BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. menjelaskan cara mendiagnosisnKEP.
2. menjelaskan penanganannya penyakit KEP.
3. menjelaskan penyakit penyerta pada KEP.
1.4. Manfaat
Bagi pembuat makalah :
1. Menambah wawasan pengetahuan tentang keshatan
2. Agar dapat mengetahui cara penanggulana penyakit
Bagi pembaca makalah :
1. Menambah wawasan pengetahuan kesehatan bagi masyarakat
2. Supaya lebih memperhatikan kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
Hal lain yang juga menumbuh suburkan KKP dikalangan bayi dan anak adalah penurunan
minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara
menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam keluarga terkesan masih timpang.
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur
penyimpangan hasil produksi pasca panen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat
rusak. Bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi
pangan.
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran kaum lansia, kecanduan
alkohol dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai KKP. Selain itu budaya yang
menabukan makanan tertentu (terutama pada balita serta ibu hamil dan menyusui) dan
mengkonsumsi bahan bukan pangan akan memicu serta sekaligus melestarikan KKP.
Komponen biologi yang menjadi latarbelakang KKP antara lain, malnutrisi ibu, baik sebelum
maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi potein. Seorang ibu yang
mengalami KKP selama kurun waktu tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi
berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KKP tersebut tidak akan
mampu mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat selama dalam kandungan maupun
setelah lahir.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KKP. Penyakit diare,
campak, dan infeksi saluran napas kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran
pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan,
menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme
meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat gizi.
Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan
anak yang sedang tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia
kurang dari 1 tahun, sementara kwasiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia
kurang 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan
karena mereka umumnya telah pandai “mencari makan” sendiri. Remaja, dewasa muda
(utamanya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak menyusui, memiliki angka prevalensi paling
rendah.
2.3.2. Pankreas
Malnutrisi mengakibatkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan mengganggu fungsi
pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi pankreas bersama sama dengan
intoleransi disakarida akan menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut
sebagai diare.
2.3.3. Hati
Pengaruh malnutrisi pada hati bergantung pada lama serta jenis zat gizi yang berkurang.
Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali terkuras sehingga zat lemak kemudian
tertumpuk dalam sel-sel hati. Manakala kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara
kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah hepatosit relatif tidak
berubah.
Ukuran hati penderita kwasiorkor membesar serta mengandung banyak glikogen. Infiltrasi
lemak merupakan gambaran menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan
trigliserida. Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi “retikulum endoplasma
halus”, sementara jumlah “retikulum endoplasma kasar” menurun. Mekanisme bagaimana
kedua hal ini terjadi belum di ketahui.
2.3.4. Ginjal
Meskipun fungsi (agak) normal ginjal masih dapat dipertahankan, GFR (Gromerular
Filtration Rate) dan RPF (Renal Plasma Flow) telah terbukti menurun. Penelitian di
Minnesota membuktikan bahwa keadaan semikelaparan dapat mengakibatkan poliuri (tampak
jelas setelah 6 minggu kelaparan) dan nokturia. Gangguan kemampuan untuk pemekatan
urine diperkirakan sebagai akibat dari penurunan jumlah urea dalam medula yang disertai
penyusutan medullary osmolar gradient. Pemeriksaan laboratorium urine berupa: berat jenis
(BJ) rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara protein tidak ada secara
histologis, tidak ada perubahan yang bermakna.
2.4. Diagnosis
Gambaran klinis, biokimiawi, dan fisiologi KKP bervariasi dari orang-orang dan bergantung
pada keparahan KKP, usia penderita, ada atau tidaknya kekurangan gizi zat lain, keberadaaan
penyakit penyerta, dan kekurangan yang dominan eneridan protein.
Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik, karena tanda dan
gejala klinis serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak mengalami perubahan,
terkecuali jika pnyakit ini telah sedemikian “parah”.
Klasifikasi serta lamanya penyakit yang telah berlangsug juga ditentukan secara
antropometris. Riwayat pangan bermanfaat terutama dalam mengukur status gizi orang
dewasa. Defisit energi dan protein derajat ringan sampai sedang dinilai terutama dengan
riwayat kebiasaan pangan perorangan atau masyarakat, serta ketersediaan pangan itu sendiri.
Karakteristik klinis dan biokimiawi berguna untuk pemastian diagnosis KKP berat. Parameter
yang wajib diperiksa pada penderita KKP tercantum dalam “Anamesis dam pemeriksaan fisik
KKP pada anak”.
Pemeriksaan Fisik
Berat dan (panjang) tinggi badan
Edema
Pembesaran dan kenyerian hati
Pucat yang parah
Ketegangan perut,suara usus
Tanda kolaps sirkulasi;tangan dan kakai dingin, denyut nadi radial lemah, kesadaran
menurun
Suhu tubuh: hiportemia atau demam
Rasa haus
Mata: lesi kornea menandakan KVA
THT: tanda infeksi
Kulit adakah tanda infeksi atau purpura
Frekuensi dan jenis pernafasan; tanda pneumonia atau gagal jantung
Tampilan Tinja
Interpretasi perbandingan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan jika seseorang dipaksa
untuk memutuskan apakah nilai yang diharapkan itu harus 100%, atau 90%, atau dengan
proporsi lain lagi. Sekedar pembakuan WHO menganjurkan penggunaaan dari NCHS sebagai
acuan.
Penilaian antropometris status gizi dan KKP didasarkan pada pengukuran berat dan tinggi
badan, serta usia. Data ini dipakai dalam menghitung 2 macam indeks, yaitu indeks (1) berat
terhadap tinggi badan yang diperuntukkan sebagai petunjuk dalam penentuan status gizi
sekarang; dan (2) tinggi terhadap usia yang digunakan sebagai petunjuk keadaan gizi di masa
lampau. Kekurangan tinggi terhadap usia meriwayatkan satu masa ketika pertumbuhan tidak
terjadi (gagal) pada usia dini selama periode yang agak lama.
Sayang sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan dengan kwasiorkor.
Akibatnya, anak yang mempunyai rasio berat badan terhadap usia sangat rendah tidak
termasuk sebagai penderita KKP karena anak yang kurus ini memiliki tinggi badan yang
rendah pula. Namun demikian, pengelompokkan KKP sebagai derajat I (75-90% dari acuan
berat terhadap usia), II (60-75%), dan III ( < 60%) sangat berfaedah dalam penelitian
epidemiologis dan kesehatan masyarakat karena proporsi anak dimasyarakat yang suatu
ketika dalam hidupnya pernah mengalami KKP dapat ditentukan.
Departemen Kesehatan RI (2000), berdasarkan Temu Pakar Gizi di Bogor tanggal 19-21
Januari dan di Semarang tanggal 24-26 Mei tajun 2000, merekomendasikan baku WHO-
NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari sini klasifikasi KKP
kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah tinggi dan berat, sementara penyajian indeks
digunakan simpangan baku (lihat tabel 7).
Berlainan dengan metode yang digunakan untuk menilai keadaan gizi anak, status gizi remaja
dan dewasa ditentukan dengan menggunakan indikator indeks masa tubuh (body mass
index/BMI).
Tabel 8. Klasifikasi KKP dewasa berdasarkan BMI
Dikutip dari “Buku Ajar Ilmu Gizi:Gizi dalam Daur Kehidupan”, Dr.Arisman, MB 2007
Indeks masa tubuh, yaitu pembagian berat dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan
dalam meter, dianjurkan untuk mengukur status gizi remaja dan dewasa. Kriteria yang
dianjurkan oleh “International Working Party” terpapar dalam tabel 8. Berdasarkan data
pengukuran orang kulit putih dan berwarna di Amerika Serikat, diagnosis KKP bai kaum
remaja dibatasi <15, dan <16.5 untuk usia masing-masing 11-13 dan 14-17 tahun.
2.8.2. Hipotermia
Hipotermia karap terjadi pada bayi yang berusia kurang dari 12 bulan dan mereka yang
menderita marasmus dengan kerusakan kulit yang parah serta infeksi berat. Anak mesti
dihangatkan manakala suhu rektal terukur kurang dari 35,50C atau suhu ketiak dibawah
350C. Semua anak yang yang mengalami hipotermia harus diobati untuk hipoglikemia dan
infeksi sistemik.
Anak dengan dihidrasi harus mempunyai latar belakang diare berair. Tinja penderita KKP
berat kerap berlendir. Seseorang yang anak yang menunjukan tanda dehidrasi, namun tidak
ada riwayat diare berair, mesti diobati sebagai “renjatan septik”.
Bola mata yang cekung dapat membantu pemeriksa mendiagnosis dehidrasi. Kelemahan atau
hilangnya denyut nadi pada arteri radialis menandakan terjadinya renjatan, abaik akibat
dehidrasi berat maupun sepsis. Jika denyut arteri karotis, femoris, dan brakial lemah berarti
anak tengah menunggu maut dan harus diobati dengan sangat segera.
Keadaan mental anak KKP biasanya aptis jika dibiarkan sendiri, dan rewel jika didekati.
Kesadaran penderita akan lenyap secara progresif jika dehidrasi memburuk.
Tanda renjatan septik :
• Ancaman mengarah ke keadaan renjatan septik
• Renjatan septik yang tengah berlangsung.
Pengobatan dehidrasi
Proses rehidrasi sabaiknya dilakukan secara oral karena pemberian per infus dapat
menyebabkan kelebihan cairan dan gagal ginjal. Pemberian secara perenteral boleh
diberlakukan hanya dalam keadaan renjatan (syok).
Cairan rehidrasi oral harus mengandung lebih banyak kalium ketimbang natrium karena
penderita KKP berat selalu mengalami defisiensi kaliaum serta kelebihan natrium.
Rehidrasi berhasil jika anak tidak lagi kehausan, sudah dapat berkemih, dan tanda
dehidrasi lain hilang. Agar anak tidak mengalami dehidrasi lagi, anak harus tetap diberi
minum. Sebagai patokan, jika anak berusia kurang dari 2 tahun, berikan 50-100 cc cairan
setiap kali diare sementara anak yang lebih besar jumlahnya dua kali lipat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi diatas dapat disimpilkan bahwa KKP adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga
tidak memenuhi AKG. Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan KKP yaitu dalam masalah
sosial, ekonomi , biologi, dan lingkungan.
KKP berat secara klinis terdapat 3 tipe yaitu kwashiorkor,marasmus, dan marasmik dan
kwashiorkor.
Penyakit KKP ini berpengaruh terhadap beberapa organ diantaranya saluran pencernaan,
sistem kardiovaskular,sistem pernapasan,sistem hematologik,pankreas,hati dan ginjal.
Sedangkan Keparahan KKP diukur dengan menggunakan parameter antropometrik karena
tanda dan gejala klinis, serta hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak menunjukkan
perubahan terkecuali penyakit ini sudah sedemikian parah. Klasifikasi serta lamanya penyakit
yang telah berlangsung juga ditentukan secara antropometris.