Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Likuiditas
Likuiditas sering digunakan oleh perusahaan maupun investor untuk
mengetahui tingkat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya.
Kewajiban tersebut bersifat jangka pendek. Kewajiban jangka pendek itu seperti,
membayar tagihan listrik, gaji pegawai, atau hutang yang telah jatuh tempo.
Tetapi terkadang ada beberapa perusahaan tidak sanggup membayar hutang
tersebut pada waktu yang telah ditentukan, dengan alasan perusahaan tidak
memiliki dana yang cukup untuk menutupi hutang yang telah jatuh tempo
tersebut.
Kasus tersebut akan mengganggu hubungan antara perusahaan dengan
para kreditor, maupun para distributor. Dalam jangka panjang, kasus tersebut akan
berdampak kepada para pelanggan. Artinya pada akhirnya perusahaan akan
mengalami krisis ekonomi. Hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak
memperoleh kepercayaan dari pelanggan. Menurut Kasmir (2012:128),
ketidakmampuan perusahaan membayar kewajibannya terutama jangka pendek
(yang sudah jatuh tempo) disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
1. Bisa dikarenakan memang perusahaan sedang tidak memiliki dana sama
sekali, atau
2. Bisa mungkin saja perusahaan memiliki dana, namun saat jatuh tempo
perusahaan tidak memiliki dana (tidak cukup dana secara tunai sehingga
harus menunggu dalam waktu tertentu, untuk mencairkan aktiva lainnya
seperti menagih piutang, menjual surat-surat berharga, atau menjual
sediaan atau aktiva lainnya).
Likuiditas ini merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek. Likuiditas sangat penting bagi suatu perusahaan
dikarenakan berkaitan dengan mengubah aktiva menjadi kas. Menurut Sartono
(2008:116) mengatakan bahwa :

7
8

“Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan untuk membayar kewajiban


finansial jangka pendek tepat pada waktunya.”

Pengertian likuiditas menurut Brigham dan Houston (2010:134),


mengatakan bahwa :
“Aset likuid merupakan asset yang diperdagangkan di pasar aktif sehingga
dapat dikonversi dengan cepat menjadi kas pada harga pasar yang berlaku,
sedangkan posisi likuiditas suatu perusahaan berkaitan dengan pertanyaan,
apakah perusahaan mampu melunasi utangnya ketika utang tersebut jatuh
tempo di tahun berikutnya.”

Menurut Subramanyam (2012:43) likuiditas, adalah:


“Untuk mengevaluasi kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek.”

Pengertian likuiditas menurut Fred Weston dalam Kasmir (2012:129)


adalah:
“…rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan memenuhi
kewajiban (utang) jangka pendek. Artinya apabila perusahaan ditagih,
maka akan mampu memenuhi utang (membayar) tersebut terutama utang
yang sudah jatuh tempo.”

2.1.1. Rasio-Rasio Likuiditas


Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan
untuk membayar semua kewajiban financial jangka pendek pada saat jatuh tempo
dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Likuiditas tidak hanya
berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga
berkaitan dengan kemampuan untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi
uang kas.
Menurut Munawir (2002:2) suatu perusahaan dikatakan mempunyai posisi
keuangan yang kuat apabila mampu :
“1. Memenuhi kewajiban-kewajibannya tepat waktunya, yaitu pada waktu
ditagih (kewajiban keuangan erhadap pihak ekstern);
2. Memelihara modal kerja (likuiditas) yang cukup untuk operasi normal
(kewajiban keuangan terhadap pihak intern);
3. Membayar bunga dan dividen yang dibutuhkan;
4. Memelihara tingkat kredit yang menguntungkan.”
9

Tidak hanya bank dan para kreditur jangka pendek saja yang tertarik (yang
terutama memperhatikan) terhadap angka-angka modal kerja, yaitu rasio yang
digunakan unuk menganalisa dan menginterpretasikan posisi keuangan jangka
pendek, tetapi juga sangat membantu bagi manajemen untuk mengecek efisiensi
modal kerja yang digunakan dalam perusahaan, juga penting bagi kreditor jangka
panjang dan pemegang saham yang akhirnya atau setidak-tidaknya ingin
mengetahui prospek dari dividen dan pembayaran bunga dimasa yang akan
datang.
Menurut Kasmir (2008 : 129), rasio likuiditas merupakan:
“Rasio yang menggambarkan kemampuan suatu perusahaan dalam
memenuhi kewajiban (utang) jangka pendek.”

Rasio likuiditas (Liquidity Ratio) menurut Alwi, (1993:110) adalah


“Rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansial jangka pendek yang berupa hutang-hutang jangka
pendek (short term debt).”

Rasio likuiditas dikenal sebagai rasio neraca, rasio ini dihitung


berdasarkan data yang berasal dari neraca.
Lukman Syamsudin (2002:43-51), mengatakan bahwa rasio atau
pengukuran likuiditas terbagi menjadi dua (2) yaitu :
1. Pengukuran Likuiditas Perusahaan secara keseluruhan
Dengan likuiditas perusahaan secara keseluruhan dimaksudkan bahwa
aktiva lancar dan hutang lancar dipandang masing-masing sebagai satu
kelompok. Ada tiga cara penting dalam pengukuran tingkat likuiditas
secara menyeluruh ini, yaitu :
a. Net Working Capital
Net working capital merupakan selisih antara current assets (aktiva
lancar) dengan current liabilities (utang lancar). Jumlah net working
capital berguna untuk kepentingan pengawasan intern didalam suatu
perusahaan. Tidak jarang terjadi apabila perusahaan bermaksud untuk
mencari pinjaman jangka panjang, maka kreditur menetapkan beberapa
persyaratan dimana salah satu diantaranya adalah penetapan jumlah
10

minimum net working capital yang harus tetap dipertahankan. Hal ini
digunakan untuk memaksa perusahaan agar tetap mempertahankan
jumlah operating liquidity pada tingkat tertentu serta untuk menjamin
pinjaman-pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan. Pembandingan net
working capital dari tahun ke tahun juga bisa memberikan gambaran
tentang jalannya perusahaan. Jumlah net working capital yang semakin
besar menunjukkan tingkat likuiditas yang semakin tinggi pula.
Perhitungan net working capital adalah sebagai berikut :

Net Working Capital = Current Asset – Current Liabilities

b. Current Ratio
Current Ratio merupakan salah satu rasio financial yang sering
digunakan. Tingkat current ratio dapat ditentukan dengan jalan
membandingkan antara current asset dengan current liabilities.

Current assets
Current Ratio =
Current Liabilities

Tidak ada suatu ketentuan mutlak tentang berapa tingkat current ratio
yang dianggap baik atau yang harus dipertahankan oleh suatu
perusahaan karena biasanya tingkat current ratio ini juga sangat
tergantung pada jenis usaha dari masing-masing perusahaan. Akan
tetapi sebagai pedoman umum, tingkat current ratio 2,00 sudah dapat
dianggap baik.
c. Acid-test Ratio atau Quick Ratio
Acid-test ratio hampir sama dengan current ratio hanya saja jumlah
persediaan (inventory) sebagai salah satu komponen dari akiva lancar
harus dikeluarkan. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut adalah
bahwa persediaan adalah merupakan komponen aktiva lancar yang
paling tidak likuid, sementara dengan acid-test ratio dimaksudkan
11

untuk membandingkan aktiva yang lebih lancar (Quick Assets) dengan


utang lancar. Perhitungannya sebagai berikut :

Current Assets-Inventory
Acid-test ratio =
Current Liabilities

Acid-test ratio sebesar 1,0 pada umumnya sudah dianggap baik, tetapi
seperti halnya dengan current ratio, berapa besar acid-test ratio yang
seharusnya, sangat tergantung pada jenis usaha dari masing-masing
perusahaan. Acid-test ratio akan memberikan gambaran likuiditas yang
lebih tepat hanya bila inventory sulit untuk dijual dengan segera tanpa
menurunkan nilainya.

2. Ukuran tingkat likuiditas atau aktivitas dari current account tertentu


(Measure of liquidity or activity of specific current account)
Pengukuran tingkat likuiditas dengan menggunakan net working ratio
capital, current ratio, dan acid-test ratio belumlah cukup karena
pengukuran ini tidak memperhatikan masing-masing komponen current
asssets maupun current liabilities. Adanya komposisi yang berbeda dari
masing-masing komponen current assets dan current liabilities akan
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat likuiditas yang
sesungguhnya. Sejumlah rasio dapat digunakan untuk mengukur
likuiditas/aktivitas dari jumlah masing-masing current account, misalnya
pengukuran inventory, account receivable atau account payable. Pada
pengukuran rasio-rasio ini diasumsikan bahwa 1 (satu) tahun 360 hari dan
1 (satu) bulan 30 hari, yaitu :
12

a. Tingkat Perputaran Persediaan (Inventory turnover)


Likuiditas atau aktivitas dari inventory di dalam suatu perusahaan
diukur dengan tingkat perputaran dari inventory tersebut.

Cost of Good Sold


Inventory turnover =
Average Inventory

b. Umur Rata-rata Persediaan


Dengan umur rata-rata inventory dimaksudkan berapa hari secara rata-
rata inventory berada di dalam perusahaan. Umur rata-rata persediaan
atau average inventory dapat dihitung sebagai berikut :

360
Average Inventory =
Inventory turnover

Umur rata-rata inventory dapat dianggap sebagai jumlah waktu/hari


sejak saat pembelian bahan mentah sampai dengan penjualan produk
akhir.
c. Tingkat Perputaran Piutang (Account Receivable turnover)
Seperti halnya dengan inventory turnover, account receivable turnover
dimaksudkan untuk mengukur likuiditas atau akivitas dari piutang
perusahaan.

Annual Credit Sales


Account Receivable Turnover =
Average Account Receivable

d. Umur Rata-rata Piutang (The average age of account receivable)


Umur rata-rata piutang atau dikenal juga dengan umur rata-rata
pengumpulan piutang (average collection period), adalah merupakan
13

alat yang sangat penting di dalam menilai kebijaksanaan kredit dan


pengumpulan piutang.

360
Average of Account Receivable =
Account Receivable Turnover

e. Tingkat Perputaran Utang Dagang (Account Payable turnover)


Pengukuran account payable turnover sama saja dengan pengukuran
account receivable turnover. Perhitungan account payable turnover ini
dimaksudkan untuk mengetahui berapa kali utang dagang perusahaan
berputar dalam setahun.

Annual Credit Purchases


Account Payable Turnover =
Average Account Payable

f. Umur Rata-rata Utang Dagang (The average age of account payable)


Umur rata-rata utang dagang atau rata-rata periode pembayaran
(average payment periode) dihitung dengan cara sebagai berikut :

360
Average of Account Payable =
Account Payable Turnover

Dari banyaknya rumus di atas pada penelitian ini rumus yang akan
digunakan yaitu rumus Current Ratio. Karena rasio lancar mudah dihitung.
Disamping itu rasio lancar mempunyai kemampuan prediksi kebangkrutan yang
baik.

2.2. Leverage
Rasio leverage atau rasio utang yang biasa dikenal dengan rasio
solvabilitas. Menurut Sawir (2000:13) menjelaskan rasio leverage sebagai berikut:
14

Rasio leverage mengukur tingkat solvabilitas suatu perusahaan. Rasio ini


menunjukan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban
finansialnya seandainya perusahaan pada saat itu dilikuidasi. Dengan demikian
solvabilitas berarti kemampuan perusahaan untuk membayar utang – utangnya,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Menurut Brigham dan Houston (2010:140) rasio leverage merupakan:
“rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan pendanaan
melalui utang (financial leverage).”

Menurut Horne dan Wachoviz (1998:425) mendefinisikan:


“leverage The use of fixed costs in an attempt to increase (or lever up)
profitability”.

Leverage merupakan penggunaan biaya tetap untuk meningkatkan


keuntungan dari suatu perusahaan. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian rasio leverage atau rasio utang adalah kemampuan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban jangka panjang dan jangka pendek. Hal ini umumnya
sangat penting bagi seorang kreditur karna akan menunjukan posisi keuangan
perusahaan. Semakin kecil rasio ini maka semakin kecil pula risiko yang akan
dialami oleh kreditur untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut.

2.2.1. Jenis–Jenis Rasio Leverage


Menurut Agnes Sawir (2000:13) ada dua jenis rasio leverage yaitu rasio
utang terhadap asset dan rasio utang terhadap modal.
1. Rasio Utang terhadap Aktiva atau Debt to Total Asset Ratio
Rasio ini memperlihatkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan
seluruh kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi hasil persentasenya
cenderung semakin besar risiko keuangannya bagi kreditor maupun
pemegang saham.
Total Hutang
DAR = X 100%
Total Aktiva
15

2. Rasio Utang terhadap Modal atau Debt to Equity Ratio


Rasio ini menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam
pendanaan perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri
perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya.

Total Hutang
DER = X 100%
Ekuitas

2.2.2. Debt To Equity Ratio (DER)


Adapun pengertian debt to equity ratio (DER) akan dijelaskan pada
pembahasan ini. Menurut Gibson (2008:260)
“Debt equity ratio is another computation thats determines the entity’s
long-term debt paying ability.”

Menurut Husnan (2004:70) menjelaskan bahwa:


“Debt to equity ratio menunjukan perbandingan antara hutang dengan
modal sendiri.”

Menurut Horne dan Wachoviz (1998:145)


“Debt to equity is computed by simply dividing the total debt of the firm
(lincluding current liabilities) by its shareholders equity.”

Sedangkan menurut Sawir (2000:13) menjelaskan bahwa :


“Debt to equity ratio adalah “Rasio yang menggambarkan perbandingan
utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan
kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh
kewajibannya.”

Kreditur melihat ekuitas atau dana yang diberikan oleh pemilik sebagai
batas pengaman. Dengan menghimpun dana melalui hutang maka pemegang
saham dapat mengendalikan perusahaan dengan jumlah investasi ekuitas yang
terbatas. Rasio ini dapat menggambarkan potensi manfaat dan resiko yang berasal
dari penggunaan utang. DER dapat digunakan untuk melihat struktur modal suatu
perusahaan karena DER yang tinggi menandakan srtuktur permodalan usaha lebih
16

banyak memanfaatkan hutang – hutang relatif terhadap ekuitas. Semakin tinggi


DER mencerminkan resiko perusahaan relatif tinggi karena perusahaan dalam
operasi relatif tergantung terhadap hutang dan perusahaan memiliki kewajiban
untuk membayar bunga hutang akibatnya para investor cenderung menghindari
saham – saham yang memiliki nilai DER yang tinggi.
Namun, penggunaan hutang tidak selalu berdampak negatif bagi
perusahaan karena pada kondisi tertentu penggunanaan hutang. Perusahaan
dengan hutang yang kecil sekilas terlihat menguntungkan namun hal ini tidaklah
benar, kita perlu mempertimbangkan jumlah uang yang telah diinvestasikan oleh
pemegang saham. Sedangkan perusahaan yang dalam operasinya menggunakan
hutang akan memiliki EBIT yang sama dalam setiap kondisi. Walaupun dalam
penggunaan hutang ini perusahaan akan dikenakan bunga dalam kondisi usahanya
namun bungaini akan dikurangkan dengan EBIT untuk mendapatkan laba kena
pajak. Bunga ini juga dapat menjadi pengurang pajak, penggunaan utang akan
mengurangi kewajiban pajak dan menyisakan laba operasi yang lebih besar bagi
investor perusahan.

2.3. Profitabilitas
Profitabilitas ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana kinerja
perusahaan yang dicapai yang dilihat dari aspek keuntungan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli:
Menurut Martono dan Harjito (2005 : 53), bahwa:
“Rasio keuntungan (Profitability Ratio) atau rentabilitas, yaitu rasio yang
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari
penggunaan modalnya.”

Sedangkan rasio profitabilitas manurut Van Horne and Machowicz


(2005:145), bahwa :
“ Profitability ratios is ratios that relate profits to sales and investment.”

Artinya bahwa profitabilitas adalah rasio yang memperlihatkan


keuntungan yang diperoleh atas penjualan saham dan kegiatan investasi
perusahaan. Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik simpulan bahwa
17

profitabilitas merupakan suatu bentuk rasio yang digunakan untuk mengetahui


sejauh mana perusahaan tersebut menjalankan aktivitas untuk memperoleh
keuntungan dari tingkat penjualan, jumlah asset dan modal sendiri. Dalam hal ini
profitabilitas merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk memperoleh
pendapatan atau keuntungan. Analisis terhadap keuntungan perusahaan
merupakan hal yang sangat penting bagi para pemegang saham pada saat
menentukan pendapatan dalam bentuk dividen. Selanjutnya, semakin
bertambahnya tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan akan meningkatkan
harga pasar saham, serta akan menentukan pula terhadap perolehan capital gain.
Laba atau keuntungan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kreditor
karena laba salah satu sumber yang dapat dijadikan jaminan bagi pembayaran
utang. Pihak manajemen menggunakan aspek laba sebagai ukuran kinerja
keuangan. Rasio ini menggambarkan perputaran aktiva di ukur dari volume
penjualan. Semakin besar rasio ini maka semakin baik yang berarti bahwa aktiva
lebih cepat berputar dan meraih laba.

2.3.1 Ukuran Rasio Profitabilitas


Seorang pemodal harus melakukan penilaian terhadap kinerja
(performance) perusahaan yang menjadi objek investasinya, baik dalam aspek
tingkat keuntungan yang diperoleh maupun resiko yang ditanggung. Untuk dapat
melakukan penilaian tersebut, haruslah mengetahui aspek-aspek apa saja yang
menjadi ukuran dalam penilaian.
Pengertian Ratio Profitabilitas menurut (Syafri, 2008:304) adalah:
“Rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan dalam mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan
sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan,
jumlah cabang dan sebagainya.”

Menurut Sutrisno (2005:253), tedapat 5 bentuk rasio keuntungan


diantaranya:
1. Profit Margin
Profit Margin merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
18

keuntungan dibandingkan dengan penjualan yang dicapai.


Gross profit margin dihitung dengan formula:

Penjualan - HPP
Gross Profit Margin =
Penjualan

2. Return On Asset (ROA)


ROA juga sering disebut sebagai rentabilitas ekonomis merupakan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva
yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam hal ini laba yang dihasilkan adalah
laba sebelum bunga dan pajak atau EBIT.

EBIT
Return On Asset =
Total Assets

3. Return On Equity (ROE)


ROE ini sering disebut dengan Rate of Return on Nte Worth yaitu
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal
sendiri yang dimiliki, sehingga ROE ini ada yang menyebut sebagai
rentabiitas modal sendiri. Laba yang diperhitungkan adalah laba bersih
setelah dipotong pajak atau EAT.

Laba bersih setelah pajak


Return On Equity =
Ekuitas

4. Return On Investment (ROI)


ROI merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan
yang akan digunakan untuk menutup investasi yang dikeluarkan. Laba
yang digunakan untuk mengukur rasio ini adalah laba bersih setelah pajak
atau EAT.

Laba bersih setelah pajak


Return On Invesment =
Total Aktiva
19

5. Earning per Share


Kadang-kadang pemilik juga menginginkan data mengenai keuntungan
yang diperoleh untuk setiap lembar sahamnya. EPS atau laba per lembar
saham merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan per lembar saham pemilik. Laba yang digunakan sebagai laba
bagi pemilik atau EAT.

Laba bersih setelah pajak – Dividen saham prefern


EPS =
Jumlah saham biasa yang beredar

2.3.2 Net Profit Margin (NPM)


Menurut Alexandri (2008: 200) Net Profit Margin (NPM) adalah:
“Rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan keuntungan bersih setelah dipotong pajak.”

Menurut Bastian dan Suhardjono (2006: 299) Net Profit Margin adalah:
“Perbandingan antara laba bersih dengan penjualan.”

Syamsuddin (2007:62), mendefinisikan NPM sebagai berikut:


“Net profit margin adalah merupakan rasio antara laba bersih (Net Profit)
yaitu penjualan sesudah dikurangi dengan seluruh expense termasuk pajak
dibandingkan dengan penjualan. Semakin tinggi NPM, semakin baik
operasi suatu perusahaan”.

Semakin besar NPM, maka kinerja perusahaan akan semakin produktif,


sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya
pada perusahaan tersebut. Rasio ini menunjukkan berapa besar persentase laba
bersih yang diperoleh dari setiap penjualan. Semakin besar rasio ini, maka
dianggap semakin baik kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba yang
tinggi. Hubungan antara laba bersih sesudah pajak dan penjualan bersih
menunjukkan kemampuan manajemen dalam mengemudikan perusahaan secara
cukup berhasil untuk menyisakan margin tertentu sebagai kompensasi yang wajar
bagi pemilik yang telah menyediakan modalnya untuk suatu resiko. Hasil dari
20

perhitungan mencerminkan keuntungan netto per rupiah penjualan. Para investor


pasar modal perlu mengetahui kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba.
Dengan mengetahui hal tersebut investor dapat menilai apakah perusahaan itu
profitable atau tidak. Menurut Sulistyanto (tanpa tahun: 7) angka NPM dapat
dikatakan baik apabila > 5 %. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio margin laba (profit margin) menurut Harahap (2007 : 304)
merupakan bagian dari rasio profitabilitas dan menunjukan berapa besar
persentase pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap penjualan. Margin laba
dapat ditulis dalam bentuk rumus sebagai berikut :

Net Operating Profit After Tax (NOPAT)


Net Profit Margin =
Sales

Menurut Bambang Riyanto (2001:336) net profit margin diartikan sebagai


keuntungan netto per rupiah penjualan Menurut beliau, rumus perhitungan net
profit margin dapat ditulis sebagai berikut :

Keuntungan Setelah Pajak (EAT)


NPM =
Penjualan Neto

2.4. Dividen
2.4.1. Pengertian Dividen
Dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi pemegang saham
biasa (earning available for common stockholders) yang dibagikan kepada para
pemegang saham biasa dalam bentuk tunai (Warsono, 2003: 271). Menurut
Hanafi (2004:361) menyatakan bahwa:
“Dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham,
disamping capital gain. Dividen ini untuk dibagikan kepada para
pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Dividen
ditentukan berdasarkan dalam rapat umum anggota pemegang saham dan
jenis pembayarannya tergantung kepada kebijakan pimpinan”.
21

2.4.2. Jenis-Jenis Dividen


Menurut Skousen (2004: 907) dividen dilihat dari alat pembayarannya
dibagi menjadi lima jenis yaitu:
1) Dividen tunai (Cash Dividend)
Dividen jenis ini dibagikan dalam bentuk kas atau uang tunai. Dividen tunai
paling umum dibagikan oleh perusahaan kepada para pemegang
saham.besar kecilnya pembagian dividen tergantung pada pembatasan
pembatasan, undang-undang, kontrak-kontrak dan jumlah uang yang
dimiliki atau tersedia dalam perusahaan.
2) Dividen saham (Stock Dividend)
Pembayaran dividen dalam bentuk saham yaitu berupa pemberian tambahan
saham kepada para pemegang saham tanpa diminta pembayaran dan dalam
jumlah saham yang sebanding dengan saham yang dimiliki.
3) Sertifikat dividen (Script Dividend)
Dividen dalam bentuk skrip maksudnya perusahaan tidak membayar pada
saat itu tetapi memilih membayar pada masa yang akan datang karena saldo
kas yang ada di tangan tidak mencukupi. Dividen ini dibagikan dengan
tujuan agar perusahaan tetap dapat mempertahankan citra dan nama baik
perusahaan.
4) Dividen harta
Aktiva yang dibagi dapat berupa surat berharga yang diterbitkan oleh
perusahaan lain,barang-barang persedian lain atau aktiva lain.
5) Dividen likuidasi
Dividen likuiditas merupakan pembayaran kembali modal yang disetor atau
ditanam. Pembagian dividen dalam bentuk ini biasanya berasal dari selain
laba ditahan.

2.4.3. Prosedur Pembayaran Dividen


Prosedur pembayaran dividen yang sebenarnya adalah sebagai berikut
(Brigham & Houston, 2001: 84):
1) Tanggal pengumuman (declaration date),
22

2) Tanggal pencatatan pemegang saham (holder of record date),


3) Tangal pemisahan dividen (ex-dividen date),
4) Tanggal pembayaran (payment date)

2.5. Pengaruh Likuiditas, Leverage dan Profitabilitas terhadap Dividend


Payout Ratio.
2.5.1. Pengaruh Likuiditas terhadap Dividend Payout Ratio
Likuiditas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dividend
payout ratio. Salah satu cara mengukur likuiditas adalah dengan menggunakan
current ratio. Dan salah satu faktor bagi perusahaan yang memiliki current ratio
yang kuat akan semakin besar kemampuannya dalam membayar dividen karena
dividen merupakan arus kas keluar, maka semakin besar jumlah kas yang tersedia
dan likuditas perusahaan, semakin besar juga kemampuan perusahaan untuk
membayar dividen dan perusahaan yang memiliki current ratio yang baik maka
akan mampu untuk membayar dividen yang lebih banyak karena perusahaan
tersebut mempunyai kemampuan dalam melunasi kewajiban pendek dan
mendanai operasional usahannya.
Hal ini sesuai dengan teori manajemen keuangan menurut Martono dan
Agus Harjito (2010:255) dan menurut Ridwan, Inge dan Dharma (2010:386). Hal
ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Tita Deitiana (2009) bahwa
current ratio bergerak searah terhadap dividend payout ratio, tetapi berbeda
dengan hasil penelitian Rizky Pebriani Utami (2009), bahwa current ratio
berbanding terbalik terhadap dividend payout ratio. Menurut Damayanti dan
Achyani (2006), perusahaan untuk membayar dividen memerlukan aliran kas
keluar sehingga harus tersedia likuiditas yang cukup. Semakin tinggi likuiditas
yang dimiliki perusahaan semakin mampu membayar dividen, salah satu alat ukur
likuiditas adalah Current Ratio.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan menjadi hipotesis alternative
pertama (H1) sebagai berikut:
H1: Terdapat pengaruh positif likuiditas terhadap Dividend Payout Ratio (DPR)
23

2.5.2. Pengaruh Leverage terhadap Dividend Payout Ratio


Leverage merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dividend
payout ratio. Dalam skripsi ini Leverage diukur dengan menggunakan debt to
equity ratio, semakin besar debt to equity ratio menunjukkan semakin besar
kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan menujukkan semakin tinggi
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya. Peningkatan hutang ini
akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi pemegang
saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan
kemampuan perusahaan dalam membayar dividen, sehingga debt to equity ratio
berbanding terbalik dengan dividend payout ratio karena kewajiban untuk
membayar hutang lebih diutamakan daripada pembagian dividen untuk
mengurangi ketergantungan akan pendanaan secara eksternal. Hal ini sesuai
dengan teori menurut Martono dan Agus Harjito (2010:255), Bambang Riyanto
(2001:267) dan Ridwan, Inge dan Dharma (2010:386). Hal Ini juga sesuai dengan
penelitian yang telah di lakukan oleh Sutrisno (2001) dan Prihantoro (2003),
bahwa DER mempunyai hubungan signifikan dan tidak searah terhadap dividend
payout ratio. Akan tetapi berbeda dengan penelitian yang di lakukan Lisa dan
Clara (2009); Rizky Pebriani Utami (2009), bahwa DER mempunyai hubungan
yang tidak signifikan dan searah dengan dividend payout ratio. dan berbeda
dengan hasil penelitian oleh Tita Deitiana (2009) bahwa DER mempunyai
pengaruh tidak signifikan dan tidak searah terhadap dividend payout ratio.
Menurut Purwanto dan Haryanto (2004), DER merupakan indikator
struktur modal dan risiko finansial, yang merupakan perbandingan antara hutang
Dan modal sendiri. Bertambah besarnya DER suatu perusahaan menunjukan
resiko distribusi laba usaha perusahaan semakin besar terserap untuk melunasi
kewajiban perusahaan. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio hutang
terhadap modal.Rasio ini mengukur seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh
hutang, dimana semakin tinggi nilai rasio inimenggambarkan gejala yang kurang
baik bagi perusahaan (Sartono, 2001). Oleh karena itu, semakin rendah DER akan
semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya.
Jika beban hutang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk membagi
24

dividen akan semakin rendah, sehingga Leverage mempunyai hubungan negatif


dengan Dividend Payout Ratio.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan menjadi hipotesis alternatif
kedua (H2) sebagai berikut:
H2: Terdapat pengaruh negatif Leverage terhadap Dividend payout ratio (DPR)

2.5.3. Pengaruh Profitabilitas terhadap Dividend Payout Ratio


Menurut Crutcheley dan Hansen (1989) dalam Suhartono (2004) apabila
tingkat keuntungan perusahaan semakin stabil maka perusahaan dapat
memprediksi keuntungan-keuntungan di masa yang akan datang dengan ketepatan
yang lebih tinggi. Profitabilitas diukur dengan menggunakan net profit margin
(NPM) berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba bersih dari aktivitas penjualan. Semakin besar nilai NPM menunjukkan
tingginya kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih. Semakin
tinggi rasio ini mengindikasikan bahwa semakin baik perusahaan menghasilkan
laba sehingga semakin tinggi pula porsi dividen yang dapat dibayarkan oleh
perusahaan.
Hipotesis ini konsisten dengan penelitian yang dilakukakan Dwiyani
(2007) yang menyatakan bahwa NPM berpengaruh positif terhadap
dividen payout ratio.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dirumuskan menjadi hipotesis
alternatif ketiga (H3) sebagai berikut:
H3: Terdapat pengaruh positif Profitabilitas terhadap Dividend Payout Ratio
(DPR)

2.5.4. Bagan Kerangka Pemikiran


Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pemikiran

Likuiditas (X1)

Leverage (X2) Dividend Payout Ratio (Y)

Profitabilitas (X3)

Anda mungkin juga menyukai