Anda di halaman 1dari 73

ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI

JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI


RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif


Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan

Disusun Oleh :
Heri Siswanto
A01301761

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI
JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI
RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif


Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan

Disusun Oleh :
Heri Siswanto
A01301761

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016

i
LEPIBAR PENGESAIIAN PEPIBL■ IBING

Laporan Hasil■ むian KOmprchcnsif dcngan judul==Asullan Kcpcraヽ 漁 n


Kctidよ cfektifan Perfllsi Jaringan Scrcbral pada Nn R di Ruang Tcratai RSUD Dr

Soedinnan Kebumen"

yang disususn oleh :

Nama :Hcri Sislvanto

NIM :A01301761

telah Diterima dan Akhir Diploma


Keperawatan S ,es Muhammadryah Gombong pada :

HarilTanggal : Senin,25 Juli 2016

Tempat i STIKES Muhammadiy〔 轟

∬ 轟 懸霧 感 雪 荀 I… ぎ聰テ ン
瞳 統 冤 税
▼r Jtt
`Ч象 ■ 11載 =}≒ 爵 ギ
=1尋
撃iI事畢長野む1通l:∫
三 逮
rし ノー プ



L質 翼緊賛
型鋏ゝ歩デ
琴 資 鰹ガ Fl` 電
瞳 ま ._i ギ
ヂ質 鬱
贔贔:戒争
饒凩辞 抒

( lrmarvan Andri Nugroho, S.Kep.Ns., M. Kep)


Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Heri Siswanto¹ Irmawan Andri Nugroho, S.Kep.Ns., M.Kep²

ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI
JARINGAN SEREBRAL PADA NN. R
DI RUANG TERATAI RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN

Latar belakang: Cedera kepala ringan merupakan hilangnya fungsi neurology


atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala
ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 13 - 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri akut, hematoma, laserasi dan
abrasi. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks
Tujuan umum penulisan karya ilmiah yaitu untuk mengetahui gambaran aplikasi
asuhan keperawatan pada pasien dengan ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral.
Asuhan Keperawatan: Dalam pembahasan masalah keperawatan yang muncul
saat dikaji pada hari Senin, tanggal 30 Juni 2016, pukul 11.35 WIB yaitu
keluarga pasien mengatakan pasien sejak kemarin tidak bisa istirahat pada malam
hari dan mual muntah sebanyak lima kali dalam semalam. Diagnosa yang muncul
adalah ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral, intervensi dan implementasi
yang dilakukan memonitor tanda-tanda vital, teknik distraksi relaksasi,
menganjurkan pasien posisi head up, memberiakan posisi yang nyaman untuk
klien. Evaluasi yang dilakukan selama tiga hari, pasien mengatakan kadang masih
pusing akan tetapi klien sudah bisa berintaraksi dengan baik.
Rekomendasi: Dari penelitian tentang ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
khususnya pada kasus cedera kepala ringan, didapatkan hasil head up mampu
memberikan kenyamanan pada pasien, sehingga bagi keluarga maupun pasien,
mahasiswa, perawat serta institusi untuk mencoba mempraktekkan teknik head up
kepada klien dan mengajarkanya pada keluarga.
Kata kunci: asuhan keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

1. Mahasiswa DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan


Muhammadiyah Gombong.
2. Dosen DIII Keperawatan, sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Gombong.
iv
Diploma III of Nursing Program
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Nursing Care Report, Agustus 2016
Heri Siswanto¹ Irmawan Andri Nugroho, S.Kep.Ns., M.Kep²

ABSTRACT
NURSING CARE OF TISSUE PERFUSION NURSING IN CEREBRAL TO
MSS. R IN TERATAI WARD OF RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
DISTRICT HOSPITAL

Background: Mild head injury is a loss of neurologic function or decreased consciousness


without causing other damage. Mild head injury is a trauma to the head by GCS:
13-15 (fully conscious) there is no loss of consciousness, complained of dizziness
and acute pain, hematoma, lacerations and abrasions. Head injury is one of the
health problems that can cause physical and mental disorders are complex
The general purpose of writing scientific papers is to describe the application of
nursing care in patients with cerebral tissue perfusion ineffectiveness.
Nursing care: In the discussion of nursing problems that arise when examined
on Monday, June 30, 2016 at 11:35 pm that the patient's family said patients since
yesterday could not rest at night, and nausea and vomiting as much as five times a
night. Diagnoses that arise are ineffective cerebral tissue perfusion, intervention
and implementation conducted monitoring vital signs, distraction techniques of
relaxation, head-up position of the patient advocate, a give position comfortable
for clients. Evaluations were conducted over three days, the patient said that
sometimes still dizzy but clients can already intraction well.
Recommendation:of research on the ineffectiveness of cerebral tissue perfusion,
especially in retrospective case series, mild head injury, the result head up to
provide comfort to the patient, so for families and patients, students, nurses and
institutions to try practicing techniques head up to clients educated of family.
Keyword: nursing care ineffectiveness cerebral tissue perfusion

1. University Student Diploma III of Nursing, Muhammadiyah Health


Science Institute Of Gombong.
2. Lecsturer Diploma III of Nursing, Muhammadiyah Health Science
Instituse Of Gombong.

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya dan terima
kasih kepada pasien berserta keluarga karena dengan ini penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Laporan Ujian Komprehensif dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI
JARINGAN SEREBRAL PADA NN.R DI RUANG TERATAI RSUD DR.
SOEDIRMAN KEBUMEN”.
Adapun penulis membuat laporan ini adalah untuk melaporkan hasil Ujian
Komprehensif dalam rangka ujian tahap akhir jenjang pendidikan jenjang
Diploma III Keperawatan.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
1. Sawiji, S.Kep.,Ns., M.Sc selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
2. Irmawan Andri Nugroho, S. Kep.Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
penyusunan laporan kasus.
3. Kepala dan segenap staf bangsal teratai RSUD Dr. Soedirman kebumen,
yang telah membantu dan membimbing dan membantu dalam proses ujian
komperhensif
4. Klien berserta keluarga yang berkenan untuk turut serta dalam ujian
komprehensif sehingga penulis dapat menyususn laporan kasus ini dengan
baik.
5. Bapak dan Ibu dosen beserta para staf Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong.
6. Staf perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Gombong atas bantuannnya dalam peminjaman buku-buku referensi.

vi
7. Ibu Muslikhah dan Bapak Saringan alm berserta keluarga besar yang selalu
memberikan doa restu dan motivasi yang luar biasa serta dukungan moral
dan material demi segera menyelesaikan laporan kasus ini.
8. Teman-teman di kelas III yang telah sama-sama berjuang dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis sangat mengharapkan partisipasi dari pembaca untuk memberikan


saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan di kemudian hari.
Akhir kata penulis berharap agar apa yang telah tertulis dalam laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Kebumen, Agustus 2016

Heri Siswanto

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI……………………………………. iii
ABSTRAK………………………………………………………………… iv
ABSTRACT……………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR……………………………………………………... vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………. vii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar belakang……………………………………………………... 1
B. Tujuan penulisan…………………………………………………… 5
C. Manfaat penulisan………………………………………………….. 6
BAB II KONSEP DASAR………………………………………………… 8
A. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral ...………………………. 8
B. Cedera kepala ringan………………………………………………. 11
C. Program Inovasi……………………………………………………. 14
BAB III RESUME KEPERAWATAN…………………………………….. 16
A. Pengkajian………………………………………………………….. 16
B. Analisa data………………………………………………………… 18
C. Intervensi, implementasi dan evaluasi……………………………... 19
BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………. 25
A. Penegakan diagnosa……………………………………………….. 25
B. Proses keperawatan………………………………………………... 30
C. Analisa Tindakan………………………………………………….. 39
BAB V PENUTUP………………………………………………………… 42
A. Kesimpulan………………………………………………………… 42
B. Saran………………………………………………………………. 43
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 44
LAMPIRAN……………………………………………………………….. 41

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala ringan merupakan hilangnya fungsi neurology atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera kepala
ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 13 - 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri akut, hematoma, laserasi
dan abrasi. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang
dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan
yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit
kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Trauma
kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar
hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Dewanto, 2007).
Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi
tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti
pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan.
Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-
tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu
penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala
yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga
dapat terganggu (Black & Hawks, 2009).
Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan
kerusakan permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder
seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau
ketidak seimbangan elektrolit (Arifin, 2008).
Dengan demikian keadaan tersebut di akibatkan oleh adanya penurunan
cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya
tekanan intrakranial, dan menurunnya perfusi jaringan serebral (Deem, 2006).

1
2

Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan


kecacatan tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi
masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi.
Cedera otak traumatika, pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian
dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit yang lain.
Meskipun insiden cedera otak traumatika di negara-negara maju di Eropa,
Amerika Utara, Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun
insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya
industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA
kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000
kasus, dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80%
dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera
otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan
10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang,
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap
tahunnya di USA.(Gunawan, 2016).
Sedangkan berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Damanik (2012)
di RSUD dr.SOEDIRMAN Kebumen, kumpulan pane tebing tinggi pada
tahun 2011 jumlah penderita cedera kepala ringan terakhir tertinggi pada
rumah sakit tersebut, berjumlah 85 orang (74,6%). Proporsi pasien dengan
keadaan masih mengalami gangguan rasa nyaman nyeri namun masih
melakukan pengobatan dengan cara rawat jalan adalah ( 51,8% ). Sedangkan
pasien cedera kepala yang meninggal mencapai 85 orang (Damanik& dkk
2012).
Tekanan intrakranial adalah tekanan didalam ruang tengkorak yang di
lindungi dari tekanan luar. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara
ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi, dan perubahan proses fisiologis
tubuh, secara klinis bisa diukur dari tekanan intraventrikuler,
intraparenkimal, ruang subdural, dan epidural. Pengukuran secara terus
menerus pada satu kompartemen intracranial akan memperlihatkan
3

perubahan fisiologis dan patologis ruang dalam tengkorak dari waktu ke


waktu, yang diperlukan untuk dasar pengelolaan pasien dengan peningkatan
tekanan intracranial (Gunawan, 2016).
Masalah keperawatan yang muncul dengan CKR di antaranya adalah
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral pada pasien cedera kepala ringan di
tandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat stuasi O2 di
dalam otak dan niali Gaslow Coma Scalamenurun. Keadaan ini
mengakibatkan disorientasi pada pasien cedera kepala. Ketidakefektifan
perfusi apabila tidak di tangani dengan segera akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Sehingga penanganan utama pada pasien ini adalah
meningkatkan status O2 dan memposisikan pasien 15 - 30° ( Kusuma,2012)
Ketidakstabilan status hemodinamika pada pasien cedera kepala akan
berpengaruh terhadap TIK, sehingga akan mempengaruhi perubahan perfusi
jaringan serebral. Oleh Karena itu, untuk memperbaiki perfusi jaringan
serebral pada pasien cedera kepala perlu dilakukan intervensi keperawatan
dan medis yang menunjang percepatan pemulihannya. Kecepatan pemulihan
perfusi jaringan serebral akan berdampak terhadap pemulihan dan
penyembuhan kondisi pasien. Memposisikan head up 15- 30 derajat sangat
efektif menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan nilai CPP, dengan
kata lain posisi terebut tidak merubah dan mengganggu perfusi oksigen ke
serebral. Pada pasien serebral injury peningkatan tekanan darah sistolik secara
tiba – tiba sangat berbahaya oleh karenanya dapat melewati blood brain
barrier terjadi edema serebral dengan pemberian obat kepada klien ada
beberapa macam, tetapi yang sering dilakukan yaitu pemberian obat melalui
intravena yang umunya dilakukan di ruang perawatan di rumah sakit. Terapi
intravena merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada
pasien yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok. Terapi
intravena bertujuan mencegah gangguan cairan dan elektrolit (Potter dan
Perry, 2006).
Prinsip penanganan awal pada klien dengan gangguan perfusi serebral
yaitu perfusi jaringan yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat,
4

mencegah hiperkapni dan hipokapnimencegah hiperkalemi dan hipokalemi,


serta mencegah iatrogenic. Meskipun hubungan statistik antara tekanan arteri
dan prognosis yang terbaik di nyatakan dengan tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg pada manajement awal dan dan resusitasi, bukti pada pasien dengan
monitor TIK di ICU menyatakan bahwa ambang tersebut cukup rendah.
Selain itu, meskipun tekanan sistolik paling mudah dan akurat di ukur, akan
tetapi hal tersebut tidak dapat memprediksi mean arterial pressure MAP
dengan baik. ( potter dan perry, 2012 ).
Target tekanan arteri sistemik berfariasi pada beberapa guideline. Brain
Trauma foundation (BTF) menyarankan agar menjaga agar tekanan darah
sistolik pada batas normal ( di atas ambang sistolik hipotensi, yaitu lebih dari
90 mmHg ) dan mencegah terjadinya hipotensi, serta menyarankan MAP ≥ 90
mmHg. European Brain Injury Consortium ( EBIC ) menyatakan target
tekanan arteri sistemik ≥ 120 mmHg dan MAP ≥ 90 mmHg. Sedangkan
Assosiation of Anesthetists of Great Britain and Ireland menyarankan MAP
≥ 80 mmHg.
Upaya yang dilakukan yaitu antara lain dengan distraksi yaitu sistem
aktivasireticular menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang
menerima masukan sensori yang cukup atau berlebihan. Stimulus yang
menyenangkan menyebabkan pelepasan endofrin. Distraksi relaksasi
mengalihkan perhatian klien ke hal lain dengan demikian menurunkan
kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Namun ada satu kerugian, distraksi hanya bekerja paling baik untuk jangka
waktu yang singkat. Sedangkan relaksasi adalah kebebasan mental dan fisik
dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri
ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada
nyeri.teknik relaksasi merupakan upaya pencegahan untuk membantu tubuh
segar kembali dan beregeneresi setiap hari dan merupakan alternative
terhadap alcohol, merokok, atau makan berlebihan (potter dan perry, 2012).
Sedangkan upaya lain yang dapat dilakukan untuk memprediksi adanya
gangguan kesadaran akibat ketidakcukupan tekanan perfusi serebral yaitu
5

dengan melakukan pengukuran lebih awal kecukupan tekanan rata-rata aliran


darah ke otak. (Price, Sylvia A., & Wilson, 2006)
Sedangkan untuk program inovasi keperawatan berdasarkan kasus di atas
yaitu tentang pengaruh Head up 15 -30 derajat pada kasus ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral dengan mekanisme pertahanan dalam hal ini tubuh
harus bisa mempertahankan keseimbangannya, sedangkan mekanisme
pertahanan itu sendiri meliputi intracranial Compliance, intracranial
elastance, monro-kellie hipotesis, cerebral blood flow (CBF) dan cerebral
perfusion pressure (CPP). Intracranial Compliance merupakan kemampuan
otak untuk mentoleransi peningkatan volume intrakranial tanpamenyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan. Intracranial elastance diartikan sebagai
kemampuan otak untuk mentoleransi dan mengkompensasi peningkatan
tekanan melalui distensi atau displacement. Cerebral blood flow
(CBF)didefinisikan sebagai kemampuan mempertahankan pengiriman
oksigen kejaringan otak untuk mempertahankan perfusi serebral pada saat
terjadi perubahan tekanan darah melalui mekanisme autoregulasi ( Suadoni,
2009 ).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terdapat satu permasalahan yang
serius pada pasien cedera kepala ringan, satu masalah tersebut mempunyai
kesempatan penanganan yaitu pada Ketidakefektifan Gangguan Perfusi
Serebral . Sehingga penulis menyusun karya tulis ilmiah dengan judul
“Asuhan Keperawatan Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral Pada Nn. R
di Ruang Teratai RSUD Dr. Soedirman Kebumen “.

B. Tujuan Penulis
1. Tujuan umum penulis
Menguraikan asuhan keperawatan dengan Gangguan Perfusi Serebral
pada Nn. R diruang teratai RSUD ( Rumah Sakit Umum Daerah ) Dr.
Soedirman Kebumen dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang menyeluruh atau komprehensif.
6

2. Tujuan khusus penulis


a. Memaparkan pengkajian pada klien dengan Gangguan Perfusi Serebral
b. Memaparkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral
c. Memaparkan rencana keperawatan pada klien dengan Gangguan Perfusi
Serebral
d. Memaparkan implementasi keperawatan sesuai rencana keperawatan
dengan Gangguan Perfusi Serebral
e. Memaparkan evaluasi keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral
f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan
Perfusi Serebral

C. Manfaat Penulis
1. Maanfaat Keilmuan
a. Manfaat bagi STIKES Muhammadiyah Gombong
1) Menjadikan penulisan ini sebagai media pembelajaran tentang
Gangguan Perfusi Serebral.
2) Menjadikan pembelajaran tentang cara pengkajian dengan kasus
Gangguan Perfusi Serebral dan cara mendokumentasikan asuhan
keperawatan klien dengan masalah keperawatan Gangguan Perfusi
Serebral.
3) Manfaat bagi penulis
Menjadikan pembelajaran serta mengembangkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan dalam menangani pasien sehingga dapat
diaplikasikan dalam pekerjaan sebagai perawat
2. Maanfaat Aplikatif
a. Manfaat bagi Rumah Sakit
1) Menjadikan referensi untuk tindakan keperawatan terbaru.
2) Memberikan informasi tentang pengkajian nyeri, rencana
keperawatan pada klien dengan Gangguan Perfusi Serebral.
7

3) Memberikan informasi tentang implementasi dan evaluasi


keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan Gangguan
Perfusi Serebral.
b. Manfaat bagi pasien dan keluarga.
Memberikan pelayanan kesehatan, membantu menyelesaikan dan
memenuhi kebutuhan dasar klien khususnya pada pemenuhan dengan
Gangguan Perfusi Serebral.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin dan Wartonah. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan (3th ed.). Jakarta: EGC.
Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009).Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri:
Elsevier Saunders. Irwana, O. (2009).
Dewanto, G. Suwodo, W, J. Riyanto, B. Turana, Y. Deem. (2009). Panduan
Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC.
Grace, P, A & Neil, R, B. (2007). At Glance Ilmu Bedah. Jakarta : PT.
GeloraAksara Pratama
Herdman, T.Heather. (2012). Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Jakarta: EGC.

Little, R.D. (2008). Increased Intracranial Pressure. Elsevier.Inc. Machfoed, M


Hassan., (2010). Konsensus Nasional III, Diagnostik
danPenatalaksanaan Nyeri Kepala, Kelompok Studi Nyeri Kepala.
Surabaya : Airlangga University Press.
Mauritz W, Wilbacher I, Majdan M, et al. Epidemiology, Treatment and Outcome
of Patients after Severe Traumatic Brain Injury in European Regions
with Different Economic Status. The European Journal of Public Health.
2008;18:575-580.

Muttaqin, Arif. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Moppet K I. Traumatic Brain Injury: Assessment, Resuscitation, and Early


Management. BJA. 2007;99:18-31.

Marik PE, Varon J, Trask T. Management of Head Trauma. CHEST.


2002;122:699-711. National Institute for Health and Clinical
Excellence. Head Injury. NHS. 2007;56:1-54.

Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik, Jakarta: EGC
Price, Sylvia A., & Wilson, L. . (2006). Pathofosiologi: Konsep Klinis Proses–
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Potter, A.P., & Perry, A. (2006). Fundamentals of Nursing. 6 th Edition. St. Louis
Missouri: Mosby-Year Book, Inc
Riyadina, W, dkk., 2009. Pola Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Vol
59 No 10, Jakarta
Tarwoto. (2011). Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas
Nyeri Kepala Akut Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Universitas
Indonesia.
Tahir S., Shuja A. Head Injury Pathology. Dalam: Independent Review, Surgical
Principle. Edisi ke-85. Pakistan: Faisalabad; 2011. Hal. 84-94.

Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. BJA.


2007;99:4-9.
LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH
KASUS CEDERA KEPALA RINGAN ( CKR )

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif


Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan

Disusun Oleh :

HERI SISWANTO
A01301762

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016

i
LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH
KASUS CEDERA KEPALA RINGAN ( CKR )

I. KONSEP DASAR

A. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabakan kerusakan tengkorak dan otak
(Price & Neil, 2006).
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat
konginital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan atau benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury
Assosiation of America, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dari fungsi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin,2008)
Jaidi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala merupakan cedera yang di
sebabkan oleh benturan dari luar yang dapat menimbulkan kerusakan kognitif
maupun fungsi fisik.

B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasi Menurut Patricia dkk (2012) derajat
Cedera kepala sebagai berikut :
1) Cedera Kepala Ringan :
a. Nilai GCS 13-15.
b. Dapat mengalami hilang kesdaran atau menunjukkan amnesia selama
5-60 menit.
c. Tidak ditemukan abnormalitas pada CT scan dan lama rawat di rumah
sakit kurang dari 48 jam.
d. Pasien menunjukan sakit kepala, berat atau hanya pusing.
e. Keinginan untuk muntah proyektil atau pasien mengalami muntah
proyektil setelah mendapatkan trauma kepala.

1
f. Kesadaran pasien semakin menurun.
g. Tekanan darah pasien menurun (hipotensi), serta bradikardi adalah
dimana jantung berdenyut lambat kurang dari 60 kali permenit.
h. Mengalami hipertermi.
2) Cedera Kepala Sedang
Menurut Rendy (2007) Tanda gejala yang ditunjukan pasien cedera
kepala ringan, sebagai berikut:
a. Nilai GCS 9-12.
b. Kehilangan kesadaran sampai amnesia selama 1-24 jam.
c. Dapat ditemukan abnormalitas pada CT scan.
3) Cedera Kepala Berat :
a. Nilai GCS 3-8.
b. Kehilangan kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam.
c. Dapat mengalami kontusio serebral laterasi atau hematoma intra
kranial

C. Etiologi
1. Cedera akselerasi (alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di
tembakkan ke kepala).
2. Cedera deselerasi (jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
3. membentur kaca depan mobil).
4. Cedera akselerasi-deselerasi (kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan fisik).
5. Cedera coup-countre coup (pemukulan dibagian belakang kepala).
6. Cedera rotasional (benturan yang menyebabkan otak berputar dalam
ronnga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dan pembuluh darah otak (Nurarif, 2013).

D. Patofisiologi
Pasien dengan cedera kepala bermula dari sebuah benturan yang secara
tiba tiba yang dapat menyebabkan edema pada serebri sehingga tekanan
intrakranial menjadi meningkat. Gangguan perfusi jaringan serebral

2
menyebabkan hipoksia yang mana terjadi perubahan metabolisme aerob
menjadi anaerob maka asam laktat dalam otak menjadi meningkat.
Peningkatan asam laktat dan tekanan intrakranial menyebabkan nyeri di
kepala pada pasien cedera kepala. Vasodilatasi pembuluh darah otak
menjadikan peningkatan sereberal blood flow yang mana otak mengalami
peningkatan suplai oksigen. Pengeluaran hormon endokrin yang berlebihan
akibat dari pusat pengendalian pernafasan dikorteks sereberi yang memacu
kerja aktivitas saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan penurunan
metabolisme sehingga pasien mengalami penuruan kebutuhan oksigen dalam
otak (Tarwoto, 2011).

3
E. Pathway

Cedera Kepala Ringan

Edema Serebri

Peningkatan Intrakranial

Gangguan Perfusi Jaringan Sereberal

Hipoksia Sereberal

Perubahan Metabolisme Aerob Anaerob

Peningkatan Asam Laktat Otak


Penurunan Kebutuhan Oksigen

Peningkatan Nyeri
Konsumsi Oksigen Menurun
Suplai Oksigen Kepala
Metabolisme Menurun

Sereberal Blood Flow

Vasodilatasi Pembuluh
Darah Otak

OtakAktivitas simpatis
Aktivitas parasimpatis

Pengeluaran Hormon Endorphin

Pusat Pengendalian Pernafasan


Di Korteks Serebri Terganggu
(Tarwoto, 2011)
Gambar Pathway Cedera Kepala Ringan

4
F. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan dignostik untuk memperkuat dignosa cedera kepala
ringan, meliputi:
1. CT-Scan: digunakan untuk melihat adanya lesi, perdarahan dan perubahan
jaringan otak. Dapat juga digunakan untuk mengetahui jika terjadi infark
atau iskemia.
2. MRI: alat yang mempunyai kegunaan seperti CT.Scan yang menggunakan
atau tanpa dengan radio aktif.
3. Cereberal angiography: pemeriksaan yang akan menunjukan adanya
perubahan jaringan otak sekunder karena udema, perdarahan yang di
akibatkan karena trauma.
4. EEG: dengan pemeriksaan EEG akan dapat menunjukan perkembangan
gelombang yang patologis karena trauma.
5. X.Ray: berguna untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
kepala berdasarkan struktu garis dan fragmen tulang.
6. BAER(Brain Audiometri Evoked Response): pemeriksaan yang digunakan
untuk mengoreksi batas fungsi antara corteks dan otak kecil.
7. PET (Positron Emission Tomography): digunakan untuk mendeteksi
adanya perubahan aktivitas metabolik pada otak.
8. CSF (Cerebrospinal Fluid): pemeriksaan ini dilakukan jika diduga adanya
perdarahan pada subarachnoid.
9. ABGs (Artery Blood Gases): pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan ventilasi atau adanya oksigenasi jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
10. Kadar elektrolit: pemeriksaan yang digunakan untuk mendekteksi
keseimbangan kadar elektrolit dalam otak sebagai akibat dari peingkatan
tekanan inrakranial.
11. Screen toxiologi: pemeriksaan yang berguna untuk mendeteksi adanya
pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. (Musliha,
2010).

5
G. Penatalaksanaan
Awal penderitacedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
kaedaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit (Fauzi,2002). Untuk
penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI,2004) telah
menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera
yaitu cedera kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13
meliputi :
1. Anamnesa penderita yang terdiri dari ; nama, umur, jenis kelamin,
ras, pekerjaan.
2. Mekanisme cedera kepala.
3. Waktu terjadinya cedera kepala.
4. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera
5. Anamnesia : retrograde, antegrade
6. Sakit kepala : ringan, sedang, berat
7. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
8. Pemerikasaan neurologis secara periodic
9. Pemeriksaan CT scan
10. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi
11. Bila kondisi penderita membaik(90%) penderita
12. Dapat dipulangkan dan kontrol di poliklinik
13. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segeradilakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan
protocol cedera kepala berat.

6
II. KONSEP KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA

A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
a) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan klien dengan keluarga.
b) Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran / GCS (< 15), muntah,
dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka pada
kepala, akumulasi pada saluran nafas, kejang. Riwayat penyakit dahulu
haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan
maupun penyakiT sistem sistemik lainya. Demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan
tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data –
data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
B. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya GCS
< 15, disorientasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai tanda-tanda
vital, kaku kuduk, hemiparese.
C. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan dan perubahan
jaringan otak.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c. Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi odeme,
perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang
e. patologis.
f. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang.

7
g. BAER : Mengoreksi batas fungsi cortex dan otak kecil.
h. PET : Mendeteksi perubahan aktifitas metabolism otak.
D. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (00132)
b. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak berhubungan dengan
Trauma Kepala
c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ansietas (00032)
E. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (00132)
Tujuan dan kriteria hasil: setelah dilalukan tindkan keperawatan
selama 3 X 24jam maka diharapkan : pasien mampu mengenali
penyebab nyeri, tidak mengalami gangguan dalam frekuensi
pernafasan, melaporkan pola istirahat yang baik, nyeri berkurang
hingga berangsur hilang.
Intervensi :
a. Kaji pola nyeri dengan PQRST
Rasional:
Untuk mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan pasien
b. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
c. Ajarkan tehnik nonfarmakologis (relaksasi nafas dalam atau Guide
Imagery Relaxation)
Rasional:
Untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien
d. Berikan informasi tentang nyeri
Rasional:
Agar pasien tahu tentang nyeri yang di alamai
e. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik atau obat anti
nyeri
Rasional:
Agar nyeri pasien dapat berkurang

8
2. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak berhubungan dengan
Trauma Kepala
Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam, maka diharapakan pasien tidak mengalami
sakit kepala, mempunyai sistem saraf pusat dan perifer yang utuh,
terbebas dari aktifitas kejang
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional:
agar tahu keadaan pasien secara umum.
b. Kaji adanya tekanan intrakranial.
Rasional:
Untuk mengetahui adanya tekanan intrakranial
c. Atur posisi pasien (semi fowler 450)
Rasional:
Menjaga kenyamanan pasien
d. Berikan edukasi tentang trauma kepala
Rasional:
Agar pasien dan keluarga tahu tentang sebab dan akibat dari trauma
kepala
e. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat saraf
Rasional :
Untuk menjaga kenormalan saraf pasien.

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ansietas (00032)


Tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24jam, maka diharapakan pasien dapat
menunjukan pola pernafasan yang efektif, menunjukan tidak
adanya gangguan status pernafasan, tidak menggunakan otot bantu
pernafasan, menunjukan adanya kepatenan jalan nafas.

9
Intervensi :
a. Fasilitasi kepatenan jalan nafas
Rasional :
Agar pasien dapat bernafas dengan nyaman dan transpor oksigen
ke seluruh tubuh dan otak dapat lancar.
b. Pantau tingkat pernafasan
Rasional
Mengetahui kelancaran jalan nafas pasien.
c. Posisikan pasien dengan posisi yang nyaman
Rasional:
Agar paru-paru atau dada dapat mengembang dengan maksimal.
d. Edukasi pada keluarga agar segera memberi tahu perawat jika
terjadi ketidak efektifan pola nafas
Rasional :
Membantu dalam kepatenan jalan nafas.
e. Konsultasikan dengan ahli terapi atau dokter untuk memastikan
keadekuatan fungsi ventilator.
Rasional:
Membantu pasien untuk memperoleh kepatenan jalan nafas.

10
III. DAFTAR PUSTAKA

Brain Injury Assosiation Of Assosiation. 2006. Tipes of brain injury.


Diperoleh 15 juli 2013 dari http://www.Biausa.org/pages/type of
brain injury.thm.
Muttaqin, Arif. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Patricia G. Morton, dkk. 2012. Volume I Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurdiana, I. 2012. Pengaruh Guide Imagery Relaxation Terhadap Nyeri
Kepala Pada Pasien Cedera Kepala Ringan. Prosiding
Neurobehaviour II. STIKes Hang Tuah. Surabaya
Rendy, Clevo M. 2010. Keperawatan Medikal bedah. Jakarta. EGC
Tarwoto dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC

11
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016

MEAN ARTERIAL PRESSURE NON INVASIF BLOOD PRESSURE (MAP-NIBP)


PADA LATERAL POSITION DALAM PERAWATAN INTENSIF: STUDI
LITERATURE

Setiyawan
Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Email: etya1025@gmail.com

Abstrak
Background: Critical patients have a fluctuative hemodynamic conditions, they are require to
hemodynamic monitoring and need early mobilization treatment. Lateral position is one of the
nursing interventions in early mobilization and became the standard to prevent immobilization
complications, but the impact of the changing position on hemodynamic from the Non-Invasive
Blood Pressure (NIBP) that counted by Mean Arterial Pressure (MAP) is still reviewing.
Objective: The aim of this literature review to analyze the results of related research that focuses
on the effect of lateral position on the NIBP MAP calculation. Methods: The study was conducted
by literature review of journals were obtained by electronic media with blood pressure, mean
arterial pressure, lateral position, critical care as a keywords. Results: The results explain that
changes in the position of lateral impact on the hemodynamic status. This position can improve
NIBP MAP average of 4-5 mmHg. Conclusions: Lateral position can increase MAP and may
become one of the option to increase MAP in intensive care unit.

Keywords: blood pressure, lateral position, mean arterial pressure

1. PENDAHULUAN hemodinamik yang penting dan tersering dinilai


Pasien di unit perawatan intensif pada pasien ICU yang sa lah satunya didasarkan
(Intensive Care Unit/ ICU) adalah pas ien yang pada NIBP dan pada perhitungan nilai mean
dalam keadaan terancam jiwanya karena arterial pressure (MAP). Hingga kini penilaian
kegagalan ata u disfungsi satu/ multiple organ hemodinamik, khususnya CO, mas ih dianggap
yang disertai gangguan hemodinamik dan penting dalam manajemen pasien-pasien ICU,
mas ih ada kemungkinan dapat disembuhkan bahkan disarankan sudah perlu dinilai se jak
kembali melalui perawatan, pemantauan dan pas ien belum masuk ICU. Estimas i secara kasar
pengobatan intensif. Pada kea daan gangguan dengan pengukuran tekanan darah, dan tekanan
hemodinamik, diperlukan pemantauan dan rata-rata arteri (MAP), dapat menunjukkan
penanganan yang tepat karena kondisi keadaan curah jantung secara tidak langsung
hemodinamik sangat mempengaruhi fungsi yaitu menunjukkan keadaan hemodinamik pada
penghantaran oksigen dalam tubuh dan monitoring non invasif sehingga dapat
melibatkan fungsi jantung. Oleh se bab itu, mengurangi resiko komplikas i pasien kritis.
penilaian dan penanganan hemodinamik Pada kondisi kritis, posisi merupakan
merupakan bagian penting pada pasien ICU. salah satu tindakan keperawatan yang akan
(Leksana, 2011). mempengaruhi perubahan kondisi
Penanganan hemodinamik pasien ICU hemodinamik pasien. Pasien kritis biasanya
bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen diposisikan duduk dengan tujuan untuk
(DO2) dalam tubuh yang dipengaruhi oleh curah meringankan pernafasan pasien akan tetapi hal
jantung (Cardiac Output/ CO), hemoglobin tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan
(Hb), dan saturasi oksigen (SaO2). Apabila pas ien bila dilakukan terlalu lama sehingga
penghantaran oksigen mengalami gangguan perlu diketahui posisi yang nyaman, tidak
akibat CO menurun, diperlukan penanganan memperburuk kondisi pas ien dan memperbaiki
tepat. Curah jantung merupakan variabel kondisi hemodinamik, khususnya CO kearah

565
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016

lebih baik. Di sisi lain perubahan hemodinamik pasien kritis untuk meningkatkan cardiac
yang tidak stabil, menjadikan alasan perawat di output yang didasarkan pada NIBP dari
ICU untuk menghentikan kegiatan mobilisasi perhitungan nilai MAP dalam proses perawatan
sehingga pas ien sakit kr itis di unit perawatan ICU.
intensif bera da pada res iko tinggi komplikas i
dari imobilitas (Goldhill et al. 2007, Nijs et al. 2. KAJIAN LITERATURE
2009). Non Invasif Blood Pressure
Pemberian posisi miring (lateral Non Invasive Blood Pressure (NIBP)
position) menjadi standar perawatan dalam merupakan teknik pengukuran darah dengan
pencegahan komplikas i tersebut. Lateral cuff atau manset, baik secara manual maupun
position merupakan posisi miring (45o) dengan dengan mes in monitor. Data status
kepala menggunakan bantal, posisi bahu bawah hemodinamik yang bisa didapatkan adalah
fleksi kedepan dengan bantal dibawah lengan tekanan sistolik, tekanan dias tolik, dan tekanan
atas. Pada bagian punggung belakang letakkan rata-rata arteri (Mean Arteri Pressure/ MAP).
bantal/ guling serta paha dan kaki atas disupport MAP mengambarkan perfusi rata-rata dari
bantal sehingga ekstremitas bertumpu secara peredaran darah sistemik. Sangat penting untuk
paralel dengan permukaan tempat tidur dan mempertahankan MAP diatas 60 mmHg, untuk
menstabilkan posisi pasien (Aries et al, 2011). menjamin perfusi otak, perfusi arteri coronaria,
Blood pressure yang diukur dalam dan perfusi ginjal tetap terjaga.
berbagai posisi tubuh, dipengaruhi oleh gaya
gravitas i dan dengan perbedaa n lokasi pada Lateral Position
sumbu vertikal pengukuran BP dibandingkan Lateral position adalah posisi miring
dengan atrium kanan perlu diperhitungkan (45o) dengan kepala menggunakan bantal,
karena perbedaan tekanan hidrostatik (Netea et posisi bahu bawah fleksi kedepan dengan bantal
al. 2003). Beberapa studi menemukan efek dibawah lengan atas. Pada bagian punggung
kontradiktif dalam kelompok pas ien yang belakang letakkan banta l/ guling serta paha dan
berbeda. Pada tahun 1996, Bein et al. (1996) kaki atas disupport bantal sehingga ekstremitas
menyarankan untuk menghindari posisi miring bertumpu secara paralel dengan permukaan
kanan yang menyebabkan hipotensi pada pasien tempat tidur dan menstabilkan posisi pasien.
kritis. Hemodinamik yang berbeda atau
memerlukan penjelasan fisiologis meliputi METODE
hidrostatik, mekanik, hormonal atau posisi Penelusuran ini dilakukan dengan metode
miring (Bein et al. 1996, Fujita et al. 2000 telaah literatur yang didapat melalui media
Schou et al. 2001). Leung et al. (2003) elektronik (internet). Kata kunci yang
menyimpulkan dalam penelitianya bahwa digunakan dalam penelusuran literatur adalah
pasien CHF menghindari posisi miring kiri blood pressure, mean arterial pressure, lateral
secara spontan saat tidur untuk meningkatkan position, lateral body position, critical illness.
kenyamanan. Literatur didapat dari we bsite EBSCOhost,
Berdasarkan uraian tersebut, penulis google scholar, dan database Proquest. Jurnal
ingin melakukan telaa h literatur lebih lanjut yang diperoleh berjumlah 23 jurnal dan yang
mengenai pemberian lateral position terhadap memenuhi kriteria berjumlah 18 jurnal. Penulis
hemodinamik dari NIBP berdasarkan dari jurnal yang didapat memiliki latar belakang
perhitungan MAP pada pasien di ruang tenaga kesehatan dengan spesialisasi di bidang
perawatan intensif. keperawatan kritis. Jurnal yang diambil
Tujuan dari literature review ini adalah merupakan original article sehingga data yang
untuk menganalisa hasil penelitian terkait yang disa jikan lengkap dan memudahkan dalam
berfokus pada efe k pengaruh lateral position penelahaa n penelitian.
terhadap NIBP dari perhitungan nila i MAP.
Analisa ini akan menjadi sa lah satu
pertimbangan penggunaan lateral position pada

566
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016

3. HASIL DAN PEMBAHASAN peningkata n MAP IABP < 5mmHg, namun


Non Invasive Blood Pressure adalah tidak signifikan. Menurut Sen, Aydin, Disc igil
salah satu parameter yang paling sering dan (2007), menyebutkan bahwa pas ien dengan
diukur dalam praktek klinis, se bagai penentuan ejection fraction (EF) rendah memiliki potensi
diagnostik ataupun penentuan terapi yang lebih tinggi terjadinya hipotensi saat dilakukan
didasarkan pada has il pengukuran NIBP spinal anestes i pada posisi supine dibandingkan
terutama perhitungan MAP. Salah satu faktor lateral position.
yang menentukan nilai Blood Pressure (BP) Evaluas i inferior vena cava dari
adalah preload. Preload merupakan tekanan echocardiography pada tampilan subkostal
saat pengisian atrium kanan se lama diastolik merupakan menunjukkan bahwa diameter IVC
yang menggambarkan volume dari aliran balik menurun yang diamati pada akhir inspiras i
jantung / venous return. (Ogedegbe & ketika tekanan intratoraks negatif dan
Pickering, 2010). Menurut Cicolini et al. (2010) menyebabkan peningkatan right ventrikel (RV)
menyebutkan bahwa posisi mempunyai efek dalam mengisi dari vena sistemik. Ukuran IVC
terhadap perubahan tekanan darah dan tekanan secara signifikan dipengaruhi oleh posisi
vena sentral. Posisi yang berbeda pas ien, yang terkecil pada posisi lateral kanan,
mempengaruhi hemodinamik termasuk sistem menengah dalam posisi terlentang, dan terbesar
vena. di posisi lateral kiri yang berkorelas i dengan
Secara teoritis pada posisi terlentang venous return dan tekanan atrium kanan
dengan disertai head up menunjukkan aliran (Ginghina et a l. 2009).
balik dara h dari bagian inferior menuju ke Dalam studinya, pemantauan
atrium kanan cukup baik karena resistensi hemodinamik secara klinis dalam perubahan
pembuluh darah dan tekanan atrium kanan tidak posisi lateral yang diamati, tidak menunjukkan
terlalu tinggi, sehingga volume darah yang ada perubahan klinis secara signifikan untuk
masuk (venous return) ke atrium kanan cukup heart rate dan oksigenasi yang diamati pada
baik dan tekanan pengisian ventrikel kanan pas ien kritis (Kirchhoff et al. 1984, Thomas et
(preload) meningkat, yang dapat mengarah ke al. 2007). Pada penelitian yang dilakukan Bein
peningkatan stroke volume dan cardiac output et al. (1996) menemukan 16 mmHg-MAP lebih
(Kim & Sohng, 2006). Perubahan posisi kearah rendah rata-rata pada right lateral position
lateral atau miring mempengaruhi aliran balik (kecenderungan 63%) dari pada left lateral
darah yang menuju ke jantung dan berdampak position, perbedaan tersebut dijelas kan oleh
pada hemodinamik (Cicolini et al., 2010). karena perbedaan postur ata u efek-sa mping
Dari hasil penelaahan didapatkan tertentu pada posisi tubuh.
bahwa pemberian lateral position terhadap
status hemodinamik NIBP berdasarkan 4. SIMPULAN
perhitungan MAP pada pas ien di ruang Berdasarkan ulasan diatas, dapat disimpulkan
perawatan intensif yaitu menurut Aries et al, bahwa lateral position berpengaruh terhadap
(2011) lateral position dapat meningkatkan peningkata n MAP yang menunjukkan bahwa
tekanan darah rata-rata 4-5 mmHg dari pada secara tidak langsung keadaan curah jantung
posisi supine, tidak ada perbedaan MAP antara meningkat dan hemodinamik menuju kearah
pengukuran pada sisi lateral kiri ata u kanan. perbaikan se hingga dapat menjadi sebagai sa lah
Menurut Almeida, Pavan, Rodringues , (2009) satu pilihan tindakan keperawatan untuk
menyebutkan bahwa left lateral position dapat meningkatkan MAP pada pasien di ruang
meningkatkan systolic and dyastolic blood perawatan intensif
pressure 15mmHg pada 60 menit pertama
pemberian posisi pada wanita hamil trimester
5. REFERENSI
akhir.
De Laat et al. (2007) dalam studinya Almeida F, Pavan M, Rodringues C, (2009).
menjelas kan bahwa pemberian posisi lateral The Haemodynamic, Renal Excretory
pada pas ien dengan post CABG terdapat And Hormonal Changes Induced By

567
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016

Resting In The Left Latera l Position In Brain Surgery Patients. Taehan Kanho
Normal Pregnant Women During Late Hakhoe Chi, 36(2):35 3-60
Gestation. BJOG 2009;116:1749–1754. Kirchhoff KT, Re benson-P iano M & Patel MK.
Aries MJH, As lan A, Ja n Willem J Elting, Roy (1984). Mean Arterial Pressure Readings:
E Stewart, Jan G Zijlstra, Jacques De Variations With Positions And
Keyser and Patrick CAJ Vroomen, Transducer Level. Nursing Research 33,
(2011). Intra-Arterial Blood Pressure 343–345.
Reading In Intensive Care Unit Patients Leksana E., (2011). Pengelolaan Hemodinamik.
In The Latera l Position. Journal of Jurnal CDK 188 Volume 38 Nomer 7.
Clinical Nursing, 21, 1825–1830. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
Bein T, Metz C, Ke yl C, Pfeifer M & Taeger K. RSUP dr. Kariadi/ Fakultas Kedokteran
(1996). Effects Of Extreme Latera l Univers itas Diponegoro Semarang,
Posture On He modynamics And Plas ma Indones ia.
Atrial Natriuretic Peptide Levels In Leung RST, Bowman ME, Parker JD, Newton
Critica lly Ill Patients. Intensive Care GE, Bradley TD. (2003). Avoidance of
Medicine 22, 651–655. the Left Latera l Decubitus Position
Cicolini, G., Gagliardi, G., & Ballone, E. During Sleep in Patients With Heart
(2010). Effect of Fowler’s Body Position Failure: Relationship to Cardiac Size and
on Blood Pressure Measurement. Journal Function. Journal of the American
of Clinical Nursing, Volume 19, Issue College of Cardiology.
23-24. Netea RT, Lenders JW, Smits P & Thien T.
De Laat E, Schoonhoven L, Grypdonck M, (2003). Influence Of Body And Arm
Verbeek A, de Graaf R, P ickkers P & van Position On Blood Pressure Readings:
Achterberg T. (2007). Early And Overview. Journal of Hypertension
Postoperative 30 De grees Latera l 21, 237–241.
Positioning After Coronary Artery Nijs N, Toppets A, Defloor T, Bernaerts K,
Surgery: Influence On Cardiac Output. Milise n K & Van Den Berghe G. (2009).
Journal Of Clinical Nursing 16, 654– Incidence And Risk Factors For Pressure
661. Ulcers In The Intensive Care Unit.
Fujita M, Miyamoto S, Sekiguchi H, Eiho S & Journal of Clinical Nursing 18, 1258–
Sasayama S. (2000). Effects Of Posture 1266.
On Sympathetic Nervous Modulation In Ogedegbe, G. and Pickering T., (2010).
Patients With Chronic Heart Failure. Priciples and Techniques of Blood
Lancet 356, 1822–1823. Pressure Measurement. Cardiol Clin.
Ginghina, C., Beladan, C.C., Iancu, M., Calin, 28(4):571–586.
A., Popescu, B.A. (2009). Respiratory Sen S, Aydin K, Disc igil G. (2007).
Maneuvers In Echocardiography: a Hypotension induced by lateral decubitus
Review of Clinica l Applications. or supine spinal anaesthes ia in elderly
Cardiovascular Ultrasound, 7:42 with low ejection fraction undergone hip
doi:10.1186/1476-7120-7-42 surgery. Journal of Clinical Monitoring
Goldhill DR, Imhoff M, McLean B & and Computing (2007) 21:103–107
Waldmann C. (2007). Rotational Bed Schou M, P ump B, Gabrielsen A, Thomse n C,
Therapy To Prevent And Treat Christensen NJ, Warberg J & Norsk P
Respiratory Complications: A Review (2001). Cardiovascular And
And Metaanalysis. American Journal of Neuroendocrine Responses To Left
Critical Care 16, 50–61. Lateral Position In Non-Obese Young
Kim, H.J., Sohng, K.Y. (2006). Effects of Males. Journal of Gravitational
Backrest Position on Central Ve nous Physiology 8, 15–19.
Pressure and Intracranial Pressure in Thomas PJ, Paratz JD, Lipman J & Stanton
WR. (2007). Latera l Positioning Of

568
ISSN 2407-9189 The 3rd Universty Research Colloquium 2016

Ventilated Intensive Care Patients: A Adverse Events. Heart and Lung 36,
Study Of Oxygenation, Respiratory 277–286
Mechanics , He modynamics , And

569
HEAD UP IN MANAGEMENT INTRACRANIAL
FOR HEAD INJURY
Paper Evidence Based Practice (Ebp)
Deni Wahyudi1
1 Program Magister Ilmu Keperawatan Konsentrasi Keperawatan Kritis
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Perawatan merupakan inter disipliner untuk focus pasien dengan cedera pada otak
karena traumatik dengan mengobati cedera otak primer dan membatasi kerusakan otak
lebih lanjut dari cedera sekunder. Pada perawatan unit intensif perawat memiliki peran
integral dalam mencegah cedera otak sekunder, namun sedikit yang diketahui tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian perawat tentang risiko cedera otak sekunder.
Tujuan mengetahui variable mana yang fisiologis dan situasional mempengaruhi
penilaian perawat unit intensif yang peduli risiko pasien untuk cedera otak sekunder,
manajemen memfasilitasi dengan intervensi keperawatan, dan manajemen dengan
berkonsultasi anggota lain dari tim kesehatan dalam perawatan. Metode, Tahapan
metode yang digunakan dengan survey beberapa faktor. Sketsa mencerminkan
kompleksitas scenario kehidupan nyata secara acak dihasilkan dengan menggunakan
nilai yang berbeda dari masing-masing variable independen. Survei yang berisi sketsa
dikirim keperawat di 2 tingkat pusat trauma. Regresi digunakan untuk menentukan
variable mempengaruhi penilaian tentang cedera otak sekunder. Hasil, Penilaian tentang
risiko cedera otak sekunder dipengaruhi oleh saturasi oksigen dari seorang pasien
tersebut, tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral, mekanisme cedera, dan
diagnosis utama, serta dengan pergeseran keperawatan. Penilaian tentang intervensi
dipengaruhi oleh saturasi oksigen pasien, tekanan intra kranial, dan tekanan perfusi
serebral dan dengan pergeseran keperawatan. Penentuan awal yang dilakukan oleh
perawat adalah variabel yang paling signifikan dari prediksi tindak lanjut penilaian.
Kesimpulan, Perawat perlu standar, berbasis bukti yang nyata dari manajemen cedera
otak sekunder pada pasien sakit kritis dengan cedera otak akibat
Kata kunci : intracranial, manajemen, cedera

ABSTRACT
Interdisciplinary care for patients with traumatic brain injury focuses on treating the
primary brain injury and limiting further brain damage from secondary injury. Intensive
care unit nurses have an integral role in preventing secondary brain injury; however, little
is known about factors that influence nurses’ judgments about risk for secondary
brain injury. Objective To investigate which physiological and situational variables
influence judgments of intensive care unit nurses about patients’ risk for secondary
braininjury, management solely with nursing interventions, and management by
consulting another member of the health care team. Methods A multiple segment factorial
survey design was used. Vignettes reflecting the complexity of real-life scenarios were
randomly generated by using different values of each independent variable. Surveys
containing the vignettes were sent to nurses at 2 level I trauma centers. Multiple
regression was used to determine which variables influenced judgments about secondary
brain injury. Results Judgments about risk for secondary brain injury were influenced by
apatient’s oxygen saturation, intracranial pressure, cerebral perfusion pressure,
mechanism of injury, and primary diagnosis, as well as by nursing shift. Judgments about
interventions were influenced by a patient’s oxygen saturation, intracranial pressure, and
cerebral perfusion pressure and by nursing shift. The initial judgments made by nurses
were the most significant variable predictive of follow-up judgments. Conclusions Nurses
need standardized, evidence-based content formanagement of secondary brain injury in
critically ill patients with traumatic brain injury.
Keywords : intracranial, management, injury
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015

PENDAHULUAN
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah yang
dipompa oleh jantung dan menggunakan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap keadaan hipoksia maupun
trauma. Kalau jaringan lain mampu mentolerir hipoksia selama satu jam tetapi
jaringan otak hanya dalam tiga menit. Begitu juga trauma sangat berpengaruh
terhadap fungsi dari otak itu sendiri sebagai pusat semua sistem didalam tubuh
manusia. Salah satu penyebab hipoksia otak dan trauma otak adalah kenaikan
tekanan intrakranial yang berlebihan.

Gambar 1. Tampilan intracranial

Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis. Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi
pada kepala yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non-
mekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi
diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan,
meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja.
(Brunner&Suddart,1987:2210). Jadi, cedera kepala (head Injury) atau
trauma atau jejas yang terjadi pada kepala bisa oleh mekanik ataupun non-
mekanik yang meliputi kulit kepala, otak ataupun tengkorak saja dan merupakan
penyakit neurologis yang paling sering terjadi, biasanya dikarenakan oleh
kecelakaan (lalu lintas). Atau ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam
penentuan derajat trauma kepala. Head injury ini akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan kondisi bahaya dan harus
segera ditangani. Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri

1093
Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence Based Practice (Ebp) Deni
Wahyudi

kepala yang hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan
juga terjadi penurunan kesadaran.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh elevasi kepala tempat tidur selama


vasospasme telah dibatasi dalam upaya untuk meminimalkan vasospasme atau
gejala sisa atau keduanya. Akibatnya, beberapa pasien tetap pada istirahat
selama berminggu-minggu. Juga cedera otak sering membawa kematian dalam
setiap pasien yang menderita dari itu. Waktu lama sebelum pasien mencapai
perawatan medis akan menyebabkan cacat sementara atau permanen fisik .
Perawatan medis yang tepat dan respon cepat akan mengurangi risiko memiliki
kedua efek buruk. Kasus ini bisa konservatif mengobati dengan operasi memang.
Ini pasien cedera otak harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik
seperti tertentu, tanda-tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi samping
pengobatan konservatif dan terapi obat-obatan tertentu.

Ini mekanisme pertahanan itu sendiri meliputi intracranial Compliance,


intracranial elastance, monro-kellie hipotesis, cerebral blood flow (CBF) dan
cerebral perfusion pressure (CPP). Intracranial Compliance merupakan
kemampuan otak untuk mentoleransi peningkatan volume intrakranial tanpa
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan. Intracranial elastance diartikan
sebagai kemampuan otak untuk mentoleransi dan mengkompensasi peningkatan
tekanan melalui distensi atau displacement. Cerebral blood flow (CBF)
didefinisikan sebagai kemampuan mempertahankan pengiriman oksigen ke
jaringan otak untuk mempertahankan perfusi serebral pada saat terjadi
perubahan tekanan darah melalui mekanisme autoregulasi. Cerebral perfusion
pressure (CPP) diartikan sebagai tekanan gradient yang melewati otak. CPP
dikalkulasikan sebagai MAP (Mean Arterial blood Pressure) – ICP (Intracranial
Pressure). Rentang normal CPP adalah antara 50- 150 mmHg dengan rata rata
antara 80-100 mmHg. CPP kurang dari 50 mmHg akan mendorong terjadinya
hipoperfusi otak, hipoksia dan kerusakan akibat iskemia. Sedangkan jika CPP
lebih dari 150 mmHg akan mendorong terjadinya status hiperemik dan
menyebabkan edema serebral serta hipertensive ensepalopati.

METODE
Metode review literatur berupa analisis jurnal keperawatan yang membahas
penelitian yang berkaitan dengan manajemen penanganan peningkatan tekanan

1094
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015

intra kranial dalam pasien yang mengalami cedera kepala atau head injury
dengan menggunakan head up salah satunya yang dilaksanakan oleh Patricia A.
Blissitt, Pamela H. Mitchell, David W. Newell, Susan L. Woods and Basia Belza
dari American Jurnal of Critical Care (AJCC) pada pasien dengan aneurisma
subarachnoid hemorrhage.
Penelitian lain dilaksanakan oleh Jajuk Retnowati dari Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya tentang pengaruh
posisi Head Up 30 derajat terhadap perubahan tanda-tanda vital dan tingkat
kesadaran pada pasien COB (Cedera Otak Berat) post trepanasi.
Pencarian jurnal didapatkan dari hasil pencarian literature dengan
menggunakan google scholar searching machine, Proquest, EBSCO, dan
SpringLink dengan kata kunci management of intracranial pressure, head injury.
Kriteria yang diambil adalah jurnal yang dipublikasikan pada tahun 2003-2013
dengan menggunakan bahasa inggris.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan bagaimana ketinggian
kepala pada tempat tidur dari 20º dan 45º mempengaruhi dinamika
serebrovaskular pada pasien dewasa dengan vasospasme ringan atau sedang
setelah aneurisma subarachnoid hemorrhage dan untuk menggambarkan respon
vasospasme ringan atau sedang kepala pada tempat tidur elevasi 20º dan 45º
terhadap variabel seperti kelas perdarahan subarachnoid dan tingkat
vasospasme .

Metode penelitiannya pasien desain diulang dengan langkah yang


digunakan. Kepala pasien dan tempat tidur diposisikan urutan 0º - 20º - 45º - 0º -
20 º pasien dengan vasospasme ringan atau sedang antara hari 3 dan 14 setelah
aneurisma subarachnoid hemorrhage. Kontinyu transkranial Doppler rekaman
diperoleh selama 2 sampai 5 menit setelah membiarkan sekitar 2 menit untuk
stabilisasi dalam setiap posisi.

Hasilnya ada pola atau trend yang menunjukkan bahwa kepala pada
tempat tidur yang ditinggikan akan meningkatkan vasospasme. Sebagian
kelompok , tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pasien pada posisi yang
berbeda dari kepala yang ditinggikan tempat tidurnya. Memanfaatkan lain
langkah analisis varians, nilai P berkisar 0,34-0,97, baik melampaui 05. Hal

1095
Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence Based Practice (Ebp) Deni
Wahyudi

tersebut menunjukan tidak ada kerusakan saraf terjadi. Kesimpulan secara


umum, elevasi kepala pada tempat tidur tidak menyebabkan perubahan
berbahaya dalam aliran darah di otak yang berhubungan dengan vasospasme .

Peningkatan tekanan intrakranil ini bisa disebabkan oleh 3 faktor


(Suadoni, 2009) yaitu peningkatan volume otak (odema, perdarahan), cairan
cerebrospinal (peningkatan produksi, penurunan absorbsi, ketidak adekuatan
cirkulasi) dan juga disebakan oleh darah (vasodilatasi, obstruksi vena kapa
superior, gagal jantung dan trombosis di vena serebral). Peningkatan tekanan
tinggi intrakranial secara klasik ditandai dengan suatu trias, yaitu nyeri kepala,
muntah-muntah dan papil edema.

Pathway PTIK

Meningkatnya volume intrakranial



Tekanan intrakranial meningkat

Compresi vena

Stagnasi darah

Tekanan intrakranial meningkat

CBF menurun

Perfusi menurun

PaO2 menurun, PaCO2 meningkat, dan pH menurun

pembuluh darah dan sel menjadi rusak

darah dan cairan keluar dari pembuluh darah

menekan daerah yang ada di bawahnya termasuk pembuluh darah

aliran darah ke otak ↓

oksigen ke jaringan otak ↓

1096
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015


terjadi metabolisme anaerob

ATP yang dihasilkan sedikit +
asam laktat ↑

Na+ hanya dapat influks tidak dapat efluks

shif cairan ke interstisial

oedem otak

semakin menghambat perfusi ke jaringan otak
Otak terdesak ke bawah melalui tentorium (herniasi otak)

Menekan pusat vasomotor, arteri cerebral post, N. Occulomotorius,
corticospinal pathway, serabut RAS

Mekanisme untuk mempertahankan kesadaran, pengaturan suhu, tekanan
darah, nadi, respirasi, dan pergerakan menjadi terganggu.

Untuk itu sebagai perawat diruangan NCCU harus mengetahui


bagaimana ciri-ciri pasien yang mengalami PTIK dan intervensi yang harus
dilakukan. Adapun pengkajian yang harus dilakukan adalah :
a. Airway :
Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol servikal sehingga
dapat memudahkan oksigen masuk ke paru-paru. Lakukan posisi head up <
30 derajat untuk mempermudah aliran masuk daln keluar darah ke otak. Pada
pasien dengan GCS < 8 maka harus segera dipasang ETT.
b. Breathing
Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan saturasai 95 –
100 %. Lihat perkembangan data apakah simestris atau tidak, deviasi trakea,
suara nafas tambahan, distensi vena jugularis. Berikan oksigen dengan
konsentrasi tinggi melalui SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan
pemasangan ETT maka di anjurkan memakai ventilator mekanik.
c. Circulation
Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan adanya ciri-ciri
perdarahan. Pasang IV line 2 jarum besar. Pada kasus peningkatan tekanan

1097
Head Up In Management Intracranial For Head Injury Paper Evidence Based Practice (Ebp) Deni
Wahyudi

intrakranial, frekuensi nadi dan pernapasan menurun, sedangkan tekanan


darah dan suhu meningkat.
d. Disability
Menilai gangguan neruologis pada psien seperti tingkat kesadaran, pupil,
laserasi, muntah, nyeri kepala. Tingkat kesadaran biasanya terjadi penurunan
dari : sadar, gelisah, menjadi tidak sadarkan diri. Penilaian kesadaran ini
menggunakan nilai GCS. Pupil biasanya mengalami masalah yaitu anisokor
sebagai penanda adanya herniasi otak. Muntah, dapat terjadi pada
peningkatan tekanan pada pusat refleks muntah di medulla.
Untuk mengetahui tekanan yang terjadi pada otak, ada beberapa cara
yaitu
a. Pengukuran Epidural (EDP)
Penanaman sensor tekanan atau penempatan transducer langsung di atas
permukaan dura.
b. Pemantauan tekanan subdural
Memasang stopcock yang diisi saline pada rongga subdural melalui lubang
pada kranium. Stopcock ini dihubungkan dengan tranducer melalui pipa
intravena berisis saline.
c. Pemantauan tekanan ventrikuler.
Penggunaan ventrikulostomi untuk mengeluarkan cairan CSF untuk studi
diagnostik merupakan prosedur neurosurgical yang lama yang paling dapat
dipercaya untuk mengukur TIK.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Cedera kepala (head Injury) atau trauma atau jejas yang terjadi pada
kepala bisa oleh mekanik ataupun non-mekanik yang meliputi kulit kepala, otak
ataupun tengkorak saja dan merupakan penyakit neurologis yang paling sering
terjadi, biasanya dikarenakan oleh kecelakaan (lalu lintas). Hal tersebut bisa
mengakibatkan terjadi peningkatan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial
merupakan kondisi yang harus di tangani NCCU adalah positioning,
hipervenitilation, kontrol suhu : hipotermi, kontrol tekanan darah, kontrol kejang,
kolaborasi pemberian diuretik, dan kontrol kebutuhan metabolik.

1098
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11. No. 1 Maret 2015

Saran
Diharapkan kedepannya ada penelitian terkait dengan pengukuran
tekanan intrakranial pada pasien dengan trauma kepala yang dapat
diimplementasikan diruangan khususnya diruangan NCCU.

DAFTAR PUSTAKA

Blissitt, Patricia A. ; Mitchell, Pamela H. ; Newell, David W. ; et al.


Cerebrovascular dynamics with head-of-bed elevation in patients with mild
or moderate vasospasm after aneurysmal subarachnoid hemorrhage
American Journal Of Critical Care Volume : 15 Issue: 2 Pages: 206-
216 Published: MAR 2006

Dal, C. L., Keane, N. J., Bir, C. A., Ryan, A. G., Xu, L., & VandeVord, P. J.
(2012). Head orientation affects the intracranial pressure response resulting
from shock wave loading in the rat. Journal of Biomechanics, 45(15), 2595-
602. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.jbiomech.2012.08.024

Hudak, CM & Gallo, BM (2010) Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Alih


bahasa: Monika Ester dkk. Editor: Yasmin Asih. Jakarta, EGC.

Suadoni, M. T. (2009). Raised intracranial pressure: Nursing observations and


interventions. Nursing Standard, 23(43), 35-40. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/219853790?accountid=25704

Wolfe, T. J., & Torbey, M. T. (2009). Management of intracranial


pressure. Current Neurology and Neuroscience Reports, 9(6), 477-85.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11910-009-0070-1

1099
NIH Public Access
Author Manuscript
Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.
Published in final edited form as:
NIH-PA Author Manuscript

Can J Anaesth. 2012 April ; 59(4): 357–365. doi:10.1007/s12630-011-9662-8.

Head-up tilt and hyperventilation produce similar changes in


cerebral oxygenation and blood volume: an observational
comparison study using frequency-domain near-infrared
spectroscopy
Lingzhong Meng, MD,
Department of Anesthesiology & Perioperative Care, University of California Irvine Medical
Center, 101 The City Drive South, Bldg. 53, Rm. 227, Orange, CA 92868, USA
William W. Mantulin, PhD,
Beckman Laser Institute, University of California, Irvine, Irvine, CA, USA
Brenton S. Alexander, BS,
NIH-PA Author Manuscript

Department of Anesthesiology & Perioperative Care, University of California Irvine Medical


Center, 101 The City Drive South, Bldg. 53, Rm. 227, Orange, CA 92868, USA
Albert E. Cerussi, PhD,
Beckman Laser Institute, University of California, Irvine, Irvine, CA, USA
Bruce J. Tromberg, PhD,
Beckman Laser Institute, University of California, Irvine, Irvine, CA, USA
Zhaoxia Yu, PhD,
Department of Statistics, University of California, Irvine, Irvine, CA, USA
Kathleen Laning, BS,
School of Medicine, University of California, Irvine, Irvine, CA, USA
Zeev N. Kain, MD,
Department of Anesthesiology & Perioperative Care, University of California Irvine Medical
Center, 101 The City Drive South, Bldg. 53, Rm. 227, Orange, CA 92868, USA
Maxime Cannesson, MD, PhD, and
Department of Anesthesiology & Perioperative Care, University of California Irvine Medical
NIH-PA Author Manuscript

Center, 101 The City Drive South, Bldg. 53, Rm. 227, Orange, CA 92868, USA

© Canadian Anesthesiologists’ Society 2012


Correspondence to: Lingzhong Meng.
This study was presented, in part, at the International Anesthesia Research Society (IARS) 2011 Annual Meeting, Vancouver, Canada.
Author contributions Lingzhong Meng was responsible for data acquisition, data analysis, data interpretation, drafting and critical
revision of the manuscript, and approval of the final version of this article. William W. Mantulin was responsible for data acquisition,
data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of the final version of this article. Brenton S. Alexander was
responsible for data acquisition, data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of the final version of this article.
Albert E. Cerussi was responsible for data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of the final version of this
article. Bruce J. Tromberg was responsible for data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of the final version
of this article. Zhaoxia Yu was responsible for data analysis, critical revision of the manuscript, and approval of the final version of
this article. Kathleen Laning was responsible for data acquisition, critical revision of the manuscript, and approval of the final version
of this article. Zeev N. Kain was responsible for data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of the final
version of this article. Maxime Cannesson was responsible for data interpretation, critical revision of the manuscript, and approval of
the final version of this article. Adrian W. Gelb was responsible for data interpretation, critical revision of the manuscript, and
approval of the final version of this article.
Conflicts of interest The authors (A.E.C., B.J.T., and W.W.M.) consult for ISS™, Inc.
Meng et al. Page 2

Adrian W. Gelb, MB, ChB


Department of Anesthesia & Perioperative Care, University of California, San Francisco, San
Francisco, CA, USA
NIH-PA Author Manuscript

Abstract
Purpose—During anesthesia, maneuvers which cause the least disturbance of cerebral
oxygenation with the greatest decrease in intracranial pressure would be most beneficial to
patients with intracranial hypertension. Both head-up tilt (HUT) and hyperventilation are used to
decrease brain bulk, and both may be associated with decreases in cerebral oxygenation. In this
observational study, our null hypothesis was that the impact of HUT and hyperventilation on
cerebral tissue oxygen saturation (SctO2) and cerebral blood volume (CBV) are comparable.
Methods—Surgical patients without neurological disease were anesthetized with propofol-
remifentanil. Before the start of surgery, frequency-domain near-infrared spectroscopy was used to
measure SctO2 and CBV at the supine position, at the 30° head-up and head-down positions, as
well as during hypoventilation and hyperventilation.
Results—Thirty-three patients were studied. Both HUT and hyperventilation induced small
decreases in SctO2 [3.5 (2.6)%; P <0.001 and 3.0 (1.8)%; P <0.001, respectively] and in CBV
[0.05 (0.07) mL·100 g−1; P <0.001 and 0.06 (0.05) mL·100 g−1; P <0.001, respectively]. There
were no differences between HUT to 30° and hyperventilation to an end-tidal carbon dioxide
NIH-PA Author Manuscript

(ETCO2) of 25 mmHg (from 45 mmHg) in both SctO2 (P = 0.3) and CBV (P = 0.4).
Discussion—The small but statistically significant decreases in both SctO2 and CBV caused by
HUT and hyperventilation are comparable. There was no correlation between the decreases in
SctO2 and CBV and the decreases in blood pressure and cardiac output during head-up and head-
down tilts. However, the decreases in both SctO2 and CBV correlate with the decreases in ETCO2
during ventilation adjustment.

In patients with increased brain bulk, head-up tilt (HUT) and hyperventilation are often
instituted to decrease intracranial pressure (ICP) or to improve operating conditions.
However, these widely applied maneuvers can also have a negative impact on cerebral
perfusion and oxygenation, i.e., HUT can severely compromise cerebral perfusion pressure,
and hyperventilation can cause profound cerebral vasoconstriction.1 There has been debate
about the relative effects of HUT in maintaining cerebral blood flow (CBF) and decreasing
ICP.2–5 In contrast, the current point of view is that hyperventilation in head-injured patients
can produce more harm than benefit, and it should be strictly limited to the emergent
management of life-threatening intracranial hypertension pending definitive measures or to
facilitate intraoperative surgery.6 Recent advances in near-infrared spectroscopy (NIRS),
such as frequency-domain (FD) and time-domain approaches, allow for absolute
NIH-PA Author Manuscript

quantification of cerebral tissue oxy- and deoxyhemoglobin.7,8 These newer quantitative


NIRS technologies can assess not only cerebral tissue oxygen saturation (SctO2) but also
cerebral blood volume (CBV) based on total hemoglobin concentration (THC), the sum of
oxy- and deoxyhemoglobin.8,9 In this observational study, our null hypothesis was that HUT
and hyperventilation cause similar changes in SctO2 (an estimate of cerebral perfusion and
oxygenation) and CBV (a contributor of intracranial mass and ICP). Our specific aim was to
use FD-NIRS to compare the changes in SctO2 and CBV caused by HUT and
hyperventilation in propofol-remifentanil anesthetized non-neurosurgical patients.

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 3

Methods
Patients
NIH-PA Author Manuscript

After Institutional Research Board approval (HS#: 2010–7521; approved on: May 21st,
2010; Contact: Research Administration, 5171 California, Suite 150, Irvine, CA 92697) and
informed verbal and written consent, patients scheduled for elective non-neurosurgical
procedures at University of California Irvine Medical Center were recruited for this study.
Exclusion criteria were: age ≤ 18 yr old, cerebrovascular disease, symptomatic
cardiovascular disease, poorly controlled hypertension (systolic blood pressure ≥ 160
mmHg), and poorly controlled diabetes mellitus (blood glucose ≥ 200 mg·dL−1). The data
presented here from our FD-NIRS study were acquired from the same patients we recruited
to study the effects of vasopressor treatment. The result regarding the impact of vasopressor
administration on SctO2 and the result regarding the comparison of cardiac output (CO)
measured by esophageal Doppler and Vigileo FloTrac have been previously published.10,11
As each study has a unique hypothesis and paradigm, they have been reported separately.
We took care to ensure vasopressor-induced hemodynamic changes returned to baseline
values for at least five minutes before whole body tilt and ventilation adjustment.

Protocol
Following the patient’s arrival in the operating room, a radial intra-arterial catheter, a
NIH-PA Author Manuscript

bispectral index (BIS) monitor, and two FD-NIRS probes (left and right forehead) were
placed in addition to the other routine monitors. Following anesthesia induction with
fentanyl 1.5-2 μg·kg−1 and propofol 2–3 mg·kg−1, all patients’ tracheas were intubated and
maintained with total intravenous anesthesia using propofol 75–150 μg·kg−1·min−1 and
remifentanil 0.3–0.5 μg·kg−1·min−1 to target a BIS of 30. Volume-controlled ventilation was
used with a tidal volume of 8–10 mL·kg−1 and a respiratory rate of 8–10 breaths·min−1 to
target an end-tidal carbon dioxide (ETCO2) of 35 mmHg. The inspired oxygen was 50%.
Muscle relaxation was maintained with cisatracurium. A 30° HUT (reverse-Trendelenburg
position) and a 30° head-down tilt (Trendelenburg position) were performed and compared
with the supine position (0°). The order of head-up and head-down tilts was randomized.
Study measurements were recorded when mean arterial pressure (MAP) decreased to the
lowest value with HUT and when MAP increased to the highest value with head-down tilt.
After completion of the body tilt component and once tilt-induced hemodynamic changes
receded, ventilation adjustment was conducted with the end point of hyperventilation at
ETCO2 of 25 mmHg and the end point of mild hypoventilation at ETCO2 of 45 mmHg. The
order of hyperventilation and mild hypoventilation was also randomized. Study
measurements were recorded once the end points of hyperventilation and mild
hypoventilation were reached. All measurements were obtained before the start of surgery.
NIH-PA Author Manuscript

Measurements
Cerebral tissue oxygen saturation and THC were measured by the Oxiplex TS cerebral
oximeter (ISS Inc., Champaign, IL, USA), a non-invasive portable and quantitative FD-
NIRS device.7 It emits and detects near infrared (NIR) light at two wavelengths (690 nm and
830 nm). The emitted light is amplitude modulated (i.e., turned on and off) at 110 MHz. The
spacing between the source and detector fibres on the optical probe (1.96 cm, 2.46 cm, 2.92
cm, and 3.45 cm) is sufficient for light to access the surface of the brain.12 The measured
optical properties characterize cerebral tissues and are not influenced appreciably by skin or
surface contributions.12,13 Cerebral blood volume is calculated via the following equation.8,9

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 4

Cerebral blood volume is in mL·100 g−1; THC is in μMol; MWHb is the molecular weight
of hemoglobin (64,458 g·Mol−1); HGB is systemic blood hemoglobin concentration
(g·dL−1); Dbt is brain tissue density (1.0335 g·mL−1); and CLVHR = 0.69 is the cerebral to
NIH-PA Author Manuscript

large vessel hematocrit ratio.

Mean arterial pressure was monitored at the external ear canal level via a radial intra-arterial
catheter system, Vigileo FloTrac (Edwards Lifesciences, Irvine, CA, USA). Cardiac output
was monitored by both esophageal Doppler (CardioQ, Deltex Medical, UK) (COED) and the
third-generation Vigileo FloTrac (COFT). End-tidal carbon dioxide was determined by the
gas analyzer built into the anesthesia machine (Aisys, GE Healthcare, Madison, WI, USA).
Oxygen saturation by pulse oximetry was determined by pulse oximeter (LNOP Adt,
Masimo Corp, Irvine, CA, USA). The depth of anesthesia was monitored via the BIS
monitor (S/5™ M-BIS, GE Healthcare, Madison, WI, USA).

Statistical analyses
Sample-size determination for evaluating the impact of vasopressor treatment on SctO2 was
reported previously.10 Since the observation we report in this article is a secondary outcome
of the experiment, we did not carry out a separate sample-size determination. Data are
expressed as mean standard deviation (SD). Ninety-five percent confidence intervals are
reported. The P values reported for comparisons between head-up vs supine, head-down vs
supine, and hyperventilation vs hypoventilation were compared by paired Student’s t test.
NIH-PA Author Manuscript

The P values reported for comparisons between HUT and hyperventilation were also
compared by paired Student’s t test. The P values reported for Pearson’s correlations were
calculated by Student’s t test using linear regression analysis. The P values <0.001 (0.05/45
= 0.001) were regarded as significant, corresponding to the Bonferroni correction to control
the familywise error rate at 0.05 for the 45 tests (comparisons) performed.

Results
Thirty-three patients [22 males, 11 females, aged 59 (13) yr, height 173 (9) cm, and weight
77 (13) kg] were recruited for this study. Among the 33 patients, three patients were
categorized as American Society of Anesthesiologists’ (ASA) physical status I, 22 patients
were categorized as ASA II, and eight were categorized as ASA III. Due to their concern
about low blood pressure, the attending anesthesiologists withdrew five patients from the tilt
component of the study, and three from the ventilation component. The data from 28
patients were entered into the tilt analysis database, and data from 30 patients were entered
into the ventilation analysis.

Individual MAP, SctO2, and CBV measurements at different body positions are shown in
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 1. The physiological measurements at supine, head-up and head-down positions are
summarized in Table 1. Compared with supine, the absolute (head-up - supine) and relative
[(head-up - supine) / supine * 100%] decreases in SctO2 induced by 30° HUT were 3.5
(2.6)% (P <0.001) and 5.1 (3.8)%, respectively, and the absolute and relative decreases in
CBV were 0.05 (0.07) mL·100 g−1 (P <0.001) and 2.3 (3.0)%, respectively. In comparison,
the absolute (head-down - supine) and relative [(head-down - supine) / supine * 100%]
increases in SctO2 induced by head-down tilt were 1.5 (2.3)% (P = 0.001) and 2.4 (3.6)%,
respectively, and the absolute and relative increases in CBV were 0.11 (0.10) mL·100 g−1 (P
<0.001) and 4.7 (4.1)%, respectively. Changes in SctO2 and changes in CBV had no
correlation with changes in MAP and CO induced by head-up and head-down tilts (P > 0.05)
(Fig. 3). The correlations between changes in SctO2 and CBV were not significant during
HUT (P = 0.06) and head-down tilt (P = 0.04) (Fig. 5A, B).

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 5

Individual ETCO2, SctO2, and CBV measurements during hypoventilation and


hyperventilation are shown in Fig. 2. The physiological measurements during
hypoventilation and hyperventilation are summarized in Table 2. Compared with mild
NIH-PA Author Manuscript

hypoventilation, the absolute (hyperventilation - hypoventilation) and relative


[(hyperventilation - hypoventilation) / hypoventilation * 100%] decreases in SctO2 caused
by hyperventilation were 3.0 (1.8)% (P <0.001) and 4.3 (2.6)%, respectively, and the
absolute and relative decreases in CBV were 0.06 (0.05) mL·100 g−1 (P <0.001) and 2.3
(1.7)%, respectively. Both changes in SctO2 and CBV showed significant correlations with
changes in ETCO2 (P <0.001) (Fig. 4). The correlation between changes in SctO2 and CBV
caused by hyperventilation was also significant (P <0.001) (Fig. 5C).

In the 27 patients who received both interventions, the decreases in both SctO2 and CBV
showed no differences between HUT to 30° and hyperventilation to an ETCO2 of 25 mmHg
(from 45 mmHg) (P = 0.3 and P = 0.4, respectively).

Discussion
The unique aspect of this study is that it provides a direct comparison of changes in cerebral
oxygenation and cerebral blood volume in the same patients due to hyperventilation and
HUT. The major findings from this study using FD-NIRS in healthy surgical patients were
that both HUT to 30° and hyperventilation to an ETCO2 of 25 mmHg (from 45 mmHg)
NIH-PA Author Manuscript

caused small but significant decreases in SctO2 and CBV, and the decreases in both SctO2
and CBV were not significantly different between the two conditions. We also found that
changes in SctO2 and changes in CBV had no correlation with changes in MAP and CO
during head-up and head-down tilts. However, changes in both SctO2 and CBV correlated
well with changes in ETCO2 during hyperventilation.

Our study based on 30° HUT in propofol-remifentanil anesthetized patients showed a small
decrease in both SctO2 [3.5 (2.6)%] and CBV [0.05 (0.07) mL·100 g−1]. In awake healthy
subjects, Hunt et al. found a decrease in SctO2 of 2.6 (3.2)% and no change in CBV with 60°
HUT using a NIRO 300 spectrophotometer,14 and Suzuki et al. found a decrease in SctO2 of
1.1 (1.0)% with 70° HUT using a PSA-III NIRS instrument.15 In propofol-anesthetized
healthy surgical patients, Lovell et al. found a decrease in THC (the measurement used to
calculate CBV) of 0.70 (0.99) μMol with 18° HUT using a NIRO 500 spectrophotometer;
however, changes in SctO2 were not mentioned.16 It is noteworthy that none of the above
studies was based on FD-NIRS technology. We also observed a small decrease in both
SctO2 [3.0 (1.8)%] and CBV [0.06 (0.05) mL·100 g−1] induced by hyperventilation. In
propofol-anesthetized rabbits, Cenic et al. reported no change in both CBF and CBV based
on contrast-enhanced computed tomography measurements when arterial blood carbon
NIH-PA Author Manuscript

dioxide partial pressure (PaCO2) was reduced from 41 to 27 mmHg via hyperventilation.17
In a subsequent study, the same group confirmed that CBF and CBV reactivity to
hyperventilation is absent in propofol but present in rabbits anesthetized with isoflurane.18
Thus, although our findings are consistent with others in the literature, they may pertain only
to patients anesthetized with propofol and remifentanil, and the results should not be
extrapolated to patients receiving inhaled anesthetics.

Both HUT and hyperventilation are common interventions in neurosurgical patients to


decrease brain bulk.1,19 The intervention which causes the least decrease in SctO2 and the
greatest decrease in CBV would likely be more beneficial to the patient. In this FD-NIRS
comparison study, we demonstrated that the decreases in both SctO2 and CBV caused by
30° HUT did not differ significantly with those caused by hyperventilation to an ETCO2 of
25 mmHg (from 45 mmHg). However, before extrapolating these findings to patients with
intracranial pathology, a number of important factors should be considered. Our study was

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 6

conducted in healthy patients without intracranial disorders. Although the impact of HUT
and hyperventilation on CBV is similar, their effects on ICP and brain bulk were not directly
compared. In addition to CBV, cerebrospinal fluid (CSF) is another key contributor to
NIH-PA Author Manuscript

intracranial volume and ICP. In addition to the decrease caused by CBV reduction,
hydrostatic displacement of CSF (from the cranial cavity to the spinal subarachnoid space)
induced by HUT—a property hyperventilation does not possess—might also help to
decrease ICP.20

It is of interest that changes in SctO2 and changes in CBV have no correlation with changes
in both MAP and CO induced by HUT (Fig. 3). This observation differs from our published
results where changes in SctO2 correlated with changes in CO, but not MAP, after
intravenous vasopressor administration.10 In the vasopressor study, blood pressure increases
while CO decreases after phenylephrine treatment; however, during HUT, both blood
pressure and CO decrease. Therefore, it is possible that the insignificant correlation between
SctO2 and CO during HUT might be partially explained by the simultaneous hypotension,
especially with the MAP lower than the lower limit of cerebral autoregulation [MAP = 43
(12) mmHg with HUT] (Table 1). It is difficult to distinguish the contributions of
simultaneous low CO and significant hypotension to decreased cerebral perfusion and
oxygenation. These observations imply that the impacts of HUT and vasopressor
administration on cerebral hemodynamics are based on different mechanisms. In contrast,
the decrease in both SctO2 and CBV induced by hyperventilation correlates well with the
NIH-PA Author Manuscript

decrease in ETCO2 (Fig. 4). It is also interesting that changes in SctO2 and CBV correlate
with each other during hyperventilation, but not during head-up and head-down tilts (Fig. 5).
A likely explanation is that the cerebral vasoconstriction caused by hyperventilation not only
increases cerebrovascular resistance, thus causing a decrease in CBF and SctO2, but also
shrinks the cerebral vascular bed, at least the arterial side and perhaps secondarily the
venous side, thus causing a decrease in CBV. During HUT, the negative impact on cerebral
hemodynamics is mainly due to a reduction in blood pressure.2,3 As blood pressure drops,
cerebral vasodilation takes place in order to maintain a constant CBF.21 Therefore, a dilated
cerebrovascular bed may actually cause no change or an increase in CBV as a consequence.
On the other hand, HUT-facilitated venous outflow from the brain may decrease CBV.22,23
Operating together, these complicated mechanisms may be the reason why HUT-induced
changes in SctO2 and CBV do not correlate. In summary, the impacts of HUT and
hyperventilation on cerebral hemodynamics are mechanistically different.

There are several methodological limitations to be considered. First, estimation of PaCO2 by


ETCO2 has its limitations even though there are data that ETCO2 is a reliable estimate of
PaCO2 and the change in ETCO2 strongly approximates the change in PaCO2.24 For
example, the use of the HUT position may significantly change the pulmonary blood flow,
NIH-PA Author Manuscript

increasing the amount of zone 1 ventilation and causing significant dead space ventilation
and an enlargement in the gradient between ETCO2 and PaCO2. Without knowing the
PaCO2, the extent of hyperventilation is not known. Second, this study was conducted
before surgical incision in order to avoid the impact of surgical stimulation on cerebral
measurements. It was also done in non-neurosurgical patients with normal ICP in order to
acquire “baseline” or normal brain information. Therefore, the clinical significance of the
decreases in SctO2 and CBV caused by HUT and hyperventilation was not directly
addressed by this study.

The specific FD-NIRS technology used for this study provides a better estimate of absolute
measurements than the commonly employed NIRS instruments based on continuous wave
(CW) technology which provide only relative measurements.25 Near infrared photons
(~650–1000 nm) penetrate deeply (several centimetres) into tissues. At the wavelengths
used in this study, the dominant absorbers (or chromophores) in tissue are oxy- and

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 7

deoxyhemoglobin. However, tissues also strongly scatter NIR light, and it is this dominant
scattering of the signal that makes it difficult to measure tissue’s hemoglobin absorbance
accurately.26 Frequency-domain near-infrared spectroscopy separates the contributions of
NIH-PA Author Manuscript

absorption and scattering to the detected NIR signals, while CW-NIRS does not.25 This may
be important because studies have shown large intersubject variations in brain scattering
based on measurements of optical path length in neonates, children, and adults.27,28 For this
reason, changes in hemoglobin saturation reported by CW-NIRS may be affected by factors
such as the intersubject variation in tissue scattering. In contrast, FD-NIRS used in this study
avoids this confounding factor by direct and continuous measurement of light scattering in
the tissue.7 Therefore, FD-NIRS is regarded as a quantitative method while CW-NIRS is
considered a trend monitor only. An additional confounding factor is the contamination of
the NIRS signal by extracerebral layers. Multiple studies show that the optode spacing
distance determines the ability of NIRS to “see through” scalp and skull.12,13,29,30 Studies
using FD-NIRS in humans and with phantoms have found that extracerebral contamination
is negligible when the source-detector spacing is larger than 2 cm.12,13 Evidence also shows
that NIRS measurements are consistent with those made by functional magnetic resonance
imaging.31 In summary, FD-NIRS is not only a quantitative technology by its ability to
separate absorption and scattering, but it is also a technology which is likely less affected by
the extracerebral tissue layers.

In conclusion, the significant but small decreases in both SctO2 and CBV caused by HUT to
NIH-PA Author Manuscript

30° and hyperventilation to an ETCO2 of 25 mmHg (from 45 mmHg) in normal healthy


individuals are comparable. Changes in SctO2 and CBV do not correlate with changes in
MAP and CO during HUT; however, changes in both SctO2 and CBV correlate with
changes in ETCO2 during hyperventilation.

Acknowledgments
We acknowledge the generous loan of the Oxiplex TX oximeter from ISS, Inc. We also thank Christine Lee BS for
her help in data analysis and Nam P. Tran BS for her help in data acquisition.

Funding This study is supported by the National Center for Research Resources (NCRR), a component of the
National Institutes of Health (NIH), through the following programs: the Institute for Clinical & Translational
Science (ICTS) grant UL1 RR031985 (BJT); the Laser Microbeam and Medical Program (LAMMP), a NIH BRTP
resource (P41-RR01192) (BJT); and the Laboratory for Fluorescence Dynamics (LFD) grant P41 RR03155
(WWM). It is also supported by the Department of Anesthesiology & Perioperative Care, University of California
Irvine Medical Center.

References
1. Vincent JL, Berre J. Primer on medical management of severe brain injury. Crit Care Med. 2005;
NIH-PA Author Manuscript

33:1392–9. [PubMed: 15942361]


2. Rosner MJ, Coley IB. Cerebral perfusion pressure, intracranial pressure, and head elevation. J
Neurosurg. 1986; 65:636–41. [PubMed: 3772451]
3. Rosner MJ, Rosner SD, Johnson AH. Cerebral perfusion pressure: management protocol and
clinical results. J Neurosurg. 1995; 83:949–62. [PubMed: 7490638]
4. Ng I, Lim J, Wong HB. Effects of head posture on cerebral hemodynamics: its influences on
intracranial pressure, cerebral perfusion pressure, and cerebral oxygenation. Neurosurgery. 2004;
54:593–7. [PubMed: 15028132]
5. Feldman Z, Kanter MJ, Robertson CS, et al. Effect of head elevation on intracranial pressure,
cerebral perfusion pressure, and cerebral blood flow in head-injured patients. J Neurosurg. 1992;
76:207–11. [PubMed: 1730949]
6. Curley G, Kavanagh BP, Laffey JG. Hypocapnia and the injured brain: more harm than benefit. Crit
Care Med. 2010; 38:1348–59. [PubMed: 20228681]

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 8

7. Fantini S, Franceschini MA, Maier JS, Walker SA, Barbieri BB, Gratton E. Frequency-domain
multichannel optical detector for noninvasive tissue spectroscopy and oximetry. Opt Eng. 1995;
34:32–42.
NIH-PA Author Manuscript

8. Ijichi S, Kusaka T, Isobe K, et al. Developmental changes of optical properties in neonates


determined by near-infrared time-resolved spectroscopy. Pediatr Res. 2005; 58:568–73. [PubMed:
16148075]
9. Tachtsidis I, Leung TS, Oliver C, et al. Quantification of adult cerebral blood volume using the
NIRS tissue oxygenation index. Adv Exp Med Biol. 2006; 578:237–43. [PubMed: 16927699]
10. Meng L, Cannesson M, Alexander BS, et al. Effect of phenylephrine and ephedrine bolus treatment
on cerebral oxygenation in anaesthetized patients. Br J Anaesth. 2011; 107:209–17. [PubMed:
21642644]
11. Meng L, Tran NP, Alexander BS, et al. The impact of phenylephrine, ephedrine, and increased
preload on third-generation Vigileo-FloTrac and esophageal Doppler cardiac output
measurements. Anesth Analg. 2011; 113:751–7. [PubMed: 21821516]
12. Choi J, Wolf M, Toronov V, et al. Noninvasive determination of the optical properties of adult
brain: near-infrared spectroscopy approach. J Biomed Opt. 2004; 9:221–9. [PubMed: 14715077]
13. Franceschini MA, Fantini S, Paunescu LA, Maier JS, Gratton E. Influence of a superficial layer in
the quantitative spectroscopic study of strongly scattering media. Appl Opt. 1998; 37:7447–58.
[PubMed: 18301579]
14. Hunt K, Tachtsidis I, Bleasdale-Barr K, Elwell C, Mathias C, Smith M. Changes in cerebral
oxygenation and haemodynamics during postural blood pressure changes in patients with
NIH-PA Author Manuscript

autonomic failure. Physiol Meas. 2006; 27:777–85. [PubMed: 16868345]


15. Suzuki K, Asahina M, Suzuki A, Hattori T. Cerebral oxygenation monitoring for detecting critical
cerebral hypoperfusion in patients with multiple system atrophy during the head-up tilt test. Intern
Med. 2008; 47:1681–7. [PubMed: 18827416]
16. Lovell AT, Marshall AC, Elwell CE, Smith M, Goldstone JC. Changes in cerebral blood volume
with changes in position in awake and anesthetized subjects. Anesth Analg. 2000; 90:372–6.
[PubMed: 10648324]
17. Cenic A, Craen RA, Howard-Lech VL, Lee TY, Gelb AW. Cerebral blood volume and blood flow
at varying arterial carbon dioxide tension levels in rabbits during propofol anesthesia. Anesth
Analg. 2000; 90:1376–83. [PubMed: 10825324]
18. Cenic A, Craen RA, Lee TY, Gelb AW. Cerebral blood volume and blood flow responses to
hyperventilation in brain tumors during isoflurane or propofol anesthesia. Anesth Analg. 2002;
94:661–6. [PubMed: 11867393]
19. Gelb AW, Craen RA, Rao GS, et al. Does hyperventilation improve operating condition during
supratentorial craniotomy? A multicenter randomized crossover trial. Anesth Analg. 2008;
106:585–94. [PubMed: 18227320]
20. Kenning JA, Toutant SM, Saunders RL. Upright patient positioning in the management of
intracranial hypertension. Surg Neurol. 1981; 15:148–52. [PubMed: 7245008]
21. Paulson OB, Strandgaard S, Edvinsson L. Cerebral autoregulation. Cerebrovasc Brain Metab Rev.
NIH-PA Author Manuscript

1990; 2:161–92. [PubMed: 2201348]


22. Toole JF. Effects of change of head, limb and body position on cephalic circulation. N Engl J Med.
1968; 279:307–11. [PubMed: 5660303]
23. Potts DG, Deonarine V. Effect of positional changes and jugular vein compression on the pressure
gradient across the arachnoid villi and granulations of the dog. J Neurosurg. 1973; 38:722–8.
[PubMed: 4710651]
24. McSwain SD, Hamel DS, Smith PB, et al. End-tidal and arterial carbon dioxide measurements
correlate across all levels of physiologic dead space. Respir Care. 2010; 55:288–93. [PubMed:
20196877]
25. Fantini S, Hueber D, Franceschini MA, et al. Non-invasive optical monitoring of the newborn
piglet brain using continuous-wave and frequency-domain spectroscopy. Phys Med Biol. 1999;
44:1543–63. [PubMed: 10498522]
26. Rolfe P. In vivo near-infrared spectroscopy. Annu Rev Biomed Eng. 2000; 2:715–54. [PubMed:
11701529]

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 9

27. Duncan A, Meek JH, Clemence M, et al. Measurement of cranial optical path length as a function
of age using phase resolved near infrared spectroscopy. Pediatr Res. 1996; 39:889–94. [PubMed:
8726247]
NIH-PA Author Manuscript

28. Duncan A, Meek JH, Clemence M, et al. Optical pathlength measurements on adult head, calf and
forearm and the head of the newborn infant using phase resolved optical spectroscopy. Phys Med
Biol. 1995; 40:295–304. [PubMed: 7708855]
29. Al-Rawi PG, Smielewski P, Kirkpatrick PJ. Evaluation of a near-infrared spectrometer (NIRO
300) for the detection of intracranial oxygenation changes in the adult head. Stroke. 2001;
32:2492–500. [PubMed: 11692006]
30. Owen-Reece H, Elwell CE, Wyatt JS, Delpy DT. The effect of scalp ischaemia on measurement of
cerebral blood volume by near-infrared spectroscopy. Physiol Meas. 1996; 17:279–86. [PubMed:
8953626]
31. Toronov V, Walker S, Gupta R, et al. The roles of changes in deoxyhemoglobin concentration and
regional cerebral blood volume in the fMRI BOLD signal. Neuroimage. 2003; 19:1521–31.
[PubMed: 12948708]
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 10
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 1.
Measurements of mean arterial pressure (MAP), cerebral tissue oxygen saturation (SctO2),
and cerebral blood volume (CBV) at supine and at 30° head-up and head-down tilts

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 11
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 2.
Measurements of end-tidal carbon dioxide (ETCO2), cerebral tissue oxygen saturation
(SctO2), and cerebral blood volume (CBV) during hypoventilation and hyperventilation

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 12
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 3.
Correlations between changes in cerebral and global hemodynamic measurements induced
by head-up and head-down tilts. SctO2 = cerebral tissue oxygen saturation; CBV = cerebral
blood volume; MAP = mean arterial pressure; COED = cardiac output measured by
esophageal Doppler; red = changes caused by head-up tilts; blue = changes caused by head-
down tilts (Color figure online)
NIH-PA Author Manuscript

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 13
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 4.
Correlations between changes in cerebral hemodynamic measurements and end-tidal carbon
dioxide (ETCO2) induced by ventilation adjustments. SctO2 = cerebral tissue oxygen
saturation; CBV = cerebral blood volume
NIH-PA Author Manuscript

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Meng et al. Page 14
NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Fig. 5.
Correlations between changes in cerebral blood volume (CBV) and cerebral tissue oxygen
saturation (SctO2) induced by body tilts and ventilation adjustment
NIH-PA Author Manuscript

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript

Table 1
Physiological measurements at supine, head-up, and head-down positions (n = 28)

Supine1 Head Up Head Down


Meng et al.

Measurement Change2 CI (95%) P Value Measurement Change2 CI (95%) P Value


MAP (mmHg) 57 (11) 43 (12) −14 (10) −18.1 to −10.6 <0.001 86 (15) 28 (14) 24.2 to 34.0 <0.001
COED (L·min−1) 5.8 (1.3) 5.2 (1.5) −0.6 (1.0) −1.0 to −0.3 0.001 6.2 (1.8) 0.3 (1.0) −0.05 to 0.7 0.1

COFT (L·min−1) 4.8 (1.4) 4.2 (1.5) −0.6 (1.2) −1.0 to −0.2 0.01 6.1 (1.8) 1.3 (1.0) 0.9 to 1.6 <0.001

HR (beats·min−1) 65.5 (10.7) 68.9 (16.0) 3.3 (9.8) −0.2 to 7.1 0.1 63.2 (10.3) −2.2 (6.8) −4.8 to 0.3 0.1
SpO2 (%) 99.2 (1.3) 98.7 (2.7) −0.4 (1.7) −1.1 to 0.2 0.2 99.1 (2.0) 0 (1.2) −0.5 to 0.4 0.9

ETCO2 (mmHg) 36 (4) 34 (4) −2 (3) −3.2 to −1.2 <0.001 36 (4) 0 (3) −0.9 to 1.0 0.9

BIS 28 (9) 30 (9) 1 (4) −0.4 to 2.7 0.2 27 (12) −1 (9) −4.4 to 2.2 0.5
SctO2 (%) 67.5 (7.5) 64.0 (7.1) −3.5 (2.6) −4.4 to −2.5 <0.001 69.0 (7.1) 1.5 (2.3) 0.7 to 2.4 0.001

THC (μMol) 36.0 (9.0) 35.2 (9.0) −0.8 (1.2) −1.2 to −0.4 0.001 37.6 (9.4) 1.6 (1.5) 1.1 to 2.2 <0.001
CBV (mL·100 g−1) 2.38 (0.64) 2.33 (0.65) −0.05 (0.07) −0.08 to −0.02 <0.001 2.49 (0.66) 0.11 (0.10) 0.07 to 0.1 <0.001

Data are expressed as mean (standard deviation); 1 = averaged measurements before and after whole body tilt; Change2 = head tilt - supine; CI = confidence interval; MAP = mean arterial pressure; COED
= cardiac output by esophageal Doppler; COFT = cardiac output by Vigileo FloTrac; HR = heart rate; SpO2 = oxygen saturation by pulse oximetry; ETCO2 = end-tidal carbon dioxide; BIS = Bispectral
index; SctO2 = cerebral tissue oxygen saturation; THC = total hemoglobin concentration (cerebral tissue); CBV = cerebral blood volume

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Page 15
NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript NIH-PA Author Manuscript

Table 2
Physiological measurements during hypoventilation and hyperventilation (n = 30)

Hypoventilation Hyperventilation Change1 CI (95%) P Value


Meng et al.

MAP (mmHg) 74 (16) 73 (17) −1 (7) −3.6 to 1.5 0.4

COED (L·min−1) 6.4 (1.6) 6.2 (1.5) −0.2 (1.1) −0.6 to 0.2 0.3

COFT (L·min−1) 5.9 (1.7) 5.6 (2.0) −0.3 (1.0) −0.6 to 0.08 0.1

HR (beats·min−1) 61.3 (8.9) 64.5 (12.3) 3.2 (6.0) 1.1 to 5.3 0.006
SpO2 (%) 98.9 (1.6) 99.3 (1.3) 0.4 (0.8) 0.2 to 0.7 0.005

ETCO2 (mmHg) 44 (5) 25 (3) −19 (5) −20.1 to −16.9 <0.001

BIS 34 (9) 32 (8) −2 (7) −4.4 to 0.3 0.1


SctO2 (%) 68.0 (8.1) 65.0 (7.7) −3.0 (1.8) −3.6 to −2.3 <0.001

THC (μMol) 37.9 (9.9) 37.1 (9.5) −0.9 (0.9) −1.2 to −0.6 <0.001
CBV (mL·100 g−1) 2.53 (0.71) 2.47 (0.70) −0.06 (0.05) −0.08 to −0.04 <0.001

Data are expressed as mean (standard deviation); Change1 = hyperventilation - hypoventilation; CI = confidence interval; MAP = mean arterial pressure; COED = cardiac output by esophageal Doppler;
COFT = cardiac output by Vigileo FloTrac; HR = heart rate; SpO2 = oxygen saturation by pulse oximetry; ETCO2 = end-tidal carbon dioxide; BIS = bispectral index; SctO2 = cerebral tissue oxygen
saturation; THC = total hemoglobin concentration (cerebral tissue); CBV = cerebral blood volume

Can J Anaesth. Author manuscript; available in PMC 2013 April 01.


Page 16
LLlⅥ bAKが 、ヽジlN δ tり L bllVibllNtJAlNヽ 11

ATAN
N/1AHASISWA PRODI DIII KEPERAヽ ″
SilKLも lN/10HA市 iMADll AH GOMBtJNG
2016

.blama lvianasls、 va Hen bls、 vanto

NIM A01301761
Kclas 11l b

Dosen Pembilnbing lllllawan Alldri,S.Kel)。 Ns,M.Kcp


Hari/ PaFaf
Topik Bimbingan Keterangan
Ta疑 ;gal Pc山 imb魂

1
ち′Й雄が〃 _

_
︲︲

′´ l―

三二
︲ ︲︲

ス t` 1三

ル tプ
扁Ⅶ

tァ
︲︲

t―
′レ


つヘ

Jは

gr (じ ´ 峰

`%夕 ´


%ア
LL に
ハ●

tO。


雛 ア サ′ク
しf 麟 ´
に。レ
け/η ↑

ι
井C⊂ “
り.般

Anda mungkin juga menyukai