Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PERMASALAHAN AGRARIA

DI INDONESIA

DOSEN PENGASUH :
LOLITA PERMANASARI S.H.,M.HUM.

Disusun oleh :

NAMA : RIKY ARDIYANTO

Kelas : G (Kelas Mitra)

NIM : 1511121199

JURUSAN : HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA


2017
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-
Nya dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai
Permasalahan Agraria di Indonesia.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber


lainnya yang berhubungan dengan Permasalahan Pertanahan di Indonesia.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan


pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis,


maka tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat


bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya tentang Permasalahan Pertanahan
di Indonesia.

Surabaya , 24 Maret 2017

Penyusun

Ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................................................I

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. Ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................. Iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................1

1.2. Perumusan Masalah .......................................................................................................... 5

1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................................ 5

1.4. Metode Penulisan............................................................................................................... 5

1.5. Manfaat Penulisan.............................................................................................................. 5

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Sejarah permasalahan tanah indonesia.................................................................................... 6

2.2 Sifat permasalahan tanah di indonesia ................................................................................... 10

2.3 Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat.............................................. 12


2.4 Rekomendasi.......................................................................................................................... 15

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan .............................................................................................................................16


3.2. Saran ....................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1988 akhirnya bergerak di segala

bidang termasuk diantaranya di bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan pertanahan selalu ada dan

menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Persoalan pertanahan selalu diwarnai dengan adanya gejolak

karena adanya ketidak adilan di dalam pelayanan yang dilakukan pemerintah baik di pulau Jawa

maupun di luar pulau Jawa. Pemerintah Orde Baru yang ada pada waktu itu sangat kuat menciptakan

suatu pemerintahan dengan bernaung Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-

Pokok Pemerintah di Daerah. Di dalam pelaksanaan Undang- Undang yang bersifat sentralistik ini

ada yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas,

nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Reformasi tampaknya menyadari sebagian masyarakat

tentang penegakan tatanan pemerintah yang mendasarkan kepada Undang Undang Dasar 1945.

Pemikiran Otonomi Daerah dipandang dapat memecahkan masalah-masalah pemerintah yang lebih

berkeadilan di segala bidang meskipun disadari bahwa manfaat dari pengaturan sentralistik tidak

semuanya buruk. Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai jalan keluar yang sangat baik bagi

penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPR RI Nomor

XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan

Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam

Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Koreksi total terhadap penyelenggaraan pemerintah

di daerah yang mendasarkan kepada Ketetapan MPR tersebut di atas dituangkan di dalam Undang-

Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Mei 1999, yang termuat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3839 yaitu dengan prinsip mengatur

penyelenggaraan Pemerintah di Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan azas

desentralisasi. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tersebut telah diganti dengan Undang-

Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, karena tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Masih dalam

rangka menyikapi bergulirnya reformasi, khususnya di bidang pertanahan, Majelis Permusyawaran

Rakyat Republik Indonesia menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor : IX/MPR/2001, tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam menetapkan prinsip-

prinsip pembaruan dan pengelolaan sumber daya alam, dinyatakan dalam Pasal 4 huruf 1, bahwa

kebijakan pelaksanaan desentralisasi tersebut, berupa : “Pembagian kewenangan di tingkat Nasional,

Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa atau yang setingkat, berkaitan dengan lokasi dan

pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam”, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR Nomor :

IX/MPR/ 2001 tersebut telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 34 Tahun 2003 tentang

Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, ada 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang

pertanahan dilaksanakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu :

1.Pemberian ijin lokasi;

2.Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

3.Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4.Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

5.Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee;
6.Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat;

7.Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong;

8.Pemberian ijin membuka tanah;

9.Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Untuk keseragaman administrasi oleh pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional

telah menerbitkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 23 Agustus
2003, tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, norma tersebut merupakan tindak

lanjut sekaligus sebagai pedoman 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Masih sering terjadi adanya informasi masyarakat
mengenai perselisihan tanah garapan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang jelas, sehingga
berakibat terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain yang
ingin menguasai dan menggarap bahkan ada sebagian Pemerintah Desa/Kelurahan yang

menginginkan demikian. Sebetulnya apa yang dikenal dengan sebutan “Hak Garapan” tidak ada
dalam Hukum Tanah.

Menurut hukum penguasaan tanah yang bersangkutan tidak ada landasan haknya (“illegal”).

1)Penguasaannya justru melanggar hak pihak yang empunya tanah atau hak negara, kalau yang diduduki
itu tanah negara dan ini melanggar Undang-Undang Nomor 51 Perpu. Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang Sah. Pelanggaran-pelanggaran seperti

ini masih ada dan berlangsung terus, hal ini terjadi karena jumlah penduduk terus bertambah, sudah
tentu kebutuhan akan tanah terus meningkat, di sisi lain tanah mempunyai nilai strategi dan ekonomis.

Jadi wajar kalau masalah tanah selalu muncul di Negara Republik Indonesia tercinta ini, khususnya

yang berkaitan dengan penguasaan tanah garapan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara mengatur

tentang penerbitan status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian

hukum, salah satu caranya dengan pemberian sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut.

Secara konstitusional, Undang- Undang Dasar 1945 telah mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 33 ayat

(3), memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2)Penjabaran atas ketentuan tersebut di atas pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan
resminya Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, untuk bertujuan memberikan dasar hukum

yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas tanah, dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi tersebut
Negara berkewajiban untuk:

a. Mengatur dan menyelesaikan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang menyangkut penguasaan bumi, air dan ruang angkasa.

Dalam perannya sebagai penguasa tertinggi rakyat Indonesia, negara berkewajiban untuk
melaksanakan hal-hal tersebut di atas, guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat berwenang
seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan
hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil tidak menimbulkan
masalah atau sengketa baru.

Berbagai usaha dan langkah yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan penguasaan

tanah, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah, telah dilaksanakan dengan baik, dan dapat

dipergunakan untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi keberhasilan itu bukan

tidak ada masalah, hal tersebut dapat dimaklumi karena masih terbatasnya tenaga dan prasarana.

3)Kebutuhan dan permintaan bidang tanah menjadi semakin pelik dan kompleks, sedangkanluas tanah

terbatas atau tetap. Meningkatnya kebutuhan akan tanah sebagai akibat lajunya pertumbuhan

penduduk dan pembangunan. Kemudian pemusatan penguasaan yang luas, persaingan keras dalam

perolehan tanah, meningkatnya harga tanah semakin tinggi, masalah ganti kerugian tanah belum

terselesaikan, ketidakseimbangan penggunaan tanah tidak efisien sehingga menimbulkan tanah

terlantar. Praktek-praktek penggunaan tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, sehingga merusak

lingkungan hidup, merupakan kasus-kasus keagrariaan atau pertanahan yang banyak dijumpai,

semuanya itu merupakan tantangan bagi pejabat berwenang di bidang pertanahan dalam menghadapi

dan menyelesaikan kasus tersebut dengan benar.


4

2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.Sejarah permasalahan tanah di Indonesia ?

2.Sifat permasalahan tanah indonesia ?

3.Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat ?

4.Rekomendasi ?

3.Tujuan Penulisan

Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

a. Mengetahui proses Sejarah permasalahan tanah di Indonesia dan Sifat permasalahannya.

b. Mengetahui dan memahami Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat serta
Rekomendasi yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan tanah di indonesia.

4.Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-
buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam pembaruannya dan

situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang konflik-


konflik pertanahan di indonesia.

5.Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai media untuk menambah wawasan. b. Bahan
referensi aktual .

c. Bahan bacaan dan pengetahuan


5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Permasalahan Tanah Indonesia

Permasalahan pertanahan adalah merupakan masalah yang mempunyai karakter yang bersifat

multi dimensi. Unik, berbagai aspek yang terlibat didalamnya, sehingga tidak mudah dalam

penanganan dan penyelesaiannya. Di dalamnya ada muatan politis, hukum, ekonomi, budaya bahkan

pertahanaan dan kemanan bisa masuk didalamnya, belum lagi muatan kepentingan tertentu dan

ujungnya adalah bicara adil tidak adil, sehingga peran Negara sangat dibutuhkan dalam rangka turut

ikut upaya penyelesaiannya. Ketika kita mengedepankan hukum maka akan menjadi tidak adil bagi

yang dikalahkan. Demikian juga bisa terjadi jika untuk kepentingan politis maka hukum menjadi

mandul. Masalah pertanahan tidak mengenal batas waktu penyelesaian. Bisa cepat bisa juga memakan

puluhan tahun. Tidak jarang masalah pertanahan yang muncul saat ini, merupakan kelanjutan warisan

masa lalu. Ketika putusan masa lalu dianggap penyelesaian yang adil pada masa lalu belum tentu

untuk masa berikutnya. Terlebih jika terkaitan dengan kebijakan politik hukum pada suatu era akan

berbenturan dengan era yang berikutnya. Dengan kata lain bahwa masalah pertanahan bisa ditangani

sehingga benar-benar tuntas dalam arti yang sesungguhnya. Angka masalah pertanahan yang

dihimpun oleh BPN(Badan Pertanahan Nasional ) Republik Indonesia sampai tahun 2008 tidak

kurang 7149 kasus. Kerugian yang ditimbulkan adanya permasalahan ini bisa mencapai mendekati

nilai anggaran pendapatan negara ( APBN ) dalam satu tahun. Angka tersebut bisa terus bertambah

dari tahun ketahun jika tidak segera ada solusi yang lintas sektor dan komprehensip.

Masalah pertanahan yang pada umumnya terjadi melibatkan beberapa pihak dan mempunyai

akar masalah yang bervariasi pula. Pihak–pihak yang terlibat dalam masalah pertanahan: orang
perorangan dan atau kelompok masyarakat dan atau badan hukum privat atau publik dan atau
kombinasi diantaranya. Adapun akar masalah pertanahan dapat diklasifikasikan: pertama, masalah
penguasaan dan kepemilikan tanah, didalamnya berkaitan dengan perbedaan perspektif para pihak
mengenai status penguasaan dan pemilikan atas bidang

tanah tertentu baik yang belum maupun yang sudah dilekati dengan hak – hak keperdataan pihak

tertentu. Bidang tanah yang belum dilekati hak masuk dalam dikategorikan jenis tanah dengan status "

tanah Negara"(tanah yang dikuasai langsung oleh Negara). Tanah yang telah dilekati hak tertentu

misalnya, tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha; kedua, masalah batas, luas dan letak

atas bidang tanah tertentu, didalamnya terjadi perbedaan perspektif mengenai masalah batas, luas dan

letak antara para pihak; ketiga, masalah berkaitan dengan pendaftaran tanah dan penetapan hak;

keempat, masalah tanah-tanah obyek bekas hak barat dan atau obyek landreform; kelima, masalah

tanah ulayat; keenam, masalah pengadaan tanah, hal ini biasanya adanya perbedaan persepsi

mengenai nilai, status hak atas tanah dan proses pembebasan serta pelaksanaan pelepasan dan nilai

ganti rugi; ketujuh, masalah pelaksanaan putusan pengadilan, adanya perbedaan persepsi berkaitan

dengan kepentingan para pihak atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas

tanahnya.

Selanjutnya adalah tindak lanjut dari penanganan masalah pertanahan ini yang perlu mendapat

perhatian adalah masuk kedalam ranah hukum yang mana, perdata ( adat ), pidana atau sengketa Tata

Usaha Negara. Model penanganan penyelesaian apakah diselesaikan diluar ( out court of resettlement

) melalui musyawarah atau mediasi atau masuk keranah lembaga peradilan ( in court of resettlement)

maka kita bicara kompetensi atau kewenangan lembaga hukum peradilan mana, Peradilan umum atau

Peradilan Tata Usaha Negara. Jika masuk ke ranah peradilan maka mau tidak mau membutuhkan

kesabaran, biaya dan waktu yang relative lama. Lembaga peradilan sebagai ujung tombak harapan

terakhir dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan kadang dirasakan oleh pihak tertentu yang

bersengketa menjadi tidak mencerminkan keadilan hukum yang dicari. Dengan kata lain hukum tidak

selalu dapat menyelesaikan persoalan sengketa pertanahan secara tuntas, tetap ada aspek lain yang

harus dipertimbangkan.
Contoh kasus masalah pertanahan yang dapat dikatakan rumit, sebagai ilustrasi sebagaimana
yang digambarkan berikut ini. Bapak X (alm ) betawi asli mewariskan kepada para ahli warisnya,

sebut saja A, dkk, sebidang tanah yang cukup luas yang diperkirakan lebih dari 4 hektar, terletak
pinggir jalan yang sangat strategis, dengan nilai NJOP bisa mencapai puluhan juta per meter
perseginya dan total nilai asset tersebut bisa ratusan milyar rupiah. Bukti kepemilikan ada sebagian

yang sudah bersertipikat hak milik tahun 1960-an ( konversi ),

dan sebagian lagi yang masih berstatus bekas hak barat ( eigendom ) dikuasai berdasarkan akta jual

beli sekitar tahun 1950-an. factual, sebidang tanah berwujud pekarangan dan rumah tinggal. Sisa

bidang tanah tersebut ada yang menjadi jalan protocol, sebagian telah berdiri hotel berbintang. Fakta

yuridis bahwa ternyata diatas bidang tanah tersebut telah terbagi-bagi dan terbit puluhan sertipikat hak

atas tanah yang saling tumpang tindih satu sama yang lain, termasuk bidang tanah yang sudah ada

sertipikat konversi dan beberapa putusan pengadilan. Setelah sekian puluhan tahun lamanya A dkk,

berjuang untuk menuntaskan masalah tersebut, dan dengan berbekal putusan peradilan yang yang

menurut logika hukumnya sudah "inkrach", A dkk, berkeinginan untuk melegalisasikan ( sertipikat )

asset keluarganya, ternyata sampai sekarang belum juga berhasil.

Contoh lain, ada sebidang tanah yang telah berdiri bangunan gedung pertokoan mewah yang

dimana para pihak yang mengaku mempunyai bukti kepemilikan yang menurut pendapat para pihak

yang bersengketa adalah sah secara hukum. Pihak pertama menggunakan alat bukti petok atau girik

pihak kedua menggunakan alat bukti sertifikat hak yang sekaligus secara factual menguasai tanah dan

bangunan tersebut. Oleh lembaga peradilan umum diputuskan dimenangkan oleh pihak pertama,

namun gagal untuk eksekusinya. Guna mempertahankan tanah dan bangunan tersebut pihak kedua

mengambil tindakan lain seperti melakukan gugatan ke ranah pidana alasan misalnya dikatakan surat

bukti yang dipegang pihak pertama adalah palsu dan dimenangkan pihak kedua. Namun selanjutnya

pihak pertama melakukan perlawanan kembali ke ranah peradilan TUN, menyeret instansi yang

mengeluarkan sertifikat tersebut ke ranah PTUN ( peradilan Tata Usaha Negara ).


Salah satu kunci utama dalam penanganan masalah pertanahan adalah pemahaman terhadap

status hukum dari obyek sengketa, dan riwayat hukum dari bukti kepemilikan subyek -subyek hukum

atas obyek sengketa tersebut. Penelusuran riwayat hukum atas obyek sengketa akan menjadi sangat

penting untuk menentukan subyek hukum yang berhak atas tanah tersebut. Seperti halnya contoh

kasus sengketa tersebut diatas, misalnya, para pihak yang menggunakan alat bukti yang berasal dari

hak atas tanah yang lama seperti akte Eigendom yang mana sebetulnya oleh peraturan

peraturan perundang-undangan telah dikonversikan kepada hak-hak atas tanah yang baru pada tahun

1960, berdasarkan UUPA, ataupun telah dinyatakan hapus secara hukum sejak tahun 1945

untuk tanah–tanah yang disebut " perdikan"( UU No.1 tahun

1946), atau karena hukum terkena ketentuan undang-undang Nasionalisasi, tahun 1958
penghapusan tanah-tanah partikulir atau tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw (

UUNo. 1 tahun 1958 ), dan bahkan telah dihapuskan pada tahun 1980 ( Keppres No. 32 tahun

1979). Tanah–tanah hak yang ada berdasarkan hukum perdata barat tersebut dihapus atau dicabut

yang selanjutnya dikuasai oleh negara, dimana secara hukum maka status tanahnya pun berubah

menjadi berstatus "tanah negara". Demikian juga terhadap tanah swapraja telah dihapus yang mana

selanjutnya ada sebagian besar telah dibagikan kepada masyarakat setempat ( PP 24 tahun 1961 ),

juga sebagian besar tanah-tanah bekas bekas perkebunan- perkebunan sebagian besar telah dibagikan

dalam rangka kebijakan landreform antara tahun 1960–1968.

Kasus-kasus masalah pertanahan semacam ini masih sering terjadi, banyak aspek yang harus
dilihat dan dikaji, sehingga dapat dikatakan bahwa masalah pertanahan adalah berkarakter yang
bersifat multi dimensi. Aspek hukum, banyak sekali peraturan perundangan yang terkait dengan
pertanahan ada unsur keperdataan, pidananya maupun aspek administrasi pertanahannya bisa terlibat
didalamnya serta penegakan hukumnya. Aspek politik akan bicara bagaimana kebijakan dan
kepentingan Negara diarahkan untuk itu. Demikian juga aspek social dan ekonomi sangat
mempengaruhi putusan politik dan penegakan hukumnya.
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting

karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga

kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna

menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga,

tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi

struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau

kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada

kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah

inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu

sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan

merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat

pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri.

Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses

pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan

kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan

tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan

pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik

yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar

dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik

bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka

yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan

ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin

adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui

program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan

kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam
perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi

bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan

mengambilnya.

2.2. Sifat Permasalahan tanah di Indonesia

Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga

akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik

yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya.

Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih

banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani

pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani.

Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan

istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin

lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup

status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-

clienttersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu.

10

Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan

bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan

pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah

berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik

tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di

kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang

atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya

diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada

dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian

Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil
tanah- tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung

kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi

pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa,

karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum

yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian

berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum. Dengan

demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik

struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang

berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus

pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA

mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria

struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini

bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman,

penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-

bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI

atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal

diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui

suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun

berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960

11

membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam

peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa

hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan

membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas

meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang

tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang
diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai

Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan

sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan

terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang

pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan

memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan

musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai

penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak

ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa

pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring

dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik

perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-

individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau

pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus

PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah

beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-

peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era

Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.

2.3. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat

Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua
hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan

12

sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di

samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan ”proyek

pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti
pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini

menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang luas.

Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang

punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan

pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi

pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-

Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai

departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada

empat undang- undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok

Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan.

Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral, dan

dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan

departemen/sektoral masing-masing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara

paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh

Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal

dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang

mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa

sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau

Departemen- Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang

mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku

ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan

hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana

mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum

atas semua hal ini? Pertanyaan dan jawaban demikian

13
seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam

wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak

sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan

hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). Realitas

pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan

alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya

UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak

ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang

merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal

Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang

dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis

dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan

yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan

adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex

generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum); (2) bahwa relasi UUPA dan UU

Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi Agrarische Wet 1870

dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa

semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang

merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat

dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan

(3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya.

Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan

kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah

Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus

melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan

negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.

Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen

Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa.

Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai


14

sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi

rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan

berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai

tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah

terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan

bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli.

2.4. Rekomendasi

TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara

eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan

berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor

haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya

alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan

holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu,

memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini

digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan

lembaga khusus penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan

penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan.

Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang

selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena

proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan

sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu.

Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah:

1)memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas;

2)menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah,

3)memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian


dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan
4)memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum
yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.

15

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten

dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya
bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu sistem
administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak beres, distribusi kepemilikan
tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah yang semata- mata didasarkan pada bukti
formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang- undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reformasi

agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria secara
serius.

3.2 Saran

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,


masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung pada
dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat
ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di

selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu
yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa

16

langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme
PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga
mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas
untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
17

DAFTAR PUSTAKA

KONFLIK TANAH DI INDONESIA Oleh: Suparman Marzuki, S.H., M.Si Direktur PUSHAM UII

Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-AL Di Pasuruan Dihubungkan
Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, Law community

Peran Kantor Pertanahan Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan DI KABUPATEN


KARANGANYAR, Oleh : SRIYONO S.H. CN

Tanah Dan Hukum Tanah, oleh boedi djatmiko

Undang-undang RI No.5 Tahun 1950 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.

Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung,
1993.

Prof.boedi Harsono, sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, ,isi dan pelaksanaannya, Djambatan
, edisi revisi 1999.

Prof.boedi Harsono, Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi 2002.
18

Anda mungkin juga menyukai