Anda di halaman 1dari 5

REAKSI ANAFILAKSIS

A. ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan
anafilaksis.
Tabel 1. Pemicu reaksi anafilaksis5
Pemicu reaksi anafilaksis
Obat Antibiotik, aspirin, AINS, vaksin, obat perioperasi, opiat
Hormon Insulin, progesteron
Darah / produk darah Imunoglobulin IV
Enzim Streptokinase
Makanan Susu, telur, terigu, soya, kacang tanah, tree nuts, shelfish
Venom Lebah, semut api
Lain-lain Lateks, kontras, membran dialisa, ekstrak imunoterapi,
protamin, cairan seminal manusia

B. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig
E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast
(mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula
yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang merupakan preformed mediators. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut
pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
mengancam nyawa pasien5.
Gambar 1. Patofisiologi reaksi anafilaksis

C. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe


dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah
terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
Syok anafilaksis umumnya menyerang traktus respiratorius, kardiovaskuler,
dan gastrointestinal. Kulit dan membran mukosa hampir selalu terlibat dalam proses
ini. Kebanyakan dari pasien dewasa mengalami urtikaria, eritema, pruritus, atau
angioedema. Namun pada anak – anak lebih nampak gejala pada traktus
respiratorius6.
Berikut ini adalah gejala yang bisa didapatkan pada pasien dengan syok
anafilaksis :
Tabel 2. Manifestasi Klinis Syok Anafilaktik1,2
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Kulit dan mata Hiperemis, urtikaria, angioedema, injeksi konjungtiva, pruritus,
hangat, bengkak
Respirasi Kongesti nasal, coryza, rhinorhea, sneezing, wheezing, nafas
pendek, batuk serak, dispnea
Kardiovaskuler Pusing, lemah, sinkop, nyeri dada, palpitasi
Gastrointestinal Disfagia, nausea, muntah, diare, kram
Neurologi Sakit kepala, kepala berputar, pandangan kabur, kejang
Lain-lain Metallic taste

D. DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan
bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa
jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya
nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan
anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah
awal1,2.

E. TERAPI
Anafilaksis adalah suatu keadaan emergency medis yang membutuhkan
penanganan yang cepat. Manajemen penanganan akan tergantung dengan karakter
pasien, tingkat keparahan awal serangan dan respon terhadap terapi. Namun, tindakan
basic life support tidak diperlukan pada pasien yang hanya menunjukkan gejala
anafilaksis lokal. Pasien dengan gejala yang parah yaitu disertai dengan gejala
kardiovaskuler dan respirasi harus ditangani dan diobservasi untuk waktu yang lebih
lama.
Terapi non-farmakologis meliputi
1. Airway management, misalnya dengan menggunakan valve, mask, dan
intubasi endotrakeal
2. Oksigen aliran tinggi
3. Cardiac monitoring dan pulse oximetry
4. Cairan intravena (kristaloid)
5. Posisi supinasi dengan kaki dielevasikan
Terapi farmakologis meliputi :
1. Agonis adrenergik (epinefrin)
2. Antihistamin (difenhidramin)
3. Antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidin, famotidin)
4. Bronkodilator (albuterol)
5. Kortikosteroid (metilprednisolon, prednison)
6. Inotropik positif (glukagon)
7. Vasopresor (dopamin)
Terapi bedah jika diperlukan dilakukan tindakan krikotirotomi atau ventilasi
kateter apabila intubasi orotrakeal tidak efektif.

F. PROGNOSIS
Penanganan yang cepat dapat memberikan prognosis yang baik. Angka kematian
akibat reaksi anafilaksis hanya mencapai 0.65-2%. Kematian akibat reaksi anafilaksis
terjadi karena keterlibatan sistem organ kardiovaskuler dan respirasi, yaitu asfiksia
karena bronkospasme, dan pemberian injeksi epinefrin yang terlambat.

Anda mungkin juga menyukai