Anda di halaman 1dari 3

EPIDEMIOLOGI

Sejarah dan Penyebaran Penyakit


Dari sejarah diduga Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan kairo,
1823 di Zanzibar, 1824 di India, 1901 di Hongkong, Burma, dan Madras. Pada tahun 1928 di
Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat diartikan bahwa infeksi Chikungunya
sangat mirip dengan dengue. Istilah “Chikungunya” berasal dari bahasa suku Swahili yang
berarti “Orang yang jalannya membungkuk dan menekuk lututnya”, suku ini bermukim di
dataran tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (yang sebelumnya bernama Tanganyika).
Istilah Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari
serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara tersebut.
Pada demam Chikungunya adanya gejala khas dan dominan yaitu nyeri sendi.1
Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika dan menyebar ke
Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun
1954. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam,
Manila, dan Burma Tahun 1965 terjadi di Srilanka.1

Chikungunya di Indonesia
Di Indonesia, penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada tahun
1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, tahun 1982 di Kuala
Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Chikungunya mulai
banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat
(Bogor, Bekasi, dan Depok) pada tahun 2001, yang menyerang secara bersamaan pada
penduduk di satu kesatuan wilayah.1
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya Chikungunya seperti di
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur dan beberapa
daerah lainnya. Pada tahun 2003 Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi Chikungunya pada beberapa provinsi
dengan 149.526 kasus tanpa kematian.1
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam
Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan
peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya Chikungunya. Penyakit ini sering terjadi pada awal dan akhir musim
hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.1
ETIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh CHIK virus (CHIKV), virus ini termasuk famili
Alphavirus. Fakta sejarah menyatakan bahwa virus chikungunya terjadi pertama di negara
Afrika dan selanjutnya menyebar ke Asia. Chikungunya telah menyebar ke beberapa daerah
seperti wilayah Afrika dan Asia, termasuk India, Srilanka, Myanmar, Tailand, Indonesia, dan
Malaysia. Studi secara filogenetik melaporkan bahwa strain virus chikungunya termasuk dalam
tiga genotype berdasarkan kasus di Afrika, Afrika tengah/timur dan Asia, dan selanjutnya
termasuk ke dalam grup yang diisolasi dari Klang di Malaysia.2

Demam chikungunya didiagnosis pada pendatang di wilayah Amerika Serikat sejak


tahun 2005 dan 2006. Kasus demam chikungunya dilaporkan kembali di area Eropa, Canada,
Carabbia (Martinique) dan Amerika selatan (French Guyana) selama tahun 2006. Sejak tahun
2005 – 2006, 12 kasus demam fever didiagnosis secara serologis dan virologi oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) Amerika serikat dari wilayah yang diketahui sebagai
daerah epidemi atau endemis demam chikungunya. Epidemi yang terjadi di Asia pada wilayah
perkotaan/urban disebabkan oleh vektor nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
Seroprevalensi yang dipelajari terhadap Macaca sinica di Srilanka melaporkan bahwa
kerentanan populasi ini terhadap virus tidaklah diketahui.2

Transmisi penyakit Chikungunya di Asia, terutama ditularkan oleh vektor nyamuk


Aedes aegypti melalui siklus transmisi orang ke orang di pemukiman padat penduduk (urban).
Tidak diketahui bagaimana virus ini dapat terpelihara di alam. Tidak ada binatang yang
betindak secara pasti sebagai reservoir, sekalipun hasil dari neutralizing antibody terhadap
virus Chikungunya pada monyet di Malaysia memberi kesan bahwa primata dapat bertindak
sebagai host. Tidak sama seperti virus dengue, transmisi secara transovarial untuk virus
Chikungunya belum dapat didemonstrasikan.2

Di Afrika, nonhuman primata juga terlibat dalam siklus transmisi dengan berbagai
spesies nyamuk vektor. Babon dan monyet Cercopithecus dianggap berperan sebagai inang
antara yang menyebarkan virus ke manusia. Nyamuk yang bertanggung jawab dalam transmisi
enzootik pada savana dan hutan tropis Afrika dikelompokkan dalam dalam dua subgenera
Aedes, yaitu :2
(a) Subgenera : Stegomya (Ae. africanus, Ae. luteocephalus, and Ae. opok)
(b) Subgenera : Diceromya (Ae. cordillieri, Ae. furcifer, dan Ae. taylor).

Virus chikungunya sebagai penyebab demam chikungunya masih belum diketahui pola
masuknya ke Indonesia. Sekitar 200-300 tahun lalu virus chikungunya merupakan virus pada
hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai
pelestari virus adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic
cycle) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae. africanus, Ae.
luteocephalus, Ae. opok, Ae. furciper, Ae taylori, Ae cordelierri). Pembuktian ilmiah yang
meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania
1952-1953.2

Chikungunya yang semula termasuk siklus zootik dari satwa primata-nyamuk- satwa
primata, beberapa lama kemudian berubah menjadi menyerang manusia. Tidak semua virus
asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di daerah urban, siklus virus chikungunya
dibantu oleh nyamuk Ae. aegypti. Dalam situasi tertentu, Manzonia africana juga berperan
sebagai vektor yang memindahkan virus dari inang primata ke manusia. Meskipun dalam
penelitian eksperimen terbukti bahwa primata yang terinfeksi virus chikungunya mengalami
viremia, perannya dalam menentukan transmisi virus di belahan bumi belum terlalu penting.2

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3-10
hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak dan nyeri sendi berat. Nyeri sendi ini terkadang
membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun biasanya sembuh dalam beberapa hari
atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala,
nyeri seluruh punggung, mialgia, mual, muntah, poliartritis, bintik merah, dan konjungtivitis.
Pada fase subakut dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan yang
disertai deskuamasi halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki,
higroma siku, bengkak, dan kaku pada jari-jari tangan.3
Pemeriksaan Fisik
Demam 39o - 40o C berlangsung beberapa hari -1 minggu, yang bersifat kontinu atau
intermitten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif. Nyeri sendi biasanya simetris dan sering
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan
dengan tenosinovitis.3
Bintik merah biasanya muncul 2-3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapuler pada batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan pada telapak
kaki, telapak tangan, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi sebagai eritema difus,
yang menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesokulobulosa sering ditemukan.3
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan :3
 Trombositopenia
 Leukopenia
 Peningkatan tes fungsi hati
 Peningkatan LED dan CRP
 IgM Chikungunya

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Edisi 2. Jakarta :
Kemenkes RI
2. Amirullah et al. 2015. Chikungunya : Transmisi dan Permasalahannya. Kendari :
Jurnal FMIPA Universitas Haluoleo
3. Alwi, Idrus dkk. 2016. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Jakarta : Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai