Makalah Permasalahan Agraria Blom Jadi
Makalah Permasalahan Agraria Blom Jadi
DI INDONESIA
DOSEN PENGASUH :
LOLITA PERMANASARI S.H.,M.HUM.
Disusun oleh :
NIM : 1511121199
JURUSAN : HUKUM
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-
Nya dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai
Permasalahan Agraria di Indonesia.
Penyusun
Ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1988 akhirnya bergerak di segala
bidang termasuk diantaranya di bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan pertanahan selalu ada dan
menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Persoalan pertanahan selalu diwarnai dengan adanya gejolak
karena adanya ketidak adilan di dalam pelayanan yang dilakukan pemerintah baik di pulau Jawa
maupun di luar pulau Jawa. Pemerintah Orde Baru yang ada pada waktu itu sangat kuat menciptakan
suatu pemerintahan dengan bernaung Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-
Pokok Pemerintah di Daerah. Di dalam pelaksanaan Undang- Undang yang bersifat sentralistik ini
ada yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Reformasi tampaknya menyadari sebagian masyarakat
tentang penegakan tatanan pemerintah yang mendasarkan kepada Undang Undang Dasar 1945.
Pemikiran Otonomi Daerah dipandang dapat memecahkan masalah-masalah pemerintah yang lebih
berkeadilan di segala bidang meskipun disadari bahwa manfaat dari pengaturan sentralistik tidak
semuanya buruk. Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai jalan keluar yang sangat baik bagi
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Koreksi total terhadap penyelenggaraan pemerintah
di daerah yang mendasarkan kepada Ketetapan MPR tersebut di atas dituangkan di dalam Undang-
Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Mei 1999, yang termuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3839 yaitu dengan prinsip mengatur
desentralisasi. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tersebut telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, karena tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Masih dalam
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam menetapkan prinsip-
prinsip pembaruan dan pengelolaan sumber daya alam, dinyatakan dalam Pasal 4 huruf 1, bahwa
Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa atau yang setingkat, berkaitan dengan lokasi dan
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam”, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR Nomor :
IX/MPR/ 2001 tersebut telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 34 Tahun 2003 tentang
5.Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan
tanah absentee;
6.Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat;
Untuk keseragaman administrasi oleh pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional
telah menerbitkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 23 Agustus
2003, tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, norma tersebut merupakan tindak
lanjut sekaligus sebagai pedoman 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Masih sering terjadi adanya informasi masyarakat
mengenai perselisihan tanah garapan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang jelas, sehingga
berakibat terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain yang
ingin menguasai dan menggarap bahkan ada sebagian Pemerintah Desa/Kelurahan yang
menginginkan demikian. Sebetulnya apa yang dikenal dengan sebutan “Hak Garapan” tidak ada
dalam Hukum Tanah.
Menurut hukum penguasaan tanah yang bersangkutan tidak ada landasan haknya (“illegal”).
1)Penguasaannya justru melanggar hak pihak yang empunya tanah atau hak negara, kalau yang diduduki
itu tanah negara dan ini melanggar Undang-Undang Nomor 51 Perpu. Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang Sah. Pelanggaran-pelanggaran seperti
ini masih ada dan berlangsung terus, hal ini terjadi karena jumlah penduduk terus bertambah, sudah
tentu kebutuhan akan tanah terus meningkat, di sisi lain tanah mempunyai nilai strategi dan ekonomis.
Jadi wajar kalau masalah tanah selalu muncul di Negara Republik Indonesia tercinta ini, khususnya
yang berkaitan dengan penguasaan tanah garapan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara mengatur
tentang penerbitan status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian
hukum, salah satu caranya dengan pemberian sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut.
Secara konstitusional, Undang- Undang Dasar 1945 telah mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 33 ayat
(3), memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
2)Penjabaran atas ketentuan tersebut di atas pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan
resminya Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, untuk bertujuan memberikan dasar hukum
yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas tanah, dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi tersebut
Negara berkewajiban untuk:
a. Mengatur dan menyelesaikan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang menyangkut penguasaan bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam perannya sebagai penguasa tertinggi rakyat Indonesia, negara berkewajiban untuk
melaksanakan hal-hal tersebut di atas, guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat berwenang
seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan
hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil tidak menimbulkan
masalah atau sengketa baru.
Berbagai usaha dan langkah yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan penguasaan
tanah, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah, telah dilaksanakan dengan baik, dan dapat
dipergunakan untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi keberhasilan itu bukan
tidak ada masalah, hal tersebut dapat dimaklumi karena masih terbatasnya tenaga dan prasarana.
3)Kebutuhan dan permintaan bidang tanah menjadi semakin pelik dan kompleks, sedangkanluas tanah
terbatas atau tetap. Meningkatnya kebutuhan akan tanah sebagai akibat lajunya pertumbuhan
penduduk dan pembangunan. Kemudian pemusatan penguasaan yang luas, persaingan keras dalam
perolehan tanah, meningkatnya harga tanah semakin tinggi, masalah ganti kerugian tanah belum
terlantar. Praktek-praktek penggunaan tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, sehingga merusak
lingkungan hidup, merupakan kasus-kasus keagrariaan atau pertanahan yang banyak dijumpai,
semuanya itu merupakan tantangan bagi pejabat berwenang di bidang pertanahan dalam menghadapi
2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
4.Rekomendasi ?
3.Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
b. Mengetahui dan memahami Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat serta
Rekomendasi yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan tanah di indonesia.
4.Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-
buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam pembaruannya dan
5.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai media untuk menambah wawasan. b. Bahan
referensi aktual .
BAB II
PEMBAHASAN
Permasalahan pertanahan adalah merupakan masalah yang mempunyai karakter yang bersifat
multi dimensi. Unik, berbagai aspek yang terlibat didalamnya, sehingga tidak mudah dalam
penanganan dan penyelesaiannya. Di dalamnya ada muatan politis, hukum, ekonomi, budaya bahkan
pertahanaan dan kemanan bisa masuk didalamnya, belum lagi muatan kepentingan tertentu dan
ujungnya adalah bicara adil tidak adil, sehingga peran Negara sangat dibutuhkan dalam rangka turut
ikut upaya penyelesaiannya. Ketika kita mengedepankan hukum maka akan menjadi tidak adil bagi
yang dikalahkan. Demikian juga bisa terjadi jika untuk kepentingan politis maka hukum menjadi
mandul. Masalah pertanahan tidak mengenal batas waktu penyelesaian. Bisa cepat bisa juga memakan
puluhan tahun. Tidak jarang masalah pertanahan yang muncul saat ini, merupakan kelanjutan warisan
masa lalu. Ketika putusan masa lalu dianggap penyelesaian yang adil pada masa lalu belum tentu
untuk masa berikutnya. Terlebih jika terkaitan dengan kebijakan politik hukum pada suatu era akan
berbenturan dengan era yang berikutnya. Dengan kata lain bahwa masalah pertanahan bisa ditangani
sehingga benar-benar tuntas dalam arti yang sesungguhnya. Angka masalah pertanahan yang
dihimpun oleh BPN(Badan Pertanahan Nasional ) Republik Indonesia sampai tahun 2008 tidak
kurang 7149 kasus. Kerugian yang ditimbulkan adanya permasalahan ini bisa mencapai mendekati
nilai anggaran pendapatan negara ( APBN ) dalam satu tahun. Angka tersebut bisa terus bertambah
dari tahun ketahun jika tidak segera ada solusi yang lintas sektor dan komprehensip.
Masalah pertanahan yang pada umumnya terjadi melibatkan beberapa pihak dan mempunyai
akar masalah yang bervariasi pula. Pihak–pihak yang terlibat dalam masalah pertanahan: orang
perorangan dan atau kelompok masyarakat dan atau badan hukum privat atau publik dan atau
kombinasi diantaranya. Adapun akar masalah pertanahan dapat diklasifikasikan: pertama, masalah
penguasaan dan kepemilikan tanah, didalamnya berkaitan dengan perbedaan perspektif para pihak
mengenai status penguasaan dan pemilikan atas bidang
tanah tertentu baik yang belum maupun yang sudah dilekati dengan hak – hak keperdataan pihak
tertentu. Bidang tanah yang belum dilekati hak masuk dalam dikategorikan jenis tanah dengan status "
tanah Negara"(tanah yang dikuasai langsung oleh Negara). Tanah yang telah dilekati hak tertentu
misalnya, tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha; kedua, masalah batas, luas dan letak
atas bidang tanah tertentu, didalamnya terjadi perbedaan perspektif mengenai masalah batas, luas dan
letak antara para pihak; ketiga, masalah berkaitan dengan pendaftaran tanah dan penetapan hak;
keempat, masalah tanah-tanah obyek bekas hak barat dan atau obyek landreform; kelima, masalah
tanah ulayat; keenam, masalah pengadaan tanah, hal ini biasanya adanya perbedaan persepsi
mengenai nilai, status hak atas tanah dan proses pembebasan serta pelaksanaan pelepasan dan nilai
ganti rugi; ketujuh, masalah pelaksanaan putusan pengadilan, adanya perbedaan persepsi berkaitan
dengan kepentingan para pihak atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas
tanahnya.
Selanjutnya adalah tindak lanjut dari penanganan masalah pertanahan ini yang perlu mendapat
perhatian adalah masuk kedalam ranah hukum yang mana, perdata ( adat ), pidana atau sengketa Tata
Usaha Negara. Model penanganan penyelesaian apakah diselesaikan diluar ( out court of resettlement
) melalui musyawarah atau mediasi atau masuk keranah lembaga peradilan ( in court of resettlement)
maka kita bicara kompetensi atau kewenangan lembaga hukum peradilan mana, Peradilan umum atau
Peradilan Tata Usaha Negara. Jika masuk ke ranah peradilan maka mau tidak mau membutuhkan
kesabaran, biaya dan waktu yang relative lama. Lembaga peradilan sebagai ujung tombak harapan
terakhir dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan kadang dirasakan oleh pihak tertentu yang
bersengketa menjadi tidak mencerminkan keadilan hukum yang dicari. Dengan kata lain hukum tidak
selalu dapat menyelesaikan persoalan sengketa pertanahan secara tuntas, tetap ada aspek lain yang
harus dipertimbangkan.
Contoh kasus masalah pertanahan yang dapat dikatakan rumit, sebagai ilustrasi sebagaimana
yang digambarkan berikut ini. Bapak X (alm ) betawi asli mewariskan kepada para ahli warisnya,
sebut saja A, dkk, sebidang tanah yang cukup luas yang diperkirakan lebih dari 4 hektar, terletak
pinggir jalan yang sangat strategis, dengan nilai NJOP bisa mencapai puluhan juta per meter
perseginya dan total nilai asset tersebut bisa ratusan milyar rupiah. Bukti kepemilikan ada sebagian
dan sebagian lagi yang masih berstatus bekas hak barat ( eigendom ) dikuasai berdasarkan akta jual
beli sekitar tahun 1950-an. factual, sebidang tanah berwujud pekarangan dan rumah tinggal. Sisa
bidang tanah tersebut ada yang menjadi jalan protocol, sebagian telah berdiri hotel berbintang. Fakta
yuridis bahwa ternyata diatas bidang tanah tersebut telah terbagi-bagi dan terbit puluhan sertipikat hak
atas tanah yang saling tumpang tindih satu sama yang lain, termasuk bidang tanah yang sudah ada
sertipikat konversi dan beberapa putusan pengadilan. Setelah sekian puluhan tahun lamanya A dkk,
berjuang untuk menuntaskan masalah tersebut, dan dengan berbekal putusan peradilan yang yang
menurut logika hukumnya sudah "inkrach", A dkk, berkeinginan untuk melegalisasikan ( sertipikat )
Contoh lain, ada sebidang tanah yang telah berdiri bangunan gedung pertokoan mewah yang
dimana para pihak yang mengaku mempunyai bukti kepemilikan yang menurut pendapat para pihak
yang bersengketa adalah sah secara hukum. Pihak pertama menggunakan alat bukti petok atau girik
pihak kedua menggunakan alat bukti sertifikat hak yang sekaligus secara factual menguasai tanah dan
bangunan tersebut. Oleh lembaga peradilan umum diputuskan dimenangkan oleh pihak pertama,
namun gagal untuk eksekusinya. Guna mempertahankan tanah dan bangunan tersebut pihak kedua
mengambil tindakan lain seperti melakukan gugatan ke ranah pidana alasan misalnya dikatakan surat
bukti yang dipegang pihak pertama adalah palsu dan dimenangkan pihak kedua. Namun selanjutnya
pihak pertama melakukan perlawanan kembali ke ranah peradilan TUN, menyeret instansi yang
status hukum dari obyek sengketa, dan riwayat hukum dari bukti kepemilikan subyek -subyek hukum
atas obyek sengketa tersebut. Penelusuran riwayat hukum atas obyek sengketa akan menjadi sangat
penting untuk menentukan subyek hukum yang berhak atas tanah tersebut. Seperti halnya contoh
kasus sengketa tersebut diatas, misalnya, para pihak yang menggunakan alat bukti yang berasal dari
hak atas tanah yang lama seperti akte Eigendom yang mana sebetulnya oleh peraturan
peraturan perundang-undangan telah dikonversikan kepada hak-hak atas tanah yang baru pada tahun
1960, berdasarkan UUPA, ataupun telah dinyatakan hapus secara hukum sejak tahun 1945
1946), atau karena hukum terkena ketentuan undang-undang Nasionalisasi, tahun 1958
penghapusan tanah-tanah partikulir atau tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw (
UUNo. 1 tahun 1958 ), dan bahkan telah dihapuskan pada tahun 1980 ( Keppres No. 32 tahun
1979). Tanah–tanah hak yang ada berdasarkan hukum perdata barat tersebut dihapus atau dicabut
yang selanjutnya dikuasai oleh negara, dimana secara hukum maka status tanahnya pun berubah
menjadi berstatus "tanah negara". Demikian juga terhadap tanah swapraja telah dihapus yang mana
selanjutnya ada sebagian besar telah dibagikan kepada masyarakat setempat ( PP 24 tahun 1961 ),
juga sebagian besar tanah-tanah bekas bekas perkebunan- perkebunan sebagian besar telah dibagikan
Kasus-kasus masalah pertanahan semacam ini masih sering terjadi, banyak aspek yang harus
dilihat dan dikaji, sehingga dapat dikatakan bahwa masalah pertanahan adalah berkarakter yang
bersifat multi dimensi. Aspek hukum, banyak sekali peraturan perundangan yang terkait dengan
pertanahan ada unsur keperdataan, pidananya maupun aspek administrasi pertanahannya bisa terlibat
didalamnya serta penegakan hukumnya. Aspek politik akan bicara bagaimana kebijakan dan
kepentingan Negara diarahkan untuk itu. Demikian juga aspek social dan ekonomi sangat
mempengaruhi putusan politik dan penegakan hukumnya.
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting
karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga
kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna
menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga,
tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi
struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau
kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada
kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah
inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu
sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan
merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat
pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri.
Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses
pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan
kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan
tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan
pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik
yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar
dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik
bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka
yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan
ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin
adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui
kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam
perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi
bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan
mengambilnya.
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga
akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik
yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya.
Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih
banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani
pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani.
Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan
istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin
lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup
status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-
clienttersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu.
10
Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan
bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan
pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah
berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik
tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di
kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang
atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya
diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada
dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian
Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil
tanah- tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung
kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi
pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa,
karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum
yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian
berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum. Dengan
demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik
struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang
berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus
pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA
mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria
struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini
bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman,
penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-
bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI
atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal
diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui
suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun
11
membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam
peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa
hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan
membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas
meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang
tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang
diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai
Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan
sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan
terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang
pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan
musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai
penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak
ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa
pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring
dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik
perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-
individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau
pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus
PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah
beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-
peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era
Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua
hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan
12
sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di
samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan ”proyek
pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti
pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini
menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang luas.
Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang
punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan
pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi
pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-
Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai
departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada
empat undang- undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok
Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral, dan
paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh
Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal
dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang
mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa
sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau
Departemen- Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang
mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku
ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan
hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana
mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum
13
seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam
wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak
sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan
hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). Realitas
pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan
alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya
UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak
ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang
merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal
Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang
dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis
dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan
yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan
adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex
generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum); (2) bahwa relasi UUPA dan UU
Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi Agrarische Wet 1870
dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa
semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang
merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat
dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan
(3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya.
Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan
kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah
Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus
melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan
negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.
Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen
Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa.
sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi
rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan
berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai
tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah
terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan
bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli.
2.4. Rekomendasi
TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara
eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan
berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor
haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya
alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan
holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu,
memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini
lembaga khusus penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan
penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan.
Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang
selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena
proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan
Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah:
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten
dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya
bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu sistem
administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak beres, distribusi kepemilikan
tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah yang semata- mata didasarkan pada bukti
formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang- undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reformasi
agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria secara
serius.
3.2 Saran
selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu
yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa
16
langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme
PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga
mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas
untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
17
DAFTAR PUSTAKA
KONFLIK TANAH DI INDONESIA Oleh: Suparman Marzuki, S.H., M.Si Direktur PUSHAM UII
Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-AL Di Pasuruan Dihubungkan
Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, Law community
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung,
1993.
Prof.boedi Harsono, sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, ,isi dan pelaksanaannya, Djambatan
, edisi revisi 1999.
Prof.boedi Harsono, Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi 2002.
18