Chikungunya di Indonesia
Di Indonesia, penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada tahun
1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, tahun 1982 di Kuala
Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Chikungunya mulai
banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat
(Bogor, Bekasi, dan Depok) pada tahun 2001, yang menyerang secara bersamaan pada
penduduk di satu kesatuan wilayah.1
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya Chikungunya seperti di
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur dan beberapa
daerah lainnya. Pada tahun 2003 Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi Chikungunya pada beberapa provinsi
dengan 149.526 kasus tanpa kematian.1
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam
Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan
peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya Chikungunya. Penyakit ini sering terjadi pada awal dan akhir musim
hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.1
ETIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh CHIK virus (CHIKV), virus ini termasuk famili
Alphavirus. Fakta sejarah menyatakan bahwa virus chikungunya terjadi pertama di negara
Afrika dan selanjutnya menyebar ke Asia. Chikungunya telah menyebar ke beberapa daerah
seperti wilayah Afrika dan Asia, termasuk India, Srilanka, Myanmar, Tailand, Indonesia, dan
Malaysia. Studi secara filogenetik melaporkan bahwa strain virus chikungunya termasuk dalam
tiga genotype berdasarkan kasus di Afrika, Afrika tengah/timur dan Asia, dan selanjutnya
termasuk ke dalam grup yang diisolasi dari Klang di Malaysia.2
Di Afrika, nonhuman primata juga terlibat dalam siklus transmisi dengan berbagai
spesies nyamuk vektor. Babon dan monyet Cercopithecus dianggap berperan sebagai inang
antara yang menyebarkan virus ke manusia. Nyamuk yang bertanggung jawab dalam transmisi
enzootik pada savana dan hutan tropis Afrika dikelompokkan dalam dalam dua subgenera
Aedes, yaitu :2
(a) Subgenera : Stegomya (Ae. africanus, Ae. luteocephalus, and Ae. opok)
(b) Subgenera : Diceromya (Ae. cordillieri, Ae. furcifer, dan Ae. taylor).
Virus chikungunya sebagai penyebab demam chikungunya masih belum diketahui pola
masuknya ke Indonesia. Sekitar 200-300 tahun lalu virus chikungunya merupakan virus pada
hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai
pelestari virus adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic
cycle) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae. africanus, Ae.
luteocephalus, Ae. opok, Ae. furciper, Ae taylori, Ae cordelierri). Pembuktian ilmiah yang
meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania
1952-1953.2
Chikungunya yang semula termasuk siklus zootik dari satwa primata-nyamuk- satwa
primata, beberapa lama kemudian berubah menjadi menyerang manusia. Tidak semua virus
asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di daerah urban, siklus virus chikungunya
dibantu oleh nyamuk Ae. aegypti. Dalam situasi tertentu, Manzonia africana juga berperan
sebagai vektor yang memindahkan virus dari inang primata ke manusia. Meskipun dalam
penelitian eksperimen terbukti bahwa primata yang terinfeksi virus chikungunya mengalami
viremia, perannya dalam menentukan transmisi virus di belahan bumi belum terlalu penting.2
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3-10
hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak dan nyeri sendi berat. Nyeri sendi ini terkadang
membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun biasanya sembuh dalam beberapa hari
atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala,
nyeri seluruh punggung, mialgia, mual, muntah, poliartritis, bintik merah, dan konjungtivitis.
Pada fase subakut dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan yang
disertai deskuamasi halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki,
higroma siku, bengkak, dan kaku pada jari-jari tangan.3
Pemeriksaan Fisik
Demam 39o - 40o C berlangsung beberapa hari -1 minggu, yang bersifat kontinu atau
intermitten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif. Nyeri sendi biasanya simetris dan sering
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan
dengan tenosinovitis.3
Bintik merah biasanya muncul 2-3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapuler pada batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan pada telapak
kaki, telapak tangan, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi sebagai eritema difus,
yang menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesokulobulosa sering ditemukan.3
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan :3
Trombositopenia
Leukopenia
Peningkatan tes fungsi hati
Peningkatan LED dan CRP
IgM Chikungunya
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Edisi 2. Jakarta :
Kemenkes RI
2. Amirullah et al. 2015. Chikungunya : Transmisi dan Permasalahannya. Kendari :
Jurnal FMIPA Universitas Haluoleo
3. Alwi, Idrus dkk. 2016. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Jakarta : Interna Publishing