Anda di halaman 1dari 12

B.

Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.
(Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada
sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa
laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E.
Doengoes, 1999).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).

D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis
bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi
karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan
kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla
spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau
T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
E. PATWAY

F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal
dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat.
Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya
adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock
spinal pulih kembali

akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit
kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung
kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).

Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah
tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa
raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera
tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian
terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang
belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera
tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian
terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang
belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).

G. Fase Penyembuhan Tulang


1. Tahap pembentukan hematom
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk kearea
fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematom yang berkembang menjadi
jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari , hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-
benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan
invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menhasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain
sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar frakmen
tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang
melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai
tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoclas, kalus
mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)

I. Penatalaksanaan Medis
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
a. Dislokasi feset >50%
b. Loss of paralelisine dan feset.
c. Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
d. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
e. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
2. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya
dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita
sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan
memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik
pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau
tidaknya transeksi medula spinalis.

J. Komplikasi (Mansjoer, Arif, et al. 2000).


1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi
palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama
dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi
karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan
mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil,
yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak
ditangani segera
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA FRAKTUR TULANG BELAKANG

. 1 Pengkajin
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik
hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah
dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid,Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
Mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

2. Diagnosa
Adapun diagnosa yang yang mungkin kita angkat dan menjadi perhatian pada
fraktur servikal, diantaranya :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmakerusakan
b. Mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan gangguan rasa nyaman nyeri
c. Berhubungan dengan adanya cedera gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan
d. Dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
e. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.

3. Intervensi
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma kerusakan
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat
Dx Intervensi Rasional
a 1) Pertahankan jalan nafas; posisi 1) pasien dengan cedera cervicalis akan
kepala tanpa gerak membutuhkan bantuan untuk
mencegah aspirasi/ mempertahankan
jalan nafas.
2) Lakukan penghisapan lendir bila 2) jika batuk tidak efektif, penghisapan
perlu, catat jumlah, jenis dan dibutuhkan untuk mengeluarkan
karakteristik sekret. sekret, dan mengurangi resiko infeksi
pernapasan.
3) Kaji fungsi pernapasan 3) trauma pada C5-6 menyebabkan
hilangnya fungsi pernapasan secara
partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.
4) Auskultasi suara napas 4) hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi sekret yang
berakibat pnemonia.
5) Observasi warna kulit. 5) menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan
segera
6) Kaji distensi perut dan spasme otot.6) kelainan penuh pada perut
disebabkan karena kelumpuhan
diafragma
7) Anjurkan pasien untuk minum 7) membantu mengencerkan sekret,
minimal 2000 cc/hari. meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.
8) Lakukan pengukuran kapasitas vital,8) menentukan fungsi otot-otot
volume tidal dan kekuatan pernapasan pernapasan. Pengkajian terus menerus
untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.
9) Pantau analisa gas darah. 9) untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan
PaCO2 meningkat.
10) Berikan oksigen dengan cara yang 10) Membentu pasien dalam bernafas
tepat : metode dipilih sesuai dengan
keadaan isufisiensi pernapasan.
11) Lakukan fisioterapi nafas. 11) mencegah sekret tertahan

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan


Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai
cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu
beraktifitas kembali secara bertahap.
Dx Intervensi Rasional
b 1) Kaji secara teratur fungsi motorik. 1) mengevaluasi keadaan secara umum
2) Lakukan log rolling 2) membantu ROM secara pasif
3) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap 3) mencegah footdrop
papan kaki.
4) Ukur tekanan darah sebelum dan 4) mengetahui adanya hipotensi
sesudah log rolling. ortostatik
5) Inspeksi kulit setiap hari. 5) gangguan sirkulasi dan hilangnya
sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
6) Berikan relaksan otot sesuai pesanan 6) berguna untuk membatasi dan
seperti diazepam. mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

Dx Intervensi Rasional
c 1) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. 1) pasien melaporkan nyeri biasanya diatas
Rasional tingkat cedera.
2) Bantu pasien dalam identifikasi faktor 2) nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan,
pencetus. ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan
berbaring lama.
3) Berikan tindakan kenyamanan. 3) memberikan rasa nayaman dengan cara
membantu mengontrol nyeri.
4) Dorong pasien menggunakan tehnik 4) memfokuskan kembali perhatian,
relaksasi. meningkatkan rasa kontrol.
5) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. 5) untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk
menghilangkan kecemasan dan meningkatkan
istirahat.
d. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rectum
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Dx Intervensi Rasional
d 1) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan1) bising usus mungkin tidak ada selama syok
karakteristiknya. spinal.
2) Catat adanya keluhan mual dan ingin 2) pendarahan gantrointentinal dan lambung
muntah, pasang NGT. mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
3) Berikan diet seimbang TKTP cair 3) meningkatkan konsistensi feces
4) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. 4) merangsang kerja usus

e. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.


Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Dx Intervensi Rasional
e 1) Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.1) mengetahui fungsi ginjal
2) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.2)
3) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. 3) membantu mempertahankan
fungsi ginjal.
4) Pasang dower kateter. 4) membantu proses
pengeluaran urine

4. Implementasi
Sesuai dengan Intervensi.
5. Evaluasi
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa cedera medulla spinalis
adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah
medulla spinalis. Penyebab dari cidera medulla spinalis adalah otomobil, industri , terjatuh,
olahraga, terluka tusuk, tembak ,tumor. Tanda dan gejala cedera spinalis Menurut campbell
(2004), yaitu : Kelemahan otot, Deformitas tulang belakang, Nyeri, Perubahan bentuk pada
tulang servikal, Kehilangan kontrol eliminasi dan feses,Terjadi gangguan ereksi penis
(priapism).

Pemeriksaan diagnostic cedera spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan (2009)


adalah : Foto Polos, CT Scan, MRI, Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf.
Komplikasi cedera spinalis diantaranya Neurogenik shock , hipoksia, instabilitas spinal,
infeksi saluran kemih, kontraktur, dekubitus, inkontinensia blader, Dan konstipasi.
Diagnosa banding cedera spinalis yaitu Herniasi discus lumbalis dan kompresi medulla
spinalis.

B. Saran :

Selayaknya seorang mahasiswa keperawatan dan seorang perawat dalam setiap


pemberian asuhan keperawatan termasuk dalam asuhan keperawatan cedera medulla
spinalis menggunakan konsep yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia yang bersifat
holistic yang meliputi aspek biopsikospiritual dan semoga makalah ini dapat digunakan
sebagai titik acuh khalayak umum.
DAFTAR PUSTAKA

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company,
Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, Mansjoer, A. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai