Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

CAIRAN KRISTALOID
Robert G. Hahn

Secara terminologi, cairan kristaloid mengacu kepada larutan air steril


yang mengandung molekul-molekul kecil, seperti garam dan glukosa, yang
mampu terkristalisasi. Zat-zat terlarut ini mudah menembus membran kapiler,
yang merupakan lapisan tipis yang memisahkan volume plasma dari volume
cairan interstitial. Proses distribusi zat terlarut menggunakan air. Oleh sebab itu,
volume cairan kristaloid tersebar melalui ruang ekstraseluler.
Osmolalitas ialah jumlah partikel yang larut didalam larutan air.
Osmolalitas cairan tubuh sekitar 295 mosmol/kg dan merupakan gaya dorong
dalam distribusi air. Namun, baik jenis partikel terlarut dan osmolalitas dari
larutan yang menentukan tonisitas, seperti sampai batas mana cairan infus
menghidrasi atau mendehidrasi ruang intraseluler.
Jika larutan pada cairan infus tetap berada diluar sel, sebagai contoh
sodium dan klorida, maka osmolalitas dan tonisitas sesuai. Suatu cairan infus
yang iso-osmotik disebut isotonik. Sebaliknya, jika osmolalitas dan tonisitas tidak
seimbang pada saat dimana zat terlarut dengan mudah melakukan penetrasi ke
membran sel, yang memisahkan ruang ekstraseluler dan intraseluler. Contohnya
adalah ethanol, yang secara nyata meningkatkan osmolalitas tubuh tapi tanpa
redistribusi air. Sehingga, ethanol dikatakan memiiki tonisitas rendah.
Membran sel mengatur distribusi dari berbagai zat terlarut uang melewati
membran sel dengan baik melalui mekanisme pompa yang mengkonsumsi energi,
yang juga memodifikasi distribusi air. Mekanisme pompa ini bergerak secara
perlahan (menit hingga jam) sementara perubahan osmolalitas mendistribusikan
air setiap detiknya.
Cairan infus kristaloid yang dijual bebas biasanya bersifat isotonik atau
hampir isotonik. Namun, mereka menambah volume ekstraseluler tidak dengan
volume intraseluler.
NORMAL SALINE
Cairan saline 0,9% merupakan cairan isotonik dan oleh sebab itu disebut cairan
fisiologis atau “normal”. Cairan ini mengandung sejumlah ion klorida dan tidak
memiliki buffer (Tabel 1.1) namun, pemberian infus 2 L atau lebih dapat
mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik hiperkloremia.
Pada orang dewasa, normal saline sebaiknya diutamakan pada pasien
alkalosis metabolik hiperkloremia dengan penyakit yang berhubungan dengan
muntah. Cairan ini lebih berperan dalam terapi cairan perioperatif anak-anak
dimana risiko hiponatremia subakut lebih berbahaya dibandingkan pada orang
dewasa (lihat bab 8- Pediatri).
Ketika infus diberikan kepada orang sehat, normal saline dapat
menyebabkan nyeri perut, namun bukan pada penggunaan Ringer laktat. Cairan
ini juga memiliki dampak yang tidak diinginkan seperti asidosis, bila digunakan
selama operasi.
Normal saline diekskresikan lebih lambat baik cairan ringer asetat maupun
ringer laktat, efek peningkatan volume (efisiensi) pada plasma sekitar 10% lebih
besar dibanding larutan Ringer’s.
Saline juga diperjual belikan dalam bentuk larutan hipertonik dengan
konsentrasi 3% dan 7.5%. Dengan tujuan utama untuk meningkatkan kadar
sodium serum pada pasien yang dirawat inap, dimana kemudian digunakan dalam
meningkatkan volume plasma pada pasien gawar darurat. Pada orang normal,
saline 7.5% empat kali lebih efektif sebagai peningkat volume plasma
dibadingkan normal saline.

LARUTAN RINGER
Larutan ringer merupakan komposisi yang dibuat oleh Sidney Ringer pada
tahun 1880-an yang sesuai dengan komposisi larutan ekstraseluler. Alexis
Hartmann kemudian menambahkan buffer laktat pada cairan tersebut sehingga
tercipta larutan Hartmann atau larutan “terlaktat” milik Ringer.
Tabel 1.1 komposisi cairan plasma dan sebagian besar larutan kristaloid pada umumnya.
Osmolalitas pH Na+ K+ Keseimbanan Cl- Glukosa
(mosmol/kg) (mmol/L) (mmol/L) HCO3- (mmol/L) (mmol/L)
(mmol/L)
Plasma 295 7.40 140 3.6-5.1 30 100 5
Saline 0.9% 308 5.0 154 0 0 154 0
Saline 7.5% 2400 3.5-7.0 1250 0 0 1250 0
Ringer Laktat 274 6.5 130 4 30 110 0
Ringer Asetat 270 6.0 130 4 30 110 0
Plasma-Lyte A 294 7.4 140 5 27 98 0
Glukosa 5% 278 5.0 0 0 0 0 278
Glukosa 280 6.0 70 0 25 45 139
(2.5%)+
elektrolit
Plasma-Lyte A juga mengandung 23 mmol/L glukonat.
Semua cairan infus dapat mengandng sejumlah kecil elektrolit seperti magnesium dan kalsium
LAKTAT DAN ASETAT
Saat ini larutan ringer yang digunakan sudah mendapat tambahan buffer yang
paling sering dalam bentuk laktat atau asetat. Kedua ion ini dimetabollisme
menjadi bikarbonat didalam tubuh walaupun dengan perbedaan tertentu. Laktat di
metabolisme di hati dan ginjal dengan tujuan untuk memproduksi oksigen dan
karbon dioksida. Asetat dimetabolisme lebih cepat dan disebagian besar jaringan,
dan mengkonsumsi hanya setengah oksigen yang diproduksi oleh oleh bikarbonat
dibandingkan dengan laktat. Meskipun laktat sedikit meningkatkan konsumsi
oksigen, namun juga meningkatkan glukosa dalam plasma, terutama pada pasien
dengan diabetes melitus. Pemberian ringer laktat dalam jumlah besar digunakan
untuk mengawasi asidosis laktat.
Laktat dan asetat merupakan vasodilator. Pemberian secara cepat dapat
memperberat resistensi vaskuler yang normalnya terjadi sebagai respons loading
cairan. Baik laktat maupun asetat keduanya merupakan bahan bakar, meskipun
jumlah kalori 1 L larutan ringer manapun agak rendah (sekitar 5 kcal).
Meskipun perbedaan yang terdapat diantara laktat dan asetat sering
diabaikan, namun beberapa faktor menyarankan penggunaan asetat sebagai buffer
lebih baik dalam menjamin sirkulasi dan pada saat syok.

FARMAKOKINETIK
Selama pemberian infus secara intravena, larutan ringer di distribusikan
dari plasma ke ruang interstitial melalui proses yang membutuhkan waktu sekitar
25-30 menit. Waktu paruh distribusi sekitar 8 menit.
Eleminasi (dengan pencegahan) pada subjek penelitian cukup cepat, cairan
mampu memperlihatkan salah satu kompartemen kinetik, yang telah
diinterpretasikan menunjukan bahwa cairan didistribusikan dari plasma hanya ke
ruang interstitial yang perfusinya baik. Sebaliknya eleminasi cenderung lambat
dimana larutan ringer selalu menunjukkan dua komponen kinetik (lihat Bab 15-
Volume tubuh dan kinetik cairan). Pemberian infus ringer sebanyak 2 L pada
subyek penelitian diikuti oleh pengeluaran cairan seberas 50-80% dari cairan yang
masuk dalam waktu 2 jam, dimana kesesuaian hanya terdapat pada 10-20% pasien
anestesi. Penurunan tekanan darah, vasodilatasi dan aktivasi aksis renin-
aldosteron merupakan faktor yang bertanggung jawab terhadap lambatnya rotasi
larutan ringer selama anestesi dan operasi. Secara harfiah, eleminasi lambat
mempermudah terjadinya edema pada pasien overhidrasi daripada subyek
penelitian.
Untuk kecepatan cairan infus normal yang digunakan selama operasi,
merupakan rasio dari plasma dengan bagian dari ruang interstitial yang mampu
meregang yaitu 1:3, hal ini berarti 30% dari cairan infus tertahan di plasma (bila
kita mengabaikan eleminasi). Namun, dapat dipertimbangkan efek distribusi yang
dihasilkan dari ekspansi volume plasma yang berlebihan daripada anjuran yang
dihasilkan darihubungan ini selama pemberian infus tetap berlanjut.
Distribusi cairan ke ruang interstitial dengan tujuan loading cairan
kristaloid menghasilkan ikatan dengan interstitial gel. Namun, cairan bebas dapat
terakumulasi secara cepat pada celah jaringan jika pemberian cairan infus
kristaloid dibutuhkan secara cepat sehingga tekanan ruang interstitial yang
normalnya negatif menjadi positif. Hal ini menyebabkan terjadinya pitting edema,
dimana kita dapat memperkirakan bahwa rasio 1:2 telah berkurang secara tiba-tiba.

PENGGUNAAN KLINIS
Farmakodinamik dari larutan ringer berkaitan erat dengan kapasitasnya
memperluas volume ekstravaskular.
Cairan ini dapat digunakan untuk mengganti cairan yang hilang pada
preoperatif karena diare. Sedangkan muntah harus digantikan dengan normal
saline.
Larutan ringer sering kali digunakan (volumenya sekitar 500 ml) untuk
mengkompensasi volume darah dengan memperluas cabang pembuluh darah yang
terbentuk dari induksi baik regional maupun general anestesi.
Larutan ringer mengembalikan perubahan yang terjadi akibat kompensasi
tekanan darah dan saraf simpatik sebagai akibat dari hipovolemik. Terdapat
beberapa laporan yang mengkonfirmasi bahwa larutan ringer dapat diberikan
sebagai tatalaksana pertolongan pertama pada perdarahan hebat akibat ekspansi
volume plasma.
Sebaliknya, larutan kristaloid tidak ada mengembalikan hipotensi yang
disebabkan oleh obat-obatan. Jika bolus kristaloid tidak memiliki efek
mengembalikan hipotensi selama operasi, dokter anestesi sebaiknya mengganti
strategi dengan meringankan anestesi, atau memadukan terapi dengan agen
adrenergik daripada memberikan beberapa liter cairan kristaloid.
Karena cairan kristaloid tidak mahal dan tidak memberi reaksi alergi,
larutan ringer seringkali digunakan untuk mengganti kehilangan darah dalah
jumlah kecil sementara koloid digunakan bila kehilangan mencapai 10-15%
volume tubuh. Dosis rekomendasi untuk memberikan infus ringer laktat adalah
tiga kali dari jumlah perdarahan (prinsip 3:1). Jika kaki pasien ditempatkan
dengan posisi memijak, penggantian 2:1 dapat digunakan sementara yang ketiga
diberikan secara bolus ketika tungkai lebih rendah dari posisi memijak.

DOSIS
Laju dan volume infus cairan ringer bervariasi selama operasi.
Pada wanita dewasa sehat, pemberian infus ringer secara cepat ( 2L dalam
waktu 15 menit) dapat menyebabakn rasa baal, dyspnea dan nyeri kepala. TIdak
adanya gejala diobservasi setelah pemberian infus dengan volume yang sama
secara perlahan. Lajunya (133 ml/min) tidak boleh berlebiha bila tidak disertai
hipovolemia.
Pada orang tua dan pasien lemah, laju infus kristaloid sebaiknya dikurangi
dan disesuaikan dengan status kardiovaskular.
Loading cairan ang terlalu cepat dapat memberikan komplikasi berupa
edema paru singkat. Baik dilusi protein plasma maupun peningkatan tekanan
jantung dapat memicu seperti edema, yang harus ditangani dengan vasodilatasi
akut, menggunakan diuretik loop dan pemberian tekanan udara positif secara
kontinu (atau tekanan positif akhir respirasi jika pasien menggunakan ventilasi
mekanik).
Risiko udem paru juga dapat terbentuk setelah periode pasca operatif jika
volume infus total selama hari operasi lebih dari 10 L. Arief melaporkan bahwa
terbentuknya udem paru mencapai 7.6% dari 8195 pasien yang melakukan operasi
besar. Tingkat mortalitas kelompok ini 11.9%.
Loading cairan dengan 3 L ringer laktat pada subyek penelitian (dengan
usia rata-rata 63 tahun) menurunkan kapasitas ekspiratori paksa dan puncak laju
aliran.
Hasil penelitian terhadap adanya efek samping pasca operatif yang terjadi
menunjukan bahwa pemberian cairan kristaloid selama operasi kolon sebaiknya
sekitar 4ml/ (kg h) daripada 12 ml/ (kg h). Beberapa hasil penelitian yang serupa
yang akan didiskusikan kedepannya di dalam buku ini memberikan nasihat
kepada dokter anestesi tentang laju infus optimal pada beberapa operasi.
Ada yang fokus tentang penggunaan ringer pada trauma otak, karena
cairan ini sedikit hipotonik (270 mosmol/kg) dan meningkatkan masa sel otak
ketika sistim saraf pusat mengalami trauma. Normal saline merupakan pilihan
yang lebih baik selama operasi bedah saraf. Namun pada subyek penelitian, ringer
asetat tidak meningktkan volume interstitial karena konsentrasi sodium urin hanya
setengah lebih tinggi daripada plasma.
Semua larutan ringer sebaiknya diberikan secara hati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal sebab pasien ini tidak mampu mengekskresikan kelebihan
cairan akibat penggunaan cairan kristaloid.

PLASMA-LYTE
Cairan infus Plasma-Lyte A dibentuk dengan menggunakan komposisi
seimbang dari larutan ringer asetat. Pada cairan ini, konsentrasi sodium dan
klorida lebih identik dengan yang terdapat pada plasma darah.
Untuk memperbaiki peningkatan konsentrasi kation dan penurunan
konsentrasi anion, larutan ini juga menganduk ion negatif gukonat, yang juga
dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air namun tetap hanya memiliki efek
alkali lemah.

LARUTAN GLUKOSA
Larutan glukosa (dextrose) digunakan untuk memberikan kalori untuk mencegah
kelaparan dan juga memberikan cairan tubuh. Cairan ini tersedia untuk menambah
volume intravaskuler dan ekstravaskular. Oleh sebab itu, komponen cairan pada
larutan glukosa didistribusikan melalui cairan tubuh total setelah glukosa
ditambahkan pada air steril dan dimetabolisme menjadi karbon dioksida yang
perlu dikeluarkan melalui ventilasi, dan air.

FARMAKOKINETIK
Cairan glukosa didistribusikan secara cepat lebih dari dua pertiga dari
kapasitas ekstraseluler. Eleminasi terjadi melalui pengambilan dengan insulin
yang dilakukan oleh sel tubuh. Waktu paruhnya sekitar 15 menit pada subyek
penelitian yang sehat namun dua kali lebih lama pada waktu cholecystectomy
dengan laparoskopi. Eleminasi terjadi lebih llambat bila ada diabetes.
Komponen cairan pada glukosa isotonik 2.5% dengan elektrolit dan
glukosa murni 5% (kemudian cairan ini disebut dengan D5W) secara utuh
mengisi volume plasma secara efektif seperti larutan ringer asetat. Cairan ini tidak
memiliki fase distributif, yang berarti bahwa mereka tidak secara signifikan
memperluas ruang interstitial. Sebaliknya, cairan yang meninggalkan plasma
memasuki interstitial karena tekanan osmotik yang mengeleminasi molekul
glukosa. Namun, komponen kinetik cairan pada larutan glukosa bergabung
dengan metabolisme glukosa. Redistribusi cairan lambat terhadap cairan tubuh
total dikarenakan tekanan osmotik dari glukosa berkurang ketika bergabung
dengan molekul glycogen yang besar, dan kemudian menjadi subyek metabolisme.
Glukosa 2.5% dengan elektrolit dan glukosa murni 5% hampir dieleminasi
seluruhnya dalam waktu 2.5 jam pada subyek penelitian (lebih cepat dari ringer).
Beberapa komponen cairan glukosa 5% masih tertinggal di ruang interstitial
waktu itu.
Larutan glukosa 10% dan 20% merupakan larutan hipertonik dan
mengembalikan cairan dari interstitial ke extravaskuler melalui osmosis. Cairan
ini kemudian kembali ke sel ketika glukosa telah dimetabolisme.

PENGGUNAAN KLINIS
Larutan glukosa digunakan secara luas untuk menangani pasien perawatan
yang lemah. Disamping mencegah kelaparan, larutan glokosa menambah volume
intraselular pada pasien yang tidak mampu makan secara oral.
Pada masa perioperatif, pemberian infus glukosa dengan sedikit atau tanpa
elektrolit merupakan cara yang paling masuk akal dalam memenuhi cairan bebas
untuk mengkompensasi penguapan dari jalan napas dan luka operasi.
Komponen glukosa pada cairan ini diindikasikan untuk pasien yang
berisiko terkena hipoglikemia seperti pasien diabetes, ketergantungan alkohol,
hepatoma dam tumor sel islet pankreas. Beberapa oba seperti propanolol,
meningkatkan risiko hipoglikemia.
Sebagai alternatif, terapat beberapa alasan perlunya pemberian glukosa
secara rutin pada perioperatif. Mayoritas perubahan hormonal pada pasien
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah selama operasi (yang
distimulasi oleh glikogenolisis dan glukoneogenesis) untuk menjaga
normoglikemia, atau bahkan mencapai hiperglikemia ringan. Sebaliknya respon
stres memnyebabkan tubuh kesulitan menggunakan glukosa eksogen untuk
membatasi glukoneogenesis dan katabolisme protein.
Pendapat lain menyebutkan hal yang menahan pemberian glukosa saat
perioperatif ialah tingginya kadar glukosa yang memperparah kerusakan serebral
dan dapat menimbulkan henti jantung. Oleh sebab itu, pemberian larutan glukosa
dikontraindikasikan pada pasien stroke akut, dan tidak direkomendasikan pada
operasi yang berhubungan dengan resiko tinggi iskemia serebri pada perioperatif,
seperti operasi arteri carotis dan operasi bypass jantung paru.
Jika digunakan, glukosa murni harus diberikan secara lambat (dikombinasi
dengan cairan lain) atau kalau tidak, risiko hiperglikemia akan timbul.
Larutan glukosa hipertonik (10% dan 20%) harus diawasi dengan
mengukur konsentrasi glukosa plasma. Cairan ini digunakna sebagai suplementasi
kalori cepat pada perawatan pasca operasi dan juga di instalasi perawatan intensif.
Pada dekade terakhir, modifikasi kadar glukosa plasma dengan
menggunakan infus glukosa dan insulin menjadi alat untuk menurunkan
komplikasi dan meningkatkan kelangsungan hidup setelah perawatan intensif dan
operasi jantung. Fungsi jantung mungkin mengalami perbaikan pada pasien yang
telah melakukan operasi jantung dengan pemberian infus yang mengandung
glukosa, insulin dan potasium.
Di Eropa, loading glukosa melalui mulut kadang dilakukan pada sore dan
pagi hari sebelum operasi abdomen dengan tujuan mengurangi mual dan resistensi
insulin.

DOSIS
Kebutuhan dasar glukosa pada orang dewasa sekitar 4 L glukosa 5% per
24 jam (800 kcal), dengan tujuan untuk mencegah kelaparan pada waktu nutrisi
tidak dapat diberikan secara adekuat. Oleh sebab itu, jumlah yang diberikan pada
pasien rawat inap lebih sering berdasar kepada kebutuhan cairan bebas, yaitu 2-3L
per 24 jam. Meskipun jumlah infus secara umum memberikan glukosa yang lebih
rendah dari penggunaannya oleh tubuh, pemberian glukosa mengurangi
kelemahan otot. Seperti yang disebutkan sebelumnya, efek penggantian nitrogen
dari glukosa ini lebih buruk berhubungan dengan operasi akibat mengatasi respon
stres psikologi.
Laju infus glukosa sebaiknya tidak meningkatkan konsentrasi glukosa
plasma diatas dari ambang batas ginjal, yaitu 12-15 mmol/l. Kadar yang lebih
tinggi memicu diuresis osmotik dimana air dan elektrolit keluar karena kontrol
yang buruk. Batasnya dicapai dengan memberikan infus 1 liter glukosa 5% selama
lebih dari 1 jam pada subyek penelitian sehat.
Oleh karena glukosa plasma yang rendah meningkat selama operasi,
sebagian besar dokter anestesi lebih suka menggunakan glukosa 2.5% dengan
elektrolit pada saat perioperatif. Selama operasi cholecystectomy dengan
laparoskopi 1.4 L glukosa 2.5% dengan elektrolit diberikan dalam waktu 60 menit
meningkatkan glukosa plasma dari normal hingga mencapai ambang batas ginjal
untuk diuresis osmotik (16 mmol/l). Batasan yang digunakan untuk mengatur laju
infus dikarenakan risiko hiperglikemia yang membuat baik glukosa 2.5% maupun
glukosa 5% tidak cocok digunakan untuk menambah volume plasma.

HIPONATREMIA
Pemberian infus elektrolit bebas glukosa berulang kali dapat memicu
terjadinya hiponatremia subakut. Komplikasi ini biasanya terjadi 2-3 hari setelah
operasi dan ditandai dengan gangguan neurologis, mual dan muntah. Ketika
gejala timbul, kadar sodium serum biasanya antara 120-130 mmol/l (nilai normal
138-140 mmol/l).
Hiponatremia dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bila tidak
ditangani. Wanita yang menstruasi lebih sering meninggalkan bekas. Operasinya
biasa namun sering memberikan komplikasi seperti hipotensi, dimana konsentrasi
vasopresin meningkat. Gangguan fungsi ginjal dan konsumsi jus lembut yang
mengandung garam dengan bebas setelah operasi merupakan faktor risiko lainnya.
Tatalaksana pada pasien dengan gejala termasuk pemberian saline
hipertonik yang harus diawasi agar tidak terjadi peningkatan serum sodium lebih
cepat dari 1-2 mmol/(l h). Jika hiponatremia tidak muncul setelah operasi,
kemunculannya mungkin terjadi secara bertahap dan serum sodium pada
hiponatremia kronik sebaiknya ditingkatkan lebih lambat (0.5 mmol/ [l h]).
Alasan untuk berhati-hati adalah karena otak beradaptasi dengan osmolalits
rendah dan kerusakan dapat terjadi jika konsentrasi normal mengalami perubahan
secara cepat.

HIPOGLIKEMIA REBOUND
Hipoglikemia sedang dan hipovolemia biasanya terjadi 30 menir setelah
infus glukosa dihentikan secara tiba-tiba pada subyek dengan respon insulin
terhadap glukosa baik atau ketika glukosa diinfus bersamaan dengan insulin.
Komplikasi ini disebut hipoglikemia rebound dan ini merupakan masalah ketika,
contoh, nutrisi parenteral dihentikan.
Komplikasi ini dapat terjadi selama proses melahirkan. Glukosa dari ibu
melewati plasenta dan memicu respon insulin janin. Pada saat lahir, efek insulin
yang kuat masih tersisa pada bayi baru lahir, dimana kapasitas untuk
meningkatkan produksi glukosa endogen masih terbatas. Bahaya hipoglikemia
terbentuk, dapat menyebabkan kejang dan kerusakan otak. Efek rebound dapat
dicegah dengan memberikan infus glukosa tidak lebih cepat dari kebutuhannya
untu mencegah kelaparan, dimana 1 L glukosa selama 6 jam. Aturan praktis
adalah dengan memperlambat aliran infus cairan glukosa pada akhir melahiran.
Situasi kritis yang sama pada bayi baru lahir yang dapat terbentuk jika
loading cairan ibu mengandung glukosa tepat sebelum dilakukan sectio cesarean.
MANITOL
Manitol merupakan isomer dari glukosa yang tidak dimetabolisme tubuh
namun dieleminasi melalui ekskresi ginjal. Molekulnya tetap berada pada cairan
ekstraseluler. Waktu paruh sekitar 130 menit namun dapat digandakan bila
terdapat gangguan fungsi ginjal.
Konsentrasi isotonik manitol sama dengan glukosa 5%, dimana kadang-
kadang digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi endoskopi. Penggunaan
manitol secara klinis untuk kebutuhan intravena terbatas antara larutan 10% atau
20% (pada beberapa negara hanya 15%), yang memicu diuresis pada oligouria
dan gagal ginjal. Mekanisme ekskresi manitol melalui ginjal terjadi melalui
diuresis osmotik, dimana tubuh kehilangan cairan.
Cairan hipertonik manitol 15% dibuat untuk menurunkakn tekanan
intrakranial secara cepat pada pasien dengan trauma kepala. Volume yang
dibutuhkan 500-750 ml, dimana setengahnya diberikan dengan bolus. Disamping
cerita panjang, tatalaksana dengan menggunakan manitol sulit dievaluasi sebagai
hasil penelitian. Karena cairan tidak mengandung elektrolit, pengguna harus
waspada akan diuresis osmotik yang menyebabkan kehilangan sodium dan
elektrolit lainnya secara absolut dari tubuh sehingga harus diganti.
Tanda peningkatan cairan ekstraselules menyebabkan penggunaan infus
manitol hipertonik dikontraindikasikan pada gagal jantung kongestif
Seperti cairan hipertonik lainnya, manitol 15% sebaiknya diberikan
bersamaan dengan transfusi eritrosit.
BAB 2
CAIRAN KOLOID

Secara terminologi cairan koloid berarrti suatu larutan air steril yang ditambahkan
makromolekul yang dapat melewati dinding kapiler dengan susah payah.
Kekuatan osmotik makromolekul tidaklah besar, sehingga cairan koloid harus
mengandung elektrolit agar tidak hemolisis. Selama makromolekul berada pada
dinding kapiler, kontribusinya terhadap osmolalitas total (tekanan osmotik koloid)
masih cukup untuk mendistribusikan cairan infus dalam jumlah besar kedalam
aliran darah.
Cairan koloid digunakan untuk menambah volume plasma dan
memberikan efek lebih panjang dibanding cairan kristaloid. Mereka membawa
risiko terjadinya reaksi alergi yang tidak diberikan oleh cairan kristaloid. (lihat
bab 16- Reaksi Merugikan). Oleh sebab itu, seseorang biasanya diberikan cairan
kristaloid untuk menggantikan kehilangan darah yang lebih sedikit, sedangkan
koloid digunakan pada perdarahan yang hingga kehilangan 10-15% volume darah
tubuh. Penggunaan koloid yang direkomendasikan pada situasi spesifik di klinik
akan dijelaskan lebih lanjut pada beberapa bab di buku ini.
Terdapat gaya baru untuk menyediakan koloid ada larutan elektrolit
seimbang daripada normal saline. Alasan mengapa asidosis metabolik dapat
dipicu oleh normal saline, namun perubahan perubahan penting terjadi setelah
pemberian koloid 2-3 L.

ALBUMIN
Albumin merupakan protein yang paling besar di dalam plasma dan oleh
sebab itu, memiliki fungsi penting dalam menjaga tekanan osmotik koloid
intravaskular. Albumin memiliki berat molekul 10 kD. Cairan albumin merupakan
sediaan yang berasal dari darah pendonor dan memiliki konsentrasi 3.5 %, 4%
atau 5% dan juga tersedia sediaan hiperonkotik 20%.
FARMAKOKINETIK
Albumin 5% memperluas volume plasma sebesar 80% dari volume infus.
Pada orang sehat, ekspansi volume plasma berkurang secara perlahan-lahan
tergantung fungsi mono-eksponensial, waktu paruh 2.5 h.
Pemberian infus 10 ml/kg albumin 5% meningkatkan konsentrasi serum
albumin sebanyak 10%, dimana konsentrasi ini tidak berubah hingga 8 jam
kedepan. Pengembalian volume darah normal terjadi akibat translokasi molekul
dari plasma ke ruang interstitial. Kemudian, ekspansi dari volume plasma
memiliki efek diuretik. Albumin ditranspor secara bertahap ke plasma melalui
jalur limfatik, dan waktu paruh didalam tubuh lebih lama (sekitar 16 jam) dari
pada waktu paruh ekspansi volume plasma ketika larutan albumin diberikan
melalui infus.

PENGGUNAAN KLINIK
Albumin merupakan koloid naturl yang tetap efektif dalam
mengembalikan volume plasma dan hemodinamik normal pada syok hipovolemik.
Albumin masih sering digunakan sebagai penambah volume plasma pada
anak-anak. Pada orang dewasa, harganya yang mahal sertarsiko alergi yang
ditimbulkan membatasi kepentingan klinis penggunaan albumin sebagai koloid
pengganti. Terlebih lagi, albumin dirasa tidak memberikan manfaat klinik
terhadap koloid sintetik yang terdapat di pelayanan intennsif.
Penurunan serum albumin yang terjadi secara akut merupakan tanda dari
kebocoran kapiler pada penyakit inflamasi, seperti sepsis. Penggunaan albumin
sebagai penambah volume plasma menjadi pedang bermata dua. Larutan ini
menambah volume plasma sementara, namun infus albumin akan menyebabkan
udem perifer kemudian, seperti drainase limfatik yang dirasa tidak mampu
memenuhi kehilangan protein plasma yang meningkat. Pada situasi ini, seseorang
sebaiknya memilih cairan koloin berbasis makromolekul yan tereleminasi dari
tubuh oleh metabolisme atau ekskresi renal daripada pembuluh kapilet bocor.
Pada perawatan intensif, infus albumin harus diberikan untuk tatalaksana
hipoalbuminemia. Terapi ini secara bertahap sesuai dengan serum albumin yang
menandakan keparahan penyakit daripada masalah itu sendiri. Pemberian albumin
segera untuk menentukan katabolisme dan digunakan pada cara yang sama untuk
asam amino dalam tubuh.
Albumin dapat digunakan untuk mengganti kehilangan albumin berlebih
pada keadaan medis seperti nephritis.

DEBAT ALBUMIN
Pada tahun 1988, perpustakaan Cochrane mempublikasikan meta-analisis
dari 1491 pasien dari 30 penelitian yang menggunakan labumin. Hasilnya
memberikan kejutan bahwa sepertinya pemberian koloid dapat meningkatkan
mortalitas. Risiko kematian relatif 1.46 ketika albumin diberikan untuk
menganani hipovolemia, 1.69 jika terindikasi bahwa 2.4 ketika albumin diberikan
kepada luka bakar. Di United Kingdom, penggunaan albumin menurun 40%
selama berbulan-bulan diikuti dengan publikasi meta analisis.
Sebuah review terbaru tentang topik pemicu terjadinya kematian
berhubungan dengan penggunaan albumin. Penelitian terbaik tidak menemukan
bahwa albumin meningkatkan risiko kematian.
Meta analisis ini diikuti dengan penelitian acak (penelitian SAFE) yang
membandingkan albumin 4% dengan normal saline. Tidak dapat perbedaan hasil
yang terdapat pada 7000 pasien perawatan intensif tergantung cairan yang tersedia.
Laju mortalitas setelah 28 hari memperlihatan keidentikan di dalam kelas.
Oleh sebab itu, analisa didalam grup kecil terhadap 460 pasien dengan
trauma kepala yang termasuk penelitian SAFE dengan menggunakan koloid 4%
diikuti dengan tingginya mortalitas daripada normal saline (33% vs 20%)
Perbedaan merupakan kasus yang paling berat.

DEXTRAN
Rantai panjang glukosa (polisakarida) disintesis oleh bakteri untuk masuk
sebagai makromolekul dalam grup cairan infus disebut dengan dextran (kadang
disingkat dengan DEx) molekul yang sedikit rendah dan membutuhkan tambahan
elektrolit juga. Ketersediaan cairan dextran secara komersial rata-rata berat
molekul 70kD (dextran 70) atau 40kD (dextran 40) dan konsentrasi yang
digunakan antara lain 3%, 6% atau 10%. Yang paling sering digunakan adalah,
6% dextran 70, menambah volume plasma sebanyak jumlah volume yang dinfus,
sehingga awalnya menjadi lebih kuat. Penambahan volume plasma memiliki
paruh waktu sekitar 3-4 jam.
Suatu larutan 10% dextran 40 menambah volume plasma 2 kali dari
volume infus. Waktu paruhnya lebih pendek dari dextran 70.
Molekul dextran bisa diekskresikan melalui ginjal atau dimetabolisme oleh
hydrolase endogenous (dextranase) menjadi karbon dioksida dan air.
Larutan dextran menurunkan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah mikrosirkulasi. Hal ini dapat dicatat pada inspeksi visual pada permukaan
luka di bekas jahitan sebagai oozing, pembuluh darah kecil sering terbuka dan
berdarah lebih banyak. Hal ini dapat mengganggu dokter bedah namun pemberian
infus terbatas pada 500-1000 ml
Dextran merupakan cairan hipertonik (7.5%) dan tersedia di berbagai
negara sebagai peluas volum plasma yang efektif pada penanganan gawat darurat
dan perawatan prehospitalisasi (lihat bab 9-Cairan hipertonik). Pada orang coba,
efektivitas cairan ini dalam memperluas volume plasma sekitar 6-7 kali lebih kuat
dari normal saline.

PENGGUNAAN KLINIK
Dextran 70 digunakan untuk memperluas volume plasma dan atau
mencegah tromboembolisme.
Dextran 40 digunakan untuk memperbaiki mikrosirkulasi setelah operasi
vaskular.
Dosis maksimum ialah 1.5 g/ (kg day), yang sesuai dengan 1.5-2.0 L 6%
Dextran 70 pada orang dewasa. Komplikasi perdarahan dapat terjadi bila jumlah
diberikan terlalu banyak.
Cairan ini berisiko anafilaksis, yang timbul pada pasien yang memiliki
antibodi irreguler. Komplikasi ini dicegah dengan terapi sebelumnya yaitu
pemberian molekul dextran pada jumlah yang sangat kecil (1 kD) dan harus
diinjeksikan secara intravena sebelum diberikan infus dextran 40 atau 70 (lihat
bab16-Efek Samping). Dextran 1 kurang mencukupi dalam mengobati korban
trauma sebelum dibawa kerumah sakit, sebab berhubungan dengan respon stres
yang mencegah reaksi anafilaksis.

PATI
Hydroxyethil starch (HES) mengandung polisakarida yang diproduksi dari
tumbuhan seperti gandum dan jagung.
Beberapa formulasi berbeda tersebar dipasaran. Mereka bervariasi dalam
konsentrasi, biasanya 6% atau 10%. Mereka juga bervariasi dalam komposisi
yang mengacu kepada berat molekul, jumlah gugusan hydroxyethyl tiap unit
glukosa (substitusi), dan mengganti gugusan hydroxyethyl ini dengan atom
karbon dari molekul glukosa (rasio C2/C6).
Variabilitas komposisi kimia menjelaska perbedaan dampak klinis antara
kedua larutan. Selama nenerapa dekade, cenderung menggunakan molekul yang
lebih kecil untuk mengurangi waktu paruh dan risiko komplikasi perdarahan.
Hetastarch mengandung molekul paling besar (450 kD) dan pentastarch
mengandung molekul berukuran sedang (260 kD). Baru-baru ini ditemukan
sediaan HES yang bahkan memiliki ukuran molekul lebih kecil yaitu sekitar 130
kD. Derajat substitusi mungkin rendah (0.45-0.60) atau tinggi (0.62-0.70) dan
rasio C2/C6 kurang dari 8.
Sediaan-sediaan biasanya menggambarkan karakter utama dari ukuran
molekul dan substitusinya, dengan atau tanpa diikuti dengan rasio C2/C6. Namun,
saat ini yang paling banyak dipromosikan adalah sediaan HES yang jenis HES
130/0.4/9:1 (Voluven dari Fresenius-Kabi) dan HES 130/0.62/6:1 (Venofundin
dari B.B. Braun).
Tingkat substitusi merupakan kunci waktu paruh. Risiko efek samping
yang terjadi dalam bentuk reaksi anafilaktik, koagulopati, dan gatal post operasi
meningkat seiring dengan ukuran molekul (lihat bab 16-Efek samping).
Sama seperti Dextran, HES 6% merupakan larutan hipertonik (7.5%) yang
juga dipergunakan dalam situasi gawat darurat dan trauma. Merupakan suatu
larutan yang menambah plasma lebih dari cairan infus lain, dengan tujuan transfer
volume osmotik dari ruang intravaskuler.
FARMAKOKINETIK
Sebuah larutan HES 6% merupakan larutan saline isoosmotik atau mengisi
keseimbangan elektrolit pada volume plasma yang hampir sama dengan cairan
infus. Melihat variabilitasnya dapat dilihat bahwa larutan ini dapat diberikan pada
pasien perawatan intensif.
Eleminasi HES merupakan proses yang komplex. Larutan ini mengandung
spektrum molekul ukuran terendahnya (60-70 kD) secara cepat di ekskresi oleh
ginjal. Molekul yang lebih besar dipecah terlebih dahulu oleh alpha-amilase
endogen menjadi fragmen yang lebih kecil sebelum di ekskresikan, merupakan
suatu proses yang meningkatkan tekanan osmotik per gram polisakarida. Molekul
HES juga menjadi subyek fagositosis sistem retikuloendothelial, dan hasilnya
dapet ditemukan di hati dan lien bahkan setelah beberapa tahun. Namun, waktu
paruh molekul HES kadang tidak berespon dengan cepat dengan pertambahan
volume plasma beberapa waktu.
Waktu paruh molekul HES pada Venofundin ialah 3.8 jam ketika
diberikan kepada orang coba. Waktu paruh molekul HES pada Voluven pada
plasma dikatakan lebih pendek yaitu sekitar 1.4 jam, meskipun waktu paruh
terminalnya 12 jam. Setelah 72 jam, sekitar 60% dari molekul HES dapat
ditemukan di urin.
Rekomendasi terbaik dosis Voluven yang diberikan dalam 24 jam ialah
3.5 L pada orang dewasa dengan berat 70kg. Hanya separuh dari yang diberikan
dextran dapat dibelikan HES molekul besar.

PENGGUNAAN KLINIS
Hydroxyethil starch hanya diindikasikan untuk menambah volume plasma.
Meskipun sediaan HES ukuran kecil (130 kD) memiliki persistensi yang
lebih rendah didalam darag dan efikasi klinis yang sama dengan sediaan HES
ukuran sedang namun lebih aman.
10-20 ml pertama sebaiknya diberikan secara perlahan pada pasien dengan
observasi ketat terhadap alergi, meskipun jarang terjadi dan tidak seberat pada
dextran.
Terapi dengan HES dalam jumlah besar sebaiknya dihindari pada pasien
sepsis. Suatu penelitian menemukan bahwa terjadi sedikit perubahan pada
konsentrasi kreatinin pada pasien yang diberikan gelatin 3% dibandingkan dengan
yang diberikan HES 6% 200/0.60-0.66 (Elohes, Frasenius-Laboratorium), dan
penelitian selanjutnya melaporkan ringer laktat lebih superior dibandingkan HES
10% 200/0.5 (Hemohes, Frasenius Kabi). Dalam sebuah penelitian kecil pada
pasien luka bakar penggunaan HES hiperonkotik terbaru juga memicu gagal ginjal
bahkan kematian.
Penelitian ini merupakan sebagian gambaran dari fakta bahwa cairan
koloid hiperonkotik membawa beberapa rsiko seperti gagal ginjal, terutama pada
pasien dehidrasi.

GELATIN
Larutan gelatin mengandung polipeptida yang berasal dari materi mentah
bovine. Koloid ini dipertimbangkan cukup baik dalam mengisi volume plasma.
Durasi yang singkat (sekitar 2 jam) karena molekulnya kecil, membuatnya
mampu di ekskresikan di ginjal. Reaksi anafilaktik ingan terjadi sekitar 0.3%
namun reaksi yang berat jarang terjadi.

PLASMA
Plasma manusia sebaiknya digunakan untuk memberikan faktor koagulasi
dan hanya sebagai pilihan terakhir sebagai pengisi volume plasma. Oleh sebab itu,
pengisian volume plasma lebih bervariasi dengan plasma dibandingkan dengan
albumin 5%. Perbedaannya mungkin karena peningkatan kebocoran kapiler yang
terjadi akibat reaksi silang dengan sistem imun resipien.
Keburukan lain dari penggunaan plasma manusia kebanyakan timbul
reaksi demam (3-4%), risiko reaksi anafilaktik pada pasien dengan defisiensi Ig A,
dan jarang namun terdapat efek samping berbahaya yaitu cedera paru akibat
transfusi (TRALI).
EFEK MISCELLANEOUS
Cairan koloin memiliki beberapa efek medis diluar dari kemampuannya
untuk meningkatkan volume plasma. Termasuk perbaikan mikrosirkulasi, efek
antioksidan (albumin) dan enekan aktifavasi imun akibat trauma (dextran, HES).
Sebagian besar karakteristik yang ditemukan di laboratorium belum begitu jelas
ditemukan secara klinis.
Satu-satunya efek miscellaneous yang ditemukan ialah efek dari dextran
yang secara efektif memperbaiki aliran dara mikrovaskular dan juga mencegah
tromboemboli.
Semua cairan koloid memberi efek koagulasi tergantung pemberian
dosisnya, meskipun terdapat perbedaan intensitas perubahan (baca ab 16- Efek
samping). Hal ini penting untuk diwaspadai bahwa dosis maksimum dapat
mengancam risiko perdarahan. Batasan ini penting pada pemberian dextran dan
HES.
Eleminasi cairan kristaloid lebih lambat pada keadaan anestesia dan
operasi. Sayangnya, belum ada data terhadap distribusi dan eleminasi cairan
koloid pada waktu perioperatif.

KRISTALOID ATAU KOLOID?


Apakah cairan kristaloid atau koloid yang lebih disarankan selalu
diperdebatkan pada tahun 1990-an. Pemilihan cairan kristaloid dan koid sebaiknya
tidak melihat masalahyang terdapat dalam klinis secara umum namun secara
spesifik. Tak lupa, tiga buah penelitian meta analisis telah dilakukan untuk
membuktikan apakah cairan kristaloid atau koloid yang memberikan tingkat
kehidupan lebih tinggi.
Meta analisis yang paling pertama, berdasarkan delapan penelitian,
mengindikasikan bahwa cairan kristaloid sebaiknya digunakan pada pasien trauma
terkait hubungannya terhadap rendahnya mortalitas yaitu 12.3% daripada cairan
koloid. Pada penelitian terhadap pasien non-trauma, hanya terdapat perbedaan
sebesar 7.8% pada penggunaan cairan koloid. Secara umum hasil penelitian
menunjukkan laju mortalitas berbeda sebesar 5.7% dibandingkan dengan terapi
kristaloid. Satu dekade kemudian, pada tahun 1998, sebuah meta analisis yang
melibatkan 1622 pasien dari 37 penelitian yang merawat pasien bedah, trauma dan
luka bakar. Data menunjukkan risiko kematan secara umum 24 % oleh koloid
namun hanya 20 % oleh kristaloid, memberikan risiko relatif sebesar 1.29 untuk
kematian akibat pemberian koloid (95% interval 0.94-1.77).
Meta analisis lainnya mengevaluasi 814 pasien dari 17 penelitian. Disini
tidak terdapat perbedaan mortalitas secara umum antara kedua jenis cairan namun
risiko kematian relatif hanya 0.39 ketika kristaloid digunakan pada pasien dengan
trauma.
Sejak hasil penelitian ini diumumkan, telah terdapat kecenderungan kuat
terkait pencegahan komplikasi operasi yang memiliki hasil yang lebih baik. Dapat
bertahan hidup merupakan tujuan utama pasien, namu secara scientifik, ini
merupakan suatu ukuran yang sulit dan bervariasi pada tiap pasien. Sebaliknya,
pada dekade terakhir telah didemonstrasikan terapi cairan memiliki dampak yang
besar terhadap kejadian beberapa komplikasi operasi, dan lebih jelas pada pasien
risiko buruk dan lemah daripada pasien muda dan sehat.
BAB 3
KAIDAH-KAIDAH IBU JARI

Strategi pilihan dalam pemberian cairan perioperatif yang optimal


mungkin kepentingan utama terhadap hasil klinis pasien yang mengalami
pembedahan. Namun, karakteristik dari “strategi cairan paling optimal” masih
menjadi perdebatan antara terapi cairan “restriktif”, “seimbang” serta “bebas”
yang dianjurkan sebagai yang paling baik. Oleh sebab itu, tidak ada bukti berupa
guideline standar perioperatif prosedur operasi spesifik yang disetujui selama ini.
Sebagian besar klinisi merasa bahwa penting pada masa perioperatif untuk
mencapai dan menjaga keseimbangan cairan yang dibutuhkan dimana perfusi
jaringan yang adekuat dan oksigenasi organ vital terjamin. Pada saat
ketidakseimbangan cairan terjadi, risiko gangguan pemulihan pasca operasi,
peningkatan morbiditas serta perawatan rumah sakit berkepanjangan dapat terjadi.
Suatu strategi untuk optimalisasi manajemen cairan perioperatif yaitu
dengan memadukan pemberian kristaloid untuk mengganti kebutuhan cairan basal
dengan koloid untuk menjaga agar volume intravaskular tetap adekuat dan dengan
demikian stroke volume jantung maksimal dan perfusi jaringan pun baik.
Pada survei saat ini, prinsip-prinsip basal kebutuhan cairan perioperatif
pada pasien dewasa akan disajikan bersamaan dengan saran yang dapat diterima
sebagai tatalaksana cairan rutin terstandarisasi , sebagai kaidah ibu jari, yang
berhubungan dengan berbagai macam jenis prosedur-prosedur operasi non-
cardiac.

ASPEK UMUM TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF


Keadaan-keadaan berbeda yang termasuk manajemen terapi cairan
perioperatif yang seimbang telah dirangkum pada Tabel 3.1 dan dijelaskan
dibawah.
Tabel 3.1. Prinsip-prinsip basal terapi cairan perioperatif
Menyediakan kebutuhan cairan basal harian
Rehidrasi pasien-pasien defisiensi cairan
Mempertahankan normovolemia dan kestabilan hemodinamik
Menambah aliran darah mikrovaskular
Menjaga tekanan osmotik koloid plasma adekuat untuk mencegah terbentuknya
udem jaringan
Cegah/ trauma sedang menginduksi aktivasi sistem kaskade dan peningkatan
koagulasi
Menjamin transportasi oksigen ke jaringan sel secara adekuat
Meningkatkan/mengevaluasi diuresis

PENYEDIAAN KEBUTUHAN CAIRAN BASAL


Kebutuhan cairan basal harian (untuk mengkompensasi perspiratio
insensibilis dan kehilangan cairan urin serta feses) untuk pasien usia lanjut adalah
25-30 ml/kg (70kg=1750-2100 ml/24h; =1.04-1.25ml/ [kg h]) dan untuk dewasa
muda sekitar 40 ml/kg (70 kg= 2800 ml/24h; =1.67 ml/[kg h]).
Harus diingat bahwa kandungan cairan pada laki-laki (55-65%) lebih besar
dari pada perempuan (45-55%) oleh karena proporsi lemak tubuh lebih tinggi
pada perempuan dan kandungan cairan pada semua pasien usia lanjut berkurang
seiring dengan bertambahnya usia. Namun, penggunaan 1.5 ml/ (kg h) diterima
digunakan secara rutin dalam pemberian cairan perioperatif terhadap usia lanjut
dan dewasa muda tanpa memperhatikan jenis kelamin.
Oleh sebab itu, penggunaan prinsip pemberian infus 1.5 ml/ (kg h) selama
perioperatif termasuk pada waktu restriksi cairan preoperatif. Pada saat induksi
anestesi, laju infus yang sedikit lebih cepat dibutuhkan untuk mengurangi efek
samping agen anestesi terhadap kestabilan kardiovaskular.

REHIDRASI PASIEN-PASIEN DEFISIENSI CAIRAN


Pada kasus diduga terjadi kekacauan pemberian cairan preoperatif, harus
dinilai dan dikompensasi saat preoperatif atau, jika kurang jelas, pada awal fase
intraoperatif (segera sebelum induksi anestesi). Harus dicatat bahwa defisiensi
cairan intravaskular fungsional sebelum operasi umum terjadi. Meskipun defisit
secara umum jarang sekali terjadi, namun pada beberapa pasien, kadang tampak
defisit yang berhubungan dengan gejala klinis. Oleh sebab itu, pada kasus dengan
tanda hemodinamik tidak stabil saat induksi anestesi, pemberian infus lebih
banyak dan pada kasus yang lebih jelas pertimbangkan untuk pemberian koloid.
Meskipun pasien sudah puasa untuk operasi minor, dirasa lebih menguntungkan
bila pasien mendapat 1 L cairan pre atau intraoperatif.

MEMPERTAHANKAN NORMOVOLEMIA DAN KESTABILAN


HEMODINAMIK
Evaluasi hemodinamik yang sesuai selalu esensial untuk menjaga kondisi
pasien. Evaluasi sebaiknya termasuk tekanan darah, nadi, elektrokardiogram dan
oksimetri. Pada pasien risiko tinggi, boleh ditambahkan tekanan vena sentral atau
arterial line turunan tekanan darah, evaluasi cardiac output, dan pengukuran
produksi urin. Tanda-tanda dari hipovolemia sebaiknya dikoreksi dengan segera
melalui infus, lebih disarankan, koloid (daripada kristaloid), jika diperlukan dapat
dikombinasi dengan vasopresor, karena hipotensi intraoperatif berkepanjangan
ada kaitannya dengan peningkatan mortalitas pasca operasi.

MENAMBAH ALIRAN DARAH MIKROVASKULAR


Faktor hemoreologi yang memicu aliran darah mikrovaskular antara lain
dimensi mikrovaskular, viskositas darah dan plasma, pembentukan kembali sel
darah merah dan aggregabilitas, fungsi sel endothelial dan interaksi endothelial-
sel darah putih. Terapi cairan berbasis kristaloid dapat mengganggu aliran darah
kapiler karena terdapat kebocoran sehingga kristaloid keluar ke ruang interstitial,
dimana kapiler-kapiler ditekan.
Peningkatan aliran darah mikrovaskular lebih baik bila diberikan infus
koloid yang tetap tersisa di kompartemen intravaskular. Oleh sebab itu, tidaklah
mengejutkan apabila regimen cairan berbasis koloid memberikan peningkatan
aliran darah ke jaringan dan tekanan oksigen sementara cairan berbasis kristaloid
lebih mengganggu perfusi jaringan dan oksigenasi. Karakteristik anti inflamasi
pada sediaan pati hydroxyethyl modern dapat menjadi faktor tambahan dalam
meningkatkan aliran darah mikrovaskular dengan menurunkan interaksi
endothelial-sel darah putih.
MENJAGA TEKANAN OSMOTIK KOLOID ADEKUAT UNTUK
MENCEGAH PEMBENTUKAN UDEM JARINGAN
Pertukaran cairan transkapiler merupakan, menggunakan keseimbangan
Starling, perubahan cairan melalui permukaan kapiler yang tergantung oleh
perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid dan koefisien
makromolekul. Terdapat suatu hubungan non-linier antara tekanan onkotik serum
dan udem interstitial misal, udem menjadi lebih progresif akibat penurunan
tekanan onkotik. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana dibutuhkan cairan dalam
jumlah besar pada perioperatif, cairan koloid lebih disarankan daripada kristalois
untuk mencegah terbentuknya udem yang mungkin mengganggu fungsi organ.

CEGAH/ TRAUMA SEDANG MENGINDUKSI AKTIVASI SISTIM


KASKADE DAN KOAGULASI
Cukup populer bahwa trauma operatif akan mengaktivasi berbagai
mediator inflamasi yang dapat memberikan efek negatif terhadap homeostasis
jaringan. Lagipula, penggunaan obat-obat anti inflamasi selama preoperatif juga
sering diikuti dengan pemberian koloid modern (seperti HES 130/0.4 namun
bukan gelatin) yang akan mengurangi reaksi inflamasi yang timbul akibat trauma
operatif. Pemberian infus seperti koloid dengan anti inflamasi lebih awal dapat
mengurangi respon inflamasi dan melindungi organ vital tanpa efek negatif dari
koagulasi darah.

MENJAMIN TRANSPORTASI OKSIGEN KE JARINGAN SEL SECARA


ADEKUAT
Anemia preoperatif, didefinisikan sebagai kadar hemoglobin (Hb) darah
<120 g/l pada perempuan dan <130 g/l pada laki-laki, sering terjadi dan dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas. Selama operasi, kadar Hb yang lebih rendah
sering diterima.
Data dari percobaan acak terkontrol memberikan hasil bahwa
hemodinamik, paru, dan transportasi oksigen, serta morbiditas dan mortalitas
seluruhnya, tidak memberikan hasil yang berbeda antara strategi restriktif (batas
Hb transfusi berada diantara 70 dan 80 g/l) dan strategi liberal (Hb ≥ 100 g/l) dan
bahwa strategi transfusi restriktif mungkin berhubungan dengan penurunan efek
samping pada pasien muda dan tidak kritis.
Sebagian besar guideline yang sudah ada menyimpulkan bahwa transfusi
jarang diindikasikan jika konsentrasi Hb lebih dari 100 g/l dan selalu
diindikasikan jika konsentrasi Hb jatuh dibawah batas 60 g/l pada pasien yang
stabil dan sehat.
Pada pasien yang lebih tua dan dengan penyakit yang lebih berat,
direkomendasikan kadar Hb 80-100 g/l. Fungsi penting sel darah merah lainnya
yaitu berkaitan dengan hemostasis primer dan batas kadar Hb lebih tinggi
diperlukan pada pasien dengan koagulopati. Penilaian intraoperatif secara berkala
terhadap kehilangan darah dan pemeriksaan kadar Hb secara aktual penting dalam
menjamin oksigenasi jaringan yang adekuat.

MENINGKATKAN/MENGAWASI DIURESIS
Pada operasi mayor, mempertahankan produksi urin yang adekuat
(biasanya didefinisikan sebagai > 0.5 ml/[kg h]) adalah penting dan memberikan
alasan untuk menggunakan kateter tetap untuk pengawasan secara kontinu.
Produksi urin ditingkatkan dengan kombinasi infus kristaloid dan koloid untuk
volume plasma intravascular dan juga perfusi ginjal.

GUIDELINES MANAJEMEN CAIRAN RUTIN


“Kaidah-kaidah ibu jari” standar dalam pemberian cairan perioperatif
1. Sebelum induksi anestesi, beri 1 L kristaloid- biasanya Ringer’s
2. a) Pada saat induksi anestesi umum infus 200-400 ml
b) Ketika menggunakan anestesi spinal/epidural- gunakan kristaloid sama
seperti diatas bila terjadi hipotensi lebih baik beri vasopresor; bila
hipotensi lebih jelas, beri infus koloid 300-500 ml
3. Intraoperatif- basal 1.5 ml/ [kg h] ditambah prosedur operasi 2-5 ml/ [kg
h]
4. Perdarahan- kompensasi dengan infus koloid dengan volume yang sama.
Bila menggunakan pelindung sel (harus diistimewakan kalau
memungkinkan) bantu pemulihan sel darah merah dengan koloid
5. Pasca operasi- infus kristaloid untuk memenuhi kebutuhan basal dan
mengkompensasi cairan/darah yang hilang sesuai dengan yang dibutuhkan
(kristaloid, koloid, sel darah merah)

Ad 1. Satu liter kristaloid, lebih baik menggunakan jenis Ringer’s dengan


elektrolit seimbang setelah jalur intravena terbentuk
Ad 2a. Ketika anestesi umum digunakan, 200-400 ml cairan sebaiknya diberikan
saat induksi untuk meminimalisir nyeri vaskular lokal yang disebabkan oleh obat
anestesi intravena serta mengurangi efek depresif obat anestesi pada sistem
kardiovaskular. Jika hipotensi terjadi, sebagai alternatif lebih banyak cairan
diberikan, 500-600 ml kristaloid diikuti 200-400 koloid. Jika hipotensi menetap
meski sudah diberikan hitungan seperti diatas, dapat dipertimbangkan pemberian
vasopresor.
Ad 2b. Pada kasus yang menggunakan blok epidural atau spinal, blok saraf
simpatik biasanya diikuti dengan hipotensi yang dapat memberi alasan untuk
meningkatkan preload. Namun 500 nl cairan berbasis kristaloid tidak mampu
mencegah hipotensi dan menurunkan CO, jika tidak dikombinasi dengan 500 ml
koloid.
Jika dirasa esensial untuk mengurangi pemberian kristaloid pada pasien,
lebih benar bila melakukan pendeatan untuk memenuhi hipotensi yang disebabkan
oleh blok regional dengan mengkombinasikan pemberian 500 ml koloid dan
vasopresor.
Ad 3. Pada saat inraoperatif, pemberian infus secara kontinu sesuai kebutuhan
basal cairan harus ditambah dengan cairan infus sesuai prosedur operasi, yang
bervariasi antara 2-5 ml/ (kg h) (lihat manajemen sesuai prosedur dibawah ini).
Kehilangan yang terjadi saat operasi terdiri dari cairan yaitu plasma darah karena
eksudasi dari area operasi. Kristaloid seimbang merupakan pilihan yang adekuat
dalam mengkompensasi kehilangan ini.
Ad 4. Menghitung/ mengestimasi perdarahan sebaiknya dikompensasi dengan
infus koloid iso-onkotik. Jika menggunakan pelindung sel, infus ulang washed-
RBC sebaiknya dikombinasi dengan koloid dengan jumlah yang sama untuk
mengkompensasi jumlah protein plasma yang hilang akibat proses pencucian.
Ad 5. Pada fase pasca operatif, penilaian terhadap cairan yang sedang diberikan
serta perdarahan yang terjadi merupakan hal yang esensial dan harus terus
dikompensasi secara kontinu. Pada saat yang bersamaan kebutuhan cairan basal
harus diberikan. Untuk tujuan ini, cairan yang mengandung glukosa sebaiknya
dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan energi pasien. Bagi masing-masing
individu, penting juga untuk menentukan kadar Hb terendah yang dapat
ditoleransi sehingga transfusi yang tidak diperlukan dapat dicegah.

MANAJEMEN CAIRAN PADA PROSEDUR SPESIFIK


Dibawah ini manajemen cairan yang berhubungan dengan beberapa tipe prosedur
operasi mayor secara umum (orthopedi, sistem pencernaan, vaskular perifer)
dijelaskan secara detail dibawah.

OPERASI ORTHOPEDI
Operasi orthopedi minor dilakukan dibawah pengaruh anestesi lokal, blok
saraf atau anestesi umum tidak termasuk masalah lain yang erhubungan dengan
terapi cairan. Cairan (0.5-1.0 L) biasanya diberikan untuk menjamin terbukanya
akses vena dan ketika cairan sudah diberikan dalam bentuk infus, intake cairan
secara oral biasanya dapat dilakukan setelah operasi.
Prosedur orthopedi yang lebih luas sering ditemukan dalam praktik klinik
sehari-hari yaitu operasi penggantian lutut dan hip (athroplasty) dan operasi
fraktur hip. Karakteristik preoperatif pada pasien ini biasanya usia lanjut dan
terdapat beberapa kondisi seperti kardiovaskular, serebrovaskular, renal dan
gangguan mental.
Anestesi regional lebih disarankan pada pasien tersebut. Masalah umum
yang terjadi pada blok spinal atau epidural berkaitan dengan kestabilan
hemodinamik. Terkadang pada praktik sehari-hari, dilakukan prehydration pada
pasien melalui infus dengan cairan kristaloid (hingga 15 ml/kg) untuk mencegah
hipotensi yang dicetuskan oleh anestesi spinal. Pendekatan tersebut meningkatkan
kestabilan kardiovaskular melalui kompensasi terhadap reduksi resistensi vaskular
sistemik akibat blok regional. Disamping hal ini, penurunan tekanan darah dapat
terjadi. Oleh sebab itu, sebelumnya disarankan bahwa pendekatan yang baik ialah
dengan menggunakan cairan berbasis kristaloid sebagai preload sekitar 500 ml
kemudian dikombinasikan dengan koloid 250-500 ml dan jika secara klinis
terdapat indikasi, penggunaan vasopresor dirasa lebih baik.
Kebutuhan cairan basal intraoperatif (1.5 ml/[kg h]) sebaiknya tercukupi.
Pada operasi hip, bahkan prosedur minor, perdarahan harus dikompensasi.
Penggunaan infus kristaloid total sekitar 4 ml/ (kg h) seharusnya cukup. Cairan
yang digunakan untuk membersihkan area luka sebaiknya didokumentasikan dan
diukur perbedaannya untuk mengetahui berapa cairan yang kembali sehingga
dapat memberikan gambaran eksudasi dan perdarahan, dan dapat dikompensasi
dengan koloid dalam jumlah yang sama. Ketika kadar Hb terendah dan teraman
yang telah ditentukan dicapai oleh pasien, darah yang tersedia harus di infus
(turunan sel saver, predonated autoglosus, heteroglosus). Pada pasca operative,
kebutuhan cairan basal harus terpenuhi dan diukur cairan dan darah yang akan
dikompensasi.
Untuk operasi hip, dibawah ini merupakan “kaidah ibu jari” dalam terapi cairan
perioperatif yang menguntungkan
1. sebelum dan selama induksi blok neuroaksial- infus sekitar 500 ml
kristaloid kombinasi dengan 250-500 ml koloid. Tambahkan vasopresor
jika secara hemodinamik membutuhkan.
2. Intraoperatif- infus 4 ml/ (kg h) kristaloid dan hitung kompensasi eksudasi
dan perdarahan dengan jumlah yang sama dengan koloid
3. Pasca operatif- sediakan kebutuhan basal cairan 1.5ml/(kg h) dan hitung
kompensasi yang sedang mengalami perdarahan (perdarahan major)
dengan koloid
4. Darah sebaiknya ditranfusi ketika kadar Hb kritis yang telah ditentukan
tercapai.
Operasi lutut yang paling sering dilakukan dibawah pengaruh anestesi
spinal/epidural dan iskemik turniket. Pada saat induksi, iskemik turniket, suatu
transfusi endogen sebesar 0.5 L darah dari kaki akan mencapai kompartemen
vaskular sentral. Oleh sebab itu, kompensasi dari efek hemodinamik akibat
regional blok memberikan alasan untuk memberikan infus 2-4 ml/ (kg h)
kristaloid selama intraoperatif dirasa cukup.
Sebelum melepaskan turniket, setidaknya bolus 500 ml koloid melalui
infus, saat dilepaskan, tungkai harus digantung untuk meningkatkan efek sistemik
dari respon reperfusi hiperemik lokal di kaki. Perdarahan harus dinilai dan segera
dikompensasi dengan infus koloid dengan jumlah yang sama. Ketika kadar Hb
terendah yang ditentukan telah dicapai, darah harus ditransfusikan sesuai indikasi
diatas.
Untuk operasi Knee prosthesis, berikut “kaidah ibu jari” untuk terapi cairan
perioperatif yang dirasa menguntungkan
1. sebelum dan selama induksi blok neuroaksial- infus sekitar 500 ml
kristaloid dikombonasikan dengan vasopresor jika terdapat indikasi secara
hemodinamik
2. Intraoperatif- infus 2-4 ml/(kg h) kristaloid. Sebelumnya lepaskan turniket
dan infus 500ml koloid
3. Pasca operatif- sediakan kebutuhan cairan basal 1.5 ml/ (kg h) dan
kompensasi diukur dari perdarahan yang masih berlangsung (perdarahan
utama) dengan koloid
4. Darah sebaiknya di transdusi jika kadar hb kritis yang telah ditetapkan
dicapai

OPERASI SALURAN CERNA


Terapi cairan optimal untuk operasi abdomen terbuka masih menjadi
masalah kontroversi. Terlalu bebas dalam memberikan cairan dapat meningkatkan
risiko edema saluran cerna sedangkan bila terlalu restriktif dapat menyebabkan
hipoperfusi splanicus dan hipoksia jaringan, dimana diikuti oleh gangguan
pemulihan pasca operasi.
Penelitian terbaru dari tujuh percobaan klinis acak mengungkapkan bahwa
masih terdapat kekurangan bukti dan rumusan pada rekomendasi tatalaksana
cairan untuk operasi saluran cerna. Dengan menggunakan poin akhir klinis yang
telah disepakati untuk cairan berbasis kristaloid dibandingkan dengan cairan
berbasis koloid yang berhubungan dengan operasi abdominal major, menunjukkan
bahwa strategi sebelumnya memberi hasil reduksi tekanan oksigen jaringan
sementara cairan berbasis koloid memperbaiki oksigenasi jaringan.
Dalam perencanaan terapi cairan perioperatif pada operasi saluran cerna
sebaiknya diingat kalau sebelum operasi pasien mengalami persiapan usus dengan
menggunakan larutan hiperosmolar yang dapat meningkatkan terjadinya defisit
cairan preoperatif. Restriksi cairan preoperatif akan ditambahkan ke defisit cairan.
Oleh sebab itu, pemberian cairan inisial yang agak liberal cenderung disarankan.
Namun, kebutuhan cairan kristaloid dipertahankan pada index volume akhir
diastolik ventrikel kiri dan index cardiac selama operasi abdomen terbuka sekitar
6 ± 2 ml/ (kg h) (sekitar 400-600 ml/h untuk dewasa dengan berat 80 kg). Strategi
cairan berdasar kristaloid yang lebih liberal (intraoperatif~4.2 L; pasca operatif
selama 24h ~ 6.3 L) akan memberikan hasil keseimbangan cairan positif dan
peningkatan kejadian komplikasi (57%).
Selama ini telah dianjurkan bahwa untuk kehilangan akibat evaporasi dari
cavum abdomen diestimasikan secara berlebihan kemungkinan sekali tidak ada.
Kedepannya, volume cairan yang diakumulasikan kedalam jaringan bekas trauma
itu kecil. Oleh sebab itu, strategi yang lebih baik termasuk mengkombinasikan
pemakaian kristaloid untuk menggantu kebutuhan cairan basal dan kehilangan
extravaskular, bersamaan dengan penggunaan koloid untuk menjaga volume
intravaskular adekuat dan perfusi jaringan yang baik, telah disarankan untuk
pendekatan optimal.
Pemberian koloid (sesuai tujuan) tampak meningkatkan mikrosirkulasi
aliran pembuluh darah pada usu halus dan juga tekanan oksigen jarigan intestinal
setelah operasi saluran cerna. Sebaliknya, pemberian kristaloid tungal dan
restriktif kristaloid ditemukan tidak memberikan efek yang menguntungkan.
Sebagai akibat untuk mendukung ide terapi cairan perioperatif, termasuk
koloid, mungkin pendekatan yang paling menguntungkan adalah menjaga
keseimbangan cairan adekuat selama operasi abdomen mayor terbuka.
Untuk operasi saluran cerna terbuka dibawah ini merupakan “kaidah ibu jari
untuk terapi cairan perioperatif yang dirasa menguntungkan.
1. sebelum dan selama induksi anestesi, infus sekitar 500 ml cairan kristaloid
(Ringer’s) (untuk mengkompensasi persiapan usus dan restriksi cairan
preoperatif)
2. Intraoperatif- infus 4 ml/ (kg h) kristaloid + 4 ml/ (kg h ) koloid
3. Ukur perdarahan dan sebagai kompensasi berikan cairan koloid dengan
jumlah serupa sampai kadar Hb kritis untuk transfusi darah tercapai.
4. Pasca operatif- sediakan kebutuhan cairan basal 1.5 ml/ (kg h) dan
gantikan hitungan perdarahan yang sedang berlangsung dengan campuran
kristaloid dan koloid.
5. Lakukan transfusi darah bila ada indikasi
Operasi Laparoscopic GI menjadi alternatif untuk membuka abdomen
dengan insisi kecil yang akan mengurangi perdarahan, nyeri pasca operasi dan
waktu pemulihan yang lebih singkat. Hal ini memberikan alasan untuk berasumsi
bahwa terapi cairan terpilih mungkin kurang penting dalam situasi ini. Loading
cairan kristaloid untuk menjaga index volume akhir diastolik ventrikel kiri dan
index cardiac pada laparoskopi sepertinya hanya 60 % dari seluruh kebutuhan
pada operasi abdomen. Namun, abdomen biasanya tidak tercampur dengan gas
carbon dioksida yang mana secara bersamaan dibutuhkan dalam posisi manuver,
yang akan mempengaruhi tekanan intra abdomen dan aliran darah vena, hidrasi
jaringan, serta kestabilan hemodinamik. Faktor-faktor ini akan berkontribusi
dalam fakta bahwa mual dan muntah pasca operasi merupakan masalah umum
setelah operasi laparoskopi saluran cerna.
Pada cholecystectomy dengan laparoskopi, mual dan muntah pasca operasi
cukup efektif dengan menggunakan infus intraoperatif larutan Ringer laktat dalam
jumlah besar (40 ml/kg) daripada jumlah kecil (15 ml/kg). Volume loading lebih
tinggi dijumpai untuk memicu perbaikan signifikan fungsi paru pasca operasi,
kapasitas latihan, dan respon penurunan stres ( aldosteron, hormon antidiuretik,
dan angiotensin II). Mual, lemas, haus, pusing, kantuk, pening, dan fungsi
keseimbangan berkembang secara signifikan dan secara signifikan pula lebih
banyak pasien yang memenuhi kriteria pulang dan dipulangkan pada hari operasi
dengan penggantian cairan tinggi volume.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa kebutuhan perioperatif volume cairan
intravena cukup untuk memperbaiki defisit cairan waktu puasa dan cairan
intraoperatif dapat memberikan efek mual dan muntah pasca operasi tanpa adanya
potensi efek samping yang terlihat dari farmakologi. Dibandingkan dengan
preloading menggunakan kristaloid atau koloid pada saat cholecystectomy
laparoskopi dibawah pengaruh anestesi umum telah memperlihatkan bahwa
preloading dengan kristaloid (10 mg/kg) memberi hasih insidensi muntah dan
mual pasca operatif rendah dari pada preloading dengan coloid (10 ml/kg).
Berdasarkan data yang tersedia dapat di hitung volume total setidaknya 15-20
ml/kg dengan menggunakan larutan elektrolit yang sesuai pada cholecystectomy
laparoskopi.
Untuk Cholecystectomi Laparoskopi dibawah ini merupakan “kaidah ibu jari”
untuk terapi cairan preoperatif
1. sebelum anestesi/regional blok. Lakukan induksi preload 10 ml/kg diikuti
dengan tambahan 10-15 ml/kg selama laparoskopi yang biasanya selesai 1
jam.
2. Pasca operatif- kebutuhan cairan basal + kompensasi akibat maih ada
perdarahan
Berhubungan dengan operasi laparoskopi gaster, kolon dan rectum,
penting untung menjaga anastomosis sistem gastrointestinal berfungsi dengan
baik. Pada situasi ini, pemberian kristaloid secara bebas dapat menyebabkan udem
jaringan dan gangguan oksigenasi jaringan serta mempengaruhi penyembuhan
dari anastomosis.
Penelitian eksperimental terbaru dengan jelas mengindikasikan bahwa
tekanan oksigen jaringan perianastomosis akan terlihat baik bila menggunakan
infus koloid (disarankan HES 6% 130/0.4, yang juga mengandung anti inflamasi).
Sepertinya terlihat jelas bahwa prosedur anastomosis GI akan diuntungkan dari
kombinasi kristaloid (untuk mengganti kebutuhan basal cairan dan kehilangan
cairan extravaskular) dan koloid untuk menjaga volume intravaskular yang
adekuat dan perfusi jaringan mikrosirkulasi.
Untuk operasi laparoskopi gaster, kolon, dan rektum berikut ini adalah
“kaidah ibu jari” untuk terapi cairan perioperatif yang menguntungkan
1. sebelum induksi anestesi atau blok regional, beri preload dengan koloid
5ml/kg diikuti dengan kristaloid 3 ml/(kg h)+ koloid 3 ml/ (kg h) selama
intraoperatif.
2. Mengukur perdarahan yang harus diganti dengan jumlah volume koloid
yang sama hingga kadar Hb transfusi darah minimal tercapai.
3. Pasca operasi- kebutuhan basal cairan + koloid dan kristaloid untuk
mengganti cairan yang masih keluar.

OPERASI VASKULAR
Pasien yang direncanakan untuk rekonstruksi vaskular pada ekstremitas
bawah atau operasi aorta abdominal termasuk golongan populasi risiko tinggi.
Sebagian besar pasien merupakan orang tua, sering juga disertai dengan diabetes,
menderita penyakit aterosklerosis yang berdampak pada kardiovaskular juga
fungsi ginjal. Oleh sebab itu, prosedur non-trauma sering menjadi pilihan.
Revaskularisasi ekstremitas bawah kadang dapat dicapai dengan
menggunakan pendekatan endvaskular dimana penggunaan anestesi lokal pada
lokasi insisi sudah cukup. Pada kasus ini, penggunaan kristaloid untuk menjaga
jalur intravena terbuka sudah cukup. Penambahan koloid (HES 130/0.4 dengan
anti inflamasi) untuk meningkatkan perfusi jaringan dan mencegah trauma
endothelial diikuti reflow terkadang dapat dilakukan.
Prosedur revaskularisasi yang lebih luas seperti perbaikan pada
ekstremitas bawah dan juga aneurisma aorta abdominal diberikan dibawah
anestesi umum, spinal atau blok epidural. Anestesi umum dan juga blok
neuroaksial merupakan pendekatan yang aman, namun dikemudian hari dapat
menurunkan risiko komplikasi jantung pasca operasi dan pneumonia.
Terapi cairan perioperatif pada pasien yang mengalami operasi vaskular
mayor sebaiknya direstriksi mengingan pemberian cairan secara liberal (> 3 L
pada perioperatif) dirasa dapat mengganggu hasil klinis dan keseimbangan cairan
positid pada operasi aneurisma aorta abdominal yang dapat menimbulkan efek
samping. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan melakukan restriksi cairan
perioperatif dapat mengurangi waktu perawatan rumah sakit pada operasi
aneurisma aorta abdominal. Oleh sebab itu, pada saat menginduksi dengan blok
neuroaksial hanya 0.5 L kristaloid yang harus diberikan melalui infus, dan
vasopresor digunakan bila ada indikasi untuk meningkatkan tekanan darah.
Aspek terkini dalam menangani cairan perioperatif pada operasi vaskular
mengikuti konsep bahwa normovolemiai sebaiknya di pertahankan sesuai
protokol penggantian kehilangan cairan ekstraseluler (produksi urin dan insensible
prespiration) dengan menggunakan cairan kristaloid isotonik dan volume darah
harus dioptimalisasi dengan menggunakan koloid isoonkotik. Pilihan untuk
menggunakan larutah HES 130/0.4 dengan agen anti inflamasi sepertinya
memiliki efek protektif terhadap integritas ginjal pada operasi mayor.
Untuk operasi vaskular mayor berikut ini “kaidah ibu jari” untuk terapi cairan
perioperatif yang dirasa menguntungkan
1. sebelum dan selama periode anestesi umum/ blok neuroaksial infus sekitar
4 ml/kg cairan kristaloid (Ringer’s) dan atasi hipotensi dengan vasopresor
atau bolus 250 ml cairan koloid isoonkotik (disarankan HES 130/0.4).
2. Intraoperatif- infus 2 ml/(kg h) kristaloid + 2 ml/ (kg h) koloid.
3. Perdarahan yang terukur sebaiknya diganti dengan cairan koloid dalam
jumlah yang sama hingga kadar Hb yang diinginkan tercapai.
4. Pasca operasi-kebutuhan basal cairan yang diperlukan 1.5 ml/(kg h) serta
penggantian yang terukur saat itu diberikan campuran kristaloid dan
koloid.
5. Dilakukan transfusi daarah bila perlu

Kesimpulan
Strategi cairan perioperatif optimal merupakan suatu masalah yang masih
diperdebatkan dan belum ada bukti standar pemberian cairan perioperatif
berdasarkan prosedur operasi tertentu sehingga guideline belum disetujui hingga
saat ini. Pada perioperatif penting untuk mencapai dan menjaga keseimbangan
cairan yang dapat diteruma serta kestabilan hemodinamik dimana perfusi jaringan
yang adekuat serta oksigenasi terjamin. Pada survei terkini, penggunaan “kaidah
ibu jari” sebagian besar berdasarkan data penelitian terbaru dan lebih dianjurkan
sebagai terapi cairan perioperatif pada operasi orthopedi, gastrointestinal dan
vaskular.
BAB 4
OPERASI INTRA ABDOMINAL

Dalam praktik saat ini, pemberian cairan perioperatif harus diperhatikan seberapa
banyak yang harus diberikan. Meskipun pembatasan cairan diijinkan pada operasi
bedah thoraks, situasinya berbeda pada populasi lain pada umumnya.
Operasi abdomen sering kali berhubungan dengan kejadian dehidrasi.
Etiologinya multifaktor dan termasuk puasa pada preoperatif, persiapan usus,
penyakit dasar, cairan perioperatif dan defisit elektrolit akibat kehilangan darah
dan pergerakan cairan antara kompartemen fisiologis (ruang ketiga). Praktisi saat
ini

Anda mungkin juga menyukai