Anda di halaman 1dari 5

Ini Rumah Prisma yang Membuat Mafia Garam

Ketir-Ketir
Penulis
Marlin Dinamikanto
-
7 Agustus 2017

Dengan beratapkan terpal sejenis plastik berbentuk di kolam penggaraman, petani garam bisa memanen garam

sepanjang musim tanpa gangguan cuaca, produksinya pun meningkat dari 80 ton hingga 400 ton per hektar per

tahun atau sekitar 5 kali lipat/ Foto Istimewa

Nusantara.news, Jakarta – Sudah sejak 2014 silam, Samian Arifin (63),


warga Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan
mengenalkan teknik pembuatan garam yang bisa terus berproduksi tanpa
terhalang cuaca.

Caranya tidak begitu rumit. Lahan yang menampung air tua dan kolam
penggaraman diberi atap plastik berbentuk piramid atau prisma. Arifin
menyebut kreasinya sebagai Rumah Garam Prisma, Dengan teknik ini petani
tidak perlu lagi khawatir tiba-tiba turun hujan, atau datang angin basah yang
membuat proses penguapan terhenti.

Selain itu, beber Arifin, garam yang dihasilkan lebih banyak dan lebih
berkualitas. Apalagi jika teknik Rumah Prisma ini dipadukan dengan teknik geo-
membrane, yaitu melapisi kolam penggaraman dengan bahan sejenis terpal
yang membuat garam tidak bercampur dengan tanah. “Dengan teknik ini petani
garam bisa panen setiap hari, bisa tetap berproduksi di musim hujan,” jelas
Arifin.

Keunggulan lain dari Rumah Garam Prisma, papar Arifin, panas yang dihasilkan
oleh plastik geotermal lebih fokus dan tahan angin. Sebab Rumah Garam hasil
kreasinya bisa tahan terhadap hujan ataupun embun, yang bisa membuat
proses pembuatan garam berlangsung lebih lama. “Musuh petani garam itu
hujan, sekali saja kena hujan, maka proses penggaraman akan hilang,”
tegasnya.

Ada pun tentang harga pembuatan Rumah Garam Prisma, Arifin menyebut per
unit yang mencakup lahan 1 hektar membutuhkan biaya Rp4,5 juta. Karena
garam berproduksi setiap hari akan ce[at balik modal.

Arifin juga menyebut perbedaan mendasar antara rumah garam prisma dengan
tambak garam konvensional. Apabila membuat garam dengan teknik
konvensional hasilnya hanya berkisar 60-80 per hektar pada musim normal.
“Dengan metode rumah garam prisma ini bisa menghasilkan 120-125 ton per
hektar atau bahkan 400 ton per hektar setahun di musim normal karena bisa
terus produksi selama 1 tahun,” terang Samian Arifin.

Importir Ketir-Ketir

Apabila pemaparan Arifin benar, gagasan itu tampaknya perlu dikembangkan


secara nasional dengan tidak mengabaikan Arifin selaku pemrakarsa. Paling
tidak gagasan inovatif Arifin yang sudah dipraktekkan sejak 2014 membuka
mata para pejabat yang bertanggung-jawab atas ketersediaan pasokan garam.
Cerita pilu tentang produksi garam nasional yang hanya mencapai 4 persen dari
target pada 2016 lalu tidak boleh berulang.

Namun gagasan Arifin ini apabila dikembangkan secara nasional sudah pasti
akan membuat segelintir mafia importir garam ketir-ketir. Paling tidak rezeki
dari impor garam, baik industri maupun konsumsi yang setiap tahunnya
mencapai lebih dari 2 juta ton akan berkurang. (Lihat Tabel).
Tidak terlalu mengherankan pula apabila tingkat produksi garam nasional yang
berasal dari 2 sumber, masing-masing dari PT Garam (Persero) dan garam
produksi rakyat, dibonsai atau setidaknya dibiarkan terus bergantung kepada
faktor cuaca untuk berproduksi paling banyak setengah dari kebutuhan garam
nasional.

Dengan melihat tabel produksi nasional, terlihat jelas gambaran yang


membenarkan besarnya faktor cuaca dalam produksi garam nasional. Itu
terlihat dari fluktuasi produksi yang tidak menentu baik itu garam nasional yang
bersumber dari PT Garam (Persero) maupun garam yang diperoleh dari
petambak garam milik rakyat di sejumlah sentra penghasil garam.

Padahal faktor cuaca dapat diatasi dengan teknologi yang tidak terlalu rumit.
Hanya memerlukan biaya Rp4,5 juta per unit yang lebih dapat menjamin
kepastian pasokan dari dalam negeri? Kenapa itu tidak segera dilakukan,
bahkan oleh PT Garam (Persero) yang tingkat fluktuasi produksinya lebih parah
ketimbang garam rakyat?

Maka tidak salah apabila muncul anggapan ada unsur kesengajaan dalam
menghambat produksi garam nasional, karena itu terkait dengan kepentingan
para importir garam yang rejekinya pasti akan tergerus apabila muncul inovasi
yang lebih memungkinkan produksi garam nasional bisa panen di sepanjang
musim.

Hitung-hitungannya begini, dengan tingkat impor sekitar 2 juta ton per tahun,
taruhlah ada margin keuntungan Rp100 per Kg, paling sedikit ada rezeki
tahunan yang tergerus sekitar Rp.200 miliar. Maka sangat kecil bagi importir
untuk menghalangi berkembangnya industri garam nasional dengan mengatur
regulasi dan perizinan yang membutuhkan biaya sebut saja Rp50 miliar untuk
melanggengkan kepentingannya.

Apabila pemerintah tergerak mengembangkan teknologi Rumah Prisma yang


dirintis oleh Arifin dan kabarnya sudah dikembangkan secara lebih canggih oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), maka akan membuat
ketir-ketir segelintir importir yang bukan tidak mungkin akan terus
menghambat melalui regulasi yang bisa diatur.

Sekarang tinggal sikap pemerintah, apakah berpihak kepada jutaan petani


garam sebagai upaya memangkas kesenjangan sosial atau menjadi bagian dari
sabotase ekonomi nasional dengan berpihak kepada segelintir importir garam
yang mungkin lebih menguntungkan kepentingan pribadinya?

Nah, kebijakan garam nasional khususnya dan pangan pada umumnya yang
tidak berdaulat itu sesungguhnya sebagai faktor yang membuat trend
kesenjangan sosial semakin menggila sejak 2011 lalu. Apakah kita akan
meneruskan kebijakan yang melanggengkan kesenjangan sosial itu? []

Anda mungkin juga menyukai