Kekurangan
- model ini belum memberikan gambaran yang menyeluruh karena belum menggabungkan
bidang-bidang pengembangan/mata pelajaran yang lain;
- masih kelihatan terpisahnya antar bidang studi, walaupun hubungan dibuat secara
eksplisit antara mata pelajaran (interdisiplin).
- tidak mendorong guru untuk bekerja secara tim, sehingga isi dari pelajaran tetap saja
terfokus tanpa merentangkan konsep-konsep serta ide-ide antar bidang studi,
- memadukan ide-ide dalam satu bidang studi, maka usaha untuk mengembangkan
keterhubungan antar bidang studi menjadi terabaikan
- model ini kurang mendorong guru bekerja sama karena relatif mudah dilaksanakan
secara mandiri;
- bagi guru bidang studi mungkin kurang terdorong untuk menghubungkan konsep yang
terkait karena sukarnya mengatur waktu untuk merundingkannya atau karena terfokus
pada keterkaitan konsep, maka pembelajaran secara global jadi terabaikan.
SUMBER :
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas. 2007. Kerangka Dasar Kurikulum
Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta.
http://endahresnandari.blogspot.com/2011/06/pembelajaran-terpadu-model-
connected.html
http://yogisyaefulrachman.wordpress.com/2012/11/16/makalah-pembelajaran-terpadu-
model-fragmented-dan-connected/
Diposkan oleh Meiza Yulia di 23.09
2
Tinjauan kritis terhadap dunia Pendidikan secara global seringkali ditanggapi dengan nada
pesimis. Berbagai upaya recovery untuk menjawab rasa pesimistik terus dilakukan, salahsatunya
memperbaiki kurikulum sesuai tuntutan masyarakat. Menurut Mastuhu[1] hal-hal pokok yang
harus diperhatikan antara lain:
Pendapat Mastuhu diatas menggelitik ruang sensitif dalam wadah sosial kebangsaan secara luas.
Bahwa pendidikan di Indonesia secara umum masih harus menggambarkan citra dan watak
kepribadian bangsanya sendiri. Sudah semestinya sebagai insan pendidikan memperhatikan
irisan dan daya adaftivitas terhadap pola dan model pendidikan yang bervisi-misi ke-
Indonesiaan. Mungkin dewasa ini sudah menjadi pemandangan yang biasa apabila kita melihat
peserta didik memiliki perilaku budaya yang bertolak belakang dengan norma sosial
masyarakatnya. Hal ini tentunya berawal dari cita-cita dan tujuan yang termuat dalam kurikulum
secara jernih.
Melihat muatan nilai pendidikan yang serba samar dan terlalu beraroma Barat akhir-akhir ini
beredar wacana untuk mengislamkan ilmu pengetahuan. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa
islamisasi ilmu pengetahuan merupakan solusi alternatif-strategis. Upaya ini merupakan hal
menggembirakan apabila faktor teknis dan non-teknis turut serta menyuburkan iklim tersebut.
Tetapi apabila hanya bersifat euforia, tentunya sangat disesalkan. Alih-alih mencari solusi
alternatif strategis kenyataannya bisa saja menjadi solusi alternatif strategis bagi golongan
tertentu yang hanya mencari keuntungan dari opini publik yang memang potensinya besar
karenakan mayoritas penduduknya Muslim.
Cerminan kurikulum Islami[3] harus memuat prinsip: a] Mengandung nilai kesatuan dasar bagi
persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b] mengandung nilai kesatuan kepentingan
dalam mengembangkan misi ajaran Islam; c] mengandung materi yang bermuatan
pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah.
Hal di atas mengisyaratkan bahwa implementasi kurikulum pendidikan Islami mendapatkan
porsi yang strategis dalam melengkapi kurikulum pendidikan umum artinya proses pembelajaran
antara pendidikan umum dan agama menjadi poros utama dalam menciptakan sumber daya
manusia yang berwawasan imtak dan iptek, sehingga nilai tambah yang didapatkan siswa dengan
diterapkannya pembelajaran yang berwawasan Islami, mengarahkan siswa pada moral, akhlak
dan prilaku yang lebih baik, dapat menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang menghasilkan
kecerdasan secara integrated [‘kecerdasan komplit’] antara kecerdasan Intelektual [IQ],
kecerdasan Emosional [EQ], kecerdasan Spritiual [SQ], dan berpusat (bersumber) pada
kecerdasan Religi [RQ].
Mengapa islmisasi ilmu pengetahuan merupakan langkah solusi alternatif strategis? Dalam
lingkup yang luas, masih adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa tidak terdapat
kaitan antara ilmu pengetahuan umum dengan agama[4], keduanya bekerja pada wilayah yang
berbeda. Inilah salah satu bentuk dikotomi ilmu yang sudah meresap pada ‘peredaran darah’
masyarakat yang menimbulkan permasalahan kompleks dan sistemik terhadap pola pendidikan
sehingga perlu untuk diantisipasi.
Pertentangan dualisme sistim pendidikan ini menghasilkan kehidupan yang dialami anak-anak
menjadi paradoks, disatu sisi mereka mendapatkan materi moral (agama), disisi lain mereka
mendapatkan suguhan-suguhan yang bersifat amoral seperti kekerasan, porno aksi dan
pornografi. Hal ini terjadi secara mengglobal di dunia. Sampai disini peran pendidikan nilai
belum menyentuh secara menyeluruh.
Dalam lingkup yang lebih spesifik, permasalahan aktual pendidikan agama di sekolah umum
adalah ketidaksesuaian hasil pendidikan agama yang diajarkan di sekolah dengan tuntutan
orangtua dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan agama hanya berorientasi pada proses
transfer pengetahuan-agama dan belum sampai pada pembinaan komitmen moral mereka yang
dalam bahasa agama kita sebut “tammimu makarim al-akhlak”. Orangtua dan masyarakat pada
umumnya memposisikan dirinya “lepas” dari tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan
agama. Inilah permasalahan utama pendidikan agama dan umum di sekolah yaitu terputusnya
tiga jaringan yang saling berhubungan dalam pelaksanaan pendidikan agama yaitu sekolah,
keluarga dan masyarakat sebagai suatu kesatuan sistem. Imran Siregar[5] mengungkapkan
bahwa ada beberapa faktor penyebab permasalahan tersebut:
1. Proses belajar mengajar mata pelajaran pendidikan agama di sekolah diperlakukan sama
dengan pelajaran umum.
2. Karakteristik mata pelajaran agama adalah menanamkan nilai-nilai, sikap dan perilaku
siswa. Kurikulum yang dibutuhkan adalah memuat materi tentang materi esensial yang
berorientasi pada process base bukan pada content base.
3. Belum terselenggaranya secara optimal koordinasi, komunikasi dan sinkronisasi antara
keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai tiga unsur yang terkait langsung dengan
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah[6].
Berdasarkan uraian diatas ada, pertanyaan besar bagi dunia pendidikan bagaimana nilai-nilai
pendidikan islami pada pembelajaran di sekolah terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat
(lingkup makro) dan keluarga (lingkup mikro) dalam meningkatkan kualitas (nilai)
tanggungjawab moral dan akhlak siswa? Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan
penyelenggaraan integrasi pendidikan Islami di sekolah umum dari sudut pandang keterpaduan
antara sekolah, keluarga dan masyarakat.
1. Pengertian Nilai
Dalam kamus istilah pendidikan, nilai adalah harga, kualitas atau sesuatu yang dianggap
berharga dan menjadi tujuan yang hendak dicapai (Sastrapraja, 1997:339). Sedangkan menurut
Lorens Bagus (1996:713) nilai adalah 1] kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek kepentingan; 2] apa yang dihargai, dinilai
tinggi atau dihargai sebagai suatu kebaikan.
Berkenaan dengan hierarki nilai, Atmadi (2001:73) mengungkapkan ada empat pedoman yang
menentukan tinggi rendahnya nilai, yaitu: semakin tahan lama, semakin tinggi; semakin
membahagiakan, semakin tinggi; semakin tidak bergantung pada nilai-nlai yang lain, semakin
tinggi; semakin tidak bergantung pada kenyataan, semakin tinggi.
2. Pendidikan Nilai
Tujuan pendidikan di sekolah ditentukan oleh kurikulum sekolah. Kurikulum pendidikan nilai di
sekolah menurut Wahjudin (1996:24) harus terdiri atas nilai-nilai, norma-norma, kebudayaan dan
kegiatan-kegiatan yang mampu membentuk anak didik menjadi manusia berkemampuan tinggi,
sehingga dapat mencapai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, mampu mandiri dan
berkepribadian.
Seperti dikemukakan Komite APED (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation
for Development)[8] Pendidikan nilai secara khusus bertujuan untuk: a] menerapkan
pembentukan nilai kepada anak; b] menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang
diinginkan; 3] membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha
penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (Unesco, 1994)
Dalam perspektif Pendidikan Islam, agar manusia mendapatkan predikat sebagai khlaifah
sekaligus sebagai ‘abd, maka harus menuntut ilmu yang sifatnya terpadu. Ilmu atau pengetahuan
terpadu didefinisikan oleh R.H.A Sahirul Alim (Maksum, 2001:42) adalah ilmu-ilmu yang
diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta dan alam sekitarnya serta dikirimkan melalui
wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan rasul. Ilmu yang demikian itu merupakan ilmu
yang dijiwai oleh tauhid karena dibimbing oleh “kebenaran mutlak”.
3. Pendidikan Islam
Muhammad S.A. Ibrahim[9] memandang bahwa hakikat pendidikan Islam adalah suatu sistem
pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan
cita-cita Islam sehingga ia dengan mudah membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.
Hakikat Pendikan Islam meliputi lima prinsip pokok, yaitu:
Pertama, proses transformasi dan internalisasi yakni pelaksanaan pendidikan Islam harus
dilakukan secara bertahap, berjenjang dan kontinu dengan upaya pemindahan, penanaman,
pengarahan, pengajaran, dan pembimbingan yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan
terstruktur dengan menggunakan pola dan sistem tertentu.
Kedua, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yakni upaya yang diarahkan kepada pemberian dan
penghayatan serta pengalaman ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.
Ketiga, pada diri anak didik yakni pendidikan itu diberikan kepada anak didik yang mempunyai
potensi rohani.
Keempat, melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya yakni tugas pendidikan
Islam menumbuhkan, mengembangkan, memelihara dan menjaga potensi laten manusia agar ia
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakat-nya.
Kelima, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, yakni
tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah terbentuknya Insan Kamil.
Kedua, membekali anak didik dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik
pengetahuan praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan nasional.
Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan membenarkan
superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban Islam di atas semua kebudayaan lain.
c. Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tidak terputus oleh waktu. Hal ini hakikat
pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsep Islam Life long
Education (al-Hijr[15]:99). Tugas pendidikan Islam dapat ditinjau dari tiga pendekatan:
Pertama, pendidikan sebagai pengembangan potensi. Kedua, pewarisan budaya. Ketiga, interaksi
antara potensi dan budaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa tugas pendidikan Islam adalah membantu
pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan
kompetensi keimanan, keislaman, dan keihsanan.
d. Kurikulum Pendidikan
Landasan pokok penyusunan kurikulum islami harus memuat prinsip: a] Mengandung nilai
kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b] mengandung nilai
kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam; c] mengandung materi yang
bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah.
Abdurrhaman al-Nahlawi[12] memberikan batasan tentang ciri khas kurikulum yang islami
adalah sebagai berikut: 1] Sistem dan perkembangan kurikulum selaras dengam fitrah manusia;
2] diarahkan untuk mencapai target akhir pada peserta didik yaitu ikhlas dan taat beribadah
kepada Allah; 3] Memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik, tipologi, sifat, dan
gender; 4] hendaknya memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat sambil tetap
bertopang pada jiwa dan cita-cita ideal Islam; 5] tidak menimbulkan pertentangan dalam arti
yang umum; 6] dapat direalisasikan sesuai dengan situasi dan kondisi; 7] Bersifat luwes sehingga
dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi setempat dengan mengingat pula faktor
peradaban individu yang menyangkut bakat, minat, dan kemampuan anak didik; 8] bersifat
efektif, menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan tingkah laku
yang positif; 9] memperhatikan perkembangan anak didik (perasaan keagamaan dan
pertumbuhan bahasa); 10] Memperhatikan tingkah laku amaliah islamiah.
Tentang prinsip yang menjadi pertautan dasar kurikulum, al-Syaibani[13] memberikan uraian
sebagai berikut; Pertama, pertautan yang sempurna dengan ajaran dan jiwa agama. Kedua,
bersifat universal yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik. Ketiga, memperhatikan aspek
keseimbangan antara spiritual dan material. Keempat, berkaitan dengan bakat dan minat serta
kemampuan anak didik dan kondisi sosial lingkungannya. Kelima, pemeliharaan perbedaan
individu anak didik, alam sekitar dan masyarakat. Keenam, prinsip perkembangan dan perubahan
kurikulum untuk progredifitas dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
Ketujuh, pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam
kurikulum.
Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun 2003 pasal 339, yang
mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia mengarahkan warganya kepada kehidupan
yang beragama. Maka sebagai salah satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi
adalah alternatif yang harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat menyeluruh
(integral-holistik). Gagasan integrasi (nilai-nilai islami [agama] dan umum) ini bukanlah sebuah
wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang harus
dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada, mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi
oleh dualisme yang kental antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum/ sekuler yang
menyebabkan dikotomi ilmu, sebagaimana dipaparkan di atas. Bukti nyata dari kebutuhan
adanya panduan dan model integrasi ilmu ini ditunjukan dengan diselenggarakannya berbagai
seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, sampai pada kebijakan dari pemerintah,
seperti kebijakan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dalam UUSPN No. 2
tahun 1989, madrasah mengalami perubahan “sekolah agama” menjadi “sekolah umum
bercirikan khas islam”. Pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional
menemukan titik puncaknya pada awal 2000, setelah Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman
Wahid yang mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Berdasarkan Hal itu Abdurrahman
Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem pendidikan nasional dan memiliki status
serta hak yang sama. Inilah yang diharapkan dan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan
“pendidikan Islam”.
Sejarah menunjukan, sudah sejak lama sebelum Istilah Integrasi memposisikan diri dalam
memberikan kerangka normatif Nilai-nilai Islami pada pembelajaran, sebelumnya bahkan sampai
saat ini gagasan Islamisasi Sains menjadi Jargon yang mendapat sambutan luar biasa dari
cendikiawan Muslim, mulai Al-Maududi 1930-an, S.H. Nasr, Naquib Al-Attas dan Ja’far Syaikh
Idris tahun 1960-1970-an; Ismail Al-Faruqi tahun 1980-an; sampai pada Ziauddin Sardar.
Islamisasi sains tersebut tidak lain adalah sebuah reintegrasi ilmu, dalam menangkal ilmu
(sekuler) yang disertai isme-isme yang datang dari luar yang belum tentu sesuai dengan
peredaran darah dan tarikan nafas yang kita anut, yang akhir-akhir ini dikenal istilah integrasi.
Sebagai hasil kebutuhan tersebut, untuk tingkat Universitas, akademisi ataupun umum misalnya
terbit buku Integrasi Ilmu; sebuah rekonstruksi holisitk karangan Mulyadi Kertanegara, yang
diharapkan menjadi buku daras untuk UIN walaupun masih bersifat umum. Melacak jejak
Tuhan: Tafsir Islami atas Sains karangan Mehdi Golshani yang sekarang menjadi hak paten
milik negara dan oleh Diknas diedarkan kelembaga pendidikan SMP dan SMA. Bahkan secara
revolusioner Armahedi Mahzar menerbitkan Revolusi Integralisme Islam: ‘Merumuskan
Paradigma Sains dan Teknologi Islami’, 2004. Inilah beberapa alasan mendasar pentingnya
integrasi untuk diterapkan dalam pembelajaran.
Dalam lingkup mikro, masih minimnya panduan Integrasi Nilai-nilai Islami pada proses
pembelajaran di sekolah baik model, metode, ataupun pendekatan pembelajaran, dirasa perlu
[kalau bukan harus] untuk menginterpretasikan kembali seluruh materi pelajaran sekolah dengan
muatan-muatan nilai yang Islami. Tujuan kurikulum pendidikan Islami tidak semata-mata
mendorong anak didik untuk mampu berkomunikasi tanpa bimbingan orang lain dan sekaligus
dapat memecahkan masalah dengan baik, akan tetapi lebih sebagai jiwa atau ruh dari pendidikan
itu. Sebagaimana pendidikan yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw., yang lebih
mengutamakan akhlak bagi ummatnya “li utammima makarim al-akhlak“.
Tujuan pendidikan nilai pada dasarnya membantu mengembangkan kemahiran berinteraksi pada
tahapan yang lebih tinggi serta meningkatkan kebersamaan dan kekompakan interaksi atau apa
yang disebut Piaget sebagai ekonomi interaksi atau menurut Oser dinyatakan dengan peristilahan
kekompakan komunikasi. Tujuan pendidikan nilai tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan,
indoktrinasi atau pertimbangan prinsip-prisnip belajar. Namun sebaliknya, dorongan moral
komponen pembentukan struktur itu sangat penting. Oleh karena itu, pendidik seharusnya tidak
hanya sekedar membekali dan menjejali siswa dengan pengetahuan tentang tujuan serta analisis
dari hubungan antara tujuan dengan alat (W. Sumpeno, 1996:27)
Pentingnya integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka normatif dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan Ali Asraf[14] bahwa tujuan
pendidikan Islam:
2. Model, Metode dan Pendekatan Pembelajaran yang Terintegrasi dengan Nilai-nilai Islami
Pemberian nilai-nilai Islami pada proses pembelajaran tentunya harus melalui etika dan pola
pembelajaran yang sistematis mengikuti model, metoda, pendekatan sebagai bentuk strategi
belajar mengajar yang digunakan sehingga tujuan dapat tercapai secara maksimal. Dibawah ini
diuraikan beberapa model, metode dan pendekatan pembelajaran terpadu dalam pembelajaran.
Achmad (2002:14) sebagaimana pendapat yang dikutipnya dari Fogarty (1991) mengungkapkan
bahwa terdapat 10 model pembelajaran terpadu yang dikelompokan menjadi tiga tipe model:
Tipe Pertama, yaitu model pembelajaran terpadu dalam satu bidang studi (model Fragmented,
Connected, dan Nested).
Tipe kedua, yaitu model pembelajaran terpadu antar bidang studi (model Sequened, Shared,
Webbed, Threaded, dan Integrated).
Tipe ketiga, yaitu model pembelajaran terpadu dalam faktor diri siswa (model Immersed dan
Networked)
Berdasarkan tipe model-model diatas, model yang sesuai dengan tema disini adalah model tipe
kedua, jenis modelnya adalah model Threaded dan Integrated. Threaded merupakan model
keterpaduan yang menghubungkan atau mengaitkan secara mendasar sehingga terdapat benang
merah yang dapat menghubungkan dan dikembangkan lebih luas. Integated adalah model
keterpaduan yang bertitik tolak pada persamaan topik/ konsep yang terjadi dari berbagai bidang
yang dapat dirumuskan menjadi satu.
Sedangkan model-model pembelajaran terpadu yang digunakan oleh Imran Siregar dalam Riset
Pendidikan Terpadu di Probolinggo Jawa Timur antara lain:
Metode mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar, misalnya;
ceramah, tanya jawab, diskusi sosiodrama, demonstrasi, dan eksperimen. Pendekatan lebih
menunjukan pada bagaimana kelas dikelola, misalnya secara individu, kelompok dan klasikal.
Steategi pembelajaran menunjuk kepada bagaimana guru mengatur keseluruhan proses belajar
mengajar, meliputi: mengatur waktu, pemenggalan penyajian, pemiliham ,etode, dan pemilihan
pendekatan.
Dengan mengetahui metode, pendekatan pembelajaran terpadu yang digunakan maka pada
prosesnya dapat mencapai target dan tujuan “nilai” pendidikan yang diharapkan. Pendidikan
nilai bertujuan untuk menentukan sikap atau tingkah laku seseorang. Atmadi (2001:82)
mengungkapkan bahwa metode yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nilai tersebut
antara lain:
1. Metode menasihati (moralizing) yaitu metode pendidikan nilai di mana seorang pendidik
secara langsung mengajarkan sejumlah nilai yang harus menjadi pegangan hidup peserta
didik. Dalam metode ini pendidik dapat menggunakan khotbah, berpidato, memberi
nasehat atau memberi instruksi kepada peserta didik agar menerima saja sejumlah nilai
sebagai pegangan hidup.
2. Metode serba membiarkan (a laissezfaire attitude), yaitu metode pendidikan nilai dimana
seorang pendidik memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk
menentukan pilihan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh pendidik. Pendidik hanya
memberikan penjelasan tentang nilai-nilai tanpa memaksakan kehendaknya sendiri
bahwa nilai ini atau itu yang seharusnya dipilih oleh peserta didik tetapi setelah memberi
penjelasan pendidik mempersilahkan peserta didik mengambil sikap sendiri-sendiri.
3. Metode Model (modelling) yaitu metode pendidikan nilai dimana seorang pendidik
mencoba meyakinkan peserta didik bahwa nilai tertentu itu memang baik dengan cara
memberi contoh dirinya atau seseorang sebagai model penghayat nilai tertentu, pendidik
berharap peserta didik tergerak untuk menirunya.
Sedangkan metoda pendidikan nilai yang dipakai oleh Sutajo Adisusilo (Atmadi, 2001:71-91)
adalah metoda VCT (Value Clarification Technique). VCT adalah teknik pengungkapan nilai.
Dengan metode ini nilai tidak diajarkan secara doktriner, namun disimpulkan atau ditemukan
sendiri oleh peserta didik dari sejumlah kegiatan pengajaran. VCT merupakan cara atau proses di
mana pendidik membantu orang atau peserta didik menemukan nilai-nilai yang melatarbelakangi
tingkah lakunya serta pilihan-pilihan penting yang dibuatnya. Dalam kenyataannya peserta didik
atau orang harus terus-menerus menentukan nilai sebagai dasar tindakannya. Pandangan Harmin
dkk., menunjukan bahwa VCT akan mengantar peserta didik mempunyai keterampilan atau
kemampuan menentukan pilihan yang tepat sesuai tujuan hidupnya. Salah satu metoda VCT
adalah dengan penyisipan pertanyaan dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Maksudnya, ada
pertanyaan tentang nilai yang sengaja disisipkan di awal, ditengah, atau diakhir pengajaran suatu
mata pelajaran. Bentuk pertanyaan VCT beraneka ragam sesuai dengan tujuan yang diharapkan
pendidik, diantaranya ialah:
Pertanyaan penjajagan (di awal pengajaran, di tengah, atau akhir pengajaran untuk pengecekan
hasil sementara atau hasil akhir). Lontaran pertanyaan jenis ini bila terjawab oleh peserta didik,
hendaknya jangan disusul oleh pertanyaan mencari alasan atau reasoning sebelum jumlah
penjawab sesuai dengan harapan kita. Penghargaan (berupa pujian) jangan dahulu diberikan
sebelum jumlah penjawab yang diharpkan terpenuhi. Penjajagan klarfifikasi dan pertanyaan
reasoning yang dilakukan dalam proses belajar mengajar bukanlah performance test, dan jangan
diberi nilai, karena membenihkan nilai jawaban demi jawaban akan mengunci dan membatasi
anak dalam menjawab. (Atmadi, 2001:82-83)
Proses penilaian merupakan proses yang utama dalam pengembangan nilai dalam pembelajaran.
Barman (1097) dan Abdul Aziz (1996) mengemukan enam alternatif pendekatan bagi terjadinya
proses valuing dalam pembelajaran antara lain pendekatan untuk pengembangan kognitif,
penanaman nilai, perkembangan moral, kejelasan nilai-nilai (value clarificarion), belajar
tindakan (action learning), dan analisis.
Pendekatan pengembangan kognitif akan lebih memberikan kesempatan pada siswa untuk
mampu mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks didasarkan pada seperangkat
nilai. Pendekatan penanaman nilai lebih bersifat indoktrinasi dalam pengembangan nilai. Proses
valuing dengan pendekatan ini lebih merupakan internalisasi nilai-nilai tertentu yang dimiliki
guru dan masyarakat kepada diri anak atau mengubah nilai-nilai anak kearah nilai-nilai tertentu
yang dikehendakinya. Pendekatan perkembangan moral membantu anak mengembangkan
penalaran moralnya melalui penggunaan episode dilema moral sebagaimana yang dikembangkan
Lawrence Kohlberg. Pendekatan kejelasan nilai-nilai memberikan kesempatan kepada anak
untuk menyadari dan mengenal nilai-nilainya dan juga nilai orang lain, serta
mengkomunikasikan secara terbuka nilai-nilai mereka. Tujuan utama pendekatan belajar
tindakan ialah memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan tindakan-tindakan yang
sesuai dengan nilai-nilainya melalui permainan peran, simulasi, diskusi dan sebagainya.
Pendekatan analisis menyediakan pengalaman belajar menggunakan pemikiran logis serta
penyelidikan ilmiah untuk mengevaluasi isu-isu melalui diskusi, melakukan penyelidikan dan
analisis kasus (Harry Firman, 1988:29).
Kurikulum pendidikan Islam sampai saat ini masih dihadapkan pada kesulitan untuk
mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan
dengan ‘subjek-subjek sekuler’, dan pada sisis lain, dengan ‘subjek-subjek keagamaan’. Subjek-
subjek yang dianggap sekuler biasanya terdiri dari jenis keilmuan umum seperti matematika,
fisika, biologi, kedokteran, sosiologi, ekonomi, politik, botani, zoologi, dan sebagainya.
Sementara subjek-subjek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti Alquran, Alhadits,
fiqh, teologi, tasawuf, tauhid, dan semacamnya. Dari dikotomi diatas, kurikulum pendidikan
umum dan Kurikulum pendidikan Islam masih berada pada wilayahnya masing-masing,
sehingga proses pembelajarannya bersifat parsial dan terfragmentasi antara sains wahyu ilahi dan
sains-sains alam. Padahal, menurut terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan Alquran-Nya
dalam bentuk: Alquran yang tertulis (recorded qur’an), yaitu wahyu yang tertulis dalam
lembaran buku yang dibaca oleh ummat Islam setiap hari: dan Alquran yang terhampar (created
quran), yaitu alam semesta, jagat raya atau kosmologi ini.
Dalam pelaksanaanya memang mesti ada prioritas proses pembelajaran antara kedua jenis
keilmuan di atas. Kedudukan kategori sain-sains tersebut, apabla dibuat skema adalah sebagai
berikut:
Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan dan dari padanya diharapkan dapat diperoleh
pengertian, penghayatan dan pengamalan ke arah terbentuknya ‘intelektualisme muslim” yakni
pribadi yang utuh, yang pemikirannya bisa menyatukan ketiga kutub ilmu tersbut.
Berangkat dari pola pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka
pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga, begitu pula sebaliknya,
pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya tidak perlu terjadi persoalan
ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. AM. Saefudin[15] mengajukan
formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi
sebagai proses pelarutan dan bukan sebagai pencampuran biasa. Perbedaan antara proses
pelarutan dan proses pencampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut.
Dengan adanya penyatuan ilmu/ sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi akan
dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam
pembagian ilmu-ilmu ‘agama’ dan ilmu-ilmu ‘umum, tetapi akan di bedakan (bukan dipisahkan)
menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyyah (ayat-ayat yang tersurat dalam
Alquran/ hadits) dan ilmu tentang ayat kauniyah (ilmu pengetahuan tentang kealaman).
Secara umum, Kurikulum Pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islami pun disusun
mencakup seluruh wawasan keilmuan sehingga akan membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu terhadap struktur, tujuan, materi dan institusi pendidikan yang disiapkan. Begitu pula
secara spesifik strategi belajar mengajar termasuk model, metode dan pendekatan pembelajaran
sebagaimana telah disebutkan beberapa bentuknya diatas akan menentukan arah pendidikan yang
terintegarasi dan bernuansa Islami.
Secara spesifik, spesialisasi ilmu yang terdapat dalam proses pembelajaran setidaknya dapat
diadaptasi berdasarkan pada kelompok mata pelajaran Kurikulum Baru [subdirektorat kurikulum
2006] yang masih dalam proses penggodokan, antara lain meliputi: agama dan akhlak mulia;
kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; Jasmani,
olahraga dan kesehatan. Spesialisasi kelompok mata pelajaran tersebut diharapkan dapat
terintegrasi dengan nilai-nilai islami dalam pembelajaran.
Seringkali kita memahami bahwa ilmu Allah itu terdiri dari ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat
qouliyah, sebenarnya di dalam QS. Fushshilat (41): 53, mengisyaratkan adanya dua kategori
ilmu yang berbeda yaitu ilmu mengenai cakrawala [“afaq“] dan ilmu mengenai diri manusia
[anfusihim].
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan
pada diri mereka sendiri”.
Jadi, Menurut al-Quran ilmu itu bukannya dua macam, kauniyah [ilmu-ilmu alam, nomothettic]
dan qouliyah [ilmu-ilmu theological], tetapi tiga macam. Katakan yang ketiga itu adalah
nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauliyah berkenaan dengan
hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkenaan dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah
inilah yang disebut sebagai humaniora [ilmu-ilmu kemanusiaan, heurmeneutic]. Meskipun
dalam bahasa arab ilmu nafsiyah ialah psikologi. Ketiga macam ilmu tersebut bersumber pada
ilmu Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran mutlak, sehingga berbagai derivasi keilmuan
merupakan satu kesatuan bukanlah sebuah dikotomi. Secara skematik ketiga macam ilmu
(kauniyah, Qouliyah dan nafsiyah) dapat terintegrasi dengan kelompok mata pelajaran sebagai
salah satu bentuk spesialisasi integrasi pendidikan islami dalam pembelajaran.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, upaya terintegrasinya pendidikan umum dengan nilai-nilai islami
tidak terlepas dari universalitas keilmuan yang harus diterapkan dalam proses pembelajaran
tanpa mengedepankan independensi [mencari-cari perbedaan] keilmuan. Integrasi pendidikan
islami tersebut antara lain:
Keutuhan kerangka nilai islami pada setiap kelompok mata pelajaran terintegrasi secara
menyeluruh [integral-holisitk]. Dengan kata lain antara pelajaran umum dan agama
terintegrasi dalam bentuk: common matter integrated with religious matter
[mengintegrasikan materi pelajaran umum dengan materi pelajaran pendidikan agama]
yakni nilai-nilai islami inklusif dalam penyampaian pelajaran umum atau sebaliknya
religious matter integrated with common matter [mengintegrasikan materi pelajaran
agama dengan mata pelajaran umum] yakni agama tidak mendeskriditkan ilmu-ilmu
umum. Kelompok mata pelajaran yang harus terintegrasi dengan nilai-nilai Islami dalam
pembelajaran tersebut antara lain: agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan
kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; Jasmani, olahraga dan
kesehatan.
Keragaman model, metode dan pendekatan integrated [terpadu] dengan nilai-nilai islami
sebagai kerangka normatif dapat dijadikan perspektif baru bagi para pendidik dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga pembelajaran mengarah pada proses leader
[mampu memilih bola yang harus dijemput] dan manager [tahu bagaimana mengelola
bola] tanpa terlepas dari kerangka nilai islami.
Keterpaduan penyelenggaraan pendidikan mengharuskan nilai-nilai pendidikan Islami
pada pembelajaran di sekolah teraplikasikan secara integrated dengan kebutuhan
masyarakat dan keluarga. Pada realitasnya integrasi pendidikan dapat menghapus
pendidikan yang bersifat paradoks antara ketiga unsur tersebut sehingga berimplikasi
terhadap peningkatan kualitas (nilai) tanggungjawab moral dan akhlak siswa.
[1] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21 (The New
Mind Set of Education in The 21sr Century, 2003. hal 101
[2] Keseluruhan Kecerdasan antara Kecerdasan Intelektual [IQ], kecerdasan Emosional [EQ],
kecerdasan Spritiual [SQ], dan berpusat (bersumber) pada kecerdasan Religi [RQ]. Kecerdasan
komplit hanya dapat dicapai melalui “sekolah kehidupan” yaitu kehidupan nyata secara utuh.
[3] Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern;
Mencarai “Visi BAru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 273.
[4] Menurut Mulyadi Kertanegara problem dikotomi ilmu itu antara lain berkenaan dengan: 1]
Kesenjangan Sumber Ilmu; 2] Objek–objek ilmu yang dianggap ‘sah’ untuk disiplin sebuah
ilmu; 3] Disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu; 4] Metodologi ilmiah; 5] Sulitnya
mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia, khususnya indra, intelektual dan intuisi
sebagai pengalaman-pengalaman legitimate dan riil dari manusia. Mulyadi Kertanegara,
Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 2005. hal 19-31
[5] Imran Siregar, Pendidikan Agama Terpadu: Studi Kasus SMU Kraksaan Probolinggo Jawa
Timur. Riset. hal 76
[6] Pendidikan agama ke depan diarahkan pada konsep pendidikan terpadu yaitu pendidikan
berbasis keluarga atai family base.
[14] Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern;
Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 267-274
[16] Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern;
Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 287
. Desain Kegiatan Pembelajaran dan Materi Pengembangan Moral-Agama yang Sesuai dengan
Program PAUD
Sebelum mengulas desain kegiatan pembelajaran dan pengernbangan moral-agama pada anak di
sini terlebih dahulu perlu dikemukakan sekilas tentang masa anak-anak. Menurut Reni Akbar
dkk, masa prasekolah merupakan masa-masa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh
kehidupan anak. Untuk itulah kita perlu menjaga hal tersebut sebagaimana adanya. Janganlah
memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri, baik mengaharapkan secara banyak dan segera
maupun mencoba melakukan hal-hal yang memang mereka belum siap…Negara-negara Eropa
dan Amerika meyakini bahwa tidak perlu untuk bersikap terburu-buru untuk mengajari anak
membaca sampai anak berusia tujuh tahun. Penelitian Sue Moskowitz terhadap sejumlah anak
yang diajar membaca pada waktu dini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut tidak mampu
mempertahankan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki dari teman sekelasnya yang tidak
dapat membaca sebelum cukup umur. Moskowitz juga mempertanyakan anak-anak yang
didorong orang tuanya belajar membaca pada usia dini…Dengan mengajari anak membaca pada
usia tujuh tahun, anak-anak Skandinavia, baik perempuan tidak memiliki masalah dalam
pelajaran rnembaca (Akbar Hawadi,2006: 5).
Dalam kaitan dengan perkembangan moral anak menurut Charles Wenar dalam Akbar dikatakan
bahwa perkembangan moral anak berjalan lamban dan bergerak sesuai dengan meningkatnya
kematangan pada diri anak untuk dapat memahami nilai-nilai keberhasilan, kejujuran, dan
tanggungjawab. Menurut hemat penulis, pengenalan mengenai sesuatu yang baik dan yang tidak
baik, seperti dalam bermain anak juga sudah harus mulai diajarkan, misalnya ketika dalam
bermain anak berebut mainan yang bukan rniliknya maka seyogyanya guru atau orang tua segera
merespons dengan bahasa anak. Ini merupakan bagian dari peletakan dasar-dasar sikap dan
kepribadian yang terpuji pada diri anak.
Mengacu pada deskripsi tersebut maka kegiatan pembelajaran dan pemberian materi moral-
agarna perlu dirancang secara sederhana sesuai dengan tingkat kemampuan anak, seperti
kegiatan bermain sambil belajar. Menurut EIis (2005) dalam Hidayat, ruang lingkup materi
moral-agama pada program PAUD meliputi (a) peletakan dasar-dasar keimanan, (b) peletakan
dasar-dasar kepribadian/budi pekerti yang terpuji, dan (c) membiasakan beribadah sesuai dengan
kemampuan anak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala rutinitas dalam kehidupan
sehari-hari anak hendaknya selalu diwarrnai dengan nuansa keagamaan agar mereka kelak
kemudian selalu ingat kepada -Tuhannya.
Selanjutnya, dalam merancang kegiatan pengembangan moral-agama pada anak usia dini perlu
dilakukan secara sirnultan (terus-menerus) dan terpadu, baik terpadu dalam hal kerjasama antara
orang tua dan guru maupun terpadu dalam dalam hal materi pemberajarannya, seperti
memadukan antara yang teoritis dan praktis. Mengapa demikian ? karena pada masa usia dini,
anak belum mampu secara langsung memahami hubungan-hubungan antara yang teoritis dan
praktis. Pada masa usia dini, anak masih banyak didominasi oleh pengetahuan yang masih
bersifat abstrak. Oleh karena itu keterpaduan ini perlu dirancang oleh pendidik agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai secara maksimal dan efektif.
Keterpaduan pembelajaran (integrated learning) lainnya juga bisa dilakukan dengan cara
mengaitkan kehidupan alam sekitar, seperti lingkungan alam dan lingkungan sosial yang sering
dialami anak-anak, kemudian nilai-nilai agama tersebut dimasukkan sebagai bagian dari
lingkungan tersebut. Misalkan bagaimana seorang anak harus merawat lingkungan alam, seperti
tumbuhan, hewan, kebersihan, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam lingkungan sosial,
misalkan bagaimana seorang anak harus berbuat baik kepada sesama teman ketika ada temannya
yang membutuhkan seperti pinjam pensil, penghapus, dan lain sebagainya. Contoh-contoh
empirik tersebut dimasuki dengan ajaran-ajaran moral-agama dengan menekankan bahwa hal-hal
yang perlu dilakukan adalah berbuat baik kepada siapa saja sebab ajaran agama mengajarkan
kepada kita demikian, dan bagi siapa saja yang menjalankan secara senang, Allah akan mengasih
sayangi, dan pada suatu saat Allah juga akan memberikan sesuatu yang lebih baik daripada yang
kita lakukan sekarang ini.
Dalam hal pengembangan moral-agama dalam Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar
(GBPKB) di PAUD diistilahkan dengan materi program pembentukan perilaku anak melalui
pembiasaan yang terwuiud dalam kegiatan sehari-hari. Adapun tujuan dari program
pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam
mengembangkan sikap dan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai moral pancasila dan agama.
Pokok-pokok dan ruang lingkup materi tersebut meliputi:
a. Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan
b. Mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama teman
d. Rapi dalam bertindak dan berpakaian
e. Berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan serta bersedia menerima tugas,
menyelesaikan tugas, dan memusatkan perhatian dalam jangka waktu tertentu
f. Memiliki sikap tengang rasa terhadap keadaan orang lain
g. Berani dan mernpunyai rasa ingin tahu yang besar
h. Merasa puas atas prestasi yang dicapai
i. Bertanggun gjawab terhadap tugas yang diberikan
j. Bergotong royong sesama teman
k. Mencintai tanah air
l. Mengurus diri sendiri, antara lain meliputi membersihkan diri sendiri, berpakaian sendiri,
makan sendiri, dan memelihara milik sendiri
m. Menjaga kebersihan lingkungan, termasuk membantu membersihkan dan membuang sampah
pada tempatnya.
n. Menyimpan mainan setelah digunakan
o. Mengendalikan emosi, misalnya saat berpisah dengan ibu tanpa menangis, sabar menunggu
giliran, berhenti bermain pada waktunya tidak cengeng, dapat membedakan milik sendiri dan
orang lain, menunjukkan reaksi yang wajar karena marah, senang, sedih, takut, dan cemas.
p. Sopan santun meliputi terbiasa mengucapkan terima kasih dengan baik atau meminta tolong
dengan baik
q. Menjaga keamanan diri, termasuk menghindar dari obat-obat berbahaya dan menghindar dari
benda-benda yang berbahaya pula (Hidayat mengutip GBPKB 1995).
Sedangkan kompetensi dan hasil berajar yang ingin dicapai pada aspek pegembangan moral-
agama mengacu pada menu pembelajaran pada Pendidikan Anak usia Dini adalah kemampuan
melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Allah dan mencintai sesame(Hidayat
2007). Berikut ruang lingkup dan rinciannya berdasarkan kelompok mulai 3-6 tahun:
a. Menyayikan lagu keagamaan
b. Berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dengan sikap berdoa
c. Dapat melakukan gerakan beribadah
d. Membedakan ciptaan Tuhan dengan buatan manusia
e. Menyayangi orang tua, orang di sekeliling, guru, teman, pembantu, binatang, dan tanaman
f. Mengenal/memahami sifat-sifat Tuhan, misalnya Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain
sebaginaya
g. Merasakan/ditunjukkan rasa sayang dan cinta kasih melalui belaian atau rangkulan
h. Selalu mengucapkan terima kasih setelah menerima sesuatu
i. Mengucapkan salam
j. Mengucapkan kata-kata santun, misalnya maaf, tolong, dan lain-lain
k.Menghargai teman dan tidak memaksakan kehendak
l. Membantu pekerjaan ringan orang dewasa
Sementara itu terkait dengan karakter atau sifat materi pengembangan moral dan nilai-nilai
agama pada anak usia dini, menurut Hidayat guru harus dapat memilih materi yang sesuai
dengan karakter anak usia dini, di antaranya bersifat terapan dan berkaitan dengan kegiatan rutin
anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, (b) enjoyable, yaitu materi pembelajaran diupayakan
bisa membuat anak senang, menikmati, dan mengikuti kegiatan dengan antusias, dan (c) mudah
ditiru, yaitu materi yang disampaikan dapat dipraktikkan oleh anak dengan mudah.
MODEL PEMBELAJARAN
MODEL PEMBELAJARAN
Menurut Robin Fogarty (1991) terdapat 10 macam model pembelajaran terpadu. Namun yang di
ulas hanya 3 macam model. Ketiga model tersebut adalah model jarring laba-laba (webbed ), model
keterkaitan (connected ), dan model keterpaduan. Dari ketiga model tersebut yang sering di gunakan
oleh guru TK dalam kegiatan pembelajarannya adalah model jaring laba-laba. Model ini cendrung lebih
mudah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaanya dibandingkan model lainnya. Sedangkan
untuk model keterkaitan dan keterpaduan sangat diperlukan kecermatan guru dalam menerapkannya.
Adalah model yang menggunakan pendekatan tematik sebagai pusat pembelajaran yang dijabarkan
dalam berbagai kegiatan/ bidang pengembangan. Pembelajaran ini di mulai dengan menentukan
tema,yang kemudian dikembangkan menjadi subtema dengan memperhatikan keterkaitan tema
tersebut dengan bidang pengembangan. Diharapkan dari pengembangan tema tersebut aktivitas anak
dapat berkembang dengan sendirinya. Web juga memadukan berbagai mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum, berdasarkan tema yang dapat mengaitkan berbagai konsep, topic dan ide. Hubungan antara
bidang studi terwujudkan dalam bentuk jaringan yang saling berhubungan dalam bentuk jaring laba-
laba.Sebagai sebuah model, model jaring laba-laba mempunyai beberapa kelebihan dan keterbatasan
sbb:
a. Adanya kekuatan motivasi internal yang berasal dari proses penentuan tema yang diminati anak.
d. Dalam pembelajaran guru lebih memperhatikan kegiatan pembelajaran dari pada pengembangan
konsep.
Tahapan / langkah untuk membuat rancangan pembelajaran terpadu dengan model jaring laba-laba
sbb:
1. Mempelajari kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator setiap bidang sesuai usia
3. Mengidentifikasi tema dan sub tema dan memetakkannya dalam jaring tema
4. Menentukan kegiatan pada setiap bidang pengembangan dengan mengacu pada indikator
Tema pada pembelajaran dapat dikemukakan dari hal mendasar yang selalu dapat dikembangkan,
dihubungkan dengan suatu peristiwa / kejadian ,dihubungkan dengan minat anak / minat guru,
dihubungkan dengan hari- hari besar/ istimewa, dihubungkan dengan kebutuhan anak dan disesuaikan
dengan kurikulum sekolah.
Model keterkaitan ( connected model) yaitu suatu model pengembangan kgiatan pembelajaran yang
menggabungkan secara jelas dua atau lebih hasil belajar dengan indicator. Indicator hasil belajar yang
sesuai dalam 1 bidang pengembangan.
1. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan : moral, nilai, agama, social, emosinal, dan kemandirian
Untuk memahami apa gambaran model keterkaitan ini dapat dicontohkan sebagai berikut dalam
pengembangan social emosional terdapat hasil belajar dan indicator
1. Hasil belajar : menunjukkan rasa kepedulian . salah satu indikatornya adalah menggunakan barang orang
lain dengan hati-hati.
2. Hasil belajar : sikap ramah. Salah satu indikatornya adalah berbahasa sopan dalam berbicara.
3. Hasil balajar : Tumbuh sikap bekerjasama dan persatuan salah satu indikatornya adalah saling
membantu sesama teman.
Jika kita lihat bahwa hasil belajar : menunjukkan rasa kepedulian, menggunakan barang orang lain
dengan hati-hati dan sikap bekerjasama dan persatuan merupakan unsure-unsur dalam hidup saling
menghormati.
a. Dengan mengaitkan ide-ide dalam satu bidang pengembangan, anak memilki keuntungan gambar yang
besar.
b. Konsep-konsep kunci di kembangkan anak secara terus menerus sehingga terjadi internalisasi
Meskipun telah menggabungkan beberapa hasil belajar dalam satu bidang pengembangan, namun
model ini belum memberikan gambaran yang lebih menyeluruh karena belum menggabungkan bidang-
bidang pengembangan yang lain. Selain itu karena relaif mudah untuk diaplikasikan maka model ini
kurang mendorong guru-guru untuk bekerja sama dalam menggunakan model ini.
e. Usaha-usaha yang terkonsentrasi untuk mengintegrasikan ide-ide dalam satu bidang pengembangan.
Model ini dapat digunakan pada awal kita akan menggunakan pembelajaran terpadu. Guru akan lebih
percaya diri apabila dapat melihat hubungan antara hasil-hasil belajar dalam konteks yang lebih luas.
a. social – emosional.
Indikator: Indikator:
C. Model Keterpaduan
Model Pembelajarn keterpaduan merupakan suatu pembelajaran yang secara sengaja mengkaitkan
beberapa aspek baik antara intra mata pelajaran maupun antara mata pelajaran. Dengan adanya
pemaduan tersebut siswa akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga
pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Pembelajaran terpadu berdasarkan inqury ( melibatkan
siswa mulai dari merencanakan, mengeplorasi dari para siswa. Pelaksanaan keterpaduan yaitu anak
diajak berpatisipasi aktif dalam mengeplorasi topic. Proses dan materi lebih dari satu pelajaran pada
waktu yang sama. Pembelajaran keterpaduan sangat memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan
perkembangannya yang holistic dengan melibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.
1. banyak topic yang tertuang disetiap pembelajaran mempunyai keterkaitan konsep dengan yang
dipelajari.
2. memungkinkan siswa memenfaatkan keterampilannya
3. melatih siswa untuk semakin banyak membuat hubungan inter dan antar mata pelajaran.
Daftar Pustaka
Jamaris, Martini . ( 2006) . Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak. Jakarta :
PT Gramedia Widiasaran Indonesia.
Usia dini (0-8 thn) merupakan usia yang sangat menentukan, dalam pembentukan karakter dan
kepribadian seorang anak. Usia itu sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi
permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi.
Informasi tentang potensi yang dimiliki anak usia itu, sudah banyak diketengahkan di media
massa dan media elektronik lainnya. Bahkan sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi.
Tetapi kenyataannya, sebagian besar orang tua dan guru tidak memahami akan potensi luar biasa
yang dimiliki anak-anak pada usia itu. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki
orang tua dan guru, menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang. Selain itu, ada
juga guru dan orang tua dari anak usia dini yang tidak tahu bagaimana caranya untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak.
Sebenarnya pengembangan potensi yang dimiliki oleh anak usia TK bisa dilakukan dengan
berbagai macam cara dan metode. Cara dan metode tersebut harus bertitik tolak dari sifat dan
karakteristik dari anak yang bersifat unik. Selain itu juga harus memperhatikan perkembangan
anak yang leliputi: perkembangan fisik dan motorik, perkembangan kognitif, perkembangan
sosial emosional, dan perkembangan bahasa.
Bidang-bidang tersebut di atas harus dikembangkan secara menyeluruh (holistik) dan tidak
menekankan pada salah satu bidang pengembangan saja. Walaupun nantinya anak akan
mengalami perkembangan yang berbeda dari setiap aspek perkembangannya.
Berhasil tidaknya proses dan hasil suatu bidang pengembangan (terutama sains) bagi anak usia
TK B dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara faktor yang fundamental yang turut
berpengaruh adalah para pengajar dan pendidik sains. Agar pembekalan sains pada anak
berjalan secara optimal, hendanya orang-orang yang terlibat dalam pendidikan sains betul-betul
memahami hakekat sains secara benar, memahami hakekat anak secara benar, dan tentu saja
model dan media pembelajaran yang benar pula.
Ada dua hal –setidaknya—yang tidak boleh dilupakan dari seorang pendidik anak usia TK.
Yang pertama bahwa anak usia TK mempunyai dunianya sendiri yaitu dunia bermain, sehingga
pembelajaran sains tidak boleh lepas dari bermain dan permainan. Sedangkan yang kedua
adalah seni, bahwa anak usia TK sangat gemar akan seni dengan berbagai macamnya.
Dari uraian di atas mucul permasalahan yang perlu dicari penyelesaiannya; yaitu:
Bagaimanakan cara mengembangkan pembelajaran sains untuk anak usia TK B dengan metode
pendekatan melalui pembelajaran seni?
Dalam makalah ini akan dibahas hakekat sains dalam pendidikan anak usia dini (usia TK B)
serta model pengembangan pembelajaran sains melalui seni rupa yang sesuai bagi mer
Hakekat Sains
Pengertian Sains
Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dengan
segala isinya. Hal yang dipelajari dalam sains adalah sebab-akibat, hubungan kausal dari
kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Menurut Powler (dalam Winataputra 1993), sains adalah
ilmu yang sistematis dan dirumuskan dengan mengamati gejala-gejala kebendaan, dan
didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan sains
sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa
kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Aktivitas dalam sains selalu berhubungan dengan
percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan. Secara sederhana, sains
dapat juga didefinisikan sebagai apa yang dilakukan oleh para ahli sains. Dengan demikian, sains
bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi menyangkut cara
kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Ilmuwan sains selalu tertarik dan
memperhatikan peristiwa alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang
suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.
Dalam sains, terdapat tiga unsur utama, yaitu sikap manusia, proses atau metodologi, dan hasil
yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang benda-
benda, makhluk hidup, dan hubungan sebab-akibatnya akan menimbulkan permasalahan-
permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut
meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup perumusan hipotesis, perancangan percobaan,
evaluasi atau pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip,
teori, hukum, dan sebagainya.
Proses Pembelajaran
Prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan
perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh karena itu,
pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat
tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses
pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran
adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat.
Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas. Oleh karena itu,
proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi, dan apa yang dipelajari di
sekolah seharusnya merupakan cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dapat
dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.
Permasalahan dalam proses belajar mengajar dewasa ini adalah kecenderungan umum bahwa
para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan
berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir
mandiri. Kecenderungan ini sama saja dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses
pencerdasan. Para siswa dan juga gurunya masih terbiasa belajar dengan domain kognitif
rendah. Oleh karena itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka belajarpun belum menyentuh
domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep diri dan proses
pengembangan kemandirian dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Belajar berani berpikir
obyektif apalagi berbeda dengan buku dan keterangan guru, berpikir logis atau kritis, dialogis
dan argumentatif umumnya masih langka di sekolah-sekolah. Selain itu sistem penilaian secara
formatif masih amat terbatas jika dibandingkan dengan penilaian sumatif.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas riil di lapangan kegiatan belajar mengajar di
sekolah pada umumnya dewasa ini cenderung monoton dan tidak menarik, sehingga beberapa
pelajaran ditakuti dan selalu dianggap sulit oleh siswa, misalnya matematika dan sains. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya korelasi positif dengan perolehan NEM pelajaran tersebut yang selalu
menempati urutan terendah. Beberapa penyebabnya adalah pembelajaran di sekolah khususnya,
sains lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya
menguasai ilmu pengetahuan, bukan mengembangkan keterampilan berpikir siswa,
mengembangkan aktualisasi konsep dengan diimbangi pengalaman konkret dan aktivitas
bereksperimen. Pembelajaran sains berlangsung dengan hanya menyangkut substansi, tanpa
mengembangkan kemampuan melakukan yang berhubungan dengan proses-proses mental seperti
penalaran dan sikap ilmiah (Supangkat 1991). Salah satu penyebab hal ini adalah temuan
Slimming (1998) yang menemukan bahwa perilaku mengajar guru di Indonesia cenderung
bersifat belajar pasif dengan menggunakan metode ceramah hampir di sebagian besar aktivitas
proses belajar mengajarnya di kelas.
Permasalahan ini semestinya menjadi perhatian serius dari Pemerintah yang perlu berupaya keras
untuk mencari terobosan-terobosan dalam memecahkannya, baik melalui pengembangan materi
pembelajaran baru maupun melalui pemberdayaan metodik-didaktik yang sudah ada. Di
samping faktor penunjang lain di luar akademik antara lain penyediaan buku pelajaran yang
bermutu, baik, dan dapat mengembangkan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut.
Tujuan kurikulum dengan paradigma yang baru pada prinsipnya adalah tetap conceptual mastery.
Tetapi hal tersebut diperoleh dengan pendekatan berbasis kompetensi, dengan tujuan agar sistem
pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif terhadap perkembangan informasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan tuntutan desentralisasi. Dengan demikian lembaga pendidikan
tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya dengan kepentingan daerah, dan
karakteristik peserta didik, serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang
berdeverensiasi.
Peserta didik dituntut untuk menguasai konsep-konsep dasar yang telah dipilih secara selektif
melalui aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Siswa harus mampu
mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kontekstual yang dikembangkan dalam
pembelajaran dimana siswa terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan
dengan materi yang diajarkan dan aktif melakukan eksperimen, melakukan pengolahan data,
serta membuat kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan di dalam
kelas perlu dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada, mendorong siswa membuat
hubungan antara konsep yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian
siswa di dalam masyarakat. Akhirnya pembelajaran lebih bermakna dan proses belajar lebih
penting daripada hasil belajar. Dengan dukungan situasi yang demikian, siswa perlu
dikondisikan di dalam situasi pembelajaran di kelas yang memungkinkan siswa mengerti dan
memahami makna belajar, manfaat, peran dan status siswa dalam proses pembelajaran
tersebut. Jika siswa dapat memahami dan mengerti hal tersebut, maka siswa akan berusaha untuk
mencapainya dan memerlukan guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator.
Dalam buku “Pendekatan Kontekstual” yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan ketujuh
komponen dalam pembelajarannya. Ketujuh komponen tersebut adalah konstruktivisme,
bertanya, inquiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya.
Pemodelan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah sesuatu yang dapat
ditiru oleh siswa untuk memudahkan, memperlancar, membangkitkan ide dalam proses
pembelajaran. Model dapat diperoleh dari guru, siswa, atau dari luar sekolah yang relevan
dengan konteks dan materi yang sedang menjadi topik bahasan.
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari, tentang apa yang sudah dilakukan
masa lalu dan merupakan respon terhadap kejadian. Serta aktivitas atau pengetahuan baru yang
diterima atau dilakukan. Penilaian yang sebenarnya adalah proses pengumpulan berbagai data
yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat proses pembelajaran yang
dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Jadi, penilaian autentik adalah
penilaian terhadap pengetahuan dan performansi yang diperoleh siswa selama aktivitas
pembelajaran berlangsung.
Seperti diketahui, sasaran belajar sains adalah membangun gagasan saintifik setelah para siswa
berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan
konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan sains mutakhir menganggap semua siswa memiliki
gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan, fakta akan gejala alam disekitarnya,
meskipun hal tersebut kadang terkesan naif dan miskonsepsi. Mereka (para siswa) seringkali
mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif tersebut secara kokoh, karena gagasan atau
pengetahuan itu mengait dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah lebih dulu
dibangun dalam wujud struktur kognitifnya.
Menurut pandangan ini, kegiatan pembelajaran dimulai dari apa yang diketahui siswa, sehingga
pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi gagasan atau pengetahuan
saintifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non saintifik menjadi
gagasan atau pengetahuan yang saintifik. Dengan demikian, arsitek peubah gagasan atau
pengetahuan dalam diri siswa adalah siswa sendiri. Sedangkan guru hanya berfungsi sebagai
fasilitator, motivator, dan pembimbing yang menyediakan, mempermudah, bahkan kalau bisa
mempercepat berlangsungnya proses belajar. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von
Glaserfeld (Jaskarti, 2002) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut (1) kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan,
mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih
menyukai pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
Beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme adalah diskusi di
mana siswa mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demo serta
peragaan prosedur ilmiah, juga kegiatan lain yang memberi ruang kepada siswa untuk dapat
mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Dalam belajar secara konstruktif, para siswa mempunyai kesempatan untuk menyatakan,
menguji, memodifikasi, dan juga meninggalkan ide-ide awal mereka yang sudah ada sebelumnya
dan mengadopsi ide-ide baru. Melalui tugas-tugas dalam pelajaran sains yang dikaitkan dengan
tingkat perkembangan intelektualnya, para siswa mempunyai kesempatan untuk memahami alam
secara aktif dengan membangun pemahaman tentang fenomena alam melalui aktivitas nyata
kehidupan sehari-hari
Menurut Carr, dkk (1989) konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam proses
pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat menjanjikan akan
adanya perubahan pada hasil pembelajaran. Pendekatan konstruktivisme lebih menekankan
pada siswa sebagai pusat pembelajaran, dan pendekatan seperti ini diharapkan dapat lebih
merangsang dan memberi peluang kepada siswa untuk belajar, berpikir inovatif, dan
mengembangkan potensinya secara optimal.
Sains pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Oleh
karena itu, proses pembelajaran sains seharusnya mengem-bangkan kemampuan bernalar dan
berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu
inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran sains yang
memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan sains.
Hal ini berarti, belajar sains tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa
fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara
memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan
keterampilan berpikir. Belajar sains memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan
informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi,
memecahkan masalah, dan sebagainya.
Selanjutnya, bahan kajian sains yang berkaitan dengan pemahaman konsep dan penerapannya
adalah:
* memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang makhluk hidup dan proses
kehidupan;
* memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang bumi dan alam semesta; serta
Prinsipnya pembelajaran sains, yaitu cara memberi tahu dan cara berbuat, akan membantu
siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan
mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian dalam interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan
nara sumber lainnya.
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap
mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang,
bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.
Seni rupa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni, kriya, dan desain. Seni rupa
murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi,
sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan kemudahan produksi.
Secara kasar terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai
perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni
rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan
visual arts.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pendidikan seni pada umumnya dan seni rupa khususnya
merupakan sarana yang efektif bagi pendidikan anak usia dini. Pendidikan seni juga dapat
menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu,
pendidikan seni dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan
seni sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak, terutama di Taman Kanak-Kanak.
Sebagai materi pembelajaran, mata pelajaran Seni perlu di pahami guru, mau dibawa kemana
anak didik sehingga tercapai arah yang tepat. Eisner (1972) dan Chapman (1978) mengatakan
bahwa, arah atau pendekatan seni baik itu seni rupa, seni seni, seni tari ataupun seni teater, secara
umum dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yakni seni dalam pendidikan dan pendidikan
melalui seni.
Pertama, seni dalam pendidikan. Secara hakiki materi seni penting diberikan kepada anak.
Maksudnya adalah, keahlian melukis, menggambar, menyanyi, menari, memainkan seni dan
keterampilan lainnya perlu ditanamkan kepada anak dalam rangka pengembangan kesenian dan
pelestarian kesenian. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu
sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-
nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya (baca: guru kepada murid). Oleh sebab itu,
seni dalam pendidikan merupakan upaya pendidik seni dan juga lembaga yang menaungi untuk
mewariskan, melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian yang ada baik lokal
maupun mancanegara.
Dari uraian di atas, maka seni dalam pendidikan merupakan sebuah program yang
mengharapkan siswa pandai dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil
dalam menari, pandai memainkan alat seni dan sebagainya. Memang terasa sangat sulit sekali
apabila diterapkan pada Taman Kanak-Kanak, karena harus mempertimbangkan kualifikasi guru
terhadap bidang seni tertentu, waktu yang cukup, dan sarana- prasarana yang memadai.
Kedua, pendidikan melalui seni. Plato menyatakan bahwa seni seharusnya menjadi dasar
pendidikan. Dari pendapat ini bisa dipahami bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan seni
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pendidikan secara umum.
Konsep pendidikan melalui seni juga dikemukan oleh Dewey bahwa seni seharusnya menjadi
alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan seni itu sendiri. Maka
melalui pendidikan melalui seni tercapai tujuan pendidikan yaitu keseimbangan rasional dan
emosional, intelektual dan kesadaran estetis.
Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan pada
proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka
sasaran belajar pendidikan seni tidak mengharapkan siswa pandai menyanyi, pandai
memainkan alat seni, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana
ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan
emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pendidikan seni
dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja.
Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka guru pun dapat melaksanakannya.
Kekurangan kemampuan guru dalam hal pendidikan seni dapat ditutup dengan penggunaan
berbagai media pembelajaran yang memadai. Seperti yang telah dipaparkan di atas,
pendidikan seni khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan
keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis.
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang
hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget,
berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi
logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya
dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi
lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat anak memperoleh cara baru dalam
merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme,
yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai
pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa anak
membangun kemampuan kognitifnya melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya
terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget
membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama
yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
Anak Usia TK B (6 tahun) menurut Jean Piaget berada dalam periode praoperasional. Tahapan
ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget
bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan
tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang
secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat
egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat
mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah
walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan praoperasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia
dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun,
mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka
cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana
hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari
orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang
lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap
setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Pendekatan yang kedua di atas, dapat di terapkan dalam bidang pengembangan sains di Taman
kanak-Kanak. Akan tetapi tentu saja guru/pendidik di Taman Kanak-Kanak harus
memperhatikan tipologi dan gaya karya seni rupa anak, secara umum anak juga mengalami
periodisasi atau masa perkembangan menggambar. Bahkan dikatakan bahwa pada masa peka
itulah anak-anak mengalami masa keemasan ekspresi kreatif. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap karya gambar yang dilakukan oleh para ahli antara lain W. Labert Britain dan Viktor
Lowenfeld menunjukkan bahwa setiap anak mengalami masa-masa perkembangan menggambar.
Menurut Lowenfeld periodisasi menggambar anak-anak dibedakan menjadi:
Anak usia TK B adalah termasuk masa prabagan. Masa ini goresan-goresan yang dilakukan oleh
anak masih bersifat mendatar, tegak dan melingkar yang selanjutnya berkembang menjadi wujud
ungkapan-ungkapan yang dapat dikaitkan dengan wujud objek tertentu, misalnya bentuk bagan
manusia yang masih sederhana. Kehadiran gambar manusia yang sering diwujudkan anak-anak
memang sangat wajar di mana anak selalu dalam lingkungan yang secara visual manusialah yang
sering dilihatnya. Sejak masa ini anak sudah dapat mewujudkan objek gambarnya secara tetap
dengan ciri-ciri tertentu, misalnya ini aku, ini ibu, ini ayah, ini kakak, dan sebagainya. Goresan-
gorasan yang dibuat sudah mulai terarah sesuai dengan hasratnya untuk memberi bentuk kepada
imajinasinya. Masa ini merupakan masa peralihan dari masa menoreng/menggores ke masa
bentuk bagan/skematis, sehingga dikenal dengan perkembangan menggambar prabagan.
Masa seperti ini juga terjadi dalam bidang seni rupa yang lain, di mana anak mulai dapat
mengungkapkan imajinasinya ke dalam bentuk tertentu.
Dengan demikian dalam pembelajaran sain melalui seni rupa untuk anak TK B, harus
memperhatikan periodisasi perkembangan kognitif dan periode perkembangan seni rupa bagi
anak. Di mana anak dalam periode praoperasional dari sisi kogitif dan pada masa prabagan dari
sisi perkembangan seni. Berangkat dari sinilah pengembangan pembelajaran sains melalui seni
mulai disusun dengan memadukan pada semua aspek pengembangan dan mengacu pada tema-
tema yang telah dirangcang oleh dewan guru bersama kepala sekolah dalam rangka memberikan
pendidikan yang terbaik untuk anak.
Kesimpulan
Dari uraian di atas kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sains bagi anak usia TK B
hanya yang berkaitan dengan konsep-konsep dasar atau hal-hal yang alamiah yang sudah mereka
rasakan sehari-hari dengan mengacu pada menu pembelajaran yang telah ditetapkan oleh
lembaga. Cara pengembangan pembelajaran sains untuk anak usia TK B harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan anak dari sisi kognitif dan dari sisi seni secara bersamaan.
Adapun pendidikan seni rupa berfungsi sebagai upaya pemberian pengetahuan dan pengalaman
dasar kegiatan kreatif seni rupa dengan menerapkan konsep seni sebagai alat pembelajaran.
Kesesuaian dalam pemberian pengalaman dalam berolah seni rupa bagi anak akan berdampak
positif bagi kebermaknaan pendidikan sains yang diperolehnya.
Saran
Perlu kemampuan dan kemauan khusus bagi para pendidik usia dini agar dapat mengemas dan
mengembangkan program pembelajaran sains melalui seni rupa.
Selain itu pemerintah melalui perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan untuk calon
guru usia dini hendaknya memperhatikan aspek pendidikan seni dan kreativitas. Hal ini penting
agar pendidikan untuk usia dini tidak bersifat normatif, kaku, dan kurang menarik.
Daftar Pustaka
Fisher, Elaine Flory, Aesthetic Awareness and The Child, Washington: F.E. Peacock Publisher,
1978
Goldberg, Merryl, Art and Learning: An Integreted Aproach Teacing and Learning in
Murlticultural and Multilingual Settings, London: Longman, 1997
Lowenfeld, Viktor & Britain, W. Lambert, Creative and Mental Growth, New York: MacMillan
Publishing, 1982
Singer, Dorothy G, A Piaget Primer: How a Child Thinks, New York: Penguin Books Ltd., 1996
Sund and Corring, Teaching Science Through Discovery (Sixth Editition), Columbus: Merryl
Pub. Company, 1988