CSS Imobilitas
CSS Imobilitas
IMOBILISASI LAMA
Preseptor:
BANDUNG
2011
PENDAHULUAN
Tujuan utama dari ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah untuk
mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai level
independensi yang. Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya diperlukan diagnosis dan
pengobatan yang tepat saja, tetapi juga diperlukan monitoring untuk melihat komplikasi yang
Ketika individu dirawat dalam jangka waktu lama sehingga terjadi inaktivasi atau
imobilisasi alat gerak, tidak hanya pengobatan medikamentosa saja yang harus kita
perhatikan, tetapi juga rehabilitasi medik terhadap pasien tersebut harus kita jalankan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi yang mungkin timbul karena imobilisasi lama. Pada
awalnya, imobilisasi dapat menyebabkan perubahan kapasitas fungsional satu organ tertentu
yang kemudian menyebar dan mempengaruhi banyak organ dan sistem tubuh.
DEFINISI
Imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring,
tidak bergerak secara aktif sebagai akibat dari adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik
ataupun mental.
EPIDEMIOLOGI
Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada pasien
usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, paska operasi atau penyakit kronis yang memerlukan
Dampak imobilisasi lama terutama adalah ulkus dekubitus mencapai 11% dan terjadi
dalam kurun waktu 2 minggu. Perawatan emboli paru berkisar 0,9% dengan kematian
Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri
1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.
2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada
KLASIFIKASI
1. Imobilitas fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah
2. Imobilitas intelektual, merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti pada
perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada pasien
paska amputasi.
KOMPLIKASI
Imobilitas karena tirah baring jangka lama akan menyebabkan suatu keadaan klinis
yang disebut ‘deconditioning’, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsional berbagai sistem
tubuh terutama sistem muskuloskeletal. Deconditioning terjadi pada berbagai usia dan jenis
kelamin, terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan cacat. Sebagai
contoh, seorang pasien sehat yang tirah baring lama dapat mengalami pemendekan pada otot-
otot di punggung dan kaki, terutama otot yang melewati sendi panggul dan lutut. Pada sisi
lain, seorang pasien dengan kelainan neuron motor dan spastisitas anggota gerak sebagai
penyerta juga dapat mengalami komplikasi muskuloskeletal yang sama tapi pada derajat yang
lebih berat.
Efek dari imobilitas jarang terbatas pada satu organ tertentu. Imobilitas menyebabkan
atrofi dan daya tahan otot yang lemah. Aktivitas metabolik dan ekstraksi oksigen pada otot
juga berkurang menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional otot jantung. Tirah baring
yang lama juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis, hipotensi postural dan trombosis
vena dalam.
Sistem Efek
Muskuloskeletal Otot
Kontraktur
Tulang
Osteoporosis
Sendi
Degenerasi kartilago
Ankilosis
Hipotensi ortostatis
Paru
Pneumonia hipostatis
Emboli paru
Konstipasi
Endokrin
Intoleransi glukosa
Gangguan tidur
Edema
Bursitis subkutan
Lingkaran inaktivitas
Inaktivitas
Tambahan disabilitas
(permanen, temporer)
Dampak imobilitas terhadap berbagai sistem tubuh :
1. Sistem Muskuloskeletal
Gangguan Physiologik
A. Disuse Athropy
Awal dari atrofi otot ialah berkurangnya ukuran serat otot dan massa otot.
inaktivitas otot. Selama dan setelah tirah baring, diuse athropy lebih terlihat menonjol
Sintesis protein otot dan juga sintesis protein – protein tubuh berkurang pada
berkurangnya massa otot pada saat tirah baring lambat pada saat hari pertama atau
kedua immobilisasi dan kemudian menjadi cepat setelah hari ke – 10 (mencapai 50%
dari massa otot). Seiring dengan itu, sisntesis protein otot berukrang 50% dari level
Bersamaan dengan atrofi otot, sintesis dari serat kolagen juga berkurang. Titin
pasif dan meningkat pada saat immobilisasi. Serum creatine kinase dan fibroblast
growth factor yang dilepaskan saat perlukaan pada myofiber ; penurunan kedua factor
ini proporsional dengan berkurangnya serat otot. Myostatin yang menghambat sintesis
lama juga dapat meningkatkan ekskresi creatine dan creatinine (mekanisme belum
dimengerti).
Kelemahan otot dapat mengakibatkan berkurangnya daya tahan otot dan toleransi
otot terhadap kerja. Dengan tirah baring total, otot dapat mengalami penurunan
kekuatan sekitar 10% –15 % dari kekuatan awal per minggu. Diatas 5 minggu, pasien
dapat mengalami penuruan kekuatan sebesar 35% - 50%. Kelemahan otot dapat
hari kemudian.
Seperti disuse athropy,kelemahan otot lebih terlihat menonjol dai tungkai bagian
bawah dibandingkan dengan tungkai bagian atas. Hilangan kekuatan otot dapat
mencapai 20% – 40% pada ekstensor dan fleksor pada lutut. Namun, hilangnya
kekuatan otot pada tungkai bagian atas tidak mencapai level yang signifikan pada saat
immobilisasi (5%).
dapat menyebabkan berkurangnya daya tahan otot secara progresif. Otot yang tidak
Berkurangnya sintesis protein otot dan fungsi enzyme oksidatif, serta pengaktifan dari
produksi energy secara anaerob dengan akumulasi asam laktat secara cepat dapat
asetilkoline juga bertanggung jawab terhadap hilangnya kekuatan dan kelemahan otot.
Perubahan metabolik dan enzymatik pada otot yang tidak terlatih terjadi akibat
Efek langsung dari immobilisasi otot terhadap sistem kardiovaskular dan sistem
lain.
Kelemahan dan atrofi otot ini dapat dicegah dengan peregangan otot selama
setengah jam setiap harinya. Kelemahan dan atrofi otot ini juga dapat dicegah dengan
KONTRAKTUR
Kontraktur adalah kurangnya jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup gerak
sendi yang terjadi karena adanya keterbatasan penggunaan sendi, otot atau jaringan
contohnya nyeri sendi (yang terjadi pada proses peradanagan, trauma, infeksi,
degenerasi dan perdarahan), paralisis, fibrosis jaringan kapsular atau periartrikular,
atau kerusakan otot (polimiositis dan distrofi muskuler) atau faktor mekanis seperti
adalah kurangnya mobilisasi sendi dalam lingkup ruang sendi penuhnya. Imobilisasi
sendi yang lama dapat menyebabkan penurunan panjang otot dan pemendekkan
diantaranya adalah posisi tungkai, durasi imobilisasi, keadaan patologi awal dan
restriksi sendi. Edema, iskemia, perdarahan dan gangguan lain pada lingkungan mikro
sendi dan jaringan periartrikular juga dapat menyebabkan kontraktur. Pada usia tua,
terjadi kehilangan serat otot dan peningkatan relatif dari proporsi jaringan ikat
Tulang dan otot merupakan jenis dari dari jaringan ikat, dimana jaringan ikat
memiliki properti mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan makromolekul interseluler
Kolagen merupakan protein yang paling banyak terdapat pada tubuh. Terdapat
paling tidak 12 macam kolagen (I-XII) yang telah teridentifikasi. Kolagen disintesis
dari asam amino pada retikulum endoplasma kasar. Setiap jaringan memiliki
komposisi kolagen yang berbeda sehingga terjadi kekhasan pada setiap jaringan.
Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun teratur sesuai dengan arah gerak sehingga
membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril kolagen kemudian memberikan kekuatan
otot. Fibril kolagen kemudian akan beragregasi dalam grup membentuk fasikel.
Sejumlah besar fasikel kemudian membentuk tendon atau ligamen. Perubahan pada
struktur kolagen dapat dipengaruhi oleh enzim, faktor pertumbuhan atau stimuli
mekanis.
Selain kolagen sebagai penyokong utama struktur jaringan ikat, terdapat juga
Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal
kemudian tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada
dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kurangnya
peregangan, imobilitas dan inaktivitas yang lama. Trauma, perdarahan atau iskemia
juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis kolagen pada otot juga dipengaruhi
Pemendekkan panjang otot juga dapat terjadi pada orang normal dalam derajat
yang ringan, terutama pada otot-otot yang melewati beberapa sendi. Hal ini
degenerasi)
darah perifer)
Ekstrinsik
sklerosis multipel)
Flaccid paralysis
bakar)
bursitis)
penyembuhan. Pada area yang sering bergerak, jaringan ikat longgar terbentuk,
sedangkan pada area yang tidak ada atau minim gerakan akan terbentuk jalinan
padat kolagen. Serat kolagen ini akan memendek bila terjadi imobilisasi.
Imobilisasi dapat menyebabkan infiltrasi fibrolipid pada sendi yang bisa matang
fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial disertai rasa sakit yang mengakibatkan
fleksi. ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan pinggul paing sering
luka terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan
menghambat ambulasi.
abnormal pus-off.
dan mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan
pada kulit.
Hip contracture
Plantarflexion contracture
Bed rest yang terlalu lama dapat menyebabkan nyeri punggung bawah
Komplikasi bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot
Bed rest yang lama tidak memiliki efek terapi pada sindrom nyeri punggung
bawah.
Terapi dan Manajemen kontraktur
Analisis
pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM.
Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan
dengan terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch
selama 20-30 menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih
berat. Terapi akan lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada
Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial
Pencegahan
Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf dengan botox A
Pencegahan Kontraktur
Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai,
Namun, bila bed rest tetap harus dilakukan maka posisi tidur yang benar
harus diterapkan.
pada tumit.
Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang
fungsional. Bantal pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi
netral. Palmar roll untuk mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada
Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain. Stimulasi elektrik
Imobilisasi osteoporosis
Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak
Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat
muntah, konstipasi, bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati
kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest
denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya
denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan
waktu ejeksi sistolik juga memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon
aliran darah koroner berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung
sangat terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan
berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan
takikardi dan angina, ini merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.
Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya
sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada
ekstremitas bawah.
Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara
normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu
bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan
denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi
Biasanya hipotensi ortostatik memiliki tanda berupa meningkatnya denyut nadi lebih
dari 20 bpm dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah
terkumpul di kaki.
Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan
Venous Thromboembolism
Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juda
karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti
penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam
terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena
yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi
emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest
Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala.
Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan,
distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari
50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil
venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan
(gold standar).
Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspne, takipne,
takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang
kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus
yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan
Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi
seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan
warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan
Bed rest lama akan meningkatkan insidensi batu ginjal, kandung kemih, dan infeksi
mengalami immobilisasi. Selain kalsium, ekskresi fosfor dalam urin juga meningkat.
Dalam posisi berbaring, urin harus mengalir naik dari renal collecting system menuju
ureter. Pasien sering mengeluh kesulitan untung memulai buang air kecil saat
berbaring. Akibatnya akan ada incomplete voiding yang menyebabkan stagnasi urin.
Ketika pengosongan kandung kemih tersebut tidak sempurna akan terjadi peningkatan
risiko terbentuknya batu. Umunya jenis batu yang terbentuk adalah struvat dan
carbonate apatite (15-30% pasien yang immobilisasi). Batu kandung kemih ini akan
mudah terjadi. Jika bakterinya memiliki urease, makan akan terbentuk presipitat
Pencegahan munculnya batu tersebut antara lain dengan pemberian asupan cairan
yang cukup, membiasakn diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan
menggunakan asidifikasi urin dengan vitamin C, antiseptic urinary, dan pada pasien
yang risiko terbentuknya batu lebih tinggi bisa diberikan inhibitor urease. Untuk
terapi jika batu sudah terbentuk adalah dengan litiotripsi ultrasonic. Pemberian
antibiotik juga diharuskan jika terdapat infeksi saluran kemih. Pada pasien yang sudah
dapat bergerak, sangat dianjurkan untuk melepaskan kateter dan membiasakan diri
kehilangan nafsu makan, kecepatan absorpsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia.
Pasase makanan melalui esophagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi
berbaring. Oleh karena itu disaranakan untuk pasien yang belum bisa duduk sempurna
untuk menggikan badan dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan. Konstipasi
merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien immobilisasi, karena
pada keadaan immobile akan ada peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan
konstipasi.
Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan.
fosfor, dan potassium. Penurunan sodium terjadi pada awal bed rest. Level sodium
dalam serum tidak berhubungan dengan keparahan hipotensi ortostatik yang terjadi.
bahkan kejang.
Penurunan kadar potassium terjadi secara progresif pada minggu-minggu awal bed
GANGGUAN HORMONAL
Kurangnya aktivitas fisik mengubah kepekaan tubuh terhadap hormon dan enzim.
Pada awal immobilitas (3 hari pertama) dapat terjadi intoleransi karbohidrat yang
signifikan, uptake glukosa perifer bisa berkurang hingga 50% sampai hari ke-14.
hiperkalsemia dan hormon T3. Beberapa hormon lain yang juga mengalami
Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien yang
immobilisasi lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga
depresi, penurunan ambang batas nyeri, insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi
pada pasien yang immobilisasi lebih dari 2 minggu. Berkurangnya konsentrasi dan
Untuk pencegahan, diperlukan stimulasi fisik dan psikososial yang sesuai mulai dari
awal immobilisasi. Kontak dengan keluarga dan rekan kerja pada sore hari dan akhir