Anda di halaman 1dari 11

5.2.

1 Antituberkulosis
Kasus tuberkulosis (TB) dapat digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Tempat infeksi
Disebut TB paru adalah bila penyakit mengenai parenkim paru. TB ekstra paru adalah TB tanpa kelainan
radiologis di parenkim paru. Termasuk dalam kelompok ini TB kelenjar getah bening (mediastinum dan/atau
hilus) atau TB dengan efusi pleura. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru dicatat sebagai kasus TB paru.
TB ekstra paru di beberapa tempat dikategorikan berdasarkan kelainan pada lokasi yang paling berat.
Beratnya penyakit
Banyaknya bakteri, luasnya lesi dan lokasi anatomis menentukan beratnya penyakit dan pendekatan
pengobatan. Dianggap kasus berat bila penyakit tersebut mengancam jiwa (misalnya TB perikarditis) atau
adanya risiko gejala sisa yang serius (misalnya: TB medula spinalis) atau keduanya.
Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstra paru dibagi menjadi TB ekstra paru berat dan TB
ekstra paru ringan.

TB ekstra paru berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang
belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
TB ekstra paru ringan: TB kelenjar getah bening, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Bakteriologi
Sputum BTA positif, bila:
Dua kali pemeriksaan menunjukkan hasil BTA positif, atau satu kali pemeriksaan dengan hasil BTA positif
dan hasil pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru, atau satu kali sputum BTA positif dan hasil kultur
positif. Sputum BTA negatif, bila: Dua kali pemeriksaan dengan jarak 2 minggu dengan hasil BTA negatif.
Pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru dan gejala klinis tidak hilang dengan pemberian antibiotik
spektrum luas selama satu minggu dan dokter memutuskan untuk mengobati dengan pengobatan regimen
anti TB secara penuh.
Riwayat pengobatan sebelumnya
Penting diketahui apakah sebelum ini pasien sudah mendapat pengobatan anti TB atau belum, dengan alasan:
- Identifikasi pasien dengan risiko resistensi dan pemilihan obat yang tepat.
- Epidemiologi.
* Kasus baru: Pasien yang belum pernah mendapat anti TB atau mendapat anti TB selama kurang dari 4
minggu. Relaps: Pasien yang sudah dinyatakan sembuh setelah menyelesaikan regimen pengobatan, tapi
BTA sputum kembali positif.
* Kasus gagal: Pasien yang tetap BTA positif atau menjadi positif lagi setelah pengobatan selama 5 bulan.
Dalam kategori ini termasuk juga pasien dengan BTA negatif pada awal pengobatan, tapi menjadi positif
setelah bulan kedua pengobatan.
* Pengobatan terputus: Pasien yang terputus berobat selama 2 bulan atau lebih dan kembali dengan keadaan
BTA positif (kadang-kadang BTA negatif tapi pemeriksaan radiologi memberikan kesan TB aktif).
* Kasus kronik: Pasien dengan BTA tetap positif atau menjadi positif lagi setelah menjalani pengobatan
ulang di bawah pengawasan.
Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat
pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama
fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan
sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di
dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya
sudah memadai.

Tabel 5.2. Pemeriksaan Sputum Untuk Pemantauan Hasil Pengobatan


Regimen Regimen
Pemeriksaan 6 bulan 8 bulan
Akhir fase intensif Akhir bulan kedua Akhir bulan kedua

Pada fase lanjutan Akhir bulan keempat Akhir bulan kelima

Akhir pengobatan Akhir bulan keenam Akhir bulan kedelapan

Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat
untuk fase intensif dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif sekurang-kurangnya 2 diantara obat
yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Wanita hamil atau menyusui:


Pengobatan standar dengan INH, rifampisin dan pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan
menyusui; dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.
Anak-anak:
Anak-anak diberi INH, rifampisin dan pirazinamid untuk 2 bulan fase intensif dilanjutkan dengan INH dan
rifampisin selama 4 bulan. Jika pirazinamid tidak diberikan selama fase intensif, maka pemberian INH dan
rifampisin dilanjutkan selama 9 bulan. Untuk anak resiko tinggi infeksi resisten, etambutol harus termasuk
dalam pengobatan 2 bulan fase intensif. Akan tetapi diperlukan perhatian khusus pada anak yang kurang dari
6 tahun, karena sulitnya menilai fungsi penglihatan. Jenis dan dosis obat TB pada anak: berat badan <10 kg:
isoniazid 50 mg, rifampisin 75 mg, pirazinamid 150 mg; berat badan 10-20 kg: isoniazid 100 mg, rifampisin
150 mg, pirazinamid 300 mg; berat badan 20-33 kg: isoniazid 200 mg, rifampisin 300 mg, pirazinamid 600
mg.
Pasien Immunocompromised:
Pasien terserang kuman TB yang aktif kembali atau infeksi baru. Sering terjadi multi resisten atau infeksi
oleh mikobakterium lain seperti M. avium. Kultur dan uji kepekaan sebaiknya selalu dilakukan. Infeksi M.
tuberkulosis yang peka terhadap obat primer diobati dengan regimen standar selama 6 bulan.
Pemantauan hasil terapi
Hasil pengobatan pada pasien BTA positif harus dipantau dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan dengan
cara lain bukan merupakan keharusan. Untuk pasien BTA negatif dan TB ekstra paru, hasil pengobatan
didasarkan pada pemeriksaan klinis. Biasanya diperlukan dua kali pemeriksaan ulang sputum. Tabel di atas
memperlihatkan saat-saat pemeriksaan sputum berdasarkan regimen pengobatan.
Kategori I (Kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif/rongent positif yang sakit berat
dan ekstra paru berat):
Hasil negatif menunjukkan hasil yang baik.
Pada akhir bulan kedua, sebagian besar pasien akan menjadi BTA negatif. Pasien tersebut dapat memasuki
pengobatan fase lanjutan. Jika sputum masih positif, hal ini menunjukkan kemungkinan berikut:
* Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien buruk.
* Konversi sputum yang lambat, misalnya akibat adanya kavitas yang luas dan jumlah kuman yang terlalu
banyak pada awal terapi.
* Kemungkinan adanya resistensi.
Apapun penyebabnya, bila sputum BTA masih positif pada akhir bulan kedua, maka pengobatan awal
(intensif) harus diteruskan satu bulan lagi dengan obat sisipan dan pemeriksaan sputum diulangi pada akhir
bulan ketiga. Jika sputum menjadi negatif maka pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan. Jika pada akhir
bulan kelima sputum BTA tetap positif, maka pengobatan dianggap gagal. Pasien ini harus didaftarkan dalam
pengobatan yang gagal dan harus menjalani pengobatan ulang secara penuh sebagai kategori II. Dalam hal
ini pasien perlu dirujuk ke unit perawatan spesialis dan dipertimbangkan untuk diobati dengan obat sekunder.

Bila tersedia fasilitas kultur, maka kultur sputum harus dilakukan pada awal pengobatan, di akhir bulan
kedua dan pada akhir pengobatan.

Kategori II (Relaps BTA positif; gagal BTA positif; Pengobatan terputus):


Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir pengobatan fase intensif (akhir bulan ketiga), selama fase lanjutan
(akhir bulan kelima) dan pada akhir pengobatan (akhir bulan kedelapan). Jika pada akhir bulan ketiga BTA
masih positif, pengobatan intensif dilanjutkan sampai satu bulan lagi dengan obat sisipan dan sputum
diperiksa lagi. Jika pada akhir bulan keempat sputum masih positif, maka sputum dikirim untuk kultur dan
uji kepekaan. Selanjutnya diberikan pengobatan fase lanjutan. Jika hasil kultur dan uji kepekaan
menunjukkan bahwa kuman resisten terhadap dua atau lebih dari tiga obat yang digunakan untuk fase
lanjutan, maka pasien harus dirujuk ke unit perawatan spesialis untuk kemungkinan pemberian obat
sekunder. Jika tidak tersedia fasilitas kultur dan uji kepekaan, pengobatan diteruskan sampai regimen
pengobatan selesai.
Kategori III (Kasus rontgen positif, pasien ekstra paru ringan):
Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir bulan kedua pengobatan karena dua kemungkinan berikut ini:
kesalahan pemeriksaan pertama (BTA positif yang didiagnosis sebagai BTA negatif): dan ketidakpatuhan
pasien. Jika pada mulanya pasien termasuk kategori III (sputum negatif) tapi pada akhir bulan kedua ternyata
positif, maka pasien didaftarkan sebagai sputum positif dan dimulai pengobatan untuk kategori I.
Pengawasan efek samping
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian
kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium tidak harus dilakukan secara rutin.
Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada
pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya kepada dokter. Kedua,
dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor (lihat tabel 5.3). Jika
timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis
perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul efek samping berat (mayor), maka
pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan
khusus.

Tabel 5.3. Efek samping obat tuberkulosis dan penanganannya


Kemungkinan
Efek samping penyebab Penanganan
Minor Teruskan obat, periksa
Anoreksia, mual, sakit Berikan obat pada malam hari
perut Rifampisin sesudah makanan

Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin

Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari

Urin kemerahan Rifampisin Terangkan kepada pasien

Mayor Hentikan obat penyebab


Gatal-gatal, kemerahan di
kulit Tiasetazon Hentikan obat

Hentikan streptomisin, ganti dengan


Ketulian Streptomisin etambutol

Pusing, vertigo. Hentikan streptomisin, ganti dengan


nistagmus Streptomisin etambutol

Ikterus (tanpa sebab lain) Berbagai antiTB Hentikan antiTB

Muntah, bingung Hentikan obat, segera periksa fungsi


(kecurigaan gagal hati) Berbagai antiTB hati dan waktu protrombin

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Syok, purpura, gagal


ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin

Obat-obat antituberkulosis
Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin, INH harus diberikan
dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontraindikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah
neuropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti diabetes
melitus, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin 5-10 mg/hari. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
Rifampisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH,
rifampisin juga sebaiknya selalu diikutkan kecuali bila ada kontraindikasi.
Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati
(peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-
kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit hati. Selama fase intermiten (fase lanjutan) dilaporkan adanya 6 gejala toks is itas:
influenza, sakit perut, gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopenia, dialami oleh 20-30%
pasien. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti
estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan; interaksi: lihat Lampiran 1. Penting:
efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.

Pirazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif membelah
dan Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat
bermanfaat untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif
terhadap Mycobacterium bovis. Toksisitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah,
obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25
mg/kg bb/hari pada fase intensif dan 15 mg/kg bb bb/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari selama
pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg
bb 3 kali seminggu atau 45 mg/kg bb 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah
gangguan penglihatan dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan lapang pandang. Efek toksik
ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.
Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif. Bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera
dihentikan sehingga diharapkan fungsi penglihatan akan pulih. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
jika pasien tidak dapat mendeteksi perubahan visus yang terjadi. Pemberian pada anak sebaiknya dihindari
sampai usia 5 tahun, yaitu di saat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata
dianjurkan dilakukan sebelum pengobatan.
Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg
atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi,
streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat
badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/ hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali
seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya
boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.
Obat-obat sekunder diberikan untuk TB yang disebabkan oleh kuman yang resisten, atau bila obat primer
menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah sikloserin,
makrolida generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), dan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin).

Regimen pengobatan dan kategori pasien.


Tersedia beberapa kemungkinan regimen. pengobatan tergantung dari kategori pasien. Tabel 5.4.
menyajikan beberapa regimen pengobatan yang dapat digunakan untuk berbagai kategori.
Sekarang ini telah tersedia obat antituberkulosis dalam bentuk kombinasi dosis tetap. Pemakaian obat
antituberkulosis- kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet
OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2
disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk
OAT kombipak. Dosis paduan OAT-KDT untuk berbagai kategori dan berat badan dapat dilihat pada tabel
5.5 hingga Tabel 5.7

Tabel 5.4. Beberapa Regimen Pengobatan


Fase
Fase lanjutan
intensif 3x
Kategori Kasus tiap hari seminggu
Kasus baru BTA positif; BTA negatif/rontgen
positif dengan kelainan parenkim luas; Kasus TB
I ekstra paru berat 2HRZE 4H3R3

2HRZES
Relaps BTA positif; gagal BTA

II positif; Pengobatan terputus 1HRZE 5H3R3E3

Kasus baru BTA negatif/rontgen positif sakit


III ringan; TB ekstra paru ringan 2 HRZ 4H3R3

Bila pada ahir fase intensif, pengobatan pasien


baru BTA positif dengan kategori 1 atau pasien
BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
Sisipan hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif. 1 HRZE

Keterangan:
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid; S=Streptomisin. Angka sebelum regimen
menunjukkan lamanya pengobatan dalam bulan. Angka indeks menunjukkan frekuensi pemberian per
minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat berarti obat diberikan tiap hari.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dosis kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar.
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 66 blister HRE untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 30 vial streptomisin @ 1,5 g dan pelengkap pengobatan (60
spuit dan aquabides) untuk fase intensif.
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk fase
intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar.
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel. 5.5 Dosis paduan OAT-KDT
Kategori 1: 2HRZE / 4(HR)3
Tahap lanjutan
Tahap intensif tiap hari selama 3 kali seminggu selama 16
Berat badan (dalam 56 hari minggu
kg) RHZE (150 / 75 / 400 / 275) RH (150 / 150)

30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel. 5.6 Dosis paduan OAT-KDT


Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3
Tahap lanjutan 3 kali
Tahap intensif tiap hari seminggu
Berat RHZE (150 / 75 / 400 / 275) + S RH (150 / 150) + E(400)
badan

(dalam Selama 28
kg) Selama 56 hari hari Selama 20 minggu

2 tablet 4KDT + 500 mg 2 tablet 2 tablet 2KDT + 2 tablet


30-37 streptomisin injeksi 4KDT etambutol

3 tablet 4KDT + 750 mg 3 tablet 3 tablet 2KDT + 3 tablet


38-54 streptomisin injeksi 4KDT etambutol

4 tablet 4KDT+ 1000 mg 4 tablet 4 tablet 2KDT + 4 tablet


55-70 streptomisin injeksi 4KDT etambutol

5 tablet 4KDT+ 1000 mg 5 tablet 5 tablet 2KDT + 5 tablet


≥ 71 streptomisin injeksi 4KDT etambutol

Catatan:

 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa
memperhatikan berat badan
 Untuk wanita hamil, lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 mL
sehingga menjadi 4 mL (1 mL = 250 mg)
Tabel. 5.7 Dosis KDT Sisipan: (HRZE)
Berat badan (dalam Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150 / 75 / 400 /
kg) 275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Monografi:

ETAMBUTOL
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis; pengobatan yang disebabkan oleh Mycobacterium avium complex.
Peringatan:
turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal; lansia; kehamilan; ingatkan pasien untuk melaporkan
gangguan penglihatan.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap zat aktif atau zat rambahan obat, neuritis optik, gangguan visual; ANAK di
bawah 6 tahun (lihat keterangan di atas).

Efek Samping:
neuritis optik, buta warna merah/hijau, neuritis perifer.

Dosis:
DEWASA dan ANAK di atas 6 tahun, 15-25 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.

ISONIAZID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Peringatan:
gangguan fungsi hati (uji fungsi hati); gangguan fungsi ginjal; risiko efek samping meningkat pada asetilator
lambat; epilepsi; riwayat psikosis; alkoholisme; hepatitis berat, hepatotoksik, penderita neuropati perifer,
penderita HIV, wanita hamil, menyusui dan post partum, pasien hipersensitif, diabetes mellitus, intoleransi
galaktosa, porfiria.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (isoniazid). Gangguan fungsi hati: pasien atau keluarganya diberitahu cara mengenal gejala
gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri bila timbul
nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Interaksi dengan obat; Peggunaan bersamaan dengan
antikonvulsan, sedatif, neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin, prokainamid, kortikosteroid,
asetaminofen, aluminium hidroksida, disulfiram, ketokonazol, obat bersifat hepatotoksik dan neurotoksik.
Interaksi dengan makanan; tidak diberikan bersamaan dengan makanan, alkohol, keju dan ikan.
Kontraindikasi:
penyakit hati yang akut; hipersensitivitas terhadap isoniazid; epilepsi; gangguan fungsi ginjal dan
gangguan psikis.

Efek Samping:
mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer, neuritis optik, kejang,
episode psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema multiform, demam, purpura, anemia,
agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia dan
ginekomastia, pendengaran berkurang, hipotensi, flushing.
Dosis:
Tuberkulosis Aktif: DEWASA; 5 mg/kgBB per hari (4-6 mg/kgBB per hari), ANAK :10 mg/kgBB per
hari (10-15 mg/kgBB per hari). Untuk dewasa dengan BB 30-45 kg, dosis per hari 200 mg diberikan dalam
dosis tunggal. Untuk pasien dengan BB >45 kg, dosis per hari 300 mg diberikan dalam dosis tunggal.
Tuberkulosis Latent (Monoterapi): diberikan sedikitnya 6 bulan DEWASA; 300 mg per hari. ANAK; 10
mg/kgBB per hari (maks. 300 mg/hari). Tablet isoniazid 300 mg tidak boleh diberikan untuk anak dengan
BB

PIRAZINAMID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis
lainnya.
Peringatan:
gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal; diabetes mellitus; gout; pasien hipersensitif terhadap
etionamid, isoniazid, niasin, serta pirazinamid.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (pirazinamid). Gangguan fungsi hati: pasien dan pengantarnya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri bila
timbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Penggunaan bersama dengan probenesid,
allopurinol, ofloksasin dan levofloksasin, obat hepatotoksik. Pirazinamid dapat mengganggu efek obat
antidiaberik oral, serta mengganggu tes untuk menentukan keton urin.
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, porfiria (lihat 11.8.2), hipersensitivitas terhadap pirazinamid, gout, wanita
hamil dan menyusui.

Efek Samping:
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati; mual, muntah, artralgia,
anemia sideroblastik, urtikaria, flushing, sakit kepala, pusing, insomnia, gangguan vaskular : hipertensi,
hiperurikemia, arthalgia.
Dosis:
15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2 bulan pertama dari 6 bulan
pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu.

RIFAMPISIN
Indikasi:
lihat dosis. untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam
kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra untuk pengobatan
lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi keadaan noninfeksi.
Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji fungsi hati dan hitung sel darah pada
pengobatan jangka panjang; gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600 mg/hari) lihat Lampiran 3;
kehamilan dan menyusui lihat Lampiran 4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi
oral dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat mengubah warna lensa kontak, menyebabkan
warna kemerahan pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu syndrome, sesak napas, syok
anafilaksis.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (rifampisin). Interaksi obat: peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan
ketokonazol, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors dan protease inhibitors). Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS
(Kinetic Interaction of Microparticles in Solution).
Efek Samping:
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom
influenza, gangguan respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut,
purpura trombo-sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf
pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot, psikosis. Efek samping lain seperti
udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna kemerahan pada urin,
saliva dan cairan tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang.

Dosis:
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien
dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis harian
(dosis total tidak lebih dari 600 mg).

Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg satu kali
sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan
selama 2 tahun.
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari
dengan durasi pengobatan 6 bulan.

Catatan:
Oral: Untuk memastikan absorpsi yang optimal, riampisin harus diberikan pada perut kosong (1jam sebelum
atau 2 jam setelah makan). Jika diberikan bersamaan dengan makanan meningkatkan toleransi
gastrointestinal.

SIKLOSERIN
Indikasi:
dalam kombinasi dengan obat-obat lain, tuberkulosis yang resisten terhadap obat-obat pilihan pertama.

Peringatan:
hentikan (atau kurangi dosis) jika muncul dermatitis alergik atau gejala toksisitas pada SSP; kurangi dosis
pada gangguan fungsi ginjal (hindari jika parah); monitor fungsi hematologi, ginjal, dan hati; kehamilan
dan menyusui.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (sikloserin).

Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal berat, epilepsi, depresi, ansietas berat, keadaan psikotik, ketergantungan alkohol;
porfiria.

Efek Samping:
terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing, vertigo, mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi;
ruam; anemia megaloblastik; perubahan pada uji fungsi hati.

Dosis:
dosis awal 250 mg setiap 12 jam selama 2 minggu, naikkan sesuai dengan kadar darah dan respons sampai
maksimal 500 mg setiap 12 jam; ANAK: dosis awal 10 mg/kg bb/hari disesuaikan menurut kadar darah
dan respon.Catatan: diperlukan pemantauan terhadap kadar dalam darah terutama pada kelainan fungsi
ginjal atau jika dosis lebih dari 500 mg per hari atau jika tanda-tanda toksisitas; kadar darah tidak boleh
melebihi 30 mg/liter.

STREPTOMISIN
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain; tularemia, plague, pengobatan brusellosis,
pengobatan glanders,enterokokal endokarditis dan streptokokal endokarditis.
Peringatan:
hipersensitivitas; lihat aminoglikosida.

Kontraindikasi:
kehamilan; lihat aminoglikosida.

Efek Samping:
Gangguan kulit/alergi: ruam, indurasi, atau abses di sekitar lokasi suntikan, mati rasa dan kesemutan di
sekitar mulut, vertigo.

Dosis:
injeksi intramuskular, DEWASA: 15 mg/kgBB (12-18 mg/kgBB) per hari (maksimal 1 g) selama 5 hari
dalam seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali seminggu. ANAK: 20-40 mg/kgBB sehari (maksimal 1 g) atau
25-30 mg/kgBB 2 kali dalam seminggu. Selama masa pengobatan dosis kumulatif tidak boleh lebih dari 120
g. TULAREMIA: Dosis dewasa 1 – 2 g sehari dalam dosis terbagi selama 7 – 14 hari atau sampai pasien
afebris selama 5 – 7 hari. PLAGUE: Dosis dewasa 2 g (30 mg/kgBB) sehari dalam 2 dosis terbagi minimal
selama 10 hari. BRUSELLOSIS: digunakan bersamaan tetrasiklin atau doksisiklin DEWASA: 1 g
streptomisin im 1 atau 2 kali sehari selama minggu pertama dan sekali sehari selama pengobatan berikutnya.
ANAK: > 8 tahun ,20mg/kgBB (sampai dengan 1 g) streptomisin im sehari umumnya selama 2 minggu.
Diberikan bersamaan dengan kotrimoksazol, streptomisin diberikan selama 2 minggu pada awal pengobatan.
STREPTOKOKAL ENDOKARDITIS: streptomisin diberikan bersama dengan penisilin, dengan dosis 1 g
2 kali sehari selama 1 minggu diikuti dengan 500mg 2 kali sehari selama 1 minggu. Usia 60 tahun keatas
500 mg 2 kali sehari selama 2 minggu bersamaan dengan penisilin. ENTEROKOKAL ENDOKARDITIS:
diberikan bersama penisislin 1 g 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 500 mg 2 kali sehari selama
4 minggu.

Anda mungkin juga menyukai