Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-
negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat
inflasi antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2014, Indonesia memiliki rata-rata tingkat
inflasi tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama. Bagian ini mendiskusikan
mengapa tingkat inflasi Indonesia tinggi, menyediakan analisis mengenai tren-tren
terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa mendatang di Indonesia yang
merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Institusi-institusi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia
mengkritik Pemerintah Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik murah
untuk para penduduknya karena kebijakan ini menyebabkan kelemahan-kelemahan
finansial (terutama karena Indonesia telah berubah menjadi importir minyak netto di tahun
2000-an), membatasi investasi Pemerintah untuk sektor-sektor yang lebih produktif
(bahkan bahan bakar yang murah mendukung penjualan mobil di negara ini dan karena
sebagian besar infrastrukturnya tidak layak maka kemacetan lalu lintas meningkat di kota-
kota besar Indonesia), mendistorsi perekonomian dengan menjaga harga secara artifisial
lebih rendah, dan, terakhir, kelas menengahlah yang paling diuntungkan dari rendahnya
harga bahan bakar, bukan segmen penduduk miskin dalam masyarakat Indonesia (yang
menjadi sasaran).
Kendati ada protes sosial, pengurangan subsidi energi Indonesia tetap menjadi prioritas
utama agenda Pemerintah Pusat. Pada awal 2012, Pemerintah mengajukan kenaikan
harga bahan bakar namun kegelisahan sosial dan oposisi politik di parlemen
menyebabkan peningkatan tiba-tiba mustahil. Akhirnya, pada Juni 2013, premium
dinaikkan 44% menjadi Rp 6.500 dan solar sebesar 22% menjadi Rp 5.500 per liter karena
subsidi bahan bakar yang besar mengancam untuk mendorong defisit APBN melewati
level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sedangkan hukum Indonesia melarang defisit
APBN untuk melewati 3% dari PDB. Dalam rangka mendukung segmen masyarakat
miskin, Pemerintah melaksanakan program-program Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Kendati begitu, inflasi meningkat menjadi 8,4% pada basis year-on-year (y/y) pada akhir
tahun.
Namun, kendati ada kenaikan harga di 2013, porsi yang signifikan dari harga bahan bakar
Indonesia tetap disubsidi, sementara kenaikan harga bahan bakar menuntut peningkatan
terus-menerus, dan karenanya Bank Dunia, IMF dan Kantor Dagang & Industri Indonesia
(Kadin) terus menekankan pentingnya menghentikan program ini. Setelah Joko Widodo
yang berpola pikir pembaharuan (reform-minded) memenangkan pemilihan presiden dan
dilantik sebagai presiden ke-7 Indonesia pada Oktober 2014, salah satu tindakan
pertamanya adalah menaikan harga bahan bakar bersubsidi. Premium dinaikkan dari Rp
6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sementara diesel dinaikkan dari Rp 5.500 menjadi Rp
7.500 per liter. Ini berarti bahwa laju inflasi negara ini, yang telah mulai melambat menuju
level target Bank Indonesia pada 4,5%, tidak memiliki waktu untuk semakin pulih dan
berakselerasi kembali menjadi 8,4% (y/y) pada akhir tahun 2014.
Pada awal tahun 2015, Presiden Joko Widodo memiliki keuntungan karena harga minyak
mentah global telah turun dramatis sejak pertengahan 2014 karena lambatnya permintaan
global sedangkan suplai kuat karena angka-angka produksi minyak yang terus-menerus
tinggi di negara-negara OPEC dan revolusi gas shale AS. Karenanya, Widodo
memutuskan untuk melakukan tindakan yang berani. Dia pada dasarnya menghapus
subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk diesel.
Pemerintah Indonesia tetap menentukan harga bensin dan diesel (disesuaikan setiap
kuartalnya) namun harga akan berfluktuasi sejalan dengan harga internasional. Meskipun
begitu, karena harga minyak mentah dunia agak pulih di pertengahan pertama tahun
2015, inflasi Indonesia tetap tinggi di pertengahan 2015 dan hanya mulai menurun di akhir
2014. Bank Indonesia tetap memprediksi inflasi 2015 sekitar 4% (y/y).
Karakteristik tingkat inflasi yang tidak stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih
besar dibandingkan biasanya dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia. Akibat
dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi, seperti
biaya peminjaman yang lebih tinggi di negara ini (domestik dan internasional)
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Saat rekam jejak yang baik
mengenai mencapai target inflasi tahunan terbentuk, kredibilitas kebijakan moneter yang
lebih besar akan mengikutinya. Namun, karena inflasi yang tidak stabil terutama
disebabkan karena penyesuaian harga bahan bakar bersubsidi, kami memprediksi akan
terjadi lebih sedikit deviasi antara target awal dan realisasi inflasi ke depan.
Harga-harga bahan pangan sangat tidak stabil di Indonesia (rentan terhadap kondisi
cuaca) dan kemudian meletakkan beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga
yang berada di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah tangga
ini menghabiskan lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka
untuk makanan, terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga makanan yang lebih tinggi
menyebabkan inflasi keranjang kemiskinan yang serius yang mungkin meningkatkan
persentase penduduk miskin. Panen-panen yang gagal dikombinasikan dengan reaksi
lambat dari Pemerintah untuk menggantikan produk-priduk makanan lokal dengan impor
adalah penyebab tekanan inflasi.
Inflasi Tahunan Menurut Kelompok (%):
Bila tidak memperhitungkan penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah, ada dua
puncak inflasi tahunan yang biasanya terjadi di Indonesia. Periode Desember-Januari
selalu menjadi waktu kenaikan harga-harga karena perayaan-perayaan Natal dan Tahun
Baru. Selain itu, banjir yang sering terjadi di bulan Januari (karena puncak musim hujan)
menyebabkan gangguan jalur-jalur distribusi di beberapa daerah dan kota, dan karenanya
menyebabkan biaya logistik yang lebih tinggi. Puncak inflasi kedua terjadi di periode Juli-
Agustus. Tekanan-tekanan inflasi di kedua bulan ini terjadi sebagai dampak dari masa
liburan, bulan suci puasa umat Muslim (Ramadan), perayaan-perayaan Idul Fitri dan awal
tahun ajaran baru. Peningkatan yang signifikan bisa dideteksi dalam belanja makanan
dan barang-barang konsumen lain (seperti baju, tas dan sepatu), diikuti dengan tindakan
para retailer yang menaikkan harga.
Kebijakan Moneter dan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI Rate)
Dengan pertumbuhan PDB tahunan naik rata-rata 5% sampai 6% (y/y) selama satu
dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah berekspansi dengan cepat, dengan
karakteristik naiknya permintaan domestik (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar
55% dari total pertumbuhan ekonomi negara ini), pertumbuhan kredit sektor swasta yang
subur dan peningkatan akses bisnis untuk kredit. Terlebih lagi, gaji sektor publik telah
meningkat karena reformasi administratif dan pertumbuhan gaji sektor swasta telah
berakselerasi (upah minimum regional Indonesia dinaikkan secara signifikan pada tahun
2012-2014). Karena pertumbuhan ekonomi yang subur membawa tekanan-tekanan
inflasi, kebijakan-kebijakan moneter baru-baru ini (sejak 2013) bertujuan untuk
mengamankan stabilitas keuangan negara ini, tertutama setelah inflasi naik akibat
reformasi harga bahan bakar bersubsidi pada periode 2013-2015 sementara akhir dari
program quantitative easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga AS)
menyebabkan capital outflows besar-besaran dari negara-negara berkembang
(menyebabkan pelemahan tajam mata uang negara-negara berkembang), termasuk
Indonesia. Kebijakan moneter Bank Indonesia yang lebih ketat dilaksanakan dengan
mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Bank Indonesia (BI) memiliki tujuan utama memastikan kestabilan rupiah. BI
menggunakan instrumen-instrumen dalam cakupan luas untuk mengurangi tekanan-
tekanan inflasi di negara ini. Kebijakan suku bunga bank disesuaikan ketika target inflasi
tidak tercapai. Antara Februari 2012 sampai Juni 2013, suku bunga acuan negara ini (BI
rate) telah ditetapkan pada level terendah dalam sejarah pada 5,75%. Setelah periode ini,
tekanan-tekanan inflasi meningkat karena reformasi harga bahan bakar bersubsidi dan
ketidakjelasan global mengenai kebijakan moneter AS. Capital outflows yang
mengikutinya mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah secara tajam. Oleh karena itu,
mulai dari pertengahan 2013, Bank Indonesia menyesuaikan BI rate-nya dengan
menaikkannya secara bertahap namun agresif dari 5,75% menjadi 7,75%. Tindakan ini
juga membawa kepada penurunan pertumbuhan kredit di Indonesia.