah
menjadi masa jaringan tuberkel lalu menjadi nekrotik dan setelah itu
bakteri menjadi dormant tanpa perkembangan penyakit aktif. Setelah
pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif
karena respon in-adekuat dari respon system imun tubuh. Penyakit
aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi dormant.
Dalam kasus ini tuberkel memecah bahan seperti keju ke dalam
bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara dan
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih lanjut.
2
Pathoflow :
Kuman TB
Saluran nafas
Bronchopneumonia Infeksi
Nekrotik
Bakteri dormant
TB TB aktif
TB terulang
3
4. Tanda dan Gejala
4
pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat
pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena
ulserasi pada mukosa bronchus.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru
yang cukup luas atau infiltrasi radang sampai setengah paru-paru.
d. Nyeri dada
Jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Komplikasi
Menurut Manurung (2009), penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani
dengan benar akan menimbulkan berbagai komplikasi, yaitu :
a. Malnutrisi.
b. Empiema.
c. Efusi pleura.
d. Hepatitis, ketulian dan gangguan gastrointestinal (sebagai efek samping
obat-obatan).
6. Pemeriksaan Penunjang
5
a. Apabila lesi terdapat terutama dipermukaan atas paru.
b. Bayangan berwarna atau bercak.
c. Terdapat kavitas tunggal atau multiple.
d. Terdapat klasifikasi.
e. Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada permukaan atas paru.
f. Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang
beberapa minggu kemudian.
6.2.Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah
Pemeriksaan darah sering kurang diperhatikan, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitive dan tidak spesifik.
Pada saat tuberculosis mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit dan
jumlah laju endap darah yang meningkat.
b. Sputum BTA
Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan kuman
tuberculosis. Diagnosa pasti dapat ditegakkan bila ditemukan biakan
kuman tuberculosis positif. Pemeriksaan penting untuk diagnosa
definitive dan menilai kemajuan klien. Dilakukan tiga kali berturut-
turut dan biakan/kultur BTA selama 4-8 minggu.
6.3.Test tuberculin (Mantoux test)
Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan diagnosa
terutama pada anak-anak. Biasanya diberikan suntikan PPD (protein
perified derivation) secara intra cutan 0,1cc. Lokasi penyuntikan umumnya
pada ½ bagian atas lengan bawah sebelah kiri bagian depan. Penilaian test
tuberculosis dilakukan setelah 48-72 jam penyuntikan dengan mengukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi pada lokasi
penyuntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil sebagai berikut :
6
a. Indurasi 0-5 mm : negative.
b. Indurasi 6-9 mm : meragukan.
c. Indurasi > 10 mm : positif.
Test tuberculin negative berarti secara klinis tidak ada infeksi
mycobacterium tuberculosis, dan bila hasil meragukan dapat disebabkan
karena kesalahan tehnik reaksi silang.
7. Penatalaksanaan Medik
7
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut manurung (2009) data subjektif yang ditemukan pada klien dengan
TB paru yaitu, kelelahan umum dan kelemahan, nafas pendek, kesulitan tidur
atau demam pada malam hari, demam hilang timbul (40-41°C), perasaan tidak
berdaya, hilang nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, nyeri dada
meningkat karena sering batuk dan batuk kering setelah peradangan menjadi
produktif. Adapun data objektifnya, yaitu takikardi, takipnea/dispnea, turgor
kulit buruk, kering, bersisik, hilang lemak subkutis, pengembangan pernafasan
tidak simetris, bunyi nafas menurun, perkusi redup, auskultasi suara nafas
tambahan, ronkhi basah dan nyaring.
2. Diagnosa Keperawatan
8
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang
kental/sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal.
b. Risiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler,
sekret kental, edema bronkial.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan, batuk, dispnea, anoreksia.
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, perawatan dan pencegahan
berhubungan dengan kurang informasi, keterbatasan kognitif, informasi
tidak lngkap.
e. Risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer
tidak adekuat, kerusakan jaringan, proses inflamasi, malnutrisi, terpajan
lingkungan, kurang pengetahuan mengenai pencegahan penyakit.
3. Rencana Keperawatan
9
sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot
bantu nafas dan peningkatan kerja pernafasan.
2. Kaji kemampuan mengeluarkan sekret (catat karakter, volume
sputum dan adanya haemoptisis).
Rasional : pengeluaran akan sulit bila secret sangat kental (efek
infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada
kerusakan (kavitas) paru atau luka bronchial dan memerlukan
intervensi lanjut.
3. Berikan posisi fowler tinggi/semifowler.
Rasional : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan upaya
menurunkan nafas.Ventilasi maksimal membuka area atelektasis
dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
4. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai
keperluan.
Rasional : mencegah obstruksi/aspirasi. Penghisapan dapat
diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
5. Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500ml/hari kecuali ada
kontraindikasi.
Rasional : pemasukan tinggi cairan membantu untuk
mengencerkan sekret dan membuatnya mudah dikeluarkan..
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat OAT.
Rasional : pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase, yaitu
fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan
obat yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirazinamid, streptomisin dan Etambutol.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian agen mukolitik
Rasional : agen mukolitik menurunkan kekentalan dan
perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian bronkodilator
Rasional : bronkodilator meningkatkan diameter lumen
percabangan trakheobronkhial sehingga menurunkan tahanan aliran
darah.
9. Kolaborasi denagn dokter dalam pemberian kortikosteroid.
10
Rasional : kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada
hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif paru.
Tujuan : pertukaran gas efektif.
Kriteria Hasil :
1. Sesak berkurang/hilang.
2. AGD dalam batas normal.
Intervensi :
1. Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot
bantu nafas.
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau
kroniknya penyakit.
2. Auskultasi bunyi nafas.
Rasional : dapat diketahui bunyi nafas ronkhi/wheezing.
3. Observasi dan catat perubahan warana kulit.
Rasional : perubahan warna kulit (sianosis) menunjukkan adanya
hipoksemia.
4. Awasi frekuensi dan irama jantung.
Rasional : dengan mengawasi frekuensi dan irama jantung dapat
diketahui hipoksemia.
5. Ajarkan pernafasan bibir selama ekspirasi khususnya klien dengan
fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
Rasional : membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah
kolaps/penyempitan jalan nafas sehingga membantu menyebarkan
udara paru dan mengurangi nafas pendek.
6. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan
perawatan diri sehari-hari sesuai keadaan klien.
Rasional : menurunkan konsumsi oksigen selama periode
penurunan pernafasan dan dapat menurunkan berat gejala.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan laboratorium analisa
gas darah (AGD).
11
Rasional : penurunan kadar O2 (PO2) dan/atau saturasi dan
peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi/perubahan program terapi.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen sesuai
kebutuhan.
Rasional : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi
akibat penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar.
b. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan intake yang
tidak adekuat.
Tujuan : intake nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1. Berat badan meningkat.
2. Mual dan muntah berkurang.
3. Nilai albumin meningkat.
Intervensi :
1. Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menlan, riwayat
mual/muntah dan diare.
Rasional : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
2. Fasilitasi klien untuk memperoleh diit biasa yang disukai klien
(sesuai indikasi).
Rasional : memperhitungkan keinginan individu dapat
memperbaiki intake gizi.
3. Jelaskan manfaat nutrisi bagi tubuh.
Rasional : nutrisi berfungsi sebagai sumber tenaga, zat pembangun,
zat pengatur, yang penting untuk proses penyembuhan, mengganti
jaringan yang rusak, pembentukan daya tahan tubuh dan
pemenuhan kebutuhan energy yang mengalami peningkatan akibat
proses infeksi.
4. Pantau intake dan output, timbang berat badan secara periodic
12
(sekali seminggu).
Rasional : berguna dalam mengukur keefektifan intake gizi dan
dukungan cairan.
5. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan
serta sebelum dan sesudah intervensi.
Rasional : menurunkan rasa tidak enak karena sisa makanan, sisa
sputum atau obat pada pengobatan system pernafasan yang dapat
merangsang muntah
6. Berikan posisi fowler saat makan.
Rasional ; posisi fowler dapat memaksimalkan ekspansi paru
sehingga mengurangi rasa sesak.
7. Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan makan dalam porsi kecil
tapi sering.
Rasional : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan
energy besar serta menurunkan iritasi saluran cerna.
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis
diet yang tepat.
Rasional : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup,
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energy dan kalori
sehubung dengan hipermetabolik klien.
9. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN,
protein serum dan albumin.
Rasional : menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan
intervensi selanjutnya.
10. Kolaborasi untuk pemberian multivitamin.
Rasional : multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
vitamin yang tinggi sekunder dari peningkatan laju metabolisme
umum.
c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan, proses
penyakit, perawatan dan pencegahan berhubungan dengan kurang
informasi.
Tujuan : klien memahami tentang kondisi, aturan pengobatan, proses
penyakit, perawatan dan pencegahan.
Kriteria Hasil :
13
1. Melakukan perubahan pola hidup.
2. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat
kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan klien sebelumnya dan
suasana yang tepat).
Rasional : keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh
kesiapan fisik, emosional dan lingkungan yang kondusif.
2. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang
diharapkan dan alasan mengapa TB paru berlangsung dalam waktu
lama.
Rasional : meningkatkan partisipasi klien dalam program
pengobatan dan mencegah putus obat karena membaiknya kondisi
fisik klien sebelum jadwal terapi selesai.
3. Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi
gejala/tanda reaktivasi penyakit (haemoptisis, demam, nyeri dada,
kesulitan bernafas, kehilangan bernafas, kehilangan pendengaran
dan vertigo).
Rasional :dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit
dan efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
4. Tekankan pentingnya mempertahankan intake nutrisi yang
mengandung protein dan kalori yang tinggi serta intake cairan yang
cukup setiap hari.
Rasional : diet TKTP dan cairan yang adekuat memnuhi
peningkatan kebutuhan metabolic tubuh. Pendidikan kesehatan
tentang hal itu akan meningkatkan kemandirian klien dalam
perawatan penyakitnya.
d. Risiko penyebaran penyakit berhubungan dengan terpapar lingkungan
yang tidak sehat.
Tujuan : mencegah/menurunkan risiko penyebaran.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan perubahan pola hidup.
2. Meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
14
1. Identifikasi orang-orang yang berisiko terkena infeksi seperti
anggota keluarga, teman dan orang dalam satu perkumpulan.
Rasional : orang-orang yang berisiko perlu program terapi obat
untuk mencegah penyebaran infeksi.
2. Anjurkan klien menutup mulut jika batuk dan bersin serta
membuang sputum di tempat penampungan yang tertutup.
Rasional : mencegah terjadinya penularan infeksi.
3. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
Rasional : mengurangi risiko menyebarnya infeksi.
4. Monitor temperature tubuh.
Rasional : febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
5. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional : mencegah terjadinya resistensi.
6. Kolaborasi denagn dokter dalam pemberian OAT RHZES
Rasional : pemberian terapi OAT dilakukan untuk pengobatan
dengan klien TB paru.
7. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam memonitor sputum BTA.
Rasional : mengawasi keekfektifan obat dan efeknya serta respon
pasien terhadap terapi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Asih, N. (2003). Keperawatan Medikal Bedah : Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta : EGC.
Bahar, A. (2003). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 3, Jilid 2). Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Brunner & Suddart. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 8, Vol.1). Jakarta:
EGC.
Doengoes, M.E.et.all. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta : EGC.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Bukan Batuk Biasa Bisa Jadi TB. Jakarta : Depkes.
Gede, N. (2003). Keperawatan Medikal Bedah : Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta : EGC.
16
Jakarta : TIM.
Mansjoer, A.et.all. (2001). Kapita Selekta Kedokteran (Edisi 3, Jilid 1). Jakarta : EGC.
Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Sudoyo, A, dkk. (2007). Ilmu Penyakit Dalam (Edisi 4, Jilid 3). Jakarta : FKUI.
17