Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam kurun waktu ±50 tahun ini telah terjadi peningkatan kejadian infeksi
yang disebabkan oleh mikoorganisme yang resisten terhadap berbagai agen anti
mikroba atau antibiotik. Suatu mikroorganisme dianggap multi resisten jika banyak
diantara antibiotik yang biasa digunakan tidak dapat membunuh mikroorganisme
tersebut. Mikroorganisme dengan resistensi multi-obat akan banyak menyebabkan
banyak masalah dalam lingkungan perawatan kesehatan dan bahkan dalam
masyarakat (Alangaden, 1997; EPIC, 2006).

Infeksi luka operasi merupakan hal yang paling mungkin terjadi, karena
pembedahan merupakan tindakan yang dengan sengaja membuat luka pada jaringan
dan merupakan suatu tempat jalan masuk dari bakteri, sehingga membutuhkan
tingkat sterilitas yang maksimal dan juga orang-orang yang ikut dalam operasi
harus dibatasi jumlahnya. Infeksi luka operasi terdiri dari superfisial, dalam dan
organ sehingga penanganannya pun berbeda. Faktor resiko yang dapat mencetuskan
terjadinya infeksi luka operasi, yaitu faktor pasien, faktor operasi, dan faktor
mikrobiologi. Dari faktor mikrobiologi, bakteri yang paling banyak penyebab
infeksi adalah jenis Staphylococcus. Salah satu kuman patogen yang sering menjadi
penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus dengan manifestasi infeksi yang
ringan hingga berat. Faktor resiko yang dapat mencetuskan terjadinya infeksi luka
operasi, yaitu faktor pasien, faktor operasi, dan faktor mikrobiologi. Dari faktor
mikrobiologi, bakteri yang paling banyak penyebab infeksi adalah jenis
Staphylococcus. Salah satu kuman patogen yang sering menjadi penyebab infeksi
adalah Staphylococcus aureus dengan manifestasi infeksi yang ringan hingga berat.
Infeksi yang disebabkan Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA)
yang kebal methicillin ini sulit diobati, sebab kebanyakan antibiotika tak dapat
membunuh bakteri tersebut.
Staphylococcus aureus dapat ditemukan di kulit dan di hidung manusia dan
ada kalanya dapat menyebabkan infeksi dan sakit parah. Infeksi Staphylococcus
aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka, misalnya
infeksi luka pasca pembedahan oleh S.aureus (Anonim, 2009). Kasus mengenai
MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) biasa ditemukan di setiap
rumah sakit, salah satunya di rumah sakit dr Iskak Tulungagung. Beberapa pasien
mengalami infeksi luka dan sulit disembuhkan pasca melakukan operasi.

Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir


semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali
Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Staphylococcus intermedius.
Staphylococcus dapat menyebabkan banyak jenis infeksi seperti infeksi kulit yang
superfisial maupun infeksi yang lebih serius seperti furunkulosis, abses,
osteomyelitis dan endokarditis, dan toxic shock syndrome. Bakteri komensal ini
biasanya dapat ditemukan di dalam lubang hidung, lipat paha, lipat ketiak, dan
permukaan pusar. Infeksi S. aureus juga sering terjadi pada luka terbuka (Foster,
1996). Kolonisasi S. Aureus bisa didapat dari komunitas maupun rumah sakit
(nosokomial). Seseorang yang memiliki kolonisasi ini disebut karier S. aureus.
karier dapat menularkan S aureus ke orang lain. Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya risiko infeksi nosokomial (Thompson,2004).

Resistensi S. aureus, terutama resistensi terhadap penisilin dan metisilin,


sudah menjadi topik yang mendunia sejak beberapa dekade yang lalu. Strain S.
aureus yang dimaksud adalah Methicillin Resistant S. auerus (MRSA). Strain ini
merupakan strain yang resisten terhadap lebih dari 1 jenis antibiotik. Kepekaan
MRSA terhadap metisilin, oksasilin, dan cefoksitin menghilang. Resistensi
MRSA terhadap antibiotik tersebut merupakan gambaran resistensi terhadap
seluruh jenis beta-laktam lainnya. Hal inilah yang menyebabkan MRSA
digolongkan sebagai multi drug resistant organism (Magiorakos et al., 2011).

Menurut European Antimicrobial ResistanceSurveillance System (2013),


dari Januari 1999 hingga Desember 2002, insidensi MRSA meningkat signifikan di
banyak negara termasuk Belgia, Jerman, Irlandia, dan Inggris. Amerika Serikat,
Taiwan, Korea, dan Australia. Prevalensi isolat MRSA di Taiwan meningkat dari
26% menjadi 77% selama 1986 hingga 2001. Hal serupa terjadi di Korea.
Prevalensi isolat MRSA di Korea meningkat menjadi 64%. Oleh karena itu, MRSA
merupakan masalah yang terdapat di banyak negara. Meningkatnya insidensi
MRSA secara signifikan ini mengindikasikan perlunya prosedur pengendalian
infeksi yang lebih baik (Appelbaum, 2006).

Resistensi MRSA terjadi akibat penggunaan terapi antibiotik yang tidak


rasional. Transmisi bakteri berpindah antar pasien melalui alat medis yang kurang
steril, properti ruangan, dan udara (Nurkusuma, 2009). Strain resisten ini lebih
berbahaya daripada Methicillin Sensitive S. aureus (MSSA). Jika dampaknya
dibandingkan, maka pasien dengan infeksi MRSA lebih mudah mengalami
endokarditis dan sepsis. Pasien dengan bakteremia akibat MRSA dapat mengalami
gagal ginjal yang lebih akut, ketidakstabilan hemodinamik dan ketergantungan
terhadap ventilator yang lebih parah, serta waktu rawat inap yang lebih lama.
Kemungkinan pasien meninggal di rumah sakit selama 30 hari meningkat secara
signifikan (p<0,05). Rekurensi terjadi pada 9,4% infeksi S. aureus yang sudah
diterapi dengan antibiotik (Chang et al., 2003).

Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA
merupakan sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu, pengendalian infeksi
diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyebaran MRSA,
misalnya dengan kebijakan eradikasi kolonisasi Eradikasi kolonisasi perlu
dipertimbangkan sesuai dengan kondisi pasien dan dampak yang ditimbulkannya.
Pasien usia lanjut, kondisi lemah, paska operasi, atau memiliki penyakit berat
mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti rifampisin dan asam fusidik
pada kasus kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal dapat juga
menimbulkan iritasi di kulit. Selain itu, risiko eksaserbasi masih ada pada kasus
yang sudah diterapi eradikasi (Coia et al., 2006).

Faktor risiko terjadinya kolonisasi secara umum adalah usia, jenis kelamin,
riwayat tindakan invasif (hemodialisis, pemasangan tabung nasogastrik dan
ventilator, kateterisasi pembuluh darah, jantung, dan kandung kemih, serta
pembedahan), status gizi abnormal, riwayat terapi (terapi steroid jangka panjang,
penggunaan antibiotik, dan kemoterapi), riwayat penyakit kronis (diabetes
mellitus, tuberkulosis, gagal ginjal, penyakit autoimun, keganasan, dan
HIV/AIDS), riwayat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) (Hidron et al., 2005)

1.2. Rumusan Masalah

 Bagaimana prosedur penanganan pasien pre operasi dengan MRSA

1.3. Tujuan

 Untuk mengetahui prosedur penaganan pasien pre operasi dengan MRSA

Anda mungkin juga menyukai