Anda di halaman 1dari 118

Apr

11

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK


DENGAN MENINGITIS

A. Pengertian
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column
yang menyebabkan proses infeksi pada system syaraf pusat. (Suriadi, 2001).
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges dan CSF (Wong, 2003).

B. Etiologi
 Bakteri
Pada neonatus, organisme primer penyebab meningitis adalah basil enteric gram negatif, batang
gram negatif dan streptokokus grup B. Pada anak yang berusia 3 bulan sampai 5 tahun,
organisme primer penyebab meningitis adalah haemophilus influenzae tipe B. Meningitis pada
anak yang lebih besar umumnya disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis atau infeksi
stafilokokus.
 Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
 Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak yang mendapat
obat-obat imunosupresi
 Anak dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
system persarafan.

C. Patofisiologi
Mikroorganisme penyebab dapat masuk mencapai membran meningen dengan cara
hematogen atau limfogen, perkontuinitatum, retrograd melalui saraf perifer atau dapat langsung
masuk CSF.
Protein di dalam bakteri sebagai benda asing dapat menimbulkan respon peradangan.
Neutropil, monosit, limfosit dan yang lainnya merupakan sel – sel sebagai respon peradangan.
Eksudat yang terbentuk terdiri dari bakteri – bakteri fibrin dan lekosit yang dibentuk di ruang sub
arachnoid. Penambahan eksudat di dalam ruang sub arachnoid dapat menimbulkan respon
peradangan lebih lanjut dan meningkatkan tekanan intra cranial. Eksudat akan mengendap di
otak, syaraf-syaraf spinal dan spinal. Sel – sel meningeal akan menjadi edema dan membran sel
tidak dapat lebih panjang lagi untuk mengatur aliran cairan yang menuju atau keluar dari sel.
Vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat terjadi, sehingga dapat menimbulkan ruptur
atau trombosis dinding pembuluh darah. Jaringan otak dapat menjadi infark, sehingga dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut. Proses ini dapat menimbulkan
infeksi sekunder dari otak jika bakteri makin meluas menuju jaringan otak sehingga
menyebabkan encephalitis dan ganggguan neurologi lebih lanjut (Wong, 2003 dan Pillitteri,
1999).
D. Manifestasi Klinis
1. Neonatus
 Demam
 Letargi
 Iritabilitas
 Refleks hisap buruk
 Kejang
 Tonus buruk
 Diare dan muntah
 Fontanel menonjol
 Opistotonus
2. Bayi dan anak kecil
 Letargi
 Iritabilitas
 Pucat
 Anoreksia
 Mual dan muntah
 Peningkatan lingkar kepala
 Fontanel menonjol
 Kejang
3. Anak lebih besar
 Sakit kepala
 Demam
 Muntah
 Iritabilitas
 Fotofobia
 Kaku kuduk dan tulang belakang
 Tanda Kernig positif
 Tanda Burzinski positif
 Opistotonus
 Konfusi
 Kejang

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pungsi lumbal dan kultur CSS
 Jumlah leukosit (CBC) meningkat
 Kadar glukosa darah menurun
 Protein meningkat
 Tekanan cairan meningkat
 Asam laktat meningkat
 Glukosa serum meningkat
 Identifikasi organisme penyebab
2. Kultur darah, untuk menetapkan organisme penyebab
3. Kultur urin, untuk menetapkan organisme penyebab
4. Kultur nasofaring, untuk menetapkan organisme penyebab
5. Elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi ; Na+ naik dan K+ turun
6. Osmolaritas urin, meningkat dengan sekresi ADH

F. Komplikasi
 Hidrosefalus obstruktif
 Meningococcal septicemia (meningocemia)
 Sindrom Water-Friderichsen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
 SIADH (Syndrome Inappropiate AntidiureticHormone)
 Efusi subdural
 Kejang
 Edema dan herniasi serebral
 Cerebral Palsy
 Gangguan mental
 Attention deficit disorder
 Tuli
 Buta
G. Penatalaksanaan
 Isolasi
 Terapi antimikroba : antibiotik yang diberikan didasarkan pada hasil kultur, diberikan dengan dosis
tinggi
 Mempertahankan hidrasi optimum : mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan
yang dapat menyebabkan edema serebral
 Mencegah dan mengobati komplikasi : aspirasi efusi subdural (pada bayi), terapi heparin pada anak
yang mengalami DIC
 Mengontrol kejang : pemberian anti epilepsi
 Mempertahankan ventilasi
 Mengurangi meningkatnya tekanan intra kranial
 Penatalaksanaan syok bakterial
 Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim
 Memperbaiki anemia

H. Pengkajian keperawatan
 Riwayat keperawatan : riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma, riwayat pembedahan pada
otak, cedera kepala
 Pengkajian neurologik
 Kaji status hidrasi
 Kaji adanya defisit sensoris
 Kaji respon keluarga
I. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Nyeri kepala b.d peningkatan tekanan intra kranial
2. Hipertermia b.d proses infeksi
3. Perubahan persepsi sensori b.d penurunan tingkat kesadaran
4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
5. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah

J. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri kepala b.d peningkatan tekanan kranial
Kriteria hasil : Anak akan melaporkan nyeri kepala hilang atau terkontrol
Intervensi/rasional :
 Ciptakan lingkungan yang tenang
Rasional : Mengurangi reaksi terhadap stimulan dari lingkungan
 Tingkatkan tirah baring
Rasional : Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri
 Dukung untuk menentukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit
Rasional : menurunkan iritasi meningeal
 Kolaborasi : pemberian analgetik
Rasional : menghilangkan nyeri yang berat
2. Hipertermi b.d proses infeksi
Kriteria hasil : suhu badan anak dalam batas normal
Intervensi /rasional :
 Ukur suhu badan anak setiap 4 jam
Rasional : suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius
 Pantau suhu lingkungan
Rasional : Untuk mempertahankan suhu badan mendekati normal

 Berikan kompres hangat


Rasional : Untuk mengurangi demam
 Berikan selimut pendingin
Rasional : Untuk mengurangi demam lebih dari 39,5 0C
 Kolaborasi dengan tim medis : pemberian antipiretik
Rasional : Untuk emngurangi demam dengan aksi sentralnya di hipotalamus
3. Perubahan persepsi sensori b.d penurunan tingkat kesadaran
Kriteria hasil : Mempertahankan fungsi persepsi
Intervensi/rasional :
 Kaji tingkat kesadaran sensorik
Rasional : Tingkat kesadaran sensorik yang buruk dapat meningkatkan resiko terjadinya injury
 Kaji reflek pupil, extraocular movement, respon terhadap suara, tonus otot dan reflek-reflek tertentu
Rasional : Penurunan reflek menandakan adanya kerusakan syaraf dan dapat berpengaruh terhadap
keamanan pasien
 Hilangkan suara bising
Rasional : Menurunkan stimulan dari lingkungan
 Bicara dengan suara yang lembut dan pelan
Rasional : dapat membantu pasien dalam berkomunikasi
4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral Kriteria hasil :
Perfusi jaringan serebral maksimal
Intervensi :
 Observasi tingkat kesadaran dan nilai status neurology setiap 1-2 jam
Rasional : Berguna untuk menentukan lokasi dan luasnya penyebaran kerusakan serebral
 Kaji adanya regiditas nukal, gemetar, kegelisahan yang meningkat, kejang
Rasional : Merupakan indikasi iritasi meningeal
 Pantau tanda vital
Rasional : kehilangan fungsi autoregulasi mungkin dapat mengikuti kerusakan vascular serebral
 Pantau pola dan irama pernafasan
Rasional : dapat mengindikasikan peningkatan TIK
 Berikan waktu istirahat antara aktivitas perawatan dan batasi lamanya tindakan
Rasional : untuk mencegah kelelahan yang dapat meningkatkan TIK
 Kolaborasi dengan tim medis : pemberian steroid, asetaminofen
Rasional : Dapat menurunkan permeabilitas kapiler sehingga pembentukan edema serebral dapat
diminimalkan
5. Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah
Kriteria hasil : Masukan nutrisi adekuat
Intervensi/rasional :
 Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi
Rasional : Berpengaruh terhadap pemilihan jenis makanan
 Timbang BB setiap hari
Rasional : Menunjukkan status nutrisi
 Auskultasi bising usus
Rasional : Menentukan respon makan atau berkembangnya komplikasi
 Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan
 Kolaborasi dengan tim gizi
Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan nutrisi pasien

K. Discharge Planning
 Ajarkan pada orang tua tentang pemberian obat dan pemantauan efek samping
 Ajarkan bagaimana untuk mempertahankan nutrisi yang adekuat ; makanan rendah lemak
 Jelaskan pentingnya istirahat
 Ajarkan cara mencegah infeksi
 Ajarkan pada orang tua untuk memantau komplikasi jangka panjang serta tanda dan gejalanya
Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto
0

Tambahkan komentar

askep anak

 Klasik
 Kartu Lipat
 Majalah
 Mozaik
 Bilah Sisi
 Cuplikan
 Kronologis
1.

Apr

11

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

2.

Apr

11

Acute Nonlymphoid (myelogenous)


Leukemia (ANLL atau AML)

A. Definisi
Acute Nonlymphoid (myelogenous) Leukemia (ANLL atau AML) adalah salah
satu jenis leukemia; dimana terjadi proliferasi neoplastik dari sel mieloid
(1,2)
(ditemukannnya sel mieloid : granulosit, monosit imatur yang berlebihan). AML
meliputi leukemia mieloblastik akut, leukemia monoblastik akut, leukemia mielositik
akut, leukemia monomieloblastik, dan leukemia granulositik akut (1)
B. Penyebab
Seperti halnya leukemia jenis ALL (Acute Lymphoid Leukemia), etiologi AML
sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, diduga karena virus (virus
onkogenik). Faktor lain yang turut berperan adalah :

1. Faktor endogen

Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom (resiko terkena AML meningkat pada
anak yang terkena Down Sindrom), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus
leukemia pada kakak beradik atau kembar satu telur).

2. Faktor eksogen

Seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, bahan kimia (Benzol, Arsen, preparat
Sulfat), infeksi (virus, bakteri).

C. Tanda dan Gejala


1. Hipertrofi ginggiva

2. Kloroma spinal (lesi massa)

3. Lesi nekrotik atau ulserosa perirekal

4. Hepatomegali dan splenomegali (pada kurang lebih 50% anak)

5. Manifestasi klinik seperti ALL , yaitu

a. Bukti anemia, perdarahan, dan infeksi : demam, letih, pucat, anoreksia, petekia
dan perdarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas, berat
badan menurun, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem
retikuloendotelial (hati , limpa, dan limfonodus)
b. Peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meninges : nyeri dan kaku
kuduk, sakit kepala, iritabilitas, letargi, muntah, edema papil, koma.

c. Gejala-gejala sistem saraf pusat yang berhubungan dengan bagian sistem yang
terkena; kelemahan ekstremitas bawah, kesulitan berkemih, kesulitan belajar,
khususnya matematika dan hafalan (efek samping lanjut dari terapi).

D. Patofisiologi dan Pathways


Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat. Normalnya,
produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan tubuh. Apabila
mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan membelah diri
sampai ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik
dapat terjadi karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.

Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum tulang.
Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen (kelenjar
limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum
tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan
dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan
kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada
kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini
neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke
seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.

Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai


berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai
struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam
tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya
sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila
struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut
akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat
tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A
(Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik,
sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang
lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi
granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di
sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang.
Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat
pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat
leukemia meningeal.
E. Komplikasi
1. Gagal sumsum tulang

2. Infeksi

3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC)

4. Splenomegali

5. Hepatomegali

F. Pemeriksaan Diagnostik

1. Hitung darah lengkap (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat
didiagnosis, memiliki prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari
50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.

2. Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP.

3. Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum

4. Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat diagnosis.

5. Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang.

6. Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik

7. Jumlah trombosit, menunjukkan kapasitas pembekuan.


G. Penatalaksanaan
Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada
anak. Proses remisi induksi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan
rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai
agens kemoterapi untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2-3 minggu
selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem syaraf pusat dan oragan
vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk
memperpanjang remisi. Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah
prednison, vinkristin, asparaginase, metrotreksat, merkaptopurin, sitarabin, alopurinol,
siklofosfamid, dan daunorubisin.

Pengkajian Keperawatan

1. Kaji adanya manifestasi klinik AML (kelelahan, nyeri, pucat, anoreksi,


perdarahan, penurunan berat badan, letargi, hipertropi ginggiva, ulserosa
perirektal, dll)

2. Kaji reaksi anak terhadap kemoterapi : diare, anoreksia, mual, muntah, retensi
cairan, hiperuremia, demam, stomatitis, ulkus mulut, alopesia, nyeri, dll

3. Kaji adanya tanda dan gejala infeksi : peningkatan leukosit, demam, peningkatan
LED

4. Kaji adanya tanda dan gejala hemoragi

5. Kaji adanya tanda dan gejala komplikasi : somnolens radiasi, gejala SSP, lisis sel.

6. Kaji koping anak dan keluarga.

H. Diagnosa Keperawatan

1. Intoleransi aktivitas

2. Resiko tinggi infeksi

3. Kelebihan volume cairan


4. Kerusakan integritas jaringan

5. Resiko tinggi perubahan nutrisi

6. Resiko tinggi cedera

7. Gangguan citra diri

8. Ansietas

9. Resiko tinggi penurunan curah jantung

10. Resiko tinggi keletihan

11. Resiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan

12. Resiko tinggi perubahan proses keluarga

13. Resiko tinggi penatalaksanaan aturan pengobatan yang tidak efektif

I. Intervensi Keperawatan
1. Pantau anak untuk mengetahui reaksi terhadap pengobatan

2. Pantau adanya tanda dan gejala infeksi :

a. Waspadai bahwa demam adalah tanda yang terpenting dari infeksi

b. Obati semua anak seakan-akan mereka semua menderita neutropeni sampai


diperoleh hasil test. Isolasi mereka dari pasien klinik lainnya, terutama anak-
anak dengan penyakit infeksi, khususnya varisela.
c. Minta anak tersebut memakai masker bila bersama dengan orang lain dan bila
menderita neutropeni berat ( leukosit kurang dari 1000/mm3).

d. Waspadai bahwa jika seorang anak menderita neutropeni, ia tidak boleh


menjalani kemoterapi. Anak tsb dapat menerima antibiotik Ivjika demam juga
terjadi (lebih banyak pasien yang meninggal karena infeksi daripada karena
penyakitnya).

3. Pantau adanya tanda dan gejala hemoragi

a. Periksa adanya memar dan petekia pada kulit

b. Periksa danya mimisan dan gusi berdarah

c. Jika diberi suntikan, tekan bekas tusukan lebih lama dari biasanya (kira-kira 3-
5 menit) untuk memastikan perdarahan telah berhenti. Perikas lagi untuk
memastikan bahwa tidak ada perdarahan lagi.

4. Pantau adanya tanda gejala komplikasi

a. Somnolens radiasi : dimulai 6 minggu setelah menerima radiasi kraniospinal, anak


menunjukkan keletihan berat dan anoreksia selama kira-kira 1-3 minggu. Orang tua
sering kali mersa khawatir tentang terjadinya kambuhan pada saat ini dan perlu untuk
diyakinkan.

b. Gejala SSP : sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda, muntah. Gejala-gejala
tersebut dapat mengindikasikan keterlibatan SSP.

c. Gejala pernafasan : batuk, kongesti paru, dispnea. Gejala-gejala tersebut


mengindikasikan adanya pneumositis atau infeksi pernafasan lainnya.

d. Lisis sel : lisis sel yang cepat setelah kemoterapi dapat mempengaruhi kimia
darah, mengakibatkan peningkatan Kalsium dan Kalium.
5. pantau adanya kekhawatiran dan ansietas tentang diagnosis kanker dan
hubungannya dengan pengobatan; pantau respon emosional seperti marah,
menyangkal, kesedihan

6. Pantau adanya gangguan dalam fungsi keluarga

a. Dasar semua intervensi pada latar belakang budaya, agama pendidikan, dan
sosial ekonomi keluarga

b. Libatkan saudara kandung sebanyak mungkin dalam perawatan karena mereka


sangat prihatin terhadap perubahan yang terjadi pada anak yang sakit dan fungsi
keluarga

c. Pertimbangkan kemungkinan bahwa saudara kandung merasa bersalah dan


disalahkan

d. Tingkatkan keutuhan keluarga dengan memberi kebebasan jam kunjung selama


24 jam bagi semua anggota keluarga.

J. Hasil yang Diharapkan


1. Anak mencapai remisi

2. Anak bebas dari komplikasi penyakit

3. Anak dan keluarga mempelajari tentang koping yang efektif untuk menghadapi
hidup dan penatalaksanaan penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Whaley’s and Wong. Essential of Pediatric Nursing. Sixth Edition. USA : Mosby.
2000.

2. Betz, CL & Sowden, LA. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2002.

3. Whaley’s and Wong. Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby.
2001.

4. Joyce Engel. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999

5. Brunner& Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta
: EGC. 2002.
6. Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. 1995

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

3.

Apr

11

Asuhan Keperawatan dengan gangguan


Thalasemia

Asuhan Keperawatan pada An. B dengan gangguan Thalasemia

I. Identitas Klien

 Nama : An.B

 TTL : 10 Juni 1995

 Usia : 10 tahun

 Nama Ayah : Tn. S


 Pekerjaan : Guru

 Pendidikan : Sarjana

 Nama ibu : Ny. R

 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

 Pendidikan : SMA

 Agama : Islam

 Suku Bangsa : Jawa

 Alamat : Perumahan Miranti 53 Purworejo Jateng

 Tanggal masuk : 5 Juni 2005

 Tanggal pengkajian: 7 Juni 2005

II. Keluhan Utama


Muka pucat dan badan terasa lemah, tidak bisa beraktifitas dengan normal

III. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit sekarang

Klien datang ke Poliklinik anak RS. Dr Sardjito dengan keluhan muka pucat dan
badan terasa lemah. Klien adalah penderita Talasemia  mayor, terdiagnosis 2 tahun
yang lalu. Hasil pemeriksaan laboratorium Hb 5,2 gr/dl,leuko 9200/mmk,Trombosit
284.000,segmen 49 %,Limfosit 49%,batang 1%. Atas keputusan dokter akhirnya klien
dianjurkan rawat inap di Ruang B4 untuk mendapatkan tranfusi.

IV. Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran

1. Prenatal : Selama hamil ibu klien memeriksakan kehamilannya secara teratur di


RS Islam Jakarta sebanyak 15 kali,Ibu mendapat multivitamin dan zat besi,Imunisasi TT
1x dan selama kehamilan tidak ada keluhan.

2. Intra natal : Anak lahir pada umur kehamilan cukup bulan,lahir di puskesmas
setempat secara spontan, pervaginam letak sungsang,lahir langsung menangis BBL
2900 gram dan PB 51 cm dan kondisi saat lahir sehat.

3. Post natal : Pemeriksaan bayi dan masa nifas dilakukan di RS Puskesmas


setempat. Kondisi klien pada masa itu sehat .

V. Riwayat Masa Lampau.

1. Penyakit waktu kecil : Pada waktu kecil klien jarang sakit dan setelah berumur
2 tahun ketahuan anak menderita Talasemia.

2. Pernah dirawat dirumah sakit : Anak sering dirawat di RS karena Talasemia terakhir
Bulan Oktober 2004

3. Obat-obatan yang digunakan : Anak belum pernah diberikan obat sendiri selain dari
petugas kesehatan

4. Tindakan (operasi) : Belum pernah pernah dilakukan operasi pada An. B

5. Alergi : Tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat-obatan

6. Kecelakaan : Anak belum pernah mengalami kecelakaan


7. Imunisasi : Lengkap

 Hepatitis B I,II,III umur 12 bulan,14 bulan dan 20 bulan

 BCG 1 Kali umur 1 bulan

 DPT I,II,III umur 2,3,4 bulan

 Polio I,II,III,IV umur 2,3,4,5 bulan

 Campak 1 kali umur 9 bulan

VI. Riwayat Keluarga ( Genogram)


3

Keterangan : …… Tinggal dlm satu rumah : Klien : Laki-laki

: Perempuan

VII. Kesehatan Fungsiolnal.

1. Pemeliharaan dan persepsi kesehatan :

Orang tua klien bila anaknya sakit selalu memeriksakan kesehatan anaknya pada
petugas kesehatan di Rumah Sakit.
2. Nutrisi :

Makanan yang disukai : Anak suka makan nasi dengan daging ayam

Alat makan yang dipakai : Sendok dan piring

Pola makan/jam : Selama di RS anak makan 3 kali sehari masing-


masing habis setengah porsi

Jenis makanan : Nasi TKTP

3. Aktivitas

Aktivitas klien di RS terbatas di tempat tidur, berbaring, duduk dan membaca buku
di tempat tidur.

4. Tidur dan istirahat

 Pola tidur : Anak tidur cukup 8-9 jam

 Kebiasaan sebelum tidur : Tidak ada kebiasaan khusus

Tidur siang : Anak tidur siang 1-2 jam

5. Eleminasi :
 BAB : Anak BAB 1 kali sehari konsistensi lembek warna kecoklatan

 BAK : Anak BAK 6-8 kali sehari warna kuning.

6. Pola hubungan

 Yang mengasuh : Anak diasuh sendiri oleh orang tuanya

 Hubungan dengan anggota keluarga: baik

 Hubungan anak dengan orang tua : baik

 Pembawaan secara umum : Anak berpenampilan rapi

 Lingkungan rumah : Lingkungan rumah bersih,rumah


permanen milik sendiri ventilasi cukup sinar matahari cukup,lantai keramik
atap genteng.

7. Koping keluarga :

 Stressor pada anak/keluarga : Anak dan keluarga cukup familiar dengan


petugas dan rumah sakit karena sudah sering dirawat di RS.

8. Kongnitif dan persepsi

 Pendengaran : Anak tidak mengalami gangguan pendengaran

 Penglihatan : Penglihatan anak normal

 Penciuman : Penciuman anak baik


 Taktil dan pengecapan : Anak dapat membedakan halus dan kasar.

9. Konsep diri :

Selama ini anak merasa tidak ada masalah dengan penampilan dan pergaulannya
dengan teman-temannya. Klien termasuk anak yang mudah bergaul dan disukai oleh
teman-temannya.

10. Seksual :

Anak berjenis kelamin laki-laki tidak ada kelainan genetalia.

11. Nilai dan kepercayaan :

Anak dilahirkan pada lingkungan keluarga beragama Islam,rajin dan sudah


mulai belajar untuk beribadah secara aktif. Keluarga memberikan kesempatan pada
anak untuk aktif dalam kegiatan TPA di tempat tinggalnya.

VIII. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : KU lemah,kesadaran CM.

 TB/ BB/ : 125 Cm/23 Kg

 Lingkar kepala : 54 Cm

 Mata : Conjuctiva anemis,Sklera ikterus

 Hidung : Tidak ada kelainan,Discharge (-)


 Mulut : Mukosa mulut pucat ,mulut bersih.gigi caries (+)

 Telinga : Tidak ada kelainan,discharge (-)

 Tengkuk : Tidak ada kaku kuduk dan tidak ada pembesaran kel.limfe

 Dada : Bentuk simetris, Ictus cordis tak tampak

 Jantung : Bunyi Jantung I S1 tunggal, S2 split tak konstan,bising


jantung (-)

 Paru-paru : Suara nafas vesikuler,Wheezing tidak ada

 Perut : Pembesaran Hepar tak teraba, Pembesaran Lien : (+)

Distensi abdomen(-),kembung(-), peristaltic usus (+)

 Genetalia : Genetalia tak ada kelainan

 Ekstremitas : Tangan kanan terpasang infus, gerakan ekstemitas


bebas, tonus otot normal, tidak ada edema,akral agak
dingin

 Kulit : Kulit bersih,turgor kulit normal,hiperpigmentasi (-)

 Tanda vital : Suhu 36,4C, Nadi 94x/mnt, Respirasi 24 x/mnt

IX. Keadaan Kesehatan Saat Ini.

1. Diagnosa medis : Talasemia 


2. Tindakan operasi :-

3. Status nutrisi : Diit TKTP 3 x 1 porsi, FCM 2 x 200 cc

Menurut NCHS BB : 23/33,3 x 100% = 69,06% (Gizi Kurang)

4. Status cairan : Melalui oral (minum)  1000cc/hari dan melalui infus dan
darah 800 cc/hari. Total kebutuhan cairan anak 1800 cc/hari.

5. Obat-obatan : Infus KaEN3B

Asam Folat 1 x 5mg

Transfusi PRC 4 kolf

Disferal 500 mg dalam 200 cc Nacl

6. Aktivitas : Berbaring dan duduk serta membaca buku di tempat tidur

7. Tindakan keperawatan : Observasi TTV dan KU penderita, memberi Transfusi PRC


dan mengawasi reaksi transfusi, membantu memberi makan
minum dan obat oral,mengevaluasi asupan nutrisi,membantu
ADL,merawat infus, dan mengambil darah untuk pemeriksaan
laboratorium

8. Hasil laboratorium :

Tanggal Mei 2005 : HGB = 5,2 gr/dl AL = 9200/mmk


Trombosit = 284.000 Segmen = 49%,Limfosit 49%,batang
1%, Normoblast 25/100 leuko.

Tanggal Mei 2005: HGB = 10,2 gr/dl , HCT = 34%

9. Hasil Rontgen : Tidak dilakukan


XII .Analisa Data

NO DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH


1 Data Subyektif Proses penyakit PK. Anemia
Ibu mengatakan
badan anaknya
terasa lemah

Data Obyektif

 Muka pucat
 Conjunctiva anemis
 Mukosa bibir pucat
 Hb 5,2 gr/dl
2 Data Subyektif tidakseimbangan Fatigue/Kelemahan
Anak mengeluh kebutuhan
badannya terasa pemakaian dan
lemah suplai
Data Obyektif oksigen/penurunan
 Aktivitas kebutuhan intake nutrisi
sehari-hari
dibantu/ADL dibantu
 Skala ADL : 2
3. Data Subyektif : - Tindakan invasive Risiko Infeksi
dan penurunan
Data Obyektif daya tahan tubuh

 Terpasang infus
 Anak
anemis(conjuctiva
dan membran
mukosa pucat)
 Hb : 5,2 gr/dl
4. Data Subyektif Intake inadequat Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
- Ibu mengatakan kebutuhan
nafsu makan
anaknya menurun

Data Obyektif

 Porsi makanan yang


disediakan hanya
habis ½ porsi
 Menurut NCHS BB :
23/33,3 x 100% = 69
% (Gizi kurang)

XIII. Diagnosa Keperawatan yang muncul:


1. PK. Anemia b.d berkurangnya proses penyakit
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Intake inadequat
3. Fatique/Kelemahan berhubungan dengan ketidakseimbangan kebutuhan
pemakaian dan suplai oksigen/penurunan intake nutrisi
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur/tindakan invasive/penurunan status
imunitas klien.
IX. Rencana Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan (NOC) (NIC)
1. PK Anemia Dapat Monitor
meminimalkan  TD minimal 3 kali
atau seminggu
mengatasi  Kadar HMT dan
komplikasi retikulosit setiap
anemia minggu
selama  Fe, kapasitas ikatan Fe
perawatan total dan nilai feritin
3x24 jam total
ditandai  Kalium serum
dengan :  Status Fe
 Kadar aluminium
 Hb > atau  Anjurkan untuk
sama dengan menyingkirkan antasida
10 gr% luminium
 Toleransi  Resiko kehilangan
terhadap darah
aktifitas  Kaji penyebab yang
 Konjungtiva mendasari
tidak anemis Pantau tanda dan gejala
 Tidak sianosis anemia
 Hb < 10gr/dl
 Wajah pucat,sklera
icteric, konjungtiva
anemis
 Perubahan fungsi
mental, gelisah
 Kulit dingin, lembab
 Gangguan
hemodinamik
Kolaborasi dokter untuk
pemberian
 Terapi intravena,
tranfusi darah dan diet

2. Ketidakseimbangan Keseimbangan Nutrient management


nutrisi kurang dari nutrisi dapat  Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh tercapai terhadap makanan
b/d intake setelah  Kolaborasi dengan ahli
inadequat dilakukan gizi jumlah kalori dan
tindakan tipe nutrisi yang
keperawatan dibutuhkan.
selama 3x24 Anjurkan meningkatkan
jam ditandai intake kalori, Fe, dan vit
dengan: C k/p
 Tidak terjadi  Monitor jumlah kalori
penurunan dan intake nutrisi
atau  Bantu klien menerima
peningkatan program nutrisi yang
BB dengan dibuat dirumah sakit
cepat Nutrient konseling
 Turgor kulit  Komunikasi terapeutik
normal tanpa  Bina hubungan saling
udema percaya
 Kadar albumin  Kaji pola kebiasaan
plasma 3,5-5,0 makan sebelum sakit
gr/dl  Diskusikan makanan
 Melaporkan kesukaan dan tidak
peningkatan disukai
selera makan
 Evaluasi kemajuan
program modifikasi diet
(tujuan)
3. Resiko Infeksi Pasien Infection Control
menunjukkan  Terapkan pencegahan
kontrol universal
terhadap  Berikan hiegine yang
resiko setelah baik lingkungan atau
dilakukan personal
perawatan  Batasi jumlah
3x24 jam pengunjung dan
dengan anjurkan cuci tangan
indikator : ketika kontak dengan
 Bebas dari klien
tanda dan  Lakukan dresing pada
gejala infeksi. IV line dan Kateter
 Mampu  Tingkatkan intake
menjelaskan nutrisi dan istirahat
tanda dan yang cukup
gejala infeksi Infection Protection
 Leukosit  Monitor tanda dan
dalam batas gejala infeksi
normal lokal/sistemik
 Tanda vital  Pantau hasil
dalam batas pemeriksaan
normal laboratorium yang
mengindikasikan
infeksi (WBC)
 Amati faktor2 yang
dapat meningkatkan
infeksi
 Observasi area invasive
 Pertahankan tekhnik
aseptic dalam
perawatan klien
Monitor Vital Sign
 Pantau suhu tubuh
setiap 8 jam
Enviroment management
 Batasi pengunjung
yang sedang
demam/influensa/sakit
infeksi
Health education
 Jelaskan mengapa sakit
dan pengobatan
meningkatkan resiko
infeksi
 Anjurkan untuk
menjaga kesehatan
personal untuk
melindungi dari infeksi
 Ajarkan metode aman
untuk
pengamanan/penyiapan
makanan
 Pengendalian infeksi :
Ajarkan tekhnik cuci
tangan
 Ajarkan tanda2 infeksi
 Anjurkan untuk lapor
perawat/dokter bila
dirasakan muncul
tanda2 infeksi
Medication
Administration
 Kelola Therapi sesuai
advis
 Pantau efektifitas,
keluhan yang muncul
pasca pemberian
antibiotik

4. Fatique/Kelemahan Aktifitas Self Assistance


kehidupan Self care : mandi
sehari-hari  Tempatkan perawatan
adekuat mandi di dekat bed
dengan pasien
kriteria :  Fasilitasi klien untuk
- kemampuan menggosok gigi
klien dalam  Fasilitasi klien untuk
memenuhi membersihkan diri
ADL  Monitor kebersihan gigi
- toleransi dan kuku
terhadap  Libatkan keluarga
tanda2 vital dalam membantu klien
Self care makan :
 Identifikasi diet
 Ciptakan lingkungan
yang nyaman saat
makan
 Lakukan oral higene
sebelum makan
Self care toileting
 Identifikasi kebutuhan
toileting
 Jaga privaci klien
 Libatkan keluarga
dalam membantu klien
X. Catatan Keperawatan/Catatan Perkembangan

No.D Hari, tgl, Implementasi Evaluasi


x Jam
1. Selasa.
 Mengobservasi Ku penderita S : klien mengatakan badannya

8 Juni 2005  Mengukur tanda-tanda vital masih lemah

 Mengobservasi keluhan nyeri dan rasa O : Muka dan mukosa bibir


07.40 pucat,Conjuctiva anemis
dingin.
 Mengganti cairan infus dengan Nacl
 Memberi obat Avil 1 tablet sebelum Suhu : 36,80C R : 30 x/mnt Nadi :
08.05 100x/mnt
tranfusi
 Memasang transfusi PRC kolf II 200 cc Pusing (-),sesak nafas (-)

 Mengobservasi reaksi transfusi HCT post tranfusi PRC kolf II 25 %.


09.30
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
10.00

1.  Mengobservasi KU penderita
S : Klien mengatakan badannya terasa
Rabu,  Mengukur tanda-tanda vital
9 Juni 2005 lebih segar dan tidak lemah
 Mengbservasi tetesan transfusi darah
O : Muka dan mukosa bibir masih
07.30 PRC kolf III 200 cc
pucat,Conjunctiva anemis
08.00  Mengganti cairan infus Nacl(spoeling)
berkurang. Suhu : 36,50C Nadi : 88
 Mengganti cairan infus Nacl 200 cc +
x/mnt,R : 24 x/mnt
0,5 gram disferal 8 tpm
Pusing(-),sesak napas (-) HCT post
 Mengobservasi reaksi pemberian
transfusi III 28%.
transfuse
10.30 A : Masalah teratasi sebagian
 Mengukur tanda Vital P : Intervensi Lanjut

11.00 S : Klien mengatakan bahwa


 Mengambil darah untuk pemeriksaan badannya merasa segar dan sudah
lab HGB dan HCT sembuh
1. Kamis
 Mengobservasi KU penderita O : Conjunctiva, mukosa bibir merah
10Juni 2005
 Mengukur tanda-tanda vital muda.
pk.08.00
 Memonitor tetesan infus KaEN 3A S : 36,2oC Nadi : 84x/mnt R : 22
 mengobservasi keluhan nyeri dan x/mnt
dingin Post transfusi PRC kolf IV HGB
11.00
 Memberi HE untuk kontrol sesuai jadwal 10,2 gr/dl HCT 34 %.
12.00
A : Masalah teratasi
P : Beri HE untuk perawatan dirumah

12.05
2. Selasa.
 Mengobservasi Ku penderita S : Klien mengatakan makan terasa

8 Juni 2005  Mengkaji status gizi klien kurang enak

 Membantu menyiapkan makanan pagi O : Porsi makanan yang disediakan


07.40 habis ½ porsi, susu habis 100 cc
 Memotivasi klien untuk menghabiskan
porsi makanan yang disediakan (1/2 gelas)
A : Masalah belum teratasi
 Mengobservasi asupan nutrisi klien
08.05
P : Intervensi lanjutkan
 Memberi obat oral asam folat 5 mg
 Pk.10.00 Memberi minum susu FCM
09.30 1 gelas

10.00

2.  Mengobservasi KU penderita
Rabu,
 Membantu menyiapkan diet klien
9 Juni 2005
 Memotivasi klien untuk menghabiskan S : Ibu klien mengatakan nafsu makan
08.00 anaknya meningkat
porsi makanan yang disediakan
O : Porsi makann yang disediakan
 Menilai nafsu makan anak
habis ¾ porsi, minum susu 1 gelas
 Mencatat asupan nutrisi klien
(200cc)

10.30 A : Masaah belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi

11.00

 Membantu menyiapkan diet/makanan


pagi
S : Ibu klien mengatakan nafsu makan
Kamis  Memotivasi klien untuk menghabiskan
2. anaknya meningkat
10Juni 2005 makanan yg disediakan
pk.08.00  Menilai nafsu makan klien
 Mencatat asupan nutrisi klien O : Porsi makann yang disediakan
 Memberi obat oral asam folat 5 mg habis ¾ porsi, minum susu 1 gelas

11.00  Menimbang Berat Badan (200cc) BB : 23,5 kg

12.00  Memberi HE pada klien/keluarga untuk A : Masalah teratasi sebagian


meningkatkan porsi makan P : Beri HE pada klien/keluarga untuk
meningkatkan asupan nutrisi.

12.05

3. Selasa.
 Mengkaji kekuatan dan status fungsi S : Klien mengatakan badan masih

8 Juni 2005 otot klien. lemah belum bisa turun dari Tempat
 Menyiapkan buku-buku bacaan untuk tidur.
07.40 klien O : Kebutuhan sehari/hari (ADL)

 Membantu mendekatkan alat-alat mandi,makan dan BAK masih

keperluan makan dibantu,Skala ADL : 2


08.05
 Membantu klien BAK A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
 Menganjurkan klien/orang tua agar

09.30 melakukan aktivitas secara bertahap


sesuai dengan kemampuan

10.00  Mengevaluasi KU penderita setelah


 melakukan aktivitas

Rabu,  Mengobservasi Ku penderita S : Kien mengatakan bhw badannya


3. 9 Juni 2005
 Menyiapkan air hangat untuk mandi terasa lebih enak dan tidak lemah
07.30  Membantu memanikan penderita lagi
O : Kebutuhan mandi dan bak masih
08.00  Membantu BAK
dibantu,makan dan memakai
 Menyiapkan buku-buku bacaan untuk
baju,menyisir rambut sendiri. Tidak
klien
pusing dan tidak sesak napas.
 Mengobservasi KU klien
A : masalah teratasi sebagian
10.30 P : lanjutkan intervensi
S : Kien merasa sudah sehat dan
 Mengobservasi KU penderita segar
Kamis O : Wajah nampak segar,mandi
10Juni 2005  Membantu klien turun dari tempat tidur
3.
pk.08.00  Mengevaluasi KU klien setelah ,memakai baju,buang air kecil tanpa

beraktivitas bantuan tidak sesak napas dan


11.00 tidak pusing
12.00 A : Masalah teratasi
P : Lanjutkan perawatan

4. Selasa.
 Membersihkan lingkungan dan tempat S:-
8 Juni 2005 tidur klien. O : Tanda-tanda plebitis : Nyeri (-),

07.40  Mengganti sprei tempat tidur. kemerahan (-) panas (-) Suhu :

 Dressing infus/mengganti balutan 36,80C R : 30 x/mnt

 Mengukur Tanda-tanda vital A : Masalah teratasi tapi klien msh


berisiko terhadap infeksi
08.05  Motivasi klien untuk meningkatkan
P : Lanjutkan intervensi
intake nutrisi
 Mengobservasi tanda-tanda adanya
09.30
infeksi

10.00

4. Rabu, S:-
9 Juni 2005 Membersihkan lingkungan dan tempat
O : Lingkungan klien bersih Tanda vital
07.30 tidur klien.
:Suhu : 36,50C Nadi : 88 x/mnt,R :
 Mengganti sprei tempat tidur.
24 x/mnt
08.00
 Dressing infus/mengganti balutan Tanda-tanda phlebitis (-)
 Mengganti infus set darah pasca A : Masalah teratasi tapi klien msh
transfusi beriko untuk terjadi infeksi
 Mengukur Tanda-tanda vital P : Lanjutkan intervensi
10.30
 Motivasi klien untuk meningkatkan
intake nutrisi
 Mengobservasi tanda-tanda infeksi
11.00
S : Klien mengatakan badannya tidak
panas.
Kamis O : Luka insersi infus bersih, tidak
4.
10Juni 2005 tampak kemerahan.
 Membersihkan lingkungan dan tempat
pk.08.00 Lingkungan klien bersih.
tidur klien.
 Mengganti sprei tempat tidur. Tanda Vital: S : 36,2oC Nadi :
84x/mnt R : 22 x/mnt
 Dressing infus/mengganti balutan
11.00 A : Masalah teratasi
 Mengganti infus set darah pasca
12.00 P : Lanjutkan monitor lingkungan
transfusi
dan perawatan insersi infus.
 Mengukur Tanda-tanda vital
 Motivasi klien untuk meningkatkan
intake nutrisi
 Mengobservasi tanda-tanda adanya
infeksi
Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Lihat komentar

4.

Apr

11
ASUHAN KEPERAWATAN BAYI
PREMATUR

Definisi :

Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran
disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai
dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna
dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang
mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37
minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur,
walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir
prematur.

Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada
bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi
sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah
penyakit.

Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS),


enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt
duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor
tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada
bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan
gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan
yang adekuat untuk permasalahn tersebut.

Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur
kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% -
80% angka kesakitan dan kematian neonatus.
Etiologi dan faktor presipitasi:

Permasalahan pada ibu saat kehamilan :

- Penyakit/kelainan seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio


placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes
mellitus.

- Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat

- Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi

- Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol,


merokok dan caffeine

Pengkajian

1. Riwayat kehamilan

2. Status bayi baru lahir

3. Pemeriksaan fisik secara head to toe meliputi :

 Kardiovaskular

 Gastrointestinal

 Integumen

 Muskuloskeletal

 Neurologik

 Pulmonary

 Renal

 Reproduksi

4. Data penunjang

- X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas

- Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ


- Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa

- Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia

- Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur


lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)

- Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis,
analisis feses dan lain sebagainya.

Diagnosa keperawatan

Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru


dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan
acidosis

Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas


atau perubahan suhu lingkungan

Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan


glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena
metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan
kalori.

Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi


lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.

Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan
kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat

Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan
imaturitas kulit
Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil
dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada
lingkungan intensive care

Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di


rumah

DARTAR PUSTAKA

Klaus & Fanaroff. 1998. Penata Laksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Edisi

4 EGC. Jakarta.

Markum,A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I,Bagian Ilmu

Kesehatan Anak,FKUI,Jakarta.

Nelson. 2000. Ilmu kesehatan Anak,volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.

Wong. Donna. L. 1990. Wong & Whaley’s Clinical Manual of Pediatric


Nursing,Fourth Edition,Mosby-Year Book Inc, St. Louis Missouri.

. . . . . 2000. Diktat Kuliah PSIK.FK Unair TA:2000/2001,Surabaya

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar
5.

Apr

11

ASUHAN KEPERAWATAN PADA


ANAK DENGAN MENINGITIS

A. Pengertian

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan


spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada system syaraf pusat. (Suriadi,
2001).

Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges dan CSF (Wong, 2003).

B. Etiologi

 Bakteri

Pada neonatus, organisme primer penyebab meningitis adalah basil enteric gram negatif,
batang gram negatif dan streptokokus grup B. Pada anak yang berusia 3 bulan sampai 5
tahun, organisme primer penyebab meningitis adalah haemophilus influenzae tipe B.
Meningitis pada anak yang lebih besar umumnya disebabkan oleh infeksi Neisseria
meningitidis atau infeksi stafilokokus.
 Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan

 Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak yang


mendapat obat-obat imunosupresi

 Anak dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan system persarafan.

C. Patofisiologi

Mikroorganisme penyebab dapat masuk mencapai membran meningen dengan cara


hematogen atau limfogen, perkontuinitatum, retrograd melalui saraf perifer atau dapat
langsung masuk CSF.

Protein di dalam bakteri sebagai benda asing dapat menimbulkan respon peradangan.
Neutropil, monosit, limfosit dan yang lainnya merupakan sel – sel sebagai respon
peradangan. Eksudat yang terbentuk terdiri dari bakteri – bakteri fibrin dan lekosit yang
dibentuk di ruang sub arachnoid. Penambahan eksudat di dalam ruang sub arachnoid
dapat menimbulkan respon peradangan lebih lanjut dan meningkatkan tekanan intra
cranial. Eksudat akan mengendap di otak, syaraf-syaraf spinal dan spinal. Sel – sel
meningeal akan menjadi edema dan membran sel tidak dapat lebih panjang lagi untuk
mengatur aliran cairan yang menuju atau keluar dari sel. Vasodilatasi yang cepat dari
pembuluh darah dapat terjadi, sehingga dapat menimbulkan ruptur atau trombosis
dinding pembuluh darah. Jaringan otak dapat menjadi infark, sehingga dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut. Proses ini dapat
menimbulkan infeksi sekunder dari otak jika bakteri makin meluas menuju jaringan otak
sehingga menyebabkan encephalitis dan ganggguan neurologi lebih lanjut (Wong, 2003
dan Pillitteri, 1999).
D. Manifestasi Klinis

1. Neonatus

 Demam

 Letargi

 Iritabilitas

 Refleks hisap buruk

 Kejang

 Tonus buruk

 Diare dan muntah

 Fontanel menonjol

 Opistotonus

2. Bayi dan anak kecil

 Letargi

 Iritabilitas

 Pucat

 Anoreksia

 Mual dan muntah

 Peningkatan lingkar kepala

 Fontanel menonjol
 Kejang

3. Anak lebih besar

 Sakit kepala

 Demam

 Muntah

 Iritabilitas

 Fotofobia

 Kaku kuduk dan tulang belakang

 Tanda Kernig positif

 Tanda Burzinski positif

 Opistotonus

 Konfusi

 Kejang

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pungsi lumbal dan kultur CSS

 Jumlah leukosit (CBC) meningkat

 Kadar glukosa darah menurun

 Protein meningkat
 Tekanan cairan meningkat

 Asam laktat meningkat

 Glukosa serum meningkat

 Identifikasi organisme penyebab

2. Kultur darah, untuk menetapkan organisme penyebab

3. Kultur urin, untuk menetapkan organisme penyebab

4. Kultur nasofaring, untuk menetapkan organisme penyebab

5. Elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi ; Na+ naik dan K+ turun

6. Osmolaritas urin, meningkat dengan sekresi ADH

F. Komplikasi

 Hidrosefalus obstruktif

 Meningococcal septicemia (meningocemia)

 Sindrom Water-Friderichsen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)

 SIADH (Syndrome Inappropiate AntidiureticHormone)

 Efusi subdural

 Kejang

 Edema dan herniasi serebral

 Cerebral Palsy
 Gangguan mental

 Attention deficit disorder

 Tuli

 Buta

G. Penatalaksanaan

 Isolasi

 Terapi antimikroba : antibiotik yang diberikan didasarkan pada hasil kultur,


diberikan dengan dosis tinggi

 Mempertahankan hidrasi optimum : mengatasi kekurangan cairan dan mencegah


kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema serebral

 Mencegah dan mengobati komplikasi : aspirasi efusi subdural (pada bayi), terapi
heparin pada anak yang mengalami DIC

 Mengontrol kejang : pemberian anti epilepsi

 Mempertahankan ventilasi

 Mengurangi meningkatnya tekanan intra kranial

 Penatalaksanaan syok bakterial

 Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim

 Memperbaiki anemia
H. Pengkajian keperawatan

 Riwayat keperawatan : riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma, riwayat


pembedahan pada otak, cedera kepala

 Pengkajian neurologik

 Kaji status hidrasi

 Kaji adanya defisit sensoris

 Kaji respon keluarga


I. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

1. Nyeri kepala b.d peningkatan tekanan intra kranial

2. Hipertermia b.d proses infeksi

3. Perubahan persepsi sensori b.d penurunan tingkat kesadaran

4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral

5. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah

J. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri kepala b.d peningkatan tekanan kranial

Kriteria hasil : Anak akan melaporkan nyeri kepala hilang atau terkontrol

Intervensi/rasional :

 Ciptakan lingkungan yang tenang

Rasional : Mengurangi reaksi terhadap stimulan dari lingkungan

 Tingkatkan tirah baring

Rasional : Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri

 Dukung untuk menentukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi
sedikit

Rasional : menurunkan iritasi meningeal

 Kolaborasi : pemberian analgetik


Rasional : menghilangkan nyeri yang berat

2. Hipertermi b.d proses infeksi

Kriteria hasil : suhu badan anak dalam batas normal

Intervensi /rasional :

 Ukur suhu badan anak setiap 4 jam

Rasional : suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius

 Pantau suhu lingkungan

Rasional : Untuk mempertahankan suhu badan mendekati normal

 Berikan kompres hangat

Rasional : Untuk mengurangi demam

 Berikan selimut pendingin

Rasional : Untuk mengurangi demam lebih dari 39,5 0C

 Kolaborasi dengan tim medis : pemberian antipiretik

Rasional : Untuk emngurangi demam dengan aksi sentralnya di hipotalamus

3. Perubahan persepsi sensori b.d penurunan tingkat kesadaran

Kriteria hasil : Mempertahankan fungsi persepsi

Intervensi/rasional :

 Kaji tingkat kesadaran sensorik


Rasional : Tingkat kesadaran sensorik yang buruk dapat meningkatkan resiko
terjadinya injury

 Kaji reflek pupil, extraocular movement, respon terhadap suara, tonus otot dan
reflek-reflek tertentu

Rasional : Penurunan reflek menandakan adanya kerusakan syaraf dan dapat


berpengaruh terhadap keamanan pasien

 Hilangkan suara bising

Rasional : Menurunkan stimulan dari lingkungan

 Bicara dengan suara yang lembut dan pelan

Rasional : dapat membantu pasien dalam berkomunikasi

4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
Kriteria hasil : Perfusi jaringan serebral maksimal

Intervensi :

 Observasi tingkat kesadaran dan nilai status neurology setiap 1-2 jam

Rasional : Berguna untuk menentukan lokasi dan luasnya penyebaran


kerusakan serebral

 Kaji adanya regiditas nukal, gemetar, kegelisahan yang meningkat, kejang

Rasional : Merupakan indikasi iritasi meningeal

 Pantau tanda vital

Rasional : kehilangan fungsi autoregulasi mungkin dapat mengikuti kerusakan vascular


serebral

 Pantau pola dan irama pernafasan


Rasional : dapat mengindikasikan peningkatan TIK

 Berikan waktu istirahat antara aktivitas perawatan dan batasi lamanya tindakan

Rasional : untuk mencegah kelelahan yang dapat meningkatkan TIK

 Kolaborasi dengan tim medis : pemberian steroid, asetaminofen

Rasional : Dapat menurunkan permeabilitas kapiler sehingga pembentukan


edema serebral dapat diminimalkan

5. Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual,
muntah

Kriteria hasil : Masukan nutrisi adekuat

Intervensi/rasional :

 Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi


sekresi

Rasional : Berpengaruh terhadap pemilihan jenis makanan

 Timbang BB setiap hari

Rasional : Menunjukkan status nutrisi

 Auskultasi bising usus

Rasional : Menentukan respon makan atau berkembangnya komplikasi

 Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dalam porsi kecil tapi
sering

Rasional : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap


nutrisi yang diberikan
 Kolaborasi dengan tim gizi

Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan


nutrisi pasien

K. Discharge Planning

 Ajarkan pada orang tua tentang pemberian obat dan pemantauan efek samping

 Ajarkan bagaimana untuk mempertahankan nutrisi yang adekuat ; makanan rendah


lemak

 Jelaskan pentingnya istirahat

 Ajarkan cara mencegah infeksi

 Ajarkan pada orang tua untuk memantau komplikasi jangka panjang serta tanda dan
gejalanya

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

6.

Apr

11

MARASMUS
A. PENGERTIAN

 Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat


kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama
kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. (Dorland, 1998:649).

 Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori protein.
(Suriadi, 2001:196).

 Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan
tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim marasmus diterapkan pada pola penyakit
klinis yang menekankan satu ayau lebih tanda defisiensi protein dan kalori.
(Nelson, 1999:212).

 Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan digunakan oleh tubuh untuk
pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Zat gizi dikelompokkan menjadi
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. (Arisman, 2004:157).

 Energi yang diperoleh oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme
zat gizi yang tersimpan dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang
terkandung dalam makanan yang kita konsumsi.

 Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu


pengaturan metabolisme protein. Protein dalam darah mempunyai peranan
fisiologis yang penting bagi tubuh untuk :

1. Mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.

2. Sebagai cadangan protein tubuh.


3. Mengontrol perdarahan (terutama dari fibrinogen).

4. Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.

5. Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.

Dalam darah ada 3 fraksi protein, yaitu : Albumin, globulin, fibrinogen.

B. ETIOLOGI

 Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena
: diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan
dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi
kongenital. (Nelson,1999).

 Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada
bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau
sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain
seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi,
gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat.
(Dr. Solihin, 1990:116).

C. PATOFISIOLOGI

Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein,
atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. (Arisman, 2004:92). Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan
tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan
karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam
amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selam puasa jaringan
lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat
mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau
kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan
sampai memecah protein lagi seteah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh.
(Nuuhchsan Lubis an Arlina Mursada, 2002:11).

D. MANIFESTASI KLINIK

Pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat
badan sampai berakibat kurus,dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi
berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang dari bantalan pipi, muka bayi dapat
tetap tampak relatif normal selama beberaba waktu sebelum menjadi menyusut dan
berkeriput. Abdomen dapat kembung dan datar. Terjadi atropi otot dengan akibat
hipotoni. Suhu biasanya normal, nadi mungkin melambat, mula-mula bayi mungkin rewe,
tetapi kemudian lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat
muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja berisi
mukus dan sedikit. (Nelson,1999).

Selain itu manifestasi marasmus adalah sebagai berikut :

1. Badan kurus kering tampak seperti orangtua

2. Lethargi

3. Irritable

4. Kulit keriput (turgor kulit jelek)

5. Ubun-ubun cekung pada bayi

6. Jaingan subkutan hilang

7. Malaise

8. Kelaparan
9. Apatis

E. PENATALAKSANAAN

1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein yang kualitas
biologiknya baik. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin.

2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit.

3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat.

4. Pengkajian riwayat status sosial ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian
antropometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat
badan, kaji tanda-tanda vital.

Penanganan KKP berat

Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokkan menjadi pengobatan awal
dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang
mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan
gizi.

Upaya pengobatan, meliputi :

- Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.

- Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septik

- Pengobatan infeksi

- Pemberian makanan

- Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan vitamin,


anemia berat dan payah jantung.

Menurut Arisman, 2004:105

- Komposisi ppemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100 cc/kg BB


biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.
- Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama 2 jam
pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10 cc/kg BB/ jam.

- Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.

- Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian CRO/intravena


diberikan dalam kegiatan rehidrasi.

- Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-masing disebut


sebagai F-75 dan F-100.

Menurut Nuchsan Lubis

Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa


tahap, yaitu :

1. Tahap awal :24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk
menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis
dengan pemberian cairan IV.

- cairan yang diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat


Dextrose 5%.

- Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.

- Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.

- Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.

2. Tahap penyesuaian terhadap pemberian makanan

- Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg
BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/ kg BB/
hari.

- Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai 150-175 kalori/ kg


BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.

- Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-10 hari.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Fisik

a. Mengukur TB dan BB

b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan


TB (dalam meter)

c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan


trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya
dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper).
Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak
normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.

d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan
jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak
berlemak).

2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht,


transferin.

G. FOKUS INTERVENSI

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)

Tujuan :

Pasien mendapat nutrisi yang adekuat

Kriteria hasil :

meningkatkan masukan oral.

Intervensi :

a. Dapatkan riwayat diet

b. Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak


atau ada disaat makan
c. Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan
menjadi menyenangkan

d. Gunakan alat makan yang dikenalnya

e. Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah


gangguan dan memuji anak untuk makan mereka

f. Sajikan makansedikit tapi sering

g. Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)

Tujuan :

Tidak terjadi dehidrasi

Kriteria hasil :

Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.

Intervensi :

a. Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi

b. Monitor jumlah dan tipe masukan cairan

c. Ukur haluaran urine dengan akurat

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status


metabolik. (Doengoes, 2000).

Tujuan :

Tidak terjadi gangguan integritas kulit

Kriteria hasil :

kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal

Intervesi :
a. Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi

b. Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi

c. Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang

d. Alih baring

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh

Tujuan :

Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi

Kriteria hasil:

suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal

Intervensi :

a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

b. Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril

c. Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam


prosedur kontrol infeksi

d. Beri antibiotik sesuai program

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi


(Doengoes, 2004)

Tujuan :

pengetahuan pasien dan keluarga bertambah

Kriteria hasil:

Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi


hubungan tanda dan gejala.
Intervensi :

a. Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien

b. Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi

c. Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan


adekuat

d. Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien

6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan


melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan sekunder akibat
masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).

Tujuan :

Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.

Kriteria hasil :

Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau


aktifitas motorik sesuai dengan usianya.

Intervensi :

a. Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai


dengan kelompok usia.

b. Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II

c. Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas


perkembangan

d. Berikan mainan sesuai usia anak.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport


oksigen sekunder akibat malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)

Tujuan :

Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.


Kriteria hasil :

Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.

Intervensi :

a. Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia

b. Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien

8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein


(malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).

Tujuan :

Kelebihan volume cairan tidak terjadi.

Kriteria hasil :

Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan


edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral.

Intervensi :

a. Pantau kulit terhadap tanda luka tekan

b. Ubah posisi sedikitnya 2 jam

c. Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.

H. DAFTAR PUSTAKA

1. Arisman, 2004, Gizi dalam daur kehidupan, Jakarta : EGC

2. Betz, L & Linda S, 2002, Buku saku peditrik, Alih bahasa monica ester edisi 8,
jakarta, EGC
3. Carpenito, L. J, 2001, Hand book of nursing diagnosis, 8-e (buku saku diagnosa
keperawatan, 8-e), Alih bahasa monica ester dkk, Jakarta, EGC

4. Doengoes ME, 2000, Nursing care plans guide line for planning and
documenting patien care, edisi 3, alih bahasa I made kariasa, Jakarta, EGC

5. Nelson, & behrman, kliegman, 2000, Nelson teks book of pediatric 15/e, vol. 2, Ed
15, alih bahasa A Samik Wahab, Jakarta, EGC

6. Nuchsan .A, 2002, Penatalaksanaan Busung lapar pada balita, Cermin Dunia
Kedokteran no. 134, 2002 : 10-11

7. Wong, L. D & Whaleys, 2004, Pedoman klinis asuhan keperawatan anak, alih
bahasa monica ester, Jakarta, EGC

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto


0

Tambahkan komentar

7.

Apr

11

leukimia

1. Definisi

Leukemia adalah poliferasi sel lekosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain dari pada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan
anemia, trombisitopeni dan diakhiri dengan kematian.

Leukemia adalah penyakit neoplasmik yang ditandai oleh poliferasi abnormal dari sel-
sel hematopoietik. (Virchow, 1847)

2. Etiologi

Walaupun sebagian besar penderita leukemia faktor-faktor penyebabnya tidak dapat


diidentifikasi, tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:

a. Faktor genetik

Insiden leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom Down adalah 20 kali
lipat lebih banyak dari pada normal. Dari data ini, ditambah kenyataan bahwa
saudara kandung penderita leukemia mempuyai resiko lebih tinggi untuk
menderita sindrom Down, dapat diambil kesimpulan pula bahwa kelainan pada
kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia akut. Dugaan ini diperkuat lagi oleh
data bahwa penderita leukemia garanulositik kronik dengan kromosom
Philadelphia translokasi kromosom 21, biasanya meninggal setelah memasuki
fase leukemia akut.

b. Faktor lingkungan

Faktor-faktor lingkungan berupa kontak dengan radiasi ionisasi desertai


manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian. Zat-zat kimia
(misalnya, benzen, arsen, klorampenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik)
dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat, khususnya agen-agen akil. Leukemia
juga meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi atau kemoterapi.

c. Virus

Ada beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa virus sebagai penyebab
leukemia antaralain: enzyme reverse transcriptase ditenukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui, ensim ini ditemukan didalam virus
onkogenik seperti retrovirus tipe – C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan
leukemia pada binatang.

3. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinik berkaitan dengan berkurangnya atau tidak adanya sel


hematopoietik.

a. Peningkatan produksi seri granulosit yang relatif matang.

b. Rasa leleh, penurunan berat badan, anemia, rasa penuh dan sakit di perut dan
mudah berdarah

c. Pada pemeriksaan fisis hampir 90% ditemukan splenomegali.

d. Nyeri tekan pada tulang dada dan hematomegali.

e. Poliferasi limfoblas abnormal alam susum tulang dan tempat-tempat


ekstramedular.
f. Pembesaran kelenjar getah bening, limpa, hati dan kelenjar mediastinum.

g. Infiltrasi alat tubuh lain (paru, pleura, tulang, kulit)

4. Klasifikasi dan patofisiologi

Klasifikasi leukemia terdiri dari akut dan kronik, Klasifikasi kronik didasarkan pada
ditemukannya sel darah putih matang yang mencolok – granulosit (leukemia
granulositik/mielositik) atau limfosit (leukememia limfositik).

Klasifikasi leukemia akut menurut the French-American-British (FAB) Sbb:

Leukemia limfoblastik akut :

L-1 Leukemia limfositik akut pada masa kanak-kanak : pospulasi sel homogen

L-1 Leukemia limfositik akut tampak pada orang dewasa : populasi sel
heterogen

L-3 Limfoma Burkitt-tipe leukemia : sel-sel besar, populasi sel homogen

Leukemia mieloblastik akut :

M-1 Deferensiasi granulisitik tanpa pematangan

M-2 Deferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium


promielositik

M-3 Deferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan


dengan pembekuan intravaskular tersebar (Disseminated intavascular
coagulation)
M-4 Leukemia mielomonositik akut : kedua garis sel granulosit dan monosit

M-5a Leukemia monositik akut : kurang berdeferensiasi

M-5b Leukemia monositik akut : berdeferensiasi baik

M-6 Eritroblas predominan disertai diseritropoesis berat

M-7 Leukemia megakariosit

Leukemia dibagi menurut jenisnya kedalam limfoid dan mieloid. Masing-masing ada
yang akut dan kronik. Pada garis besarnya pembagian leukemia adalah sebagai
berikut:

I. Leukemia mieloid

a. Leukemia granulositik kronik/LGK(leukemia mieloid/mielositik/ mielogenus


kronik)

Adalah suatu penyakit mieloproliferatif karena sumsum tulang penderita ini


menujukan gambaran hiperselular disertai adanya proliferasi pada semua
garis diferensiasi sel, yang ditandai dengan produksi berlebihan seri granulosit
yang relatif matang, jumlah garanulosit umumnya lebih dari 30.000/mm3 dan
paling sering terlihat pada orang dewasa usia pertengahan tetapi juga dapat
timbul pada setiap kelompok umur lainnya.

Tamda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik yaitu kelelahan,


kehilangan berat badan, diaforesis meningkat dan tidak tahan panas, limpa
membesar pada 90 % kasus yang mengakibatkan penuh pda abdomen dan
mudah merasa kenyang. Angka harapan hidup mediannya sekitar 3 tahun,
baik dengan pengobatan maupun tanpa pengobatan. Pengobatan dengan
kemoterapi intermiten ditujukan pada penekanan hematopoesis yang
berlebihan dan mengurangi ukuran limpa, berbagai penderita berkembang
menjadi lebih progresif, fase resisten diseertai dengan pembentukan mieloblas
yang berlebihan (tansformasi blas). Kematian terjadi dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan setelah transformasi blas, transplantasi sumsum tulang
dari individu lain (allogenik) yang dilakukan pada fase kronik stabil penderita
LGK memberikan suatu harapan kesembuhan , walaupun morbiditas dan
mortalitas selama transplantasi tetap tinggi.

b. Leukemia mielositik akut atau leukemia granulositik akut/ LGA (leukemia


mieloid/mielositik/granulositik/ mielogenus akut)

Merupakan neoplasma uniklonal yang berasal dari trasformasi suatu atau


beberapa sel hematopoietik. Sifat sebenarnya dari lesi molekular yang
bertanggung jawab atas sifat-sifat neoplasmik dari sel yang berubah
bentuknya tidak jelas, tapi defek kritis adanya intrisik dan dapat diturunkan oleh
keturunan sel tersebut (Clarkson, 1988). Tanda dan gekala leukemia akut
berkaitan dengan netropenia dan trombositopenia, ini adalah infeksi berat
yang rekuren disertai dengan timbulnya tukak pada membren mukosa, abses
perirektal, pneumonia, septikemia disertai menggigil, demam, takikardia, dan
takipnea. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan
dengan petekie dan ekimosis, epistaksis, hematoma pada membran mukosa,
serta perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kemih, tulang mungkin
sakit dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang atau infiltrat periosteal.
Anemia bukan merupakan manifestasi awal disebabkan oleh karena umur
eritrosit yang panjang (120 hari), jika terdapat anemia maka akan terdapat
gejala kelelahan, pusing dan dispnea waktu kerja fisik serta pucat yang nyata.

Diagnosis LGA ditegakan dengan melalui hitung jenis darah tepi dan
pemeriksaan sumsum tulang serta pemeriksaan kromosom. Hitung sel darah
tepi dapat meninggi, normal atau menurun disertai mieloblas dalam sirkulasi.
Sumsum tulang hiperseluler disertai adanya kelebihan (50%) mieloblas yang
mengandung badan Auer. Perubahan metabolik juga terlihat disertai
peningkatan asam urat yang disebabkan oleh tingginya pergantian sel darah
putih

II. Leukemia limfoid


a. Leukemia limfositik kronik

Merupakan suatu gangguan limfoproliferatifyang ditemukan pada kelompok


umur tua (sekitar 60 tahun) yang dimanifestasikan oleh poliferasi dan akmulasi
limfosit matang kecil dalam sumsum tulang, darah perifer,dan tempat-tempat
ekstramedular dengan kadar yang mencapai 100.000/mm3 atau lebih, limposit
abnormal umumnya adalah limposit B.

b. Leukemia limfoblastik akut

Penyakit ini terdapat pada 20% orang dewasa yang menderita leukemia,
keadaan ini merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak
dibawah umur 15 tahun denga puncak insidens antara umur 3 dan 4 tahun.
Manifestasi berupa poliferasi limfoblas abnormal dalam sumsum tulamg dan
tempat-tempat ekstramedular.

5. Pengobatan

a. Protokol pengobatan leukemia limfoblatik akut (LLA)

INDUKSI

Protokol Nasional Prancis LALA’ 87

Syarat : belum mendapatkan pengobatan sebelumnya, usia 60 tahun

Prednison : 60 mg/m²/oral (hari 1 s/d 22, tapp.of 22 s/d


28)

Vinkristin : 1,5 mg/ m²/IV, ( hari 1,8,15,22), dosis total tidak boleh
lebih dari 2,5 mg/1x.
Cyclophosphanamide : 600 mg/ m²/IV, (hr 1,8)

Daunorubicin : 50 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)

Profilaksis CNS : Methotrexante: 12 mg/total/intratekal, (hr 1 atau


3,8,15,22,125,150)

b. Protokol pengobatan leukemia mieloblastik akut (LMA)

1) CHA (tidak termasuk Lam tipe M-3,FAB/progranulostik akut)

INDUKSI :

CCNU : 70 mg/ m²/oral, (hr 1)

Adriamycin : 35 mg/ m²/IV (hr 1,2,3 = 3 hari)

ARA-C : 100 mg/ m²/IV-continous, (hr 1s/d 10 = 10 hari)

2) LAM-VIII

INDUKSI : = LAM IV modified

3) LAM-IV modified

INDUKSI :

Daunorubicin : 45 mg/ m²/IV, (hr 1,2,3)

Cystosine arabinoside : 200 mg/ m²/IV-continous drip, (hr 1s/d 7)

MAINTENANCE :
kapsul

c. Protokol pengobatan leukemia granulosit kronik (LGK)

1) INDUKSI : bila leukosit 50.000/ml → myleran


6 mg/hr s/d leukosit 5 – 15.000 mg,
kemudian istirahat 3 minggu, selanjutnya
teruskan dengan “maintenance”

2) Maintenance : Myleran

15.000 :

15-25.000 : 2 mg/hari (7 hari)

25-35.000 : 4 mg/hari (7 hari)

35.000 : 6 mg/hari (7 hari)

3) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA)


500 mg (menurut AZL)

Dosis : 15-25 mg/kg BB dalam 2 jam dosis peroral

4) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) menurut “anjuran


pembuat obat”

BB Terapi INTERMITEN Terapi CONTINUOUS


(kg) (80 mg/kg BB, setiap 3 hari (20-30 mg/kg BB, setiap
sebagai dosis tunggal) hari dosis tunggal)
10 1 ½ kapsul ½ kapsul
15 2 kapsul 1 kapsul
10 3 kapsul 1 kapsul
10 5 kapsul 2 kapsul
10 6 kapsul 2 kapsul
10 8 kapsul 3 kapsul
10 10 kapsul 3 kapsul
10 11 kapsul 4 kapsul
10 13 kapsul 4 kapsul
10 14 kapsul 5 kapsul
100 16 kapsul 6 kapsul

Efek samping :

 supresi sumsum tulang : leukopenia, terombositopenia,


anemia.

 Anoreksia, nausea, vomiting, nyeri kepala, pusing,


stomatitis,alopesia, skin rash, melena, nyeri perut,
diorientasi, edema paru.

6. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

a. PK : Depresi sumsum tulang

b. PK : Leukositosis

c. PK : Keterlibatan SP

d. Risiko Infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan sekunder

e. Risiko terhadap cedera b.d bentuk darah abnormal, kecenderungan perdarahan


sekunder terhadap leukemia dan efek samping kemoterapi

f. Ketidakberdayaan b.d ketidakmampuan untuk mengontrol situasi,


ketidakberdayaan gaya hidup
Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

8.

Apr

11

ISPA

a. Pengertian

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan


(hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat
melakukan pernafasan (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 450).

Infeksi saluran nafas adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan nafas
dalam menghadapi organisme asing (Whaley and Wong; 1991; 1418).

b. Angka kejadian dan diagnosis

Pada rumah sakit umum yang telah menjadi rumah sakit rujukan terdapat 8,76
%-30,29% bayi dan neonatal yang masih mengalami infeksi dengan angka kematian
mencapai 11,56%-49,9%. Pengembangan perawatan yang canggih mengundang
masalah baru yakni meningkatnya infeksi nosokomial yang biasanya diakhiri dengan
keadaan septisemia yang berakhir dengan kematian (Victor dan Hans; 1997; 220).

Diagnosis dari penyakit ini adalah melakukan kultur (biakan kuman) dengan
swab sebagai mediator untuk menunjukkan adanya kuman di dalam saluran
pernafasan. Pada hitung jenis (leukosit) kurang membantu sebab pada hitung jenis ini
tidak dapat membedakan penyebab dari infeksi yakni yang berasal dari virus atau
streptokokus karena keduanya dapat menyebabkan terjadinya leukositosis
polimorfonuklear (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 453).

c. Etiologi dan karakteristik

Infeksi saluran pernafasan adalah suatu penyakit yang mempunyai angka kejadian yang
cukup tinggi. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi agent/ kuman. Disamping itu
terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi yaitu; usia dari bayi/ neonatus, ukuran
dari saluran pernafasan, daya tahan tubuh anak tersebut terhadap penyakit serta keadaan
cuaca (Whaley and Wong; 1991; 1419).

Agen infeksi adalah virus atau kuman yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi
saluran pernafasan. Ada beberapa jenis kuman yang merupakan penyebab utama yakni
golongan A -hemolityc streptococus, staphylococus, haemophylus influenzae, clamydia
trachomatis, mycoplasma dan pneumokokus.

Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu ibu angka kejadian pada
usia dibawah 3 bulan rendah karena mendapatkan imunitas dari air susu ibu.

Ukuran dari lebar penampang dari saluran pernafasan turut berpengaruh didalam derajat
keparahan penyakit. Karena dengan lobang yang semakin sempit maka dengan adanya
edematosa maka akan tertutup secara keseluruhan dari jalan nafas.

Kondisi klinis secara umum turut berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi antara lain
malnutrisi, anemia, kelelahan. Keadaan yang terjadi secara langsung mempengaruhi
saluran pernafasan yaitu alergi, asthma serta kongesti paru.

Infeksi saluran pernafasan biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim, tetapi juga
biasa terjadi pada musim dingin (Whaley and Wong; 1991; 1420).

d. Manifestasi klinis

Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya


obstruksi hisung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran
pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum
(Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).

e. Terapi dan Penatalaksanaan


Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan
adanya kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisaapan lendir
baik melalui hidung maupun melalui mulut. Terapi pilihan adalah dekongestan dengan
pseudoefedrin hidroklorida tetes pada lobang hidung, serta obat yang lain seperti
analgesik serta antipiretik. Antibiotik tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi
purulenta pada sekret.

Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi


telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga drainase
sekret akan lebih mudah keluar (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 452).

f. Diagnosis banding

Penyakit infeksi saluran pernafasan ini mempunyai beberapa diagnosis banding


yaitu difteri, mononukleosis infeksiosa dan agranulositosis yang semua penyakit diatas
memiliki manifestasi klinis nyeri tenggorokan dan terbentuknya membrana. Mereka
masing-masing dibedakan melalui biakan kultur melalui swab, hitungan darah dan test
Paul-bunnell. Pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus manifestasi lain yang
muncul adalah nyeri abdomen akuta yang sering disertai dengan muntah (Pincus
Catzel & Ian Roberts; 1990; 454).

g. Tanda dan gejala yang muncul

1. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika
anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam
muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai
39,5OC-40,5OC.

2. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens,


biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri
kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan
brudzinski.

3. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi
susah minum dan bhkan tidak mau minum.

4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi
tersebut mengalami sakit.

5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran


pernafasan akibat infeksi virus.

6. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya


lymphadenitis mesenteric.
7. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih
mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.

8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin
tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya
suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

h. Pengkajian terutama pada jalan nafas

Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama
dari pernafasan.

Pola, cepat (tachynea) atau normal.

Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati
melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.

Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin.

Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan.

Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis,
nyeri pada rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum (Whaley and Wong;
1991; 1420).

i. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur/ biakan


kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis
kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Victor dan Hans;
1997; 224).

j. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, tujuan dan intervensi


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan proses inflamasi pada saluran
pernafasan, nyeri.

Tujuan:

Pola nafas kembali efektif dengan kriteria: usaha nafas kembali normal dan
meningkatnya suplai oksigen ke paru-paru.

Intervensi:

a. Berikan posisi yang nyaman sekaligus dapat mengeluarkan sekret dengan mudah.

b. Ciptakan dan pertahankan jalan nafas yang bebas.

c. Anjurkan pada keluarga untuk membawakan baju yang lebih longgar, tipis serta
menyerap keringat.

d. Berikan O2 dan nebulizer sesuai dengan instruksi dokter.

e. Berikan obat sesuai dengan instruksi dokter (bronchodilator).

f. Observasi tanda vital, adanya cyanosis, serta pola, kedalaman dalam pernafasan.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi mekanik dari


jalan nafas oleh sekret, proses inflamasi, peningkatan produksi sekret.

Tujuan:

Bebasnya jalan nafas dari hambatan sekret dengan kriteria: jalan nafas yang bersih dan
patent, meningkatnya pengeluaran sekret.

Intervensi:

a. Lakukan penyedotan sekret jika diperlukan.

b. Cegah jangan sampai terjadi posisi hiperextensi pada leher.

c. Berikan posisi yang nyaman dan mencegah terjadinya aspirasi sekret (semiprone
dan side lying position).

d. Berikan nebulizer sesuai instruksi dokter.

e. Anjurkan untuk tidak memberikan minum agar tidak terjadi aspirasi selama periode
tachypnea.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan perparenteral yang adekuat.

g. Berikan kelembaban udara yang cukup.

h. Observasi pengeluaran sekret dan tanda vital.

3. Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh anak, hospitalisasi pada anak

Tujuan:

Menurunnya kecemasan yang dialami oleh orang tua dengan kriteria: keluarga sudah
tidak sering bertanya kepada petugas dan mau terlibat secara aktif dalam merawat
anaknya.

Intervensi:

a. Berikan informasi secukupnya kepada orang tua (perawatan dan pengobatan yang
diberikan).

b. Berikan dorongan secara moril kepada orang tua.

c. Jelaskan terapi yang diberikan dan respon anak terhadap terapi yang diberikan.

d. Anjurkan kepada keluarga agar bertanya jika melihat hal-hal yang kurang
dimengerti/ tidak jelas.

e. Anjurkan kepada keluarga agar terlibat secara langsung dan aktif dalam perawatan
anaknya.

f. Observasi tingkat kecemasan yang dialami oleh keluarga.


DAFTAR PUSTAKA

Catzel, Pincus & Ian robets. (1990). Kapita Seleta Pediatri Edisi II. alih bahasa oleh Dr.
yohanes gunawan. Jakarta: EGC.

Whalley & wong. (1991). Nursing Care of Infant and Children Volume II book 1.
USA: CV. Mosby-Year book. Inc

Yu. H.Y. Victor & Hans E. Monintja. (1997). Beberapa Masalah Perawatan Intensif
Neonatus. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

9.

Apr

11

IKTERUS

A. Batasan-Batasan

1. Ikterus Fisiologis

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):

 Timbul pada hari kedua-ketiga


 Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.

 Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari

 Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %

 Ikterus hilang pada 10 hari pertama

 Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia

Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15
mg%.

3. Kern Ikterus

Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama
pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah ,
dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

D. Etiologi

1. Peningkatan produksi :

 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat


ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.

 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.

 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik


yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .

 Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.


 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).

 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin


Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.

 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.

2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada


Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.

3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau


toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi ,
Toksoplasmosis, Siphilis.

4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

E . Metabolisme Bilirubin

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah


Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air)
di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis
dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).

Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang
dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Diagram Metabolisme Bilirubin

ERITROSIT

HEMOGLOBIN

HEM GLOBIN

BILIRUBIN INDIREK Terjadi pada


( tidak larut dalal air ) Limpha, Makofag

BESI/FE
BILIRUBIN BERIKATAN Terjadi dalam
DENGAN ALBUMIN plasma darah

MELALUI HATI

BILIRUBIN BERIKATAN Hati


DENGAN GLUKORONAT/
GULA RESIDU BILIRUBIN
DIREK
( larut dalam air )
BILIRUBIN DIREK
DIEKSRESI KE KANDUNG
EMPEDU
Melalui
Duktus Billiaris

KANDUNG EMPEDU KE
DEUDENUM

BILIRUBIN DIREK DI
EKSKRESI MELALUI URINE
& FECES
F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan


. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan


peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata


tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

G. Penata Laksanaan Medis

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan


Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :

1. Menghilangkan Anemia

2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi

3. Meningkatkan Badan Serum Albumin

4. Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi,


Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
Fototherapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan


Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or
bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu
dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk
ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar


Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis
dapat menyebabkan Anemia.

Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek


4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti

Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.

2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.

3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam


pertama.

4. Tes Coombs Positif

5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu


pertama.

6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.

7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.


8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.

9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :

1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)


terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi


(kepekaan)

3. Menghilangkan Serum Bilirubin

4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan


keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera


(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang


meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine


sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.

Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya


kemungkinan dapat disusun sbb:
 Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

 Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-


kadang Bakteri)

 Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:

 Kadar Bilirubin Serum berkala.

 Darah tepi lengkap.

 Golongan darah ibu dan bayi.

 Test Coombs.

 Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi


Hepar bila perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.

 Biasanya Ikterus fisiologis.

 Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau


golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin
cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.

 Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih


mungkin.

 Polisetimia.

 Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis,


pendarahan Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan


yang perlu dilakukan:

 Pemeriksaan darah tepi.

 Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.


 Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.

 Pemeriksaan lain bila perlu.

3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.

 Sepsis.

 Dehidrasi dan Asidosis.

 Defisiensi Enzim G6PD.

 Pengaruh obat-obat.

 Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:

 Karena ikterus obstruktif.

 Hipotiroidisme

 Breast milk Jaundice.

 Infeksi.

 Hepatitis Neonatal.

 Galaktosemia.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:

 Pemeriksaan Bilirubin berkala.

 Pemeriksaan darah tepi.

 Skrining Enzim G6PD.

 Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses
keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.

Pengkajian

1. Riwayat orang tua :

Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.

2. Pemeriksaan Fisik :

Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui


yang lemah, Iritabilitas.

3. Pengkajian Psikososial :

Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.

4. Pengetahuan Keluarga meliputi :

Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal


keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)

2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi

Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi


gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan
asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa
keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.

1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak


adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.

Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat

Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output,
beri air diantara menyusui atau memberi botol.

2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan


efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan

Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 - 37 C,
cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.

3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan


hiperbilirubinemia dan diare

Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan

Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah
posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan
kelembabannya.

4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan

Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.

Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk
stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya,
libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua
mengekspresikan perasaannya.

5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang


diberikan pada bayi.

Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala


untuk menyampaikan pada tim kesehatan

Intervensi :

Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning,
proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara
perawatan bayi dirumah.

6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi

Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat


fototherapi

Intervensi :
Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam
keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan
kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi
hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya
konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara
dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.

7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar

Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi

Intervensi :

Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan
NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam
sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus
serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital;
selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya
ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan
laboratorium sesuai program.

Aplikasi Discharge Planing.

Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan


hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung
jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang
diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.

Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik
dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):

1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-


gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui
menurun.

2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk
mempertahankan kelancaran air susu.

3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan


kadar bilirubin bayi.

4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal


mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :

 Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.

 Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah
sekitar kulit yang rusak.

 Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan


kelembaban kulit.

 Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.

 Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat
mengakibatkan lecet karena gesekan

 Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti


penekanan yang lama, garukan .

 Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena
bab dan bak.

 Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor
kulit, capilari reffil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :

1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38  celsius)

2. Perawatan tali pusat / umbilikus

3. Mengganti popok dan pakaian bayi

4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak
dengan sesuatu yang baru

5. Temperatur / suhu

6. Pernapasan

7. Cara menyusui

8. Eliminasi

9. Perawatan sirkumsisi

10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :

 letargi ( bayi sulit dibangunkan )

 demam ( suhu > 37  celsius)

 muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)

 diare ( lebih dari 3 x)

 tidak ada nafsu makan.

12. Keamanan

 Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting)
yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.

 Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya

 Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil


atau sarana lainnya.

 Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.

DAFTAR PUSTAKA

H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.

Bobak, J. : ”Materity and Gynecologic Care”, Precenton, 1985.

Cloherty, P. John : ”Manual of Neonatal Care”, USA, 1981.

Harper : ”Biokimia”, Jakarta, EGC, 1994.

Jack A. Pritchard dkk : ”Obstetri Williams”, Edisi XVII, Surabaya, Airlangga


University Press, 1991

Marlene Mayers, et. al. : ”Clinical Care Planes Pediatric Nursing”, New York,
Mc.Graw-Hill. Inc, 1995.

Mary Fran Hazinki : ”Nursing Care of Critically Ill Child”, Toronto, The Mosby
Compani CV, 1984.
Susan R. J. et. al. : ”Child Health Nursing”, California, 1988.

Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

10.

Apr

11

HEMOFILIA

A. Definisi

Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah kongenital karena anak kekurangan


faktor pembekuan VIII (Hemofilia A) atau faktor IX (Hemofilia B).

B. Etiologi

Penyebab Hemofilia adalah karena anak kekurangan faktor pembekuan VIII


(Hemofilia A) atau faktor IX (Hemofilia B).

C. Pathofisiologi

Hemofilia merupakan penyakit kongenital yang diturunkan oleh gen resesif x-


linked dari pihak ibu.
Faktor VIII dan faktor IX adalah protein plasma yang merupakan komponen yang
diperlukan untuk pembekuan darah, faktor-faktor tersebut diperlukan untuk
pembentukan bekuan fibrin pada tempat pembuluh cidera.

Hemofilia berat terjadi apabila konsentrasi faktor VIII dan faktor IX plasma kurang
dari 1 %.

Hemofilia sedang jika konsentrasi plasma 1 % - 5 %.

Hemofilia ringan apabila konsentrasi plasma 5 % - 25 % dari kadar normal.

Manifestasi klinis yang muncul tergantung pada umur anak dan deficiensi faktor
VIII dan IX.

Hemofilia berat ditandai dengan perdarahan kambuhan, timbul spontan atau setelah
trauma yang relatif ringan.

Tempat perdarahan yang paling umum di dalam persendian lutut, siku, pergelangan
kaki, bahu dan pangkal paha.

Otot yang tersering terkena adalah flexar lengan bawah, gastrak nemius, &
iliopsoas.

D. Manifestasi Klinis

1. Masa Bayi (untuk diagnosis)

a. Perdarahan berkepanjangan setelah sirkumsisi

b. Ekimosis subkutan di atas tonjolan-tonjolan tulang (saat berumur 3-4 bulan)

c. Hematoma besar setelah infeksi

d. Perdarahan dari mukosa oral.


e. Perdarahan Jaringan Lunak

2. Episode Perdarahan (selama rentang hidup)

a. Gejala awal : nyeri

b. Setelah nyeri : bengkak, hangat dan penurunan mobilitas)

3. Sekuela Jangka Panjang

Perdarahan berkepanjangan dalam otot menyebabkan kompresi saraf dan


fibrosis otot.

E. Komplikasi

1. Artropati progresif, melumpuhkan

2. Kontrakfur otot

3. Paralisis

4. Perdarahan intra kranial

5. Hipertensi

6. Kerusakan ginjal

7. Splenomegali

8. Hepatitis

9. AIDS (HIV) karena terpajan produk darah yang terkontaminasi.

10. Antibodi terbentuk sebagai antagonis terhadap faktor VIII dan IX

11. Reaksi transfusi alergi terhadap produk darah

12. Anemia hemolitik


13. Trombosis atau tromboembolisme

F. Uji Laboratorium dan Diagnostik

1. Uji Laboratorium (uji skrining untuk koagulasi darah)

a. Jumlah trombosit (normal)

b. Masa protrombin (normal)

c. Masa trompoplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktor


koagulasi intrinsik)

d. Masa perdarahan (normal, mengkaji pembentukan sumbatan trombosit


dalam kapiler)

e. Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan diagnostik)

f. Masa pembekuan trompin

2. Biapsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk


pemeriksaan patologi dan kultur.

3. Uji fungsi hati (SGPT, SGOT, Fosfatase alkali, bilirubin)


Lampiran 1

Mekanisme Pembekuan Darah Intrinsik


XII XII teraktivasi

(HMW kinogen, prekalikren)

XI XI teraktivasi

Ca++

IX IX teraktivasi

VIII Ca++

Thrombin

X X
Teraktivasi
Fasfolipid
Trombosit

Trombin

Aktivator

Protrombin

Protrombin Trombin

Ca++

Lampiran 2

Pathway Hemofilia
Kerusakan darah atau

Berkontrak dengan kolagen

XII XII teraktivasi

(HMW kinogen, prekalikren)

XI XI teraktivasi

Ca++

Hemofilia Tanpa IX IX tidak teraktivasi

Tanpa VIII

Fasfolipid Trombosit
Trombin tidak terbentuk

Perdarahan

Jaringan & sendi Sintesa energi terganggu

Nyeri Mobilitas terganggu

Syok
Risiko injuri

Inefektif

Koping Keluarga
G. Pengkajian Keperawatan

1. Pengkajian sistem neurologik

a. Pemeriksaan kepala

b. Reaksi pupil

c. Tingkat kesadaran

d. Reflek tendo

e. Fungsi sensoris

2. Hematologi

a. Tampilan umum

b. Kulit : (warna pucat, petekie, memar, perdarahan membran mukosa atau


dari luka suntikan atau pungsi vena)

c. Abdomen (pembesaran hati, limpa)

3. Kaji anak terhadap perilaku verbal dan nonverbal yang mengindikasikan nyeri
4. Kaji tempat terkait untuk menilai luasnya tempat perdarahan dan meluasnya
kerusakan sensoris, saraf dan motoris.
5. Kaji kemampuan anak untuk melakukan aktivitas perawatan diri (misal :
menyikat gigi)
6. Kaji tingkat perkembangan anak
7. Kaji Kesiapan anak dan keluarga untuk pemulangan dan kemampuan
menatalaksanakan program pengobatan di rumah.
8. Kaji tanda-tanda vital (TD, N, S, Rr).
H. Diagnosa Keperawatan

1. Risiko injuri b.d perdarahan

2. Nyeri b.d perdarahan dalam jaringan dan sendi

3. Risiko kerusakan mobilitas fisik b.d efek perdarahan pada sendi dan jaringan
lain.

4. Perubahan proses keluarga b.d anak menderita penyakit serius

I. Intervensi Keperawatan

DP I

Tujuan : Menurunkan risiko injuri

Intervensi :

1. Ciptakan lingkungan yang aman dan memungkinkan proses pengawasan

2. Beri dorongan intelektual / aktivitas kreatif

3. Dorong OR yang tidak kontak (renang) dan gunakan alat pelindung : helm

4. Dorong orang tua anak untuk memilih aktivitas yang dapat diterima dan aman

5. Ajarkan metode perawatan / kebersihan gigi.

6. Dorong remaja untuk menggunakan shaver hindari ROM pasif setelah episode
perdarahan akut.

7. Beri nasehat pasien untuk mengenakan identitas medis.


8. Beri nasehat pasien untuk tidak mengkonsumsi aspirin, bisa disarankan
menggunakan Asetaminofen.

DP I

Tujuan : Sedikit atau tidak terjadi perdarahan

Intervensi :

1. Sediakan dan atur konsentrat faktor VIII + DDAVP sesuai kebutuhan.

2. Berikan pendidikan kesehatan untuk pengurusan penggantian faktor darah di


rumah.

3. Lakukan tindakan suportif untuk menghentikan perdarahan

 Beri tindakan pada area perdarahan 10 – 15 menit.

 Mobilisasi dan elevasi area hingga diatas ketinggian jantung.

 Gunakan kompres dingin untuk vasokonstriksi.

DP II

Tujuan : Pasien tidak menderita nyeri atau menurunkan intensitas atau skala
nyeri yang dapat diterima anak.

Intervensi :

1. Tanyakan pada klien tengtang nyeri yang diderita.

2. Kaji skala nyeri.


3. Evaluasi perubahan perilaku dan psikologi anak.

4. Rencanakan dan awasi penggunaan analgetik.

5. Jika injeksi akan dilakukan, hindari pernyataan “saya akan memberi kamu
injeksi untuk nyeri”.

6. Hindari pernyataan seperti “obat ini cukup untuk orang nyeri”.

7. “Sekarang kamu tidak membutuhkan lebih banyak obat nyeri lagi”.

8. Hindari penggunaan placebo saat pengkajian/ penatalaksanaan nyeri.

DP III

Tujuan : Menurunkan resiko kerusakan mobilitas fisik.

Intervensi :

1. Elevasi dan immobilisasikan sendi selama episode perdarahan.

2. Latihan pasif sendi dan otot.

3. Konsultasikan dengan ahli terapi fisik untuk program latihan.

4. Konsultasikandengan perawat kesehatan masyarakat dan terapi fisik untuk


supervisi ke rumah.

5. Kaji kebutuhan untuk manajemen nyeri.

6. Diskusikan diet yang sesuai.

7. Support untuk ke ortopedik dalm rehabilitasi sendi.

DP IV
Tujuan : Klien dapat menerima support adekuat.

Intervensi :

1. Rujuk pada konseling genetik untuk identifikasi kerier hemofilia dan beberapa
kemungkinan yang lain.

2. Rujuk kepada agen atau organisasi bagi penderita hemofilia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cecily. L Betz, 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatri, Alih bahasa Jan
Tambayong, EGC, Jakarta.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak 1, Infomedika, Jakarta.

3. Sodeman, 1995, Patofisiologi Sodeman : Mekanisme Penyakit, Editor, Joko


Suyono, Hipocrates, Jakarta.

4. Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius,
FKUI, Jakarta.
Diposting 11th April 2013 oleh Agung Susanto

Tambahkan komentar

Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai