Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

FARINGITIS STREPTOKOKUS BETA HEMOLITIKUS

Pembimbing oleh:

Dr. Budhy Parmono, Sp.THT-KL., M.Kes.

Disusun oleh:

Fauzan Hilman / 030 12 102

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI
Periode 16 Mei – 17 Juni 2016

1
Referat dengan Judul
” FARINGITIS STREPTOKOKUS BETA HEMOLITIKUS ”
Disusun oleh Fauzan Hilman / 030 12 102
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorokan
di RSUD Kota Cilegon periode 16 Mei – 17 Juni 2016

Cilegon,

(Dr. Budhy Parmono, Sp.THT-KL., M.Kes.)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan segala nikmat sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul ” FARINGITIS STREPTOKOKUS
BETA HEMOLITIKUS ” ini. Adapun penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan di Rumah
Sakit Umum Daerah Cilegon periode 16 Mei – 17 Juni 2016.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Budhy


Parmono, Sp.THT-KL., M.Kes. selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan
bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada
semua pihak yang turut serta membantu penyusunan referat ini yang tidak mungkin
diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam referat ini,
penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
bagi perbaikan referat ini.

Terimakasih.

3
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 3


Daftar Isi .................................................................................................................................... 4

BAB I ......................................................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 5
1.2 Pendahuluan ..................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6
2.1 Anatomi dan fisiologi faring ............................................................................................ 6
2.2 Definisi Faringitis ............................................................................................................. 8
2.3 Etiologi ............................................................................................................................. 8
2.3.1 Faringitis bakterial ..................................................................................................... 9
2.3.2 Faringitis viral............................................................................................................ 9
2.3.3 Faringitis fungal ....................................................................................................... 10
2.4 Faringitis streptokokus beta hemolitikus ....................................................................... 10
2.4.1 Patofisiologi ............................................................................................................. 10
2.4.2 Anamnesis dan pemeriksaan fisik ........................................................................... 11
2.4.3 Penegakan diagnosis ................................................................................................ 12
2.6 Manajemen faringitis...................................................................................................... 13
2.7 Komplikasi faringitis streptokokus ................................................................................ 13

BAB III .................................................................................................................................... 14


Kesimpulan........................................................................................................................... 14

Daftar pustaka .......................................................................................................................... 14

4
BAB I

1.1 Latar Belakang


Faringitis merupakan awal keadaan infeksi dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). ISPA merupakan infeksi penyakit yang terjadi di saluran nafas dan kebanyakan
merupakan infeksi virus. Anak-anak usia 5 sampai 15 tahun merupakan usia yang paling
rentan terinfeksi penyakit faringitis. Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri dan virus.
Dalam pengobatan faringitis sangat penting untuk memastikan penyebabnya dalam
menentukan pengobatan yang tepat. Antibiotika diberikan pada pasien dengan faringitis yang
disebabkan oleh bakteri (Dipiro, 2008). Penggunaan antibiotika yang kurang tepat dalam
pengobatan faringitis juga dapat menyebabkan terjadinya resistensi (Wierzbanowska,2009).

Faringitis merupakan penyakit yang umum dalam masyarakat tetapi perlu mendapat
perhatian dalam penanganannya karena penyakit yang dianggap ringan oleh masyarakat ini
dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti glomerulonefritis akut dan kelainan katup
jantung akibat penyakit jantung rematik yang terutama dialami oleh anak-anak. Oleh karena
itu, penulis ingin mengurai tentang faringitis secara umum dan masuk lebih dalam pada
pembahasan faringitis streptokokus beta hemolitikus yang merupakan bakteri paling sering
menjadi penyebab faringitis bakterial.

1.2 Pendahuluan
Faringitis disebut sebagai radang tenggorokan. Gejala utama pada faringitis adalah
sakit tenggorokan, faringitis terkait infeksi hanya salah satu dari banyak kemungkinan
penyebab sakit tenggorokan pada orang dewasa. Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik
sangat penting untuk menentukan diagnosis banding pada setiap pasien. Misalnya, karsinoma
sel skuamosa pada faring sering menyajikan riwayat sakit tenggorokan kronis. Epiglotitis
pada orang dewasa biasanya muncul sebagai sakit tenggorokan yang parah bersifat akut
dengan odinofagia dan pada pemeriksaan orofaringeal relatif normal. Kondisi seperti
postnasal drip dan laringofaringeal refluks dapat menyebabkan faringitis iritasi. Pajanan yang
terjadi saat bekerja dan di lingkungan juga berkaitan dengan faringitis iritasi seperti pemadam
kebakaran yang terpajan asap saat bekerja.(2)

Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena


faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali infeksi virus pada
saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira
15−30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang
dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari infeksi Streptococcus ß
hemolyticus group A. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun (Acerra,
2010).

Faringitis pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi bakteri di sekitar 5% sampai
10% dari pasien. Hal ini berbeda dibandingkan anak-anak diakibatkan oleh faringitis bakteri
untuk 30% sampai 40% dari kasus. Sekitar 75% dari orang dewasa dengan sakit tenggorokan

5
diresepkan antibiotik untuk suspek faringitis bakteri meskipun praktik ini hanya akan
membantu minoritas pasien yang diresepkan. Praktek ini dikaitkan dokter, bahwa pasien akan
kembali berkonsultasi jika antibiotik tidak diresepkan. Penggunaan antibiotik yang tidak baik
ini memiliki konsekuensi negatif bagi pasien sendiri maupun kesehatan masyarakat.(2)

BAB II

2.1 Anatomi dan fisiologi faring(1,3,4)


Faring adalah ruang fibromuskuler yang berfungsi sebagai saluran pernapasan dan
pencernaan berada dibelakang hidung sampai oesophagus. Dibentuk dari foregut primitif
endodermal sepanjang 12-14 cm. Tabung musculomembranosa ini memanjang dari dasar
tengkorak dan bagian belakang hidung dan mulut sampai setinggi vertebra servikal enam,
lalu dilanjutkan menjadi esofagus. Mukosa bagian atas dilapisi epitel bertingkat bersilia dan
bagian bawah dilapisi epitel skuamosa berlapis.

Faring yang diliputi banyak jaringan limfoid memungkinkan berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan membentuk antibodi yang akan melindungi dari mikroba yang masuk
melalui rongga mulut dan hidung. Faring memiliki tiga bagian: epifaring atau nasofaring,
orofaring, dan hipofaring atau laringofaring. Bagian atas faring berhubungan dengan hidung
melalui choana posterior hidung. Agak dibawah choana terdapat tuba eustachius pada dinding
superior posterolateral. Palatum molle memisahkan nasofaring dari orofaring. Hipofaring
dimulai di dasar lidah sampai batas inferior kartilago krikoid. Laring berada pada dinding
anterior dengan epiglotis melekat pada dasar lidah.

Gambaran faring terlihat dari lateral dan posterior

6
Nasofaring berada dibelakang hidung, bagian atas nasofaring dibatasi oleh basis
tengkorak. Bagian kedua sisi lateral terdapat tuba eustachius yang terletak sekitar 1,25 cm di
posterior concha inferior, dan batas anterior nasofaring adalah choana nasalis posterior. Tuba
eustachius menghubungkan faring dengan kedua telinga sebagai ventilasi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan udara luar. Dan pada dinding lateral
ada fossa rosenmuller yang umumnya tempat tumbuhnya karsinoma nasofaring. Batas bawah
nasofaring adalah palatum molle, yang memisahkan nasofaring dengan orofaring dan
berfungsi menutup nasofaring saat berbicara, menelan, muntah, dan bicara. Pada dinding
posterior dan atap terdapat kumpulan jaringan limfoid subepitel disebut nasopharyngeal tonsil
atau adenoid. Pada nasofaring juga terdapat kantong Rathke yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius suatu refleksi mukosa faring di atas
penonjolan kartilago tuba Eustachius, foramen jugulare yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna.

Pada posterior orofaring disebut ruang retropharyngeal yang berada setinggi servikal
kedua sampai bagian atas servikal ketiga. Bagian anterior orofaring berbatasan dengan
rongga mulut. Disini terdapat dasar lidah di posterior dari circumvallate papillae, tonsil
lingualis dan valleculae. Bagian lateral terdapat sepasang tonsil palatina, pilar anterior yang
dibentuk oleh otot palatoglossus dan pilar posterior oleh otot palatopharyngeus. Orofaring
berperan dalam pembentukan suara tertentu, proses menelan, pengecap rasa terdapat pada
dasar lidah, pilar anterior, palatum molle dan dinding faring posterior. Serta berperan dalam
sistem kekebalan tubuh oleh waldeyer’s ring (tonsil pharyngeal, tonsil palatina, tonsil
lingualis, tonsil tubal pada fossa rosenmuller, lateral pharyngeal bands, nodul-nodul pada
dinding faring posterior).

Gambar dasar lidah dan struktur dalam orofaring

Hipofaring merupakan bagian terbawah dari faring berada setinggi servikal ketiga
sampai servikal keenam. Secara klinis terbagi menjadi tiga bagian; sinus piriformis, regio
postcricoid, dan dinding faring posterior. Sinus piriformis berada dikedua sisi laring dari
lipatan pharyngoepiglottic sampai awal oesophagus, corpus alineum mungkin tersangkut
pada area ini. Regio postcricoid merupakan bagian dinding anterior laringofaring diantara
batas atas dan bawah lamina krikoid. Dan dinding faring posterior berada setinggi tulang
hyoid sampai cricoarytenoid joint.

7
2.2 Definisi Faringitis
Faringitis adalah inflamasi mukosa dan submukosa pada tenggorokan. Penyebab
faringitis tidak selalu infeksi. Jaringan yang terkena mencakup orofaring, nasofaring,
hipofaring, tonsil, dan adenoid. Karena banyak jaringan limfoid, area pada faring rentan
terhadap perubahan yang reaktif, terutama terhadap organisme yang patogen. Infeksi saluran
pernafasan merupakan penyakit menular paling umum di dokter pelayanan primer dan
mewakili hingga 80% dari semua episode penyakit menular. Faringitis, termasuk tonsilitis,
merupakan 15% dari semua kunjungan.(1,2)

Kebanyakan faringitis didiagnosis dengan evaluasi klinis dan biasanya menanggapi


pengobatan dengan antibiotik atau obat simtomatik, atau mereka menyelesaikan dengan
waktu. Pengecualian terjadi, terutama dengan infeksi yang disebabkan oleh organisme
oportunistik dan dalam kasus-kasus neoplastik pertumbuhan meniru presentasi klinis infeksi.
keganasan dicurigai memerlukan pengambilan sampel jaringan untuk menetapkan diagnosis
definitif dan panduan terapi yang tepat. Dalam kasus ini, ahli patologi bedah menjadi anggota
integral dari tim klinis.

2.3 Etiologi
Penyebab dari faringitis sendiri sangat banyak yaitu, infeksi (bakteri, virus, dan
fungal), penyakit granulamatous dan lain-lain (seperti faringitis radiasi, gangguan integumen,
faringitis reflux, faringitis idiopatik). Faringitis terutama dan tersering disebabkan oleh
infeksi bakteri dan virus di klinik.(1,2)

Penyebab faringitis
Infeksi Penyakit granulomatous Lain-lain
Bakteri: Dapat berkaitan dengan 1. faringitis radiasi,
1. Streptococcus inflamasi kronik oleh bakteri, 2. gangguan pada
pyogenes, mikobakteri, fungi, syphilis, integumen: sindrom
2. Staphylococcus parasit, sarcoid, Wegener stevens-johnson,
aureus, granulomatosis, penyakit pemphigus
3. Diplococcus Crohn, dan neoplasma 3. faringitis reflux,
pneumoniae, 4. faringitis idiopatik
4. Cory-nebacterium
diphtheriae,
5. Bordetella pertussis,
6. Haemophilus in-
fluenzae,
7. Neisseria species
Virus:
1. Herpes simplex virus
2. Measles
3. Epstein-barr virus
4. Cytomegalovirus
5. HIV
Fungal:
1. Candida albicans
Pada faringitis yang infeksius, bakteri atau virus dapat langsung menyerang mukosa
faring, menyebabkan respon inflamasi lokal. virus lainnya, seperti rhinovirus dan

8
coronavirus, dapat menyebabkan iritasi faring mukosa sekunder dengan adanya sekresi
mukosa hidung.(5)

Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal dan pelepasan racun ekstraseluler
dan protease. Selain itu, protein framen M dari serotipe streptokokus beta hemolitikus
tertentu mirip dengan antigen sarcolemma miokard dan terkait dengan demam rematik dan
kerusakan katup jantung. Tingkat prevalensi serotipe dari streptokokus beta hemolitikus telah
menjadi langka selama beberapa tahun terakhir. Glomerulonefritis akut pasca infeksi
streptokokus beta hemolitikus dapat terjadi akibat deposisi kompleks antigen-antibodi dalam
glomeruli.(6)

2.3.1 Faringitis bakterial


Pada faringitis bakterial umumnya tidak ditemukan rhinorrea, konjungtivitis, dan
batuk. Paling banyak ditemui ialah faringitis oleh streptokokus beta hemolitikus, terutama
pada anak-anak. Inkubasi sekitar 12 jam sampai 4 hari, pada klinisnya pasien mengeluhkan
sakit tenggorokan, sulit menelan, dan demam >38,50C. Pada jaringan yang inflamasi biasanya
terdapat eksudat purulen. Sekitar 60% pasien mengalami limfadenopati servikal. Insiden
paling tinggi pada usia 5 sampai 15 tahun. Pasien yang diduga infeksi streptokokus harus
segera ditangani guna menghindari sequelae (demam rematik dan glomerulonefritis akut).
Pasien yang tidak ditangani, infeksi streptokokus bertahan 7 sampai 10 hari.

Pasien dengan infeksi stafilokokus biasa ditemukan drainase mukopurulen,eritema


pada mukosa, edema, dan pustul terlokalisasi, biasanya pada tonsil. Pada infeksi
corynebacterium (diphteroid/gram positif) dengan exotoxinnya menyebabkan mukosa faring
inflamasi dan nekrosis serta membentuk membran keabu-abuan yang dapat meluas sehingga
berakibat obstruksi jalan napas. Diagnosis dan penanganan yang tepat harus segera karena
berpotensi kolapsnya sistem respirasi dan sirkulasi yang berakhir dengan apnea/kematian.

Bordetella pertussis penyebab pertusis dengan klinis batuk keras/kasar paroksismal


dengan suara napas inspirasi yang keras (whooping cough).bakteri ini termasuk kokobasil
gram negatif nonmotil, inkubasi sekitar 1 minggu. Diikuti tiga fase klinis, fase kataral 1-2
minggu demam subfebris dan gejala infeksi saluran napas atas, fase paroksismal ditandai
batuk dan tidak demam selama 2 sampai 4 minggu, fase konvalens selama 1 sampai 2
minggu.

Penyebab faringitis pada menular seks oleh Neisseria gonorrhoeae (gram negatif).
Umumnya asimtompmatik tapi dapat muncul gejala sakit tenggorokan,hipertrofi tonsil,
adenopati servikal. Gonorrhoeae menginvasi mukosa dan kelenjar yang menyebabkan
ulserasi epitel dan infiltrasi polimorfonuklear.

2.3.2 Faringitis viral


Virus merupakan penyebab paling umum faringitis dan mungkin mempunyai
presentasi klinis yang mirip dengan faringitis bakterial. Eritema dan edema mukosa dapat
ditemukan tetapi adanya drainase mukopurulen mengarah pada faringitis bakterial primer
maupun sekunder. Infeksi bisa disebabkan herpes simplex virus, measles, epstein-barr virus,
cytomegalovirus, HIV dan lainnya.

9
2.3.3 Faringitis fungal
Infeksi jamur umumnya tidak menyebabkan faringitis, kecuali pada pasien
imunosupresi atau pasien lemah dengan penyakit kronis. Pada pasien ini, biasanya organisme
adalah agen oportunistik dan dapat menghasilkan penyakit sistemik dengan konsekuensi yang
mematikan. Populasi pasien ini termasuk orang-orang dengan kanker, transplantasi, pasien
yang menjalani pengobatan dengan agen imunosupresif, dan orang-orang dengan AIDS.

2.4 Faringitis streptokokus beta hemolitikus

2.4.1 Patofisiologi
Streptokokus beta-hemolitik memiliki kemampuan untuk menyebabkan zona besar
hemolisis pada agar darah, ini membantu dalam identifikasi mikrobiologi.(16) Antigen
Lancefield, karbohidrat dalam dinding sel, memberikan diferensiasi lebih lanjut dari
streptokokus. S pyogenes, yang berisi kelompok A antigen dan menampilkan beta-hemolisis,
adalah spesies yang paling umum disebut sebagai kelompok A streptokokus beta-hemolitik.
Subspesies Streptococcus dysgalactiae equisimilis dan beberapa spesies dari kelompok
anginosus streptokokus dapat berbagi karakteristik laboratorium dengan S pyogenes, tetapi
tidak sering menyebabkan penyakit pada manusia. Lihat gambar di bawah ini.

Mungkin faktor virulensi yang paling penting dari streptokkokus beta hemolitik
adalah protein M. Protein ini, terletak perifer pada dinding sel, diperlukan untuk infeksi
invasif. sel T terkena protein M ini mendasari untuk bereaksi silang dengan epitop serupa di
miosin jantung manusia dan laminin, berkontribusi terhadap patogenesis penyakit jantung
rematik.(17) Protein ini memberikan target potensial untuk vaksin streptokokus beta
hemolitikus, meskipun implementasi luas sukses vaksin tersebut tetap sulit dipahami.(18)
Lebih dari 100 serotipe M-protein telah dijelaskan. Meskipun individu sering
mengembangkan kekebalan seumur hidup untuk satu serotipe, infeksi ulang dengan serotipe
yang berbeda dapat menyebabkan penyakit.

10
Streptokokus beta hemolitik berisi kapsul asam hyaluronic, yang juga memainkan
peran penting dalam infeksi.(19) Bakteri yang menghasilkan jumlah besar kapsul ini pameran
penampilan berlendir karakteristik pada agar darah dan mungkin lebih ganas.

2.4.2 Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Penyebab dari faringitis oleh virus dan bakteri mungkin serupa, dan membedakan
penyebab sulit hanya berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik saja. Misalnya saja seperti
tanda dan gejala saja tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan atau mendiagnosa faringitis
streptokokus beta hemolitikus.(7) Meskipun demikian, presentasi klasik dijelaskan di bawah.

 Infeksi streptokokus beta hemolitikus paling sering terjadi pada anak usia 4-7 tahun.
 Onset tiba-tiba sesuai dengan faringitis streptokokus beta hemolitikus. Ada
sebelumnya batuk dan pilek sebelumnya lalu diikuti faringitis beberapa hari lebih
sesuai dengan faringitis viral.
 Orang telah melakukan kontak dengan orang lain didiagnosis dengan streptokokus
beta hemolitikus atau demam rematik dengan gejala yang konsisten lebih mungkin
untuk memiliki faringitis streptokokus beta hemolitikus.
 Sakit kepala
 Batuk biasanya tidak terkait dengan infeksi streptokokus beta hemolitikus.
 Muntah dikaitkan dengan infeksi streptokokus beta hemolitikus tapi bisa muncul pada
faringitis dengan sebab lain.
 Riwayat kontak orogenital terbaru menunjukkan kemungkinan faringitis gonokokal.
 Riwayat demam rematik penting ketika mempertimbangkan pengobatan.

Dalam pemeriksaan fisik yang mungkin didapat pada faringitis streptokokus beta
hemolitikus sebagai berikut: demam, eritema tonsillopharyngeal, eksudat (tambal sulam dan
diskrit), uvula bengkak merah, limfadenopati (tender anterior serviks node), petechiae pada
langit-langit, ruam scarlatiniform (pada host yang rentan, ini biasanya bermanifestasi dalam
dua hari pertama dan menyebabkan papul halus, dan ruam eritematosa. Biasanya mulai dari
leher kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. Lalu, resolusi setelah 3-4 hari dan
sering mengakibatkan deskuamasi pada daerah yang terlibat.)

Suatu cara telah dikembangkan untuk membantu menentukan kemungkinan faringitis


streptokokus beta hemolitikus berdasarkan adanya demam, bengkak pada kelenjar getah
bening leher anterior, dan eksudat pada tonsil dan tidak adanya batuk. Skor dapat digunakan
untuk membedakan mana pasien pantas untuk evaluasi laboratorium lebih lanjut atau
pengobatan. Penggunaan algoritma klinis seperti telah menjadi sumber perdebatan.(8,9) Sistem
skor ini awalnya dikembangkan sebelum ketersediaan rapid antigen detection test dan
mungkin bisa membantu dalam menentukan pasien untuk menguji faringitis streptokokus
beta hemolitikus tapi kurang spesifik cukup untuk memutuskan pasien yang membutuhkan
terapi antibiotik dan mungkin mengakibatkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu.(8)

Dan untuk membedakan faringitis streptokokus beta hemolitikus dengan yang


lainnya, pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan mungkin:

11
 Demam biasanya tidak ada atau ringan di faringitis virus, tapi demam tidak dapat
diandalkan untuk membedakan etiologi virus atau bakteri.
 Konjungtivitis mungkin berhubungan dengan adenovirus.
 Ikterus scleral dapat dilihat pada infeksi mononukleosis.
 Rhinorrhea biasanya dikaitkan dengan penyebab virus.
 Tonsilofaringeal / palatal petechiae terlihat pada infeksi GAS dan mononukleosis
menular.
 Eksudat pada tonsilofaringeal dapat dilihat pada mononucleosis streptokokus menular
dan kadang-kadang pada infeksi M. pneumoniae, C. pneumoniae, A. haemolyticus,
adenovirus, dan virus herpes. Oleh karena itu, eksudat tidak membedakan penyebab
virus dan bakteri.
 Lesi vesikular orofaringeal terlihat pada coxsackievirus dan herpes. Vesikel
bersamaan pada tangan dan kaki berhubungan dengan coxsackievirus (hand-foot-and-
mouth disease).
 Limfadenopati: nodul servikal anterior yang nyeri konsisten dengan infeksi
streptokokus, sedangkan adenopati menyeluruh konsisten dengan infeksi
mononucleosis atau sindrom lymphoglandular akut infeksi HIV.
 Adanya murmur harus berkenaan setelah episode akut faringitis harus dipantau karena
potensi demam rematik.
 Faringitis dan infeksi saluran pernapasan bawah yang lebih konsisten dengan
pneumoniae M atau C pneumoniae, terutama ketika batuk nonproduktif terus-
menerus.
 Ruam scarlatiniform bisa timbul pada infeksi streptokokus beta hemolitikus.(10)

2.4.3 Penegakan diagnosis


Kriteria Centor telah digunakan di masa lalu sebagai cara untuk mendiagnosa dan
mengobati faringitis streptokokus beta hemolitikus.(9) Kriteria ini meliputi:

 Demam,
 Limfadenopati servikal anterior,
 Eksudat pada tonsil,
 Tidak adanya batuk.

Satu skor utnuk masing-masing kriteria yang terpenuhi dari emapat kriteria yang ada,
dengan pasien skor 0-1 tidak memiliki infeksi faringitis streptokokus beta hemolitikus dan
pasien dengan skor 4 lebih cenderung mengalami faringitis streptokokus beta hemolitikus.
Diagnosis klinis faringitis streptokokus beta hemolitikus menggunakan kriteria ini dapat
mengakibatkan terlalu tinggi dari kejadian faringitis streptokokus, karena banyak kasus
bakteri dan virus dari faringitis dapat dibedakan atas dasar klinis. Hal ini dapat menyebabkan
penanganan berlebihan (tidak sesuai) faringitis dengan antibiotik.(8)Pada orang dewasa, nilai
prediksi positif kriteria Centor untuk memprediksi faringitis streptokokus beta hemolitikus
adalah sekitar 40% jika 3 kriteria terpenuhi, dan sekitar 50% jika 4 kriteria
terpenuhi.(11)Kriteria ini bersama dengan fitur klinis lainnya harus digunakan untuk memandu
pengobatan faringitis pada orang dewasa.

12
2.6 Manajemen faringitis
Penanganan faringitis tidak rumit kecuali adanya masalah pada jalan napas. Intubasi
tidak harus dipasang kecuali pasien berhenti bernapas secara spontan. Langkah-langkah
darurat yang mungkin dilakukan sebagai berikut:

 Menilai dan mengamankan jalan napas, jika perlu.


 Menilai pasien untuk tanda-tanda toksisitas, epiglotitis, atau abses orofaringeal.
 Mengevaluasi status hidrasi, dan rehidrasi yang diperlukan.
 Menilai untuk infeksi streptokokus beta hemolitik jika dicurigai secara klinis.

Sebagian besar kasus, apakah virus atau bakteri, relatif jinak dan self limited disesase.
Manajemen infeksi streptokokus beta hemolitik, ketika ditunjukkan, meliputi:

 Jangan mengobati pasien tanpa kultur positif atau hasil rapid antigen detection test
positif
 Melakukan rapid antigen detection test jika streptokokus beta hemolitik secara klinis
diduga atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik; jika hasil tes positif, mulai terapi
antibiotik
 Pasien yang positif untuk semua kriteria 4 Centor sering dapat diobati dengan
antibiotik tanpa tes antigen atau kultur
 Kontak rumah tangga pasien dengan infeksi streptokokus beta hemolitik atau demam
scarlet harus dirawat selama 10 hari penuh antibiotik tanpa pengujian hanya jika
mereka memiliki gejala yang konsisten dengan streptokokus beta hemolitik; kontak
tanpa gejala tidak seharusnya diperlakukan
 Jika diagnosis diragukan atau kriteria di atas tidak terpenuhi, inisiasi terapi antibiotik
harus menunggu hasil kultur atau rapid antigen detection test.

2.7 Komplikasi faringitis streptokokus


Kejadian komplikasi dengan infeksi streptokokus beta hemolitik, seperti demam
rematik dan abses peritonsillar, jauh lebih rendah dari umumnya.(13) Abses peritonsilar terjadi
pada kurang dari 1 persen dari pasien yang diobati dengan antibiotik.(12) Pasien dengan abses
peritonsillar biasanya memiliki penampilan yang toksik dan dapat muncul dengan "hot potato
voice," massa peritonsillar berfluktuasi, dan deviasi asimetris uvula. Namun, kesan klinis
hanya cukup akurat dalam mendiagnosis abses peritonsilar (sensitivitas 78 persen dan 50
persen kekhususan dalam salah satu seri dari 14 pasien).(14) Pemeriksaan USG intraoral
merupakan tes diagnostik yang akurat jika abses diduga.

Demam rematik harus dicurigai pada pasien dengan pembengkakan dan nyeri sendi,
nodul subkutan, eritema marginatum atau murmur jantung, dan dikonfirmasi infeksi
streptokokus pada bulan sebelumnya. Pasien akan memiliki antistreptolisin-O titer tinggi dan
meningkatnya laju endap darah.

Glomerulonefritis poststreptokokus beta hemolitikus adalah komplikasi yang jarang


pada faringitis streptokokus, meskipun pengobatan dengan antibiotik tidak mencegahnya.

13
Pasien datang dengan hematuria dan edema dengan sebelumnya telah ada infeksi
streptokokus baru-baru ini dengan antistreptolisin-O titer tinggi.

Demam scarlet dikaitkan dengan faringitis streptokokus beta hemolitikus dan


biasanya dipresentasikan sebagai belang-belang, eritematosa, eksantema. Ruam ditemukan di
leher, pangkal paha, dan aksila, dan dalam lipatan tubuh dan lipatan garis pastia
.(10,12,15)Faring dan tonsil terlihat eritematosa dan ditutupi dengan eksudat. Lidah mungkin
merah terang dengan lapisan putih (lidah stroberi).(10)

BAB III

Kesimpulan

Faringitis adalah inflamasi mukosa dan submukosa pada tenggorokan. Penyebab


faringitis tidak selalu infeksi. Perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang akurat sehingga
dapat terhindar dari komplikasi terutama pada anak-anak yang bisa berakhir dengan demam
rematik, jantung rematik bahkan sampai terjadi kelainan katup jantung, dan glomerulonefritis
akut. Faringitis merupakan penyakit yang mudah ditemui pada pelayanan primer sehingga
harus hati-hati dalam menentukan penanganan terutama pemilihan adan penggunaan
antibiotik yang tidak tepat rentan resisten terhadap mikroba.

Daftar pustaka

1. Johnson J, et al. Bailey's Head and Neck Surgery: Otolaryngology, ed 5th, vol 1.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
2. Cummings CW, et al.Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery, ed 4th.
Elsevier mosby. 2005.
3. Tuli BS, et al. Textbook of Ear, Nose, and Throat, ed 2nd. Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2013.
4. Dhingra PL, et al. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, ed
6th. Elsevier India. 2014.
5. Twefik TL, Al Garni M. Tonsillopharyngitis: Clinical highlights. J of Otolaryngology.
2005.
6. Mostov PD. Treating the immunocompetent patient who presents with an upper
respiratory infection: pharyngitis, sinusitis, and bronchitis. Prim Care. 2007 Mar.
34(1):39-58.
7. Shaikh N, Swaminathan N, Hooper EG. Accuracy and precision of the signs and
symptoms of streptococcal pharyngitis in children: a systematic review. J Pediatr.
2012 Mar. 160(3):487-493.e3.[Medline].

14
8. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, et al. Clinical practice guideline for the diagnosis
and management of group A streptococcal pharyngitis: 2012 update by the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2012 Nov 15. 55(10):1279-
82. [Medline].
9. Centor RM, Allison JJ, Cohen SJ. Pharyngitis management: defining the
controversy. J Gen Intern Med. 2007 Jan. 22(1):127-30. [Medline].

10. Gerber MA. Diagnosis and treatment of pharyngitis in children. Pediatr Clin North
Am. 2005 Jun. 52(3):729-47, vi. [Medline].
11. Wagner FP, Mathiason MA. Using centor criteria to diagnose streptococcal
pharyngitis. Nurse Pract. 2008 Sep. 33(9):10-2. [Medline].
12. Ebell MH, Smith MA, Barry HC, Ives K, Carey M. The rational clinical examination.
Does this patient have strep throat?. JAMA. 2000;284:2912–8.
13. Crump J, Harrison V, Shope T, Rion R. Pharyngitis. Guidelines for clinical care.
Accessed July 17, 2003, at: http://cme.med.umich.edu/pdf/guideline/phrngts.pdf.
14. Scott PM, Loftus WK, Kew J, Ahuja A, Yue V, van Hasselt CA. Diagnosis of
peritonsillar infections: a prospective study of ultrasound, computerized tomography
and clinical diagnosis. J Laryngol Otol. 1999;113:229–32.
15. Kaplan EL. Streptococcal infections. In: Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ, Krugman
S, eds. Krugman’s Infectious diseases of children. 10th ed. St Louis: Mosby,
1998:487–500.
16. Spellerberg B, Brandt C. Streptococcus. Manual of Clinical Microbiology. 9th
edition. 2007. 412-29.
17. Guilherme L, Kalil J, Cunningham M. Molecular mimicry in the autoimmune
pathogenesis of rheumatic heart disease. Autoimmunity. 2006 Feb. 39(1):31-
9. [Medline].
18. Dale JB. Current status of group A streptococcal vaccine development. Adv Exp Med
Biol. 2008. 609:53-63. [Medline].
19. Stollerman GH, Dale JB. The importance of the group a streptococcus capsule in the
pathogenesis of human infections: a historical perspective. Clin Infect Dis. 2008 Apr
1. 46(7):1038-45. [Medline].

15

Anda mungkin juga menyukai