Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspal

Aspal dalam bahasa yang umum dikenal juga dengan "tar". Untuk kata "tar" atau
"aspal" sering digunakan secara bergantian, mereka memiliki arti yang berbeda. Salah
satu alasan untuk kebingungan ini disebabkan oleh fakta bahwa, di antara negara-
negara lain, ada perbedaan substansial dalam arti dihubungkan dengan periode yang
sama. Sebagai contoh, aspal minyak di Amerika Serikat disebut dengan aspal,
sedangkan di Eropa "aspal" adalah campuran agregat batu dan aspal yang digunakan
untuk pembangunan jalan. Di Eropa, istilah aspal menunjukkan residu dari
penyulingan minyak bumi.

Bitumen adalah campuran hidrokarbon yang tinggi berat molekul. rasio


persentase antara komponen bervariasi, sehubungan dengan asal-usul minyak mentah
dan metode distilasi. Bahkan, aspal sudah dikenal sebelum awal eksploitasi ladang
minyak sebagai produk asal alam, yang disebut dalam hal ini adalah aspal asli. Bitunie
adalah produk alami tidak lagi digunakan dalam industri. Bitumen diperoleh sebagai
produk sampingan dari penyulingan minyak bumi dapat digunakan sebagai atau
mengalami proses fisik dan kimia yang mengubah komposisi dalam rangka untuk
memberikan sifat tertentu. Operasi yang paling umum adalah proses oksidasi dan
pencampuran dengan polimer yang berbeda.

Aspal adalah campuran aspal dan bahan batu (kerikil, pasir, debu). Tar, yang
sesuai dengan tar kata Inggris, adalah bahan yang terlihat mirip dengan aspal, tapi
benar-benar berbeda dalam asal dan komposisi, dan, pada kenyataannya, yang
diperoleh dari penyulingan litantrace (batubara). Materi ini, dibandingkan dengan
aspal, menunjukkan kandungan lebih tinggi dari hidrokarbon aromatik polisiklik dan
senyawa lain yang banyak mengandung oksigen, nitrogen dan belerang. Di banyak

Universitas Sumatera Utara


negara, di masa lalu, tar batubara sering diganti atau dicampur dengan aspal dalam
industri. Penggunaan tersebut, sekarang seluruhnya berhenti, telah menyebar
kebiasaan baik menggunakan dua istilah dalam tar umum digunakan dan aspal
(Anonim, 2010b). Gambar berikut merupakan struktur kimia dari aspal

Gambar 2.1 Struktur Aspal

2.1.1. Sumber Aspal

Sumber aspal dari kilang minyak (refinery bitumen). Aspal yang dihasilkan
dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal sebagai residual bitumen,
straight bitumen atau steam refined bitumen. Istilah refinery bitumen merupakan nama
yang tepat dan umum digunakan.

Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses
destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga
suhu 350 oC di bawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi minyak
seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan gas oil. (Wignall, 2003).
Berikut diagram alir bermacam jenis aspal dan proses sebelumnya dari minyak bumi.

Universitas Sumatera Utara


Minyak Mentah
(Crude Petroleum)

Bensin/Gasoline Minyak Tanah Minyak diesel Minyak Pelumas Aspal

bercampur

(rektifikasi udara)

Minyak Creosole
Batubara-Tar

Fluks

Aspal Cut Back Minyak penetrasi Aspal

Emulsifier dalam air

Emulsi Aspal Emulsi aspal


Cut back penetrasi

Gambar 2.2 Bermacam Jenis Aspal dan Proses Sebelumnya dari Minyak Bumi

2.1.2. Jenis – Jenis Aspal

Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan proses
pembentukannya adalah sebagai berikut :

Aspal Alamiah. Aspal alamiah ini berasal dari berbagai sumber, seperti pulau
Trinidad dan Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan
zat-zat anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal dari Bermuda
mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal
minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak penting.

Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang
diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di
Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan

Universitas Sumatera Utara


lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada
daerah-daerah tertentu saja.

Aspal minyak bumi perrtama kali digunakan di Amerika Serikat untuk


perlakuan jalan pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang berasal
dari minyak mentah domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky, Ohio,
Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain, California, dan
Alaska. Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela, Colombia, dan Timur
Tengah. Sebesar 32 juta ton telah digunakan pada tahun 1980 (Oglesby, C.H., 1996).

Aspal Beton atau Asphalt Concrete (AC) merupakan jenis aspal yang paling
umum digunakan dalam proyek-proyek konstruksi seperti permukaan jalan, bandara,
dan tempat parkir. Aspal ini terbagi atas beberapa jenis yaitu :
1. Aspal Beton Campuran Panas atau Hot Mix Asphalt Concrete (HMAC),
diproduksi dengan memanaskan aspal untuk mengurangi viskositas, dan
pengeringan agregat untuk menghilangkan uap air sebelum pencampuran.
Pencampuran dilakukan umumnya pada temperatur sekitar 300 F (150 oC), untuk
aspal polimer modifikasi, dan aspal semen sekitar pada temperatur 200 F (95 oC).
Untuk pemadatan dilakukan sementara aspal cukup panas. HMAC merupakan
jenis aspal yang paling umum dipakai pada jalan raya.
2. Aspal Beton Campuran Hangat (WMAC), diproduksi dengan penambahan zeolit,
lilin atau asapal emulsi untuk campuran. Penggunaan zat aditif dalam campuran
tersebut untuk lebih mudah melakukan pemadatan pada cuaca yang dingin.
3. Aspal Beton Campuran Dingin (CMAC), dipoduksi oleh emulsifier aspal dalam
air dengan sabun sebelum pencampuran dengan agregat. Aspal ini umumnya
digunakan sebagai bahan penambal pada jalan-jalan yang lebih kecil.
4. Aspal Beton Cut Back, diproduksi dengan melarutkan bahan pengikat dalam
minyak tanah atau fraksi yang lebih ringan dari minyak bumi sebelum
pencampuran dengan agregat.
5. Aspal Beton Mastis, diproduksi dengan memanaskan aspal keras dalam hot mixer
sampai menjadi cairan yang lebih kental yang kemudian campuran agregat
ditambahkan.

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Kandungan Aspal

Dari sudut pandang kualitatif, aspal terdiri dari dua kelas utama senyawa: yang
asphaltenes dan Malteni. Asphaltenes, dalam 5 sampai 25% berat adalah campuran
kompleks dari hidrokarbon, terdiri dari cincin aromatik kental dan senyawa
heteroaromatic mengandung belerang. Ada juga amina dan amida, senyawa oksigen
(keton, fenol atau asam karboksilat), nikel dan vanadium (Anonim, 2010b). Gambar
berikut struktur kimia dari asphaltene.

Gambar 2.3 Struktur Asphaltene

Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturates, aromatis,


dan resin. Dimana masing-masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia
yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen. Aspal merupakan
senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom-atom N,
S, dan O dalam jumlah yang kecil, juga beberapa logam seperti Vanadium, Ni, fe, Ca
dalam bentuk garam organik dan oksidanya. Dimana unsur-unsur yang terkandung
dalam bitumen adalah Karbon (82-88%), Hidrogen (8-11%), Sulfur (0-6%), Oksigen
(0-1,5%), dan Nitrogen (0-1%).

Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan
kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan
struktur utamanya oleh ”polisiklik aromatis hidrokarbon” yang sangat kompak.
(Nuryanto, A. 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Polipropilena

Polipropilena merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk ke dalam polimer


termoplastik yang dapat diolah pada suhu tinggi. Polipropilena berasal dari monomer
propilena yang diperoleh dari pemurnian minyak bumi. Struktur molekul propilena dapat
dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.4 Struktur Molekul Propilena

Secara industri, polimerisasi polipropilena dilakukan dengan menggunakan katalis


koordinasi. Proses polimerisasi ini akan dapat menghasilkan suatu rantai linear yang
berbentuk -A-A-A-A-A- , dengan A merupakan propilena. Reaksi polimerisasi dari
propilena secara umum dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.5 Reaksi Polimerisasi Dari Propilena Menjadi Polipropilena

2.2.1 Karakterisasi Polipropilena

Nama kimianya yaitu Poli (1-metiletilena), sama artinya dengan Polipropilena;


Polipropena; Polipropene 25 [USAN]; Polimer Propena; Polimer Propilena;
Homopolimer 1-Propena. Formula kimia (C3H6)x, dengan monomer Propilena
(Propena). Untuk Nomor CAS 9003-07-0 (ataktik), 25085-53-4 (isotaktik), dan
26063-22-9 (sindiotaktik). Sedangkan kristalinitas yaitu berbentuk amorf ukuran 0.85

Universitas Sumatera Utara


g/cm3 dan berbentuk kristalin ukuran 0.95 g/cm3. Untuk titik lebur ~ 165 °C, dengan
suhu transisi kaca -10°C, dan titik degradasi 286 °C (559 K).

2.2.2 Struktur Kristalinitas Polipropilena

Kristalinitas merupakan sifat penting yang terdapat pada polimer. Kristalinitas


merupakan ikatan antara rantai molekul sehingga menghasilkan susunan molekul yang
lebih teratur. Pada polimer polipropilena, rantai polimer yang terbentuk dapat tersusun
membentuk daerah kristalin (molekul tersususn teratur) dan bagian lain membentuk
daerah amorf (molekul tersususn secara tidak teratur). (Cowd, 1991).

Dalam struktur polimer atom-atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut
antara ikatan C-C 109,5 o dan membentuk rantai zigzag planar sebagai berikut :

Gambar 2.6 Atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut 109,5o

Untuk polipropilena struktur zigzag planar dapat terjadi dalam tiga cara yang
berbeda-beda tergantung pada posisi relative gugus metal satu sama lain di dalam rantai
polimernya. Ini menghasilkan struktur isotaktik, ataktik dan sindiotaktik.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7 Struktur tiga dimensi dari polipropilena, (a)isotaktik, (b) ataktik, dan
(c) sindiotaktik

Ketiga struktur polipropilena tersebut pada dasarnya secara kimia berbeda satu
sama lain. Polipropilena ataktik tidak dapat berubah menjadi polipropilena
sindiotaktik atau menjadi struktur lainnya tanpa memutuskan dan menyususn kembali
beberapa ikatan kimia. Struktur yang lebih teratur memiliki kecenderungan yang lebih
besar untuk berkristalisasi dari pada struktur yang tidak teratur. Jadi, struktur isotaktik
dan sindiotaktik lebih cenderung membentuk daerah kristalin dari pada ataktik.

Polipropilena berstruktur stereogular seperti isotaktik dan sindiotaktik adalah


sangat kristalin, bersifat keras dan kuat. Dalam struktur polipropilena ataktik gugus
metal bertindak seperti cabang-cabang rantai pendek yang muncul pada sisi rantai
secara acak. Ini mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan daerah-daerah rantai yang
sama (tersusun) sehingga mempunyai sifat kristalin rendah menyebabkan tingginya
kadar oksigen pada bahan tersebut sehingga bahan polimer ini mudah terdegradasi
oleh pengaruh lingkungan seperti kelembaban cuaca, radiasi sinar matahari dan lain
sebagainya (Schwarts, 1991).

2.2.3 Sifat – Sifat Polipropilena

Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan, densitas 0,90 –
0,92, memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil
terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan
penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan
polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking) walaupun
pada temperatur tinggi. Kerapuhan polipropilena dibawah 0 oC dapat dihilangkan

Universitas Sumatera Utara


dengan penggunaan bahan pengisi. Dengan bantuan pengisi dan penguat, akan
terdapat adhesi yang baik.(Gachter, 1990).

Polimer yang memiliki konduktivitas panas rendah seperti polipropilena


(konduktivitas = 0,12 W/m) kristalinitasnya sangat rentan terhadap laju pendinginan.
Misalnya dalam suatu proses pencetakan termoplastik membentuk barang jadi yang
tebal dan luas, bagian tengah akan menjadi dingin lebih lambat dari pada bagian luar,
yang bersentuhan langsung dengan cetakan. Akibatnya, akan terjadi perbedaan derajat
kristalinitas pada permukaan dengan bagian tengahnya.

Polipropilena mempunyai tegangan (tensile) yang rendah, kekuatan benturan


(impact strength) yang tinggi dan ketahan yang tinggi terhadap pelarut organik.
Polipropilena juga mempunyai sifat isolator yang baik mudah diproses dan sangat
tahan terhadap air karena sedikit sekali menyerap air, dan sifat kekakuan yang tinggi.
Seperti polyolefin lain, polipropilena juga mempunyai ketahan yang sangat baik
terhadap bahan kimia anorganik non pengoksidasi, deterjen, alcohol dan sebagainya.
Tetapi polipropilena dapat terdegradasi oleh zat pengoksidasi seperti asam nitrat dan
hidrogen peroksida. Sifat kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan daya regangannya
tinggi, kaku dan keras. (Almaika, 1983)

2.2.4 Degradasi Polipropilena

Tsucia dan Summil telah meneliti hasil dari dekomposisi termal polipropilena
isotaktik pada suhu 360°C, 380°C dan 400 oC dalam ruang hampa. Kiran dan Gillham
juga telah mempelajari degradasi termal polipropilena isotaktik. Hasil yang diperoleh
oleh Kiran clan Gillhan ternyata sama seperti yang diperoleh Tsucia clan Summi.
Kiran dan Gillham menyarankan mekanisme degradasi termal Polipropilena sebagai
berikut : Radikal primer dan sekunder selanjutnya akan terpolimerisasi sehingga akan
menjadi monomer-monomer. Reaksi perpindahan radikal intra molekular akan
menghasilkan radikal tersier.(Bark 1982).

Universitas Sumatera Utara


2.3 Maleat Anhidrida

Maleat anhidrida masih digunakan dalam penelitian polimer. Maleat anhidrida


dapat dibuat dari asam maleat, seperti reaksi dibawah ini :

Gambar 2.8 Pembentukan Maleat Anhidrida

Maleat anhidrida dengan berat molekul 98,06,- larut dalam air, meleleh pada
temperatur 57- 60 oC, mendidih pada 202oC dan spesifik grafiti 1,5.g/cm3. Maleat
anhidrida adalah senyawa vinil tidak jenuh merupakan bahan mentah dalam sintesa resin
poliester, pelapisan permukaan karet, deterjen, bahan aditif dan minyak pelumas,
plastisizer dan kopolimer. Maleat anhidrida mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya
ikatan etilenik dengan gugus karbonil didalamnya, ikatan ini berperan dalam reaksi adisi
(Arifin, 1996).

2.4 Dikumil Peroksida

Beberapa jenis monomer, khususnya stirena dan metal metakrilat dan beberapa
sikloalkana cincin teregang, mengalami polimerisasi oleh pemanasan tanpa hadirnya
suatu inisiator radikal bebas tambahan. Akan tetapi sebagian monomer memerlukan
beberapa jenis inisiator.

Inisiator radikal bebas dikelompokkan menjadi empat tipe utama, yaitu :


peroksida dan hidroperoksida, senyawa azo, inisiator redoks dan beberapa senyawa
membentuk radikal bebas dibawah pengaruh cahaya (fotoinisiator). Radiasi berenergi

Universitas Sumatera Utara


tinggi bisa juga menimbulkan polimerisasi radikal bebas, meskipun radiasi seperti ini
jarang digunakan.(Stevens, 2001).

Diantara berbagai tipe inisiator, peroksida (ROOR) dan hidroperoksida


(ROOH) merupakan jenis yang paling banyak digunakan. Mereka tidak stabil dengan
panas dan terurai menjadi radikal-radikal pada suatu suhu dan laju yang tergantung
pada strukturnya. Yang ideal, suatu inisiator peroksida mestilah relatif stabil pada
suhu pemrosesan polimer untuk menjamin laju reaksi yang layak (Stevens, 2001).

Teknik crosslinking (ikat silang) karet dengan peroksida telah dikenal sejak
lama. Keuntungan umum menggunakan peroksida sebagai zat ikat silang adalah
ketahanannya baik pada suhu tinggi dalam waktu yang lama, keelastisannya yang
baik, dan tidak ada penghilangan warna pada produk akhir.

Gambar 2.9 Struktur Dikumil Peroksida

2.5 Agregat

Menurut Silvia Sukirman, (2003), agregat merupakan butir-butir batu pecah,


kerikil, pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun buatan yang
berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen.
Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu yaitu 90 –
95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75 –85% agregat berdasarkan
persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari
sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.

Universitas Sumatera Utara


Sifat agregat merupakan salah satu faktor penentu kemampuan perkerasan
jalan memikul beban lalu lintas dan daya tahan terhadap cuaca. Sifat agregat yang
menentukan kualitasnya sebagai material perkerasan jalan adalah: gradasi, kebersihan,
kekerasan ketahanan agregat, bentuk butir, tekstur permukaan, porositas, kemampuan
untuk menyerap air, berat jenis, dan daya kelekatan terhadap aspal. Sifat agregat
tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis batuannya.

2.5.1 Jenis Agregat

Agregat menurut asal kejadiannya dapat dibagi menjadi 3 jenis :


1. Batuan Beku (igneous rock). Batuan yang berasal dari magma yang mendingin
dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar (extrusive igneous rock) dan
batuan beku dalam (intrusive igneous rock).
2. Batuan Sedimen. Berasal dari campuran partikel mineral, sisa hewan dan tanaman.
Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi, hasil endapan di
danau, laut dan sebagainya.
3. Batuan Metamorfik. Berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang
mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan
temperatur dari kulit bumi.

Agregat menurut proses pengolahannya dapat dibagi atas 3 jenis :


1. Agregat Alam. Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di alam
atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat ini terbentuk melalui proses erosi
dan degradasi. Bentuk partikel dari agregat alam ditentukan proses
pembentukannya.
2. Agregat melalui proses pengolahan. Digunung-gunung atau dibukit-bukit, dan
sungai-sungai sering ditemui agregat yang masih berbentuk batu gunung, dan
ukuran yang besar-besar sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu
sebelum dapat digunakan sebagai agregat konstruksi jalan.
3. Agregat Buatan. Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan
ukuran < 0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen atau
mesin pemecah batu.

Universitas Sumatera Utara


Agregat, berdasarkan ukuran butirannya dapat dibagi atas 3 bagian menurut
The Asphalt Institut, (1993), dalam Manual Series No. 2 (MS-2) :
1. Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan No.
8 (2,36 mm)
2. Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus dari saringan
No.8 (2,36 mm).
3. Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75% lolos
saringan no. 30 (0,06 mm).

2.5.2 Agregat Halus Pasir

Pasir adalah bahan batuan halus yang terdiri dari butiran sebesar 0,14 - 5 mm
didapat dari hasil disintegrasi batu alam (natural sand) atau dapat juga pemecahanya
(artifical sand), dari kondisi pembentukan tempat terjadinya pasir alam dapat
dibedakan atas : pasir galian, pasir sungai, pasir laut yaitu bukit-bukit pasir yang
dibawa ke pantai (Setyono, 2003).

Pasir merupakan agregat halus yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam
campuran aspal beton. Agregat ini menempati kurang lebih 70% dari volume aspal,
sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kekuatannya (Setyawan, 2006).

Senyawa kimia silikon dioksida, juga yang dikenal dengan silika (dari bahasa
latin silex), adalah oksida dari silikon dengan rumus kimia SiO2 dan telah dikenal
sejak dahulu kekerasannya. Silika ini paling sering ditemukan di alam sebagai pasir
atau kuarsa, serta di dinding sel diatom.

Universitas Sumatera Utara


2.6 Karakterisasi Polimer Modifikasi Aspal (PMA)

2.6.1 Karakterisasi PMA dengan Uji Kuat Tekan

Pemeriksaan uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan
kekuatan tekan yang sebenarnya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak.
Pada mesin uji kuat tekan benda diletakkan dan diberikan beban sampai benda runtuh,
yaitu pada saat beban maksimum bekerja.

Pengukuran kuat tekan (compressive strength) aspal polimer dapat dihitung


dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

F
P= (2.1)
A

Dengan : P = Nilai kuat tekan, kgf/mm2


F = gaya maksimum dari mesin tekan, kgf
A = Luas penampang yang diberi tekanan, mm2

2.6.2 Karakterisasi PMA dengan Uji Daya Serap Air

Untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal polimer, dihitung


dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

(M j − M k )
WA = x100% (2.2)
Mk

Dengan : WA = Daya serap air (%)


Mk = massa sampel kering (kg)
Mj = massa jenuh air (kg) (Newdesnetty, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.6.3 Karakterisasi PMA dengan DTA

Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan metode yang paling sering


digunakan saat ini untuk penelitian-penelitian kuantitatif terhadap transisi termal
dalam polimer. Dalam metode Differential Thermal Analysis (DTA) suatu sampel
polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan
kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Ukuran
sampel bervariasi dari sekitar 0,5 sampai 10 mg. meskipun kedua metode memberikan
tipe informasi yang sama, terdapat perbedaan yang signifikan dalam instrumentasinya.
(Stevens, 2001).

Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang


perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses
kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam
bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (Tg) sangat
penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran
beberapa polimer.

Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak Tg


(eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. Tg campuran biasanya
berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen
digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.

Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur


bahan polimer. Campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg,
karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah
antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda. Pengamatan termal campuran
polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi, yang merupakan
faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995). Berikut gambar yang
menunjukkan pola kuva umum DTA.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.10 Pola Umum Kurva DTA

Sifat termal polimer merupakan salah satu sifat yang paling penting karena
menentukan sifat mekanis bahan polimer. Senyawa – senyawa polimer menunjukkan
suhu transisi gelas pada suhu tertentu. Senyawa polimer amorf seperti polistirena dan
bagian amorf dari polimer semi – kristalin seperti polietilen memiliki suhu transisi
gelas (Tg), namun polimer kristalin murni seperti elastomer tidak memiliki suhu
transisi gelas, namun hanya menunjukkan suhu leleh (Tm) (Kristian, 2008).

2.6.4 Karakterisasi PMA dengan FT-IR

Intrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada
berbagai panjang gelombang disebut spektrofometer infra merah (Fessenden F, 1997).
Alat spektrofotometer infra merah pada dasarnya terdiri dari komponen-komponen pokok
yang sama dengan alat spektrofotometer ultra lembayung dan sinar tampak, yaitu terdiri
dari sumber sinar, monokromator berikut alat-alat optik seperti cermin dan lensa, sel
tempat cuplikan, detektor amplifier dan alat dengan skala pembacaan atau alat perekam
spektra (recorder) akan tetapi disebabkan kebanyakan bahan dalam menstransmisikan
radiasi infra merah berlainan dengan sifatnya dalam menstransmisikan radiasi ultra
lembayung, sinar tampak, sifat dan kemampuan komponen alat tersebut diatas berbeda
untuk kedua jenis alat spektrofotometer itu.

Keuntungan pemakaian sistem berkas rangkap pada alat spektrofotometer adalah :


1. Memperkecil pengaruh penyerapan sinar infra merah oleh CO2 dan uap air dari udara.

Universitas Sumatera Utara


2. Mengurangi pengaruh hamburan (scattering) sinar infra merah oleh partikel-partikel
debu yang ukurannya mendekati nilai rata-rata panjang gelombang infra merah.
3. Kalau blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan dengan sistem berkas
rangkap itu pita-pita serapan pelarut tidak akan timbul pada spektra yang direkam.
4. Sistem berkas rangkap mengurangi pengaruh ketidak stabilan pancaran sumber sinar
dan detektor.
5. Perekaman otomatis dapat dilakukan (scanning) (Noerdin, 1985).

Sistem analisis spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan


dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisis infra
merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada
daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui
pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan
spektra yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun
material dan struktur molekulnya. Umumnya pita serapan polimer pada spektra infra
merah (IR) adalah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm-1 yang sampai 2900
cm -1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung suatu analisis material
(Hummel, 1985)

2.6.5 Karakterisasi PMA dengan SEM

SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan alat yang dapat membentuk


bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan
mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih udah mempelajari struktur permukaan
itu secara langsung. Pada SEM suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-
scan meyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam
tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang akan terhambur digunakan untuk
memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang
memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang
hampir tiga dimensi (Stevens, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai