Anda di halaman 1dari 24

CLINICAL SCIENCE SESSION

IMOBILISASI LAMA

Indra Danny 1301-1210-0015

Shasya Aniza Santoso 1301-1210-0092

Erlinda Agustina 1301-1210-0024

Anushree K Nair 1301-1210-3501

Thayalan Rao Appalasamy 1301-1210-0214

Preseptor:

Novitri Maulana, dr., SpRM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RSUP HASAN SADIKIN

BANDUNG

2011
PENDAHULUAN

Tujuan utama dari ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah untuk

mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai level

independensi yang. Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya diperlukan diagnosis dan

pengobatan yang tepat saja, tetapi juga diperlukan monitoring untuk melihat komplikasi yang

berpotensi muncul yang dapat menyebabkan masalah tambahan.

Ketika individu dirawat dalam jangka waktu lama sehingga terjadi inaktivasi atau

imobilisasi alat gerak, tidak hanya pengobatan medikamentosa saja yang harus kita

perhatikan, tetapi juga rehabilitasi medik terhadap pasien tersebut harus kita jalankan untuk

meminimalisir terjadinya komplikasi yang mungkin timbul karena imobilisasi lama. Pada

awalnya, imobilisasi dapat menyebabkan perubahan kapasitas fungsional satu organ tertentu

yang kemudian menyebar dan mempengaruhi banyak organ dan sistem tubuh.

DEFINISI

Imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring,

tidak bergerak secara aktif sebagai akibat dari adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik

ataupun mental.

EPIDEMIOLOGI

Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada pasien

usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, paska operasi atau penyakit kronis yang memerlukan

tirah baring lama misalnya pada pasien infark miokardial.

Dampak imobilisasi lama terutama adalah ulkus dekubitus mencapai 11% dan terjadi

dalam kurun waktu 2 minggu. Perawatan emboli paru berkisar 0,9% dengan kematian

200.000 orang setiap tahunnya.


TINGKAT MOBILITAS

Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri

dari empat tingkat :

1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.

2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas

secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan.

3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas

tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.

4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada

ekstremitas tanpa adanya bantuan.

KLASIFIKASI

1. Imobilitas fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah

terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien hemiplegia.

2. Imobilitas intelektual, merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti pada

pasien dengan kerusakan otak.

3. Imobilitas emosional, merupakan pembatasan gerak emosi seseorang akibat adanya

perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada pasien

paska amputasi.

4. Imobilitas sosial, merupakan pembatasan gerak sosial seseorang dalam melakukan

interaksi dengan lingkungannya.

KOMPLIKASI

Imobilitas karena tirah baring jangka lama akan menyebabkan suatu keadaan klinis

yang disebut ‘deconditioning’, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsional berbagai sistem
tubuh terutama sistem muskuloskeletal. Deconditioning terjadi pada berbagai usia dan jenis

kelamin, terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan cacat. Sebagai

contoh, seorang pasien sehat yang tirah baring lama dapat mengalami pemendekan pada otot-

otot di punggung dan kaki, terutama otot yang melewati sendi panggul dan lutut. Pada sisi

lain, seorang pasien dengan kelainan neuron motor dan spastisitas anggota gerak sebagai

penyerta juga dapat mengalami komplikasi muskuloskeletal yang sama tapi pada derajat yang

lebih berat.

Efek dari imobilitas jarang terbatas pada satu organ tertentu. Imobilitas menyebabkan

berkurangnya kapasitas fungsional sistem muskuloskeletal sehingga dapat terjadi kelemahan,

atrofi dan daya tahan otot yang lemah. Aktivitas metabolik dan ekstraksi oksigen pada otot

juga berkurang menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional otot jantung. Tirah baring

yang lama juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis, hipotensi postural dan trombosis

vena dalam.

Efek samping imobilitas

Sistem Efek

Muskuloskeletal Otot

Kontraktur

Kelemahan dan atrofi otot

Gangguan eksitasi elektrik

Tulang

Osteoporosis

Sendi

Degenerasi kartilago

Infiltrasi jaringan fibrofatty


Atrofi sinovial

Ankilosis

Jantung dan paru Jantung

Redistribusi cairan tubuh

Hipotensi ortostatis

Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmoner

Koagulasi darah (tromboembolisme)

Paru

Resistensi mekanis pernapasan

Pneumonia hipostatis

Peningkatan kapasitas total paru

Emboli paru

Genitourinaria dan Statis urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih

gastrointestinal Gangguan berkemih

Penurunan nafsu makan

Konstipasi

Endokrin dan metabolik Metabolik

Peningkatan lemak tubuh

Gangguan elektrolit dan mineral

Endokrin

Intoleransi glukosa

Gangguan produksi hormon

Peningkatan temperatur dan respon berkeringat

Gangguan ritme sirkadian

Kognitif dan perilaku Deprivasi sensoris


Disorientasi

Depresi dan cemas

Penurunan kapasitas intelektualitas

Gangguan keseimbangan dan koordinasi

Gangguan tidur

Kulit Ulkus dekubitus

Edema

Bursitis subkutan

Lingkaran inaktivitas

Inaktivitas

(tirah baring, imobilitas)

Penurunan kapasitas fungsional Deconditioning

Tambahan disabilitas

(permanen, temporer)
Dampak imobilitas terhadap berbagai sistem tubuh :

1. Sistem Muskuloskeletal

Fungsi utama sistem muskuloskeletal adalah untuk menopang tubuh,

transportasi tubuh, dan melakukan berbagai kegiatan fisik lainnya.

Gangguan Physiologik

A. Disuse Athropy

Awal dari atrofi otot ialah berkurangnya ukuran serat otot dan massa otot.

Disuse athropy didefinisikan sebagai perubahan pada homeostasis otot akibat

inaktivitas otot. Selama dan setelah tirah baring, diuse athropy lebih terlihat menonjol

di tungkai bagian bawah dibandingkan dengan tungkai bagian atas.

Sintesis protein otot dan juga sintesis protein – protein tubuh berkurang pada

saat immobiilisasi dan ikut berkontorbusi terhadap atrofi otot. Kecepatan

berkurangnya massa otot pada saat tirah baring lambat pada saat hari pertama atau

kedua immobilisasi dan kemudian menjadi cepat setelah hari ke – 10 (mencapai 50%

dari massa otot). Seiring dengan itu, sisntesis protein otot berukrang 50% dari level

baseline pada hari ke -14 immobilisasi.

Bersamaan dengan atrofi otot, sintesis dari serat kolagen juga berkurang. Titin

(protein myofibril) memiliki peran utama sebagai tahanan terhadap perpanjangan

pasif dan meningkat pada saat immobilisasi. Serum creatine kinase dan fibroblast

growth factor yang dilepaskan saat perlukaan pada myofiber ; penurunan kedua factor

ini proporsional dengan berkurangnya serat otot. Myostatin yang menghambat sintesis

protein meningkat saat tirah baring.

Walaupun penyebab utama dari atrofi ialah berkurangnya sintesis protein,

peningkatan ekskresi nitrogen juga ditemukan saat immobilisasi. Berkurangnya massa

otot dan sintesis protein dipercepat oleh mekanisme gastrointestinal, seperti


berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya absorpsi protein di usus. Tirah baring

lama juga dapat meningkatkan ekskresi creatine dan creatinine (mekanisme belum

dimengerti).

B. Hilangnya Kekuatan Otot

Kelemahan otot dapat mengakibatkan berkurangnya daya tahan otot dan toleransi

otot terhadap kerja. Dengan tirah baring total, otot dapat mengalami penurunan

kekuatan sekitar 10% –15 % dari kekuatan awal per minggu. Diatas 5 minggu, pasien

dapat mengalami penuruan kekuatan sebesar 35% - 50%. Kelemahan otot dapat

berlangsung cepat saat hari pertama immobilisasi dan mencapat maksimum 10 – 14

hari kemudian.

Seperti disuse athropy,kelemahan otot lebih terlihat menonjol dai tungkai bagian

bawah dibandingkan dengan tungkai bagian atas. Hilangan kekuatan otot dapat

mencapai 20% – 40% pada ekstensor dan fleksor pada lutut. Namun, hilangnya

kekuatan otot pada tungkai bagian atas tidak mencapai level yang signifikan pada saat

immobilisasi (5%).

C. Hilangnya Daya Tahan Otot

Berbagai penelitian mengatakan bahwa immobilisasi lama atau inaktivitas

dapat menyebabkan berkurangnya daya tahan otot secara progresif. Otot yang tidak

terlatih dapat mengakibatkan penurunan dari penyimpanan ATP dan glycogen.

Berkurangnya sintesis protein otot dan fungsi enzyme oksidatif, serta pengaktifan dari

produksi energy secara anaerob dengan akumulasi asam laktat secara cepat dapat

mengakibatkan terjadinya kelelahan (fatique) dan berkurangnya daya tahan otot.


Selain itu, perubahan bentuk dan ukuran motor end-plate dan disfungsi dari receptor

asetilkoline juga bertanggung jawab terhadap hilangnya kekuatan dan kelemahan otot.

Perubahan metabolik dan enzymatik pada otot yang tidak terlatih terjadi akibat

berkurangnya kebutuhan oksigen dan perubahan pada asupan darah.

Limitasi Fungsional Akibat Otot yang Tidak Terlatih

 Mobilitas dan Aktivitas

o Atrofi dan kelemahan pada quadriceps, pinggul, dan punggung dapat

mengurangi daya tahan otot saat berjalan dan dapat menyebabkan

terjadinya nyeri punggung

 Nyeri dan Kekakuan

 Efek langsung dari immobilisasi otot terhadap sistem kardiovaskular dan sistem

lain.

Pencegahan dan Penatalaksanaan

Kelemahan dan atrofi otot ini dapat dicegah dengan peregangan otot selama

setengah jam setiap harinya. Kelemahan dan atrofi otot ini juga dapat dicegah dengan

penggunaan stimulasi elektris. Program yang dipakai adalah stimulasi rectangular

bifasik sebanyak tiga sesi per hari selama 30 menit.

KONTRAKTUR

Kontraktur adalah kurangnya jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup gerak

sendi yang terjadi karena adanya keterbatasan penggunaan sendi, otot atau jaringan

lunak. Berbagai keadaan dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan sendi,

contohnya nyeri sendi (yang terjadi pada proses peradanagan, trauma, infeksi,
degenerasi dan perdarahan), paralisis, fibrosis jaringan kapsular atau periartrikular,

atau kerusakan otot (polimiositis dan distrofi muskuler) atau faktor mekanis seperti

tirah baring yang tidak tepat.

Faktor tunggal yang paling sering berkontribusi terhadap terjadinya kontraktur

adalah kurangnya mobilisasi sendi dalam lingkup ruang sendi penuhnya. Imobilisasi

sendi yang lama dapat menyebabkan penurunan panjang otot dan pemendekkan

kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lain.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan perkembangan kontraktur,

diantaranya adalah posisi tungkai, durasi imobilisasi, keadaan patologi awal dan

restriksi sendi. Edema, iskemia, perdarahan dan gangguan lain pada lingkungan mikro

sendi dan jaringan periartrikular juga dapat menyebabkan kontraktur. Pada usia tua,

terjadi kehilangan serat otot dan peningkatan relatif dari proporsi jaringan ikat

sehingga dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Pada pasien diabetes melitus,

terjadi perubahan mikrovaskular dan iskemia yang menyebabkan terjadinya

kontraktur terutama pada tangan.

Tulang dan otot merupakan jenis dari dari jaringan ikat, dimana jaringan ikat

memiliki properti mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan makromolekul interseluler

(kolagen) yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler (jeli polisakarida).

Kolagen merupakan protein yang paling banyak terdapat pada tubuh. Terdapat

paling tidak 12 macam kolagen (I-XII) yang telah teridentifikasi. Kolagen disintesis

dari asam amino pada retikulum endoplasma kasar. Setiap jaringan memiliki

komposisi kolagen yang berbeda sehingga terjadi kekhasan pada setiap jaringan.

Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun teratur sesuai dengan arah gerak sehingga

membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril kolagen kemudian memberikan kekuatan

otot. Fibril kolagen kemudian akan beragregasi dalam grup membentuk fasikel.
Sejumlah besar fasikel kemudian membentuk tendon atau ligamen. Perubahan pada

struktur kolagen dapat dipengaruhi oleh enzim, faktor pertumbuhan atau stimuli

mekanis.

Selain kolagen sebagai penyokong utama struktur jaringan ikat, terdapat juga

proteoglikan yang berfingsi untuk lubrikasi sendi.

Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal

berdiferensiasi menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang

kemudian tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada

pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis

dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kurangnya

peregangan, imobilitas dan inaktivitas yang lama. Trauma, perdarahan atau iskemia

juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis kolagen pada otot juga dipengaruhi

level aktivitas otot.

Pemendekkan panjang otot juga dapat terjadi pada orang normal dalam derajat

yang ringan, terutama pada otot-otot yang melewati beberapa sendi. Hal ini

berhubungan dengan faktor mekanis.

Diagnosis kontraktur ditegakkan setelah pemeriksaan lingkup gerak sendi

yang meliputi evaluasi lingkup gerak sendi aktif dan pasif.

Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan menjadi

artrogenik, miogenik dan jaringan lunak.

Tipe kontraktur Penyebab

Artrogenik Kerusakan kartilago (inflamasi, infeksi, trauma,

degenerasi)

Proliferasi jaringan sinovial (efusi)


Fibrosis kapsular

Miogenik Intrinsik (struktural)

Trauma (edema, perdarahan)

Perubahan degeneratif (distrofi muskular)

Iskemik (diabetes melitus, kelainan pembuluh

darah perifer)

Ekstrinsik

Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis,

sklerosis multipel)

Flaccid paralysis

Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan)

Jaringan lunak Gangguan pada jaringan lunak periartrikular

Gangguan pada kulit atau jaringan subkutan (luka

bakar)

Gangguan pada tendon dan ligamen (tendinitis,

bursitis)

Kombinasi Kombinasi ketiganya ditemukan pada satu sendi

Kontraktur dan perubahan jaringan ikat

Jaringan ikat secara konstan digantikan dan reorganisasi selama fase

penyembuhan. Pada area yang sering bergerak, jaringan ikat longgar terbentuk,

sedangkan pada area yang tidak ada atau minim gerakan akan terbentuk jalinan

padat kolagen. Serat kolagen ini akan memendek bila terjadi imobilisasi.

Imobilisasi dapat menyebabkan infiltrasi fibrolipid pada sendi yang bisa matang

menjadi perekat kuat di dalam sendi dan bisa merusak kartilago.


Kontraktur artrogenik

 Proses patologis yang melibatkan sendi dapat menyebabkan tightness dan

fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial disertai rasa sakit yang mengakibatkan

terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur kapsular. ROM pasif selama

arthritis akut dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke dalam kartilago

dan berikatan dengan reseptor di membrane kondrosit dan menghambat

pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi kartilago. Nyeri dan

rusaknya kartilago akibat splinting menurunkan pergerakan sendi dan ROM.

 Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat pemendekan serat

kolagen. Penyebabnya adalah karena stretching yang kurang dan posisi

fleksi. ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan pinggul paing sering

mengalami kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul posterior sendi lutut juga

bisa terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda.

Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak

 Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa menyebabkan

fibrosis dan menjadi kontraktur bila stretching tidak dilakukan. Dalam

kondisi ini serat kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan.

Keterbatasan gerak hanya terjadi pada satu aksis.

 Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama masa penyembuhan,

luka terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan

melawan pemendekan dari jaringan parut.


 Imobilisasi dapat menyebabka perubahan bomekanik dan biokimia pada

ligament. Proses yang terjadi pada ligament selama imobilisasi yaitu

penurunan sintesis kolagen dan peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang

tempat insersi ligamen.

Efek kontraktur pada fungsi fisik

 Kontraktur memiliki 3 efek, yaitu mengganggu pergerakan, aktivitas hidup

sehari-hari, dan pada perawatan kulit

 Kontraktur pada ekstremitas bawah mengubah pola berjalan dan bisa

menghambat ambulasi.

 Kontraktur pinggul : menurunkan ekstensi pinggul, meningkatkan

kemungkinan lordosis lumbar dan kebutuhan energi. Kontraktur pinggul

dapat menyebabkan pemendekan otot hamstring sehingga memfleksikan

lutut, tidak jarang pasien dengan kontraktur pinggul mengalami kontraktur

lutut dan ankle terutama bila tidak dilakukan mobilisasi.

 Kontraktur plantarfleksi menyebabkan hilangnya hentakan kaki dan

abnormal pus-off.

 Keterbatasan pada ekstremitas atas menyebabkan tidak bisa menggapai,

berpakaian, merawat diri, makan dan kemampuan motorik halus lainnya.

 Kontraktur pada banyak sendi mengganggu posisi tidur, berdiri, mobilisasi,

dan mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan

pada kulit.
Hip contracture

Plantarflexion contracture

Bed rest dan nyeri punggung bawah

 Bed rest yang terlalu lama dapat menyebabkan nyeri punggung bawah

melalui mekanisme tightness pada otot punggung dan hamstring atau

kelemahan otot punggung dan abdomen. Adanya pemendekan pada otot-

otot ini akan mengubah alignment spinal dan postur tubuh.

 Imobilisasi osteoporosis spinal juga dapat menyebabkan nyeri punggung .

 Komplikasi bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot

abdomen dan paraspinal serta hamstring.

 Bed rest yang lama tidak memiliki efek terapi pada sindrom nyeri punggung

bawah.
Terapi dan Manajemen kontraktur

 Analisis

Menentukan faktor predisposisi, pengetahuan mengenai efek kontraktur dan

pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM.

 Stretch dan restorasi ROM

Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan

dengan terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch

selama 20-30 menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih

berat. Terapi akan lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada

musculotendinous junction atau kapsul sendi, menggunakan ultrasound

menghangatkan jaringan hingga suhu 40-43 C dapat meningkatkan sifat kental

jaringan ikat dan memaksimalkan efek stretching.

 Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial

cast (pembalutan dengan plaster atau polymer bandage dengan bantalan

pada tonjolan tulang)

Prinsip dasar pencegahan dan pengobatan kontraktur

Pencegahan

Posisi tidur yang benar, resting splint

Latihan ROM (aktif atau pasif)

Mobilisasi dini dan ambulasi

CPM (continuous passive motion)


Pengobatan

ROM pasif dengan terminal stretch

Stretch lama dan pemanasan

Progresif splinting, casting

Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf dengan botox A

Intervensi bedah (eg. Pemanjangan tendon, osteotomi dan penggantian sendi).

Pencegahan Kontraktur

 Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai,

posisi yang benar, program latihan mobilisasi.

 Pasien sebaiknya mulai ambulasi segera setelah kondisi medisnya membaik.

Namun, bila bed rest tetap harus dilakukan maka posisi tidur yang benar

harus diterapkan.

 Matras yang kuat diperlukan untuk mencegah badan pasien melengkung

atau merosot serta menghindari fleksi pinggul yang berlebihan.

 Footboard diletakkan 4 inchi dari ujung matras, untuk menghindari tekanan

pada tumit.

 Tempat tidur memiliki pegangan atau rel disampingnya sebagai pegangan

bagi pasien untuk mobilisasi dan duduk.

 Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang

fungsional. Bantal pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi

netral. Palmar roll untuk mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada

posisi optimal. Trochanter roll untuk mencegah rotasi eksternal yang

berlebihan pada sendi pinggul.


Latihan Fungsional

 Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain. Stimulasi elektrik

pada otot yang parese untuk melatih kekuatan otot.

Imobilisasi osteoporosis

 Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak

terdapat aktivitas otot

 Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat

cepat pada wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause

 Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan

hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan

metafisis tulang panjang. Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang

belum diketahui. Osteoporosis ini dapat dicegah dengan latihan isotonic

atau isometric, ambulasi.

 Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan

hiperkalsiuria. Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual,

muntah, konstipasi, bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati

dengan hidrasi dengan normal salin dan dieresis furosemid.

 Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.


KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR

 Komplikasi kardiovaskular dari immobilisasi adalah peningkatan denyut jantung,

penurunan cardiac reserve, hipotensi ortostatik, dan venous thromboembolism.

Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve

 Pada immobilisasi denyut jantung meningkat (umumnya menjadi 80 bpm),

kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest

denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya

denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan

waktu ejeksi sistolik juga memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon

kebutuhan metabolik lebih banyak. Semakin pendek waktu diastolic menyebabkan

aliran darah koroner berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung

sangat terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan

berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan

takikardi dan angina, ini merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.

 Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya

tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan

sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada

ekstremitas bawah.

Hipotensi Ortostatik
 Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara

normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu

bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan

denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi

berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang.

 Biasanya hipotensi ortostatik memiliki tanda berupa meningkatnya denyut nadi lebih

dari 20 bpm dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah

terkumpul di kaki.

 Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan

ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan stocking elastic.

Venous Thromboembolism

 Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juda

karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti

penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam

terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena

yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi

emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest

berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis vena dalam.

 Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala.

Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan,

distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari

50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil
venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan

menggunakan USG Doppler, impedance plethysmography, dan venografi kontras

(gold standar).

 Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspne, takipne,

takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang

kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus

yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan

dengan kelainan jantung bisa dilakukan EKG.

 Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi

seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan

kompressin mekanis. Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan

dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan antikoagulan seperti

warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan

ambulasi dengan baik. Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa

penggunaan heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral

antikoagulan, dan dextran.

PERUBAHAN PADA SISTEM GENITOURINARI

 Bed rest lama akan meningkatkan insidensi batu ginjal, kandung kemih, dan infeksi

traktus urinarius. Hiperkalsiuria adalah penemuan tersering pada pasien yang

mengalami immobilisasi. Selain kalsium, ekskresi fosfor dalam urin juga meningkat.

Dalam posisi berbaring, urin harus mengalir naik dari renal collecting system menuju

ureter. Pasien sering mengeluh kesulitan untung memulai buang air kecil saat
berbaring. Akibatnya akan ada incomplete voiding yang menyebabkan stagnasi urin.

Ketika pengosongan kandung kemih tersebut tidak sempurna akan terjadi peningkatan

risiko terbentuknya batu. Umunya jenis batu yang terbentuk adalah struvat dan

carbonate apatite (15-30% pasien yang immobilisasi). Batu kandung kemih ini akan

mengiritasi dan menyebabkan trauma pada mukosa, menyebabkan infeksi lebih

mudah terjadi. Jika bakterinya memiliki urease, makan akan terbentuk presipitat

kalsium dan magnesium yang dapat menjadi batu jenis lainnya.

 Pencegahan munculnya batu tersebut antara lain dengan pemberian asupan cairan

yang cukup, membiasakn diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan

pencegahan kontaminasi instrumen (kateter). Sedangkan untuk terapi bisa

menggunakan asidifikasi urin dengan vitamin C, antiseptic urinary, dan pada pasien

yang risiko terbentuknya batu lebih tinggi bisa diberikan inhibitor urease. Untuk

terapi jika batu sudah terbentuk adalah dengan litiotripsi ultrasonic. Pemberian

antibiotik juga diharuskan jika terdapat infeksi saluran kemih. Pada pasien yang sudah

dapat bergerak, sangat dianjurkan untuk melepaskan kateter dan membiasakan diri

buang air kecil sambil duduk/berdiri.

PERUBAHAN PADA SISTEM GASTROINTESTINAL

 Immobilisasi bisa menyebabkan perubahan pada sistem gastrointestinal berupa

kehilangan nafsu makan, kecepatan absorpsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia.

Pasase makanan melalui esophagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi

berbaring. Oleh karena itu disaranakan untuk pasien yang belum bisa duduk sempurna

untuk menggikan badan dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan. Konstipasi

merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien immobilisasi, karena
pada keadaan immobile akan ada peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan

peristaltik terhambat. Berkurangnya volume plasma juga dapat memperparah

konstipasi.

 Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan.

Penggunaan stool softener juga dapat membantu. Pemberian obat-obatan golongan

narkotik juga sebaiknya dibatasi karena bisa memperlambat peristaltis.

PERUBAHAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT

 Immobilitas yang lama dapat menyebabkan perubahan keseimbangan sodium, sulfur,

fosfor, dan potassium. Penurunan sodium terjadi pada awal bed rest. Level sodium

dalam serum tidak berhubungan dengan keparahan hipotensi ortostatik yang terjadi.

Hiponatremi pada orang tua dapat menyebabkan letargi, disorientasi, anorexia,

bahkan kejang.

 Penurunan kadar potassium terjadi secara progresif pada minggu-minggu awal bed

rest. Selain hiponatremia dan hipokalemia juga terdapat hiperkalsemia.

GANGGUAN HORMONAL

 Kurangnya aktivitas fisik mengubah kepekaan tubuh terhadap hormon dan enzim.

Pada awal immobilitas (3 hari pertama) dapat terjadi intoleransi karbohidrat yang

signifikan, uptake glukosa perifer bisa berkurang hingga 50% sampai hari ke-14.

Penyebab intoleransi ini bukan karena kurangnya insulin, namun karena


meningkatnya resistensi jaringan terhadap insulin. Pada pemeriksaan darah akan

didapati hasil hiperglikemia dan hiperinsulinemia.

 Selain insulin juga terjadi peningkatan hormon paratiroid, yang menyebabkan

hiperkalsemia dan hormon T3. Beberapa hormon lain yang juga mengalami

perubahan adalah androgen, hormon pertumbuhan, dan adrenokortikotropik.

PERUBAHAN PADA SISTEM SARAF

 Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien yang

immobilisasi lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga

menyebabkan kelabilan emosional pada pasien, tanpa diserai penurunan fungsi

intelektual. Perubahan konsentrasi, orientasi tempat dan waktu, gelisah, kecemasan,

depresi, penurunan ambang batas nyeri, insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi

pada pasien yang immobilisasi lebih dari 2 minggu. Berkurangnya konsentrasi dan

motivasi, depresi, dan berkurangnya kemampuan psikomotor dapat mencegah

tercapainya hasil terapi yang optimal.

 Untuk pencegahan, diperlukan stimulasi fisik dan psikososial yang sesuai mulai dari

awal immobilisasi. Kontak dengan keluarga dan rekan kerja pada sore hari dan akhir

minggu dapat memperbaiki hasil.

Anda mungkin juga menyukai