PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu ±50 tahun ini telah terjadi peningkatan kejadian infeksi
yang disebabkan oleh mikoorganisme yang resisten terhadap berbagai agen anti
mikroba atau antibiotik. Suatu mikroorganisme dianggap multi resisten jika banyak
diantara antibiotik yang biasa digunakan tidak dapat membunuh mikroorganisme
tersebut. Mikroorganisme dengan resistensi multi-obat akan banyak menyebabkan
banyak masalah dalam lingkungan perawatan kesehatan dan bahkan dalam
masyarakat (Alangaden, 1997; EPIC, 2006).
Infeksi luka operasi merupakan hal yang paling mungkin terjadi, karena
pembedahan merupakan tindakan yang dengan sengaja membuat luka pada jaringan
dan merupakan suatu tempat jalan masuk dari bakteri, sehingga membutuhkan
tingkat sterilitas yang maksimal dan juga orang-orang yang ikut dalam operasi
harus dibatasi jumlahnya. Infeksi luka operasi terdiri dari superfisial, dalam dan
organ sehingga penanganannya pun berbeda. Faktor resiko yang dapat mencetuskan
terjadinya infeksi luka operasi, yaitu faktor pasien, faktor operasi, dan faktor
mikrobiologi. Dari faktor mikrobiologi, bakteri yang paling banyak penyebab
infeksi adalah jenis Staphylococcus. Salah satu kuman patogen yang sering menjadi
penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus dengan manifestasi infeksi yang
ringan hingga berat. Faktor resiko yang dapat mencetuskan terjadinya infeksi luka
operasi, yaitu faktor pasien, faktor operasi, dan faktor mikrobiologi. Dari faktor
mikrobiologi, bakteri yang paling banyak penyebab infeksi adalah jenis
Staphylococcus. Salah satu kuman patogen yang sering menjadi penyebab infeksi
adalah Staphylococcus aureus dengan manifestasi infeksi yang ringan hingga berat.
Infeksi yang disebabkan Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA)
yang kebal methicillin ini sulit diobati, sebab kebanyakan antibiotika tak dapat
membunuh bakteri tersebut.
Staphylococcus aureus dapat ditemukan di kulit dan di hidung manusia dan
ada kalanya dapat menyebabkan infeksi dan sakit parah. Infeksi Staphylococcus
aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka, misalnya
infeksi luka pasca pembedahan oleh S.aureus (Anonim, 2009). Kasus mengenai
MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) biasa ditemukan di setiap
rumah sakit, salah satunya di rumah sakit dr Iskak Tulungagung. Beberapa pasien
mengalami infeksi luka dan sulit disembuhkan pasca melakukan operasi.
Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA
merupakan sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu, pengendalian infeksi
diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyebaran MRSA,
misalnya dengan kebijakan eradikasi kolonisasi Eradikasi kolonisasi perlu
dipertimbangkan sesuai dengan kondisi pasien dan dampak yang ditimbulkannya.
Pasien usia lanjut, kondisi lemah, paska operasi, atau memiliki penyakit berat
mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti rifampisin dan asam fusidik
pada kasus kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal dapat juga
menimbulkan iritasi di kulit. Selain itu, risiko eksaserbasi masih ada pada kasus
yang sudah diterapi eradikasi (Coia et al., 2006).
Faktor risiko terjadinya kolonisasi secara umum adalah usia, jenis kelamin,
riwayat tindakan invasif (hemodialisis, pemasangan tabung nasogastrik dan
ventilator, kateterisasi pembuluh darah, jantung, dan kandung kemih, serta
pembedahan), status gizi abnormal, riwayat terapi (terapi steroid jangka panjang,
penggunaan antibiotik, dan kemoterapi), riwayat penyakit kronis (diabetes
mellitus, tuberkulosis, gagal ginjal, penyakit autoimun, keganasan, dan
HIV/AIDS), riwayat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) (Hidron et al., 2005)
1.3. Tujuan