Anda di halaman 1dari 144

TUGAS AKHIR – TL 141584

PENGARUH TEMPERATUR REDUKSI


TERHADAP KADAR Ni DAN Fe SERTA
MORFOLOGI AGLOMERAT HASIL REDUKSI
BIJIH NIKEL LATERIT LIMONITIK
MENGGUNAKAN METODE BED BATU BARA

AHLIDIN NURSIDIQ
NRP. 2713 100 150

Dosen Pembimbing
Sungging Pintowantoro, Ph.D
Fakhreza Abdul, S.T., M.T.

DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI


Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2017

1
TUGAS AKHIR – TL141584

PENGARUH TEMPERATUR REDUKSI


TERHADAP KADAR Ni DAN Fe SERTA
MORFOLOGI AGLOMERAT HASIL REDUKSI
BIJIH NIKEL LATERIT LIMONITIK
MENGGUNAKAN METODE BED BATU BARA
Ahlidin Nursidiq
NRP 2713 100 150

Dosen Pembimbing :
Sungging Pintowantoro, Ph.D.
Fakhreza Abdul, S.T., M.T.

DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI


Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2017

i
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

ii
FINAL PROJECT – TL141584

THE EFFECTS OF REDUCTION


TEMPERATURE TO Ni AND Fe CONTAIN
AND THE MORPHOLOGY OF AGGLOMERATE
OF REDUCTED LATERITE LIMONITIC NICKEL
ORE BY COALBED METHOD

Ahlidin Nursidiq
NRP 2712 100 150

Advisor :
Sungging Pintowantoro, Ph.D.
Fakhreza Abdul, S.T., M.T.

DEPARTMENT OF MATERIALS AND METALLURGICAL ENGINEERING


Faculty of Industrial Technology
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2017

iii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

iv
v
(Halaman Ini Sengaja Dikosongkan)

vi
PENGARUH TEMPERATUR REDUKSI TERHADAP
KADAR Ni DAN Fe SERTA MORFOLOGI
AGLOMERAT HASIL REDUKSI BIJIH NIKEL
LATERIT LIMONITIK MENGGUNAKAN METODE
BED BATU BARA

Nama Mahasiswa : Ahlidin Nursidiq


NRP : 2713 100 150
Departemen : Teknik Material dan Metalurgi
Dosen Pembimbing : Sungging Pintowantoro, Ph.D.
Co-Pembimbing : Fakhreza Abdul, S.T., M.T.

ABSTRAK
Dengan semakin menurunnya cadangan bijih nikel sulfida
saat ini, perhatian mengenai pengolahan bijih nikel laterit semakin
meningkat dalam upaya memenuhi kebutuhan nikel di masa
mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalisasi
proses pengolahan bijih nikel laterit menggunakan metode bed
batu bara. Penelitian ini dilakukan dengan mereduksi bijih nikel
laterit kadar rendah (Limonitik) dengan kadar nikel sebesar
1,25%. Proses reduksi dilakukan menggunakan gas CO hasil
reaksi antara batu bara dengan dolomit. Briket campuran bijih,
batubara, dan Na2SO4 yang dimasukan pada crucible bersama
dengan bed direduksi selama 6 jam pada temperatur 1200 oC, 1300
o
C dan 1400 oC. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa
peningkatan kadar Ni dan nilai recovery Ni tertinggi berada pada
hasil reduksi 1400 oC dengan peningkatan sebesar 3,44%, dan
nilai recovery Ni sebesar 86,75%. Sedangkan peningkatan kadar
Fe dan nilai recovery Fe tertinggi berturut-turut berada pada hasil
reduksi 1300 oC dengan peningkatan sebesar 22,67 % dan 1200 oC
dengan nilai recovery Fe sebesar 89,41 %
Kata Kunci : Nikel Laterit Limonitik, Temperatur Reduksi,
Briket, Bed Batu Bara

vii
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

viii
THE EFFECTS OF REDUCTION TEMPERATURE
TO Ni AND Fe CONTAIN AND THE MORPHOLOGY
OF AGGLOMERATE OF REDUCTED LATERITE
LIMONITIC NICKEL ORE BY COALBED METHOD

Student’s Name : Ahlidin Nursidiq


NRP : 2713 100 150
Department : Materials and Metallurgical Eng.
Advisor : Sungging Pintowantoro, Ph.D.
Co-Advisor : Fakhreza Abdul, S.T., M.T.

ABSTRACT
As the current drop of nickel sulfide ore on earth, the
attention to nickel laterite ore processing was inscreased in order
to fulfill the future nickel demand needs. This research aims to
optimized the process of nickel laterite ore extraction using coal
bed method. This research was conducted by reducing low grade
nickel laterite ore (limonitic) with nickel content of 1,25 %. The
reduction process was carried out using CO gas which formed by
the reaction of coal and dolomite. The Briquette of nickel ore, coal,
Na2SO4 mixtures incorporated in the crucible with bed, then
reduced for 6 hours at the temperature of 1200 oC. 1400 oC, and
1400 oC. The result of the research shown that the highest increase
of Ni content and Ni recovery value was in the reduction
temperature of 1400 oC with the increase of 3,44 %, and the
recovery value of Ni equal to 86,75 %. While the highest increase
of Fe content and Fe recovery value, respectively, was in the
reduction temperature of 1300 oC with the increase of 22,67 % and
1200 oC with Fe recovery value of 89,41 %.
Keywords: Laterite Limonitic Nickel Ore, Reducing
Temperature, Briquette, Coal Bed

ix
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

x
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat


dan hidayah-Nya, tidak lupa shalawat serta salam penulis
panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis diberi
kesempatan untuk menyelesaikan Tugas Akhir. Tugas Akhir
ditujukan untuk memenuhi mata kuliah wajib yang harus diambil
oleh mahasiswa Departemen Teknik Material dan Metalurgi
Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS), penulis telah menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang
berjudul “Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Kadar Ni
dan Fe serta Morfologi Aglomerat Hasil Reduksi Bijih Nikel
Laterit Limonitik menggunakan Metode Bed Batu Bara”.
Penulis ingin berterima kasih juga kepada :
1. Allah SWT atas karunia, rahmat, dan hidayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan lancar.
2. Kedua Orang Tua, yang telah mendukung secara moril
maupun materil serta doa yang selalu dipanjatkan demi
kesehatan ,keselamatan dan kelancaran anaknya dalam
menempuh studi.
3. Keempat saudara kandung penulis yang telah memberikan
doa, perhatian, dukungan, dan semangat dalam
penyelesaian tugas akhir ini.
4. Bapak Dr. Agung Purniawan, S.T, M.Eng., selaku Ketua
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS.
5. Bapak Sungging Pintowantoro, Ph.D selaku dosen
pembimbing tugas akhir yang telah memberikan bekal
yang sangat bermanfaat.
6. Bapak Fakhreza Abdul, S.T., M.T selaku co dosen
Pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu.
7. Bapak Budi Agung Kurniawan, S.T., M.Sc Selaku dosen
wali yang sangat mengayomi

xi
8. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Teknik Material
dan Metalurgi FTI-ITS.
9. Teman-teman Lab. Pengolahan Material yang telah
membantu tugas akhir saya selama 1 semester khususnya
kepada Ridwan, Kemplo, Fiqri, Hamzah, Rizki, Bima,
Anggiat, Orlando, Rahmania, Farid dan juga mas-mas
MT14 yang udah banyak memberi saran serta ilmu untuk
tugas akhir saya khususnya Mas Iqbal, Mas Arif, Mas
Bram, Mas Alfian, Mas Dayat, Mas Afri, dan Mas
Mardyanto.
10. Keluarga MT15 yang banyak memberikan saya
pemgalaman berharga selama di Departemen Teknik
Material dan Metalurgi.
11. Dan seluruh pihak yang telah memberikan partisipasi
dalam Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan
kemajuan bersama. Penulis berharap laporan Tugas Akhir ini dapat
bermanfaat dan dimanfaatkan dengan baik.

Surabaya, Juli 2017

Penulis,
Ahlidin Nursidiq

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................... v
ABSTRAK .............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................. xv
DAFTAR TABEL ................................................................xvii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................... 4
1.3 Batasan Masalah ....................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian .................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bijih Nikel .................................................................. 7
2.2 Bijih Laterit ................................................................ 8
2.3 Ekstraksi Nikel Laterit ............................................. 13
2.4 Aglomerasi dan Reduksi Nikel Laterit Limonitik ..... 17
2.5 Reduktor Batu Bara................................................... 21
2.6 Fluks Dolomit .......................................................... 23
2.7 Termodinamika Reduksi Nikel Laterit Limonitik..... 25
2.8 Kinetika Reduksi Ore ............................................... 33
2.9 Kajian Terdahulu mengenai Reduksi Nikel Laterit
Limonitik .................................................................. 35

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Diagram Alir Penelitian ........................................... 39
3.2 Bahan Penelitian ...................................................... 41
3.2.1 Bijih Nikel............................................................ 41
3.2.2 Batu Bara ............................................................. 41

xiii
3.2.3 Batu Kapur ........................................................... 42
3.2.4 Natrium Sulfat ...................................................... 42
3.2.5 Kanji..................................................................... 43
3.2.6 Air ........................................................................ 43
3.2.7 LPG ...................................................................... 44
3.3 Peralatan Penelitian .................................................. 44
3.3.1 Alat Kompaksi ..................................................... 44
3.3.2 Muffel Furnace..................................................... 45
3.3.3 Crucible ............................................................... 46
3.3.4 Timbangan Digital ............................................... 47
3.3.5 Ayakan ................................................................. 48
3.3.6 Thermocouple ...................................................... 48
3.3.7 Blower .................................................................. 49
3.3.8 Oven ..................................................................... 50
3.3.9 Alat Tumbuk ........................................................ 50
3.4 Pelaksanaan Penelitian .............................................. 51
3.4.1 Persiapan Material ............................................... 51
3.4.2 Proses Aglomerasi dan Reduksi ........................... 52
3.4.3 Proses Pengujian Sampel ..................................... 53
3.4.4 Jadwal Rencana Penelitian ................................... 58
3.4.5 Rencana Penelitian ............................................... 59
3.5 Neraca Massa Briket Nikel Laterit Limonitik ........... 59

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN


4.1 Karakterisasi Bijih Nikel Laterit Limonitik ............... 63
4.2 Karakteristik Batu Bara .............................................. 64
4.3 Karakteristik Batu Kapur (Dolomit) .......................... 66
4.4 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Komposisi
Unsur pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
..................................................................................... 68
4.4.1 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Unsur Nikel
pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi . 69
4.4.2 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Unsur Besi
pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi . 72

xiv
4.4.3 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Nikel ............................................ 75
4.4.4 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Besi .............................................. 77
4.4.5 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Faktor
Selektivitas pada Proses Reduksi ........................... 79
4.5 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Fasa di dalam
Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi .............. 80
4.5.1 Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada
1200 oC.................................................................. 82
4.5.2 Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada
1300 oC.................................................................. 84
4.5.3 Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada
1400 oC.................................................................. 86
4.6 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Morfologi
Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi ............. 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ................................................................ 93
5.2 Saran ......................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. xix


LAMPIRAN
BIODATA PENULIS

xv
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Distribusi Persebaran Bijih Nikel Laterit di Dunia


Bedasarkan Jumlah Kandungan Nikelnya ........ 9
Gambar 2.2 Profil Nikel Laterit .......................................... 10
Gambar 2.3 Profil Laterit pada Daerah Beriklim Kering dan
Lembab ........................................................... 10
Gambar 2.4 Diagram Ekstraksi Nikel dan FerroNickel ..... 16
Gambar 2.5 Bentuk Briket ................................................. 18
Gambar 2.6 Batu Bara ........................................................ 23
Gambar 2.7 Batu Kapur / Dolomit .................................... 25
Gambar 2.8 Diagram Boudouard ....................................... 26
Gambar 2.9 Diagram Ellingham ........................................ 28
Gambar 2.10 Standard Gibbs Free Energy untuk oksida nikel
dan karbon ...................................................... 32
Gambar 2.11 Mekanisme reduksi untuk mineral berpori ..... 34
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian ................................. 40
Gambar 3.2 Bijih Nikel Laterit .......................................... 41
Gambar 3.3 Batu Bara ....................................................... 42
Gambar 3.4 Batu Kapur ..................................................... 42
Gambar 3.5 Serbuk Natrium Sulfat ................................... 43
Gambar 3.6 Serbuk Kanji .................................................. 43
Gambar 3.7 LPG ................................................................ 44
Gambar 3.8 Alat Kompaksi ............................................... 45
Gambar 3.9 Muffle Furnace .............................................. 46
Gambar 3.10 Crucible ......................................................... 47
Gambar 3.11 Timbangan Digital .......................................... 47
Gambar 3.12 Ayakan ........................................................... 48
Gambar 3.13 Thermocouple ................................................ 49
Gambar 3.14 Blower ............................................................ 49
Gambar 3.15 Oven ............................................................... 50
Gambar 3.16 Alat Tumbuk .................................................. 50
Gambar 3.17 Skematik Posisi Briket di dalam Crucible ...... 52
Gambar 3.18 XRD PAN Analytical ..................................... 54
Gambar 3.19 SEM-EDX ...................................................... 54
xvii
Gambar 4.1 Hasil Pengujian XRD Bijih Nikel Laterit
Limonitik ....................................................... 63
Gambar 4.2 Hasil Pengujian XRD Batu Kapur Dolomit .... 66
Gambar 4.3 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Kadar
Unsur Nikel di dalam Briket Hasil Proses
Reduksi .......................................................... 70
Gambar 4.4 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Kadar
Unsur Fe di dalam Briket Hasil Proses
Reduksi ........................................................... 73
Gambar 4.5 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Nikel .................................... 76
Gambar 4.6 Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Fe .......................................... 78
Gambar 4.7 Nilai Faktor Selektivitas Hasil Proses
Reduksi ........................................................... 80
Gambar 4.8 Hasil Pengujian XRD Briket Hasil Proses
Reduksi ........................................................... 81
Gambar 4.9 Gambar Morfologi Briket Hasil Proses
Reduksi ........................................................... 89

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tata Nama Gamping Bedasarkan Kandungan


Magnesium........................................................... 24
Tabel 3.1 Jadwal Rencana Penelitian .................................. 58
Tabel 3.2 Rencana Penelitian ............................................... 59
Tabel 3.3 Target Reduksi Briket .......................................... 60
Tabel 3.4 Perbandingan Komposisi Briket .......................... 61
Tabel 4.6 Kadar Fe dan Ni pada Briket sebelum Reduksi ... 62
Tabel 4.1 Hasil Pengujian EDX bijih nikel laterit limonitik 64
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Proximate Analysis Batubara ... 65
Tabel 4.3 Hasil Pengujian EDX Batu Kapur Dolomit ......... 67
Tabel 4.4 Komposisi Unsur Briket Hasil Proses Reduksi .... 68
Tabel 4.5 Perhitungan Massa dan Nilai Recovery Unsur
Nikel Hasil Proses Reduksi .................................. 76
Tabel 4.6 Perhitungan Massa dan Nilai Recovery Unsur Fe
Hasil Proses Reduksi............................................ 77
Tabel 4.7 Perbandingan Selectivity Factor di beberapa
Penelitian ............................................................. 80
Tabel 4.8 Identifikasi Fasa pada Briket Hasil Proses
Reduksi ................................................................ 82

xix
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

xx
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nikel memiliki peran penting di dalam perkembangan
pembangunan infrastruktur dan teknologi. Nikel digunakan pada
berbagai jenis produk dan berbagai aplikasi dalam lingkup yang
sangat luas, karena sifat dari nikel yang sangat istimewa seperti
konduktivitas listrik yang baik, kekuatan dan ketangguhan yang baik
pada temperatur tinggi, dan memiliki sifat ketahanan korosi yang
baik. Konsumsi nikel dunia telah meningkat secara signifikan
beberapa abad terakhir. Hanya dalam selang waktu 20 tahun,
konsumsi nikel meningkat dari 900.000 ton per tahun menjadi lebih
dari 1,8 juta ton per tahun. Hal tersebut diakibatkan oleh tren
meningkatnya permintaan baja tahan karat (stainless steel) di dunia
secara signifikan, yang mana di dalam industri stainless steel
kebutuhan terhadap nikel tidak dapat terelakkan. Selain itu,
kebutuhan pasokan stainless steel oleh negara-negara berkembang
di dunia guna mendukung pembangunan infrastruktur masih
terbilang sangat tinggi. Sehingga tingginya permintaan nikel sebagai
bahan baku utama dalam pembuatan stainless steel tersebut
diprediksi akan terus meningkat hingga tahun-tahun ke depan (ISSF
2015). (Pournaderi, 2014)
Secara umum, bijih nikel dibagi menjadi dua tipe, yaitu bijih
nikel sulfida dan bijih nikel oksida (atau biasa disebut laterit). Pada
awalnya, sumber nikel hanya diekstraksi dari bijih yang bersumber
dari bijih laterit menggunakan Iron Blast Furnace di New Caledonia
pada tahun 1879. Kemudian, pada tahun 1886, bijih nikel sulfida
mulai ditemukan dan mulai ditambang di Sudbury, Canada. Sejak
saat itu, bijih sulfida menjadi sumber utama pasokan nikel di dunia
di awal abad ke-20 dan bertahan hingga bertahun-tahun (D. G. E.

1
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Kerfoot, 2005). Namun, tingkat persediaan cadangan bijih nikel


sulfida telah menipis akibat dari aktivitas penambangan yang
dilakukan secara terus menerus. Selama sepuluh tahun ke depan,
produksi nikel dari bijih sulfida diperkirakan hanya akan tumbuh
sedikit. Sedangkan hampir 70 % dari sumber daya dunia yang
berbasis nikel adalah berupa laterit dan hanya 40% yang digunakan
untuk produksi nikel. Jadi ada banyak endapan laterit yang belum
dikembangkan di dunia yang memungkinkan eksploitasi laterit
untuk memenuhi permintaan untuk nikel. Sehingga produksi nikel
di masa depan diharapkan datang dari bijih laterit nikel. Di
Indonesia, cadangan nikel laterit sebesar 15,7% dari jumlah
cadangan laterit nikel di dunia. Jumlah tersebut menjadikan
Indonesia memiliki jumlah cadangan nikel laterit terbanyak ketiga
setelah New Caledonia (22,9%) dan Filipina (17,4%). (Dalvi,
Bacon, & Osborne, 2004)
Laterit merupakan hasil proses pelapukan dan pengkayaan
batuan mafic/ultramafic di daerah tropis. Oleh karena itu, komposisi
kimia dan mineraloginya berbeda antara satu endapan dengan
endapan lainnya. Nikel dalam bijih nikel laterit berasosiasi dengan
besi oksida dan mineral silikat sebagai hasil substitusi isomorphous
unsur besi dan magnesium dalam struktur kristalnya (Dalvi A.D.,
2004), sehingga secara kimia dan fisik, bijih nikel laterit dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu bijih jenis saprolitik
(silikat/hidrosilikat) dan jenis limonitik (oksida/hidroksida)
(Rhamdhani, 2009).
Bijih nikel laterit sulit untuk dibuat menjadi konsentrat nikel
karena terbentuknya struktur kristal isomorphic dari goethite atau
serpentine (Mudd, G., 2010). Kemudian mineralogi yang berbeda
membutuhkan pendekatan proses yang berbeda pula. Dalam bijih
limonite, nikel membentuk ikatan yang lemah dengan goethite.
Akan tetapi dalam bijih saprolit, nikel masuk ke dalam struktur

2 BAB I PENDAHULUAN
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

mineral. Akibatnya, bijih limonite lebih cocok untuk diolah dengan


cara hidrometalurgi dan bijih saprolit cocok untuk diolah dengan
cara pirometalurgi. Di Indonesia, pada saat ini bijih nikel yang
dimanfaatkan adalah bijih nikel yang mempunyai kadar nikel relatif
tinggi (diatas 1,5%) yaitu untuk membuat ferronickel oleh P.T.
Aneka Tambang dan nickel matte oleh P.T. Vale. Sementara bijih
nikel laterit kadar rendah belum dimanfaatkan dengan baik untuk
diolah dengan cara pirometalurgi untuk menghasilkan ferronickel
atau nickel matte. (Bergma, R. A., 2003)
Proses pirometalurgi pada bijih nikel laterit biasanya
menggunakan rotary dryer sebagai alat untuk mengeringkan bijih.
Hasil dari rotary dryer berupa conditioned ore dan debu (dust).
Debu tersebut akan ditangkap oleh electric presipitator yang
nantinya akan diproses kembali pada mixing plant. Conditioned ore
dan debu yang telah diproses akan dilakukan proses kalsinasi /
reduksi dengan menggunakan rotary kiln. Hasil kalsinasi akan
dimasukkan ke dalam electric smelting furnace untuk dilakukannya
proses smelting. Namun saat ini negara Brazil menggunakan Mini
Blast Furnace untuk mencakup proses pengeringan, kalsinasi /
reduksi, dan smelting. Suatu Mini Blast Furnace dapat digunakan
untuk membuat Nickel Pig Iron (NPI). Penggunaan Mini Blast
Furnace cocok untuk bijih nikel laterit yang berasal dari Indonesia,
dikarenakan bijih nikel laterit dari Indonesia memiliki kadar yang
rendah sehingga dapat memanfaatkan teknologi Mini Blast Furnace.
Namun proses reduksi bijih nikel laterit dengan menggunakan Mini
Blast Furnace untuk mengolah nikel laterit dengan kadar rendah
masih belum optimal. Sehingga perlu dilakukan optimalisasi dari
proses reduksi dengan Mini Blast Furnace. Salah satunya dengan
cara memisahkan proses pengeringan dengan proses reduksi bijih
nikel tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengoptimakan peran batu
bara sebagai agen pereduktor pada proses reduksi bijih nikel. Selain

BAB I PENDAHULUAN 3
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

itu upaya untuk mengoptimalisasikan proses produksi nikel laterit


adalah dengan cara mereduksi bijih nikel pada derajat temperatur
yang tepat. Karena hasil produk aglomerasi dipengaruhi oleh
temperatur pemanasan, sehingga temperatur yang tepat tentunya
akan membuat proses aglomerasi, dan bijih nikel akan dapat diolah
dengan baik di dalam Mini Blast Furnace sehingga akan didapatkan
hasil yang optimal serta produktivitas akan meningkat. (Noviyanti,
Jasruddin, & Sujiono, 2015)
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh temperatur reduksi pada proses
aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik terhadap
kadar unsur Ni dan Fe yang dihasilkan ?
2. Bagaimana pengaruh temperatur reduksi pada proses
aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik terhadap
morfologi produk aglomerasi ?
3. Pada temperatur berapa proses reduksi bijih nikel laterit
limonitik menggunakan metode bed batu bara dapat
berlangsung secara optimal?
1.3. Batasan Masalah
Untuk menganalisis masalah pada penelitian ini terdapat
beberapa batasan masalah, antara lain :
1. Bijih nikel yang digunakan adalah mineral laterit limonitik
dari Sulawesi Tenggara dan Batu bara yang digunakan
berjenis sub-bituminus dari Binuang, Kalimantan Selatan.
2. Jenis dan komposisi bijih laterit limonitik, batu bara dan
fluks yang digunakan diasumsikan homogen.
3. Tekanan kompaksi yang diberikan dianggap homogen.
4. Kanji digunakan sebagai pengikat dan pengaruh dari reaksi
kanji diabaikan.
5. Permeabilitas dan porositas diasumsikan homogen.

4 BAB I PENDAHULUAN
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

6. Energi panas yang digunakan pada proses reduksi berasal


dari furnace. Energi panas pembakaran batu bara tidak
dipertimbangkan.
7. Temperatur di bagian luar dan bagian dalam crucible
dianggap sama
8. Waktu tahan saat pemanasan dianggap sama.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh temperatur reduksi pada proses
aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik terhadap
kadar unsur Ni dan Fe yang dihasilkan.
2. Menganalisis pengaruh temperatur reduksi pada proses
aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik terhadap
morfologi produk aglomerasi.
3. Menentukan derajat temperatur reduksi yang optimal untuk
proses aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik
menggunakan metode bed batu bara
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yaitu untuk memberikan
informasi empiris dari parameter proses (temperatur reduksi /
reduction temperature) yang optimal untuk proses aglomerasi dan
reduksi bijih nikel laterit limonitik yang berasal dari Sulawesi
Tenggara menggunakan metode bed batu bara.

BAB I PENDAHULUAN 5
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

6 BAB I PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bijih Nikel


Nikel merupakan salah satu mineral bumi dengan jumlah
cadangan yang sangat berlimpah, dan konsentrasinya di dalam kerak
bumi diperkirakan sekitar 0,008%. Sumber mineral ini tersebar di
banyak negara di dunia, paling banyak terdapat di Kanada, Russia,
Australia, Carribean, dan sebagian Asia (G. M. Mudd, 2010). Telah
dilaporkan di tahun 2006 bahwa cadangan nikel dengan kadar 1,5 –
3 wt. % Ni mengandung 64 Mt logam yang dapat memenuhi
kebutuhan pasokan Nikel selama 40 tahun dengan asumsi tidak ada
daur ulang. Gambaran tersebut, bagaimanapun, dapat berubah,
selama cadangan logam ekonomis berkaitan secara erat dengan
perubahan harga logam dunia dan laju perkembangan teknologi.
Peningkatan harga logam dunia dan/atau kemajuan dalam teknologi
pengolahan mineral akan menaikkan permintaan atau demand dari
logam nikel (T. Norgate & Jahanshahi, 2010).
Selain dari jenis bijih yang didapatkan di atas daratan berupa
bijih nikel sulfida dan bijih oksida, Nikel juga ditemukan di nodul
laut dalam. Nodul laut ditemukan sekitar tahun 1800 di wilayah luas
dasar laut, namun demikian, kegiatan eksploitasi nikel di dasar laut
tersebut belum dapat terealisasi hingga saat ini. Hal tersebut bukan
dikarenakan oleh kurangnya kemampuan dalam proses recovery,
tetapi ketertundan eksploitasi tersebut dikarenakan oleh situasi geo-
politik dunia, masalah lingkungan, dan adanya kenyataan bahwa
sumber nikel yang didapatkan melalui sumber daratan (tipe sulfida
dan oksida) masih dapat memenuhi kebutuhan pasar pada saat ini.
(Moskalyk & Alfantezi, 2002)
Bijih nikel sulfida dan oksida memiliki komposisi yang
berbeda. Bijih nikel sulfida memiliki kandungan nikel hingga

7
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

mencapai 2% Ni dan biasanya disertai dengan logam Tembaga (Cu),


Kobalt (Co), dan Besi Sulfida (Fe sulfide). Beberapa logam mulia
dan konstituen minor yang tidak diinginkan seperti Arsenic (As),
Selerium (Se), Tellerium (Te), dan lain-lain juga ikut hadir. Bijih
nikel sulfida dapat terkonsentrasi hingga kadar 6 – 20% Cu-Ni
melalui teknik Mineral Dressing.
Sedangkan bijih nikel oksida memiliki kandungan nikel hingga
mencapai 3% Ni, biasanya disertai dengan sejumlah Co. Bijih jenis
ini mengandung jumlah moisture yang cukup banyak dan mngikat
air membentuk hidroksida. Beberapa kasus, kadar air yang
terkandung dapat mencapai hingga 45 wt. % (C. M. Diaz & A.
Landolt, 1988).

2.2. Bijih Laterit


Bijih Nikel jenis Laterit dihasilkan melalui proses pelapukan
batuan ultramafic dalam waktu yang sangat panjang di bawah
temperatur yang cukup tinggi. Melalui proses pelapukan,
magnesium, besi, nikel, dan silika koloid mengalami proses
leaching dari bebatuan (rocks) oleh air tanah yang mengandung
karbondioksida. Bagian utama dari besi secara cepat teroksidasi di
daerah kontak dengan udara, dan mengendap sebagai presipitat
goethite dan hematite. Nikel dan magnesium terlarut, dan silika
koloid, meresap ke bawah hingga larutan asamnya ternetralkan
bereaksi dengan batu dan tanah. Pada titik ini, material tersebut akan
mengendap sebagai hydrated magnesium silicates.
Kedalaman profil bijih laterit biasanya berada pada
kedalaman 6 sampai 15 meter dari permukaan. Di beberapa tempat,
kedalaman profilnya bisa mencapai kedalaman hingga 60 meter di
bawah permukaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nahon
dan Trady (1992), laju proses laterisasi berlangsung sebanyak 22
mm per 1000 tahun. Dan oleh sebab itu, proses terbentuknya deposit

8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

bijih laterit di dalam kulit bumi dapat berlangsung hingga lebih dari
satu juta tahun. Karena profil bijih nikel laterit tersebut bersifat
dangkal dan berada pada lokasi/area yang sangat luas, penambangan
bijih laterit dilakukan menggunakan metode open-cut. Gambar
berikut menunjukkan distribusi persebaran bijih laterit di seluruh
dunia.

Gambar 2.1. Distribusi Persebaran Bijih Nikel Laterit di Dunia


Bedasarkan Jumlah Kandungan Nikelnya (Sumber: PADC 2004
International Convention)

Bijih nikel laterit memiliki struktur berlapis, disebabkan oleh


sifat dari proses laterisasinya itu sendiri. Lapisan-lapisan yang
terbentuk pada profil laterit tidak terpisah sebagai zona yang
berbeda, namun terdapat gradasi di antara lapisan tersebut sehingga
masih dapat dibedakan. Komposisi kimia dan mineralogi dari
masing-masing layer pada profil laterit pun sangat berbeda, terutama
berkenaan dengan kandungan dan rasio berat dari SiO2 atau MgO,
Fe / Ni serta kadar air. Secara sederhana, profil bijih nikel laterit
digambarkan pada gambar di bawah berikut. Kompleksitas profil
laterit dan tingkat ketebalan dari masing-masing lapisan dapat
bervariasi dari berbagai deposit bijih nikel di seluruh dunia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

tergantung pada komposisi dan struktur batuan induk, serta


bergantung pada iklim daerah (A. Warner & C. Diaz, 2006).

Gambar 2.2. Profil Nikel Laterit (Sumber: Ullmann’s


Enclyclopedia of Industrial Chemistry)

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 2.3. Profil Laterit pada Daerah Beriklim Kering dan


Lembab (Sumber : Ullmann’s Enclyclopedia of Industrial
Chemistry)

Bijih nikel laterit diklasifikasikan ke dalam tiga tipe utama


bedasarkan komposisi dan mineralogi pada lapisan profilnya (D. G.
E. Kerfoot, 2005) :

1. Tipe Limonitik; yaitu salah satu tipe bijih nikel laterit yang
kaya kandungan akan logam besi (Fe), tetapi habis di dalam
silika dan magnesium (15-23% atau lebih tingi dari Fe, MgO
< 10%). Lomonite umumnya mengandung senyawa besi
oksida berupa Goethite (α-FeO·OH) sebagai konstituen yang
dominan. Nikel laterit tipe limonite juga biasanya kaya
kandungan logam kobalt (Co) dan krom (Cr). Senyawa besi
oksida yang terkandung di dalam laterit memiliki struktur
kristalin yang buruk dengan ukuran kristal nanometrik dan
memiliki area permukaan yang besar. Karakteristik tersebut
dapat mengakibatkan penyerapan ion dalam jumlah yang
besar, khususnya ion Al3+ dari dalam tanah. Sehingga,
senyawa besi oksida jarang terbentuk dalam bentuk senyawa
murni di dalam laterit, karena ion tersebut dapat mengikat
logam Fe.
2. Tipe Saprolitik; atau yang biasa disebut sebagai Garnietite
atau Serpentine, mengandung sedikit logam besi (Fe), namun
tinggi kandungan magnesium (Fe < 12% dan MgO > 25%).
Salah satu mineral paling penting yang mengandung logam
nikel termasuk dalam kelompok Garnierit berupa mineral
Hydrous Nickel-Magnesium Silicate. Kandungan NiO di
dalam mineral tersebut memberikan profil warna hijau.
Bedasarkan perbandingan (Mg+Ni)/Si, mineral tersebut
dibagi menjadi tiga sub kelompok; yaitu kelompok Serpentine

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

dan Klorit dengan perbandingan 3/2, dan kelompok berupa


tanah liat (clays) dengan perbandingan 3/4.
3. Nontronitik; yaitu merupakan jenis menengah, dan terletak
di antara jenis limonitik dan saprolitik (12-15 % Fe dan 25-35
% atau 10-25 % MgO)

Nikel laterit terdiri dari partikel fasa campuran dan tunggal


dari berbagai ukuran. Partikel bijih laterit memiliki struktur yang
kompleks berupa campuran butir halus, intergrowth, berbentuk
seperti vena / seperti pelat, berpori, dan memiliki struktur mikro
yang padat (M. A. Rhamdhani, 2009).
Mineralogi laterit yang bersifat heterogen dan kompleks,
bersamaan dengan fakta kecenderungan bahwa unsur berharga
(Nikel dan Kobalt) membentuk larutan padat (solid solution) dan
lebih banyak ditemukan dalam bentuk larutan padat, membuat bijih
jenis ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan recovery
menggunakan metode benefisiasi yang umum (misalnya flotasi).
Oleh karena itu, untuk mengekstrak logam berharga berupa nikel
atau kobalt, diperlukan berton-ton bijih laterit, sehingga
menyebabkan tingginya biaya modal dan biaya operasional. (M. G.
King, 2005).
Keberagaman komposisi dan kurangnya metode konsentrasi
bijih yang dapat diaplikasikan juga mengharuskan berbagai bijih
dicampur untuk menjaga variasi komposisi feed yang dihasilkan
tetap berada pada rentan yang sempit. Hal tersebut penting untuk
sebagian besar proses dan, dalam situasi ini, penambangan yang
selektif harus diterapkan untuk menghasilkan campuran / komposisi
feed yang dibutuhkan (J. H. Canterford, 1975).
Satu-satunya proses yang dianggap praktis untuk
meningkatkan kadar logam berharga di dalam bijih laterit adalah
pemilihan rock yang tepat. Bijih laterit umumnya mengandung suatu

12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

partikel yang dapat mengurangi kadar logam nikel, yang biasanya


dikelilingi oleh sebagian kecil partikel ferronickel yang mudah
dipisahkan. Sehingga apabila diberikan sedikit abrasi, nikel yang
terkandung dapat terlepas dari permukaan partikel keras. Dengan
menghindari keberadaan partikel tersebut melalui proses pemilihan
rocks yang tepat, dapat menghasilkan peningkatan logam berharga
di dalam laterit secara signifikan. Proses ini dapat dilakukan di
dalam alat pemilihan rocks “trommel”, atau pada autogenous
grinding drum.
Dalam suatu studi, medan magnet dengan gradien tinggi telah
diterapkan untuk proses penyiapan bijih laterit sebelum dilakukan
proses feed leaching (proses hidrometalurgi). Penerapan alat-alat
medan magnet dengan gradien tinggi memberikan keuntungan
dengan cara memisahkan mineral ferronikel, yaitu limonite dan
serpentine, dari kalsit dan mineral tak berharga lainnya. Proses
benefisiasi ini akan sangat efektif juga peralatan yang digunakan
benar-benar menggunakan medan magnet dengan instensitas tinggi,
dan pemisahan mineral telah sebelumnya dilakukan melalui proses
grinding. Melalui cara ini, di bawah kondisi optimal, lebih dari 95%
Ni dapat di-recovery, sementara hingga 37% CaO di dalam laterit
dapat dihilangkan, dan sebesar 18% dari total berat feed akan
berkurang (S. Agatzini-Leonardou, I. G. Zafiratos and D., 2004).

2.3. Ekstraksi Nikel Laterit


Pengolahan metalurgi dari nikel laterit dapat dibagi menjadi
dua proses yaitu pirometalurgi dan hidrometalurgi. Pemilihan proses
yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh kandungan pada bijih,
peningkatan kandungan yang terbatas, teknologi pengolahan yang
kompleks, kondisi geografis, dan kebutuhan infrastruktur, seperti;
pembangkit listrik, pelabuhan, infrastruktur jalan dan fasilitas
pengolahan slag (Rodrigues 2013). Hampir dapat diakui secara pasti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

bahwa bijih laterit tipe saprolitik lebih cocok untuk diolah


menggunakan metode peleburan temperatur tinggi
(pyrometallurgy), sedangkan tipe limonitik paling baik diproses
menggunakan metode leaching (hydrometallurgy) (C. T. Harris & J.
G. Peacey, 2009).
Alasan utama yang mendasari perbedaan proses pengolahan
kedua jenis bijih laterit tersebut adalah komposisi unsur kimia
heterogen dan mineralogi yang dimiliki. Unsur-unsur kimia yang
dimiliki oleh bijih laterit jenis saprolitik membutuhkan metode
pengolahan yang lebih fleksibel, yaitu metode pyrometallurgy.
Alasan lainnya adalah karena tingginya kandungan Magnesia di
dalam bijih tersebut yang dapat mengakibatkan tingginya konsumsi
asam jika diolah menggunakan metode hydrometallurgy. Selain itu,
saprolite memiliki mineral pembentuk slag yang dibutuhkan, yang
tidak dimiliki oleh limonite. Sebaliknya, bijih laterit jenis limonite
dengan mineralogi dan komposisi yang lebih homogen, dan karakter
konsumsi asam yang relatif rendah, lebih cocok untuk diolah melalui
metode hydrometallurgy (D. G. E. Kerfoot, 2005). Pengolahan bijih
nikel laterit yang mengandung jumlah sebanding dari kedua jenis
bijih laterit tersebut dapat menimbulkan masalah (J. H. Canterford,
1975).
Beberapa proses ekstraksi nikel laterit diantaranya :
1. Matte Smelting Process
Proses ini terdiri dari beberapa langkah utama. Pertama, bijih
dimasukkan ke dalam rotary kiln atau Vertical Shaft Reduction
Furnace dan mengalami pemanasan dengan temperatur tinggi.
Selama proses ini, air kristal tereduksi diikuti dengan reduksi nikel
dan sebagian besi ke dalam metallic state. Kemudian, mereduksi
kalsin dengan cara direaksikan dengan sulfur dalam Electric
Furnace.

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Sulfur dapat ditambahkan baik dalam bentuk unsur maupun


dalam bentuk gypsum atau pirit. Akibatnya, terak yang mengandung
komponen oksida dari bijih dan sulfida nikel terbentuk. Konsentrat
yang berisi 30-35% nikel, kemudian dibawa ke converter, di mana
udara ditiupkan ke dalam converter, sehingga mengoksidasi besi.
Konsentrat akhir yang mengandung 75-78% Ni
2. Reduction Roast – Amonia Leach Process
Proses ini juga disebut sebagai Caron Process. Ada 4 langkah
yang utama, yaitu Pengeringan bijih dan grinding, reduction
roasting, leaching dengan menggunakan larutan ammonium
carbonate, dan metal recovery. Pada proses ini Reduction roasting
merupakan proses yang sangat penting. Temperatur reduksi harus
dikontrol dengan baik agar mendapatkan recovery nikel dan cobalt
secara maksimal.
Caron Process dapat menaikkan recovery 70 – 80% nikel dan
hanya 40 – 50% kobalt. Proses ini diutamakan untuk bijih laterit
jenis limonit. Ketika proses ini digunakan untuk bijih serpentit atau
bijih laterit yang mengandung besi dengan kadar rendah serta
magnesium dengan kadar yang tinggi, maka recovery nikel akan
menurun secara signifikan. Dikarenakan magnesium lebih dominan
untuk bereaksi dengan silica dan NiO, hal ini membuat sebagian
besar NiO akan tidak tereduksi ketika proses reduksi roasting.
3. Electric Furnace Smelting to FerroNickel
Pada proses ini, bijih pertama dipanaskan dan dikalsinasi
untuk menghilangkan uap air dan air yang berikatan secara kimia,
kemudian diproses langsung ke tanur listrik dan mengalami reduksi
dan mencair pada temperatur sekitar 1550°C. Hampir semua nikel
dan sebagian besar besi tereduksi pada tahap ini dan paduan
FerroNickel terbentuk, yang biasanya mengandung sekitar 25% Ni.
Proses terakhir yaitu memurnikan crude FerroNickel menjadi
produk yang dapat dijual. Proses pemurnian yang dilakukan yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

mengeluarkan crude Fe-Ni dari tanur listrik ke dalam Ladle, dimana


zat additive seperti soda ash, lime, dan calcium carbide
ditambahkan ke dalam crude Fe-Ni untuk menghilangkan unsur-
unsur pengotor (Li, 1999).
Skema pengolahan bijih nikel laterit maupun bijih nikel
sulfida ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Diagram Ekstraksi Nikel dan FerroNickel


(Crundwell 2011)

16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

2.4. Aglomerasi dan Reduksi Nikel Laterit Limonitik


Mini Blast Furnace (MBF) umumnya dipilih untuk digunakan
sebagai reaktor karena pada proses menggunakan MBF telah
mencakup hampir semua proses pada pirometalurgi, mulai dari
proses pengeringan, proses kalsinasi dan reduksi, dan proses
smelting. Dengan beberapa proses telah terintegrasi menjadi satu
alat yaitu MBF sehingga akan lebih menghemat konsumsi energi
dan juga waktu yang membuatnya lebih efisien dan ekonomis.
Salah satu feed material pada reaktor Mini Blast Furnace
adalah fluks. Fluks berguna untuk menjaga tingkat basisitas slag
agar proses pengolahan / smelting dapat berjalan dengan baik. Akan
tetapi, jika fluks tersebut langsung dimasukkan dalam Mini Blast
Furnace maka akan membutuhkan banyak energi untuk menaikkan
temperatur fluks tadi. Sehingga, fluks akan lebih baik ditambahkan
saat proses persiapan material / roasting sebelum masuk ke dalam
Mini Blast Furnace. Oleh karena itu diperlukan suatu proses
penggumpalan (aglomerasi) yang dilanjutkan dengan proses
roasting.
Proses aglomerasi menjadikan bijih laterit yang berupa tanah
digumpalkan yang telah dicampur dengan batubara serta fluks
dengan komposisi tertentu. Sehingga burden material hasil
aglomerasi akan sesuai untuk proses pada Mini Blast Furnace.
Proses algomerasi yang digunakan berupa pembriketan.
Campuran dari laterit, batu bara, dan fluks dikompresi dalam suatu
cetakan dengan bentuk tertentu, dengan komposisi tambahan berupa
kanji yang berfungsi sebagai zat pengikat.
Kanji digunakan sebagai pengikat (binder) briket untuk
meningkatkan kekuatan green briquette sebelum proses roasting,
mengurangi tingkat degradasi briket saat transporatsi dan handling.
Karena hanya untuk keperluan sebelum proses roasting, binder tidak
boleh memberikan efek negatif pada proses roasting. Kanji dipilih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

sebagai binder karena kanji merupakan zat organik, yang akan


terbakar habis saat pemanasan.
Menurut Li (2012), perlu ditambahkan bahan tambahan
berupa Natrium Sulfat untuk mekanisme selective reduction pada
Ni. Secara spesifik pembriketan dibagi menjadi briket dingin dan
birket panas. Briket dingin hanya dilakukan pada temperatur kamar,
sedangkan briket panas dilakukan proses kalsinasi hingga
temperatur diatas 1000 oC hingga dibawah temperatur lelehnya.
Proses kalsinasi dilakukan dalam proses roasting. Salah satu bentuk
briket yaitu bentuk pillow seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.5.

Gambar 2.5. Bentuk Briket (Sumber: arstaeco.com)

Proses pembriketan yang dilakukan berupa briket panas, hal


ini dilakukan untuk memperoleh komposisi kimia briket laterit yang
sesuai dengan proses produksi NPI (Nickel Pig Iron) pada Mini Blast
Furnace. Proses pembriketan panas harus mencakup (Crundwell,
2011) :

1. Menghilangkan sisa kadar air pada bijih (untuk menghindari


terjadinya ledakan pada Mini Blast Furnace)

18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

2. Mereduksi sekitar seperempat nikel dalam bijih menjadi nikel


metal
3. Mereduksi mineral Fe3+ menjadi mineral Fe2+ dengan kadar
tinggi dan sekitar 5 % dari besi menjadi besi metal
4. Menambah batu bara dengan cukup, sehingga kadar mineral
yang tersisa digunakan untuk reduksi tahap akhir pada Mini
Blast Furnace.

Bentuk briket yang digunakan berupa bentuk bantal / pillow


(Gambar 2.5) dipilih dengan maksud tertentu. Jika dibandingkan
dengan jenis briket lain, briket berbentuk bola lebih memiliki
keseragaman tegangan di seluruh permukaannya dibandingkan
dengan briket bantal. Namun briket dengan bentuk bola akan sulit
dibuat karena keterbatasan alat yang ada, proses pelepasan briket
bola dari alat biket atau cetakan akan sulit dilakukan. Maka briket
bebentuk bantal lebih mudah dibuat dengan menggunakan alat yang
sudah komersial. Briket bentuk bantal dengan volume yang sama
memiliki tebal penambang kecil dan luas permukaan yang lebih
besar dibanding dengan bentuk bola. Hal tersebut akan
meningkatkan heat flux saat proses pemanasan. Heat flux yang besar
akan meningkatkan heat transfer sehingga tingkat reduksi yang
terjadi juga akan semakin besar.
Pada proses pembriketan, proses reduksi yang terjadi haruslah
secara optimal. Temperatur kalsinasi / roasting haruslah sesuai
dengan temperature terjadinya reaksi reduksi dari mineral nikel dan
besi dalam laterit. Ketika temperatur tidak mencukupi maka reaksi
reduksi tidak optimal karena energi yang diperlukan tidak
mencukupi.
Perlu juga dipertimbangkan kebutuhan gas CO sebagai agen
reduktor. Gas CO berasal dari batu bara, sehingga diperlukan
perhitungan kebutuhan komposisi batu bara yang sesuai. Apabila

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 19


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

ketersediaan batu bara tidak memadahi maka reaksi tidak berjalan


optimal karena gas CO juga kurang untuk mereduksi mineral nikel
dan besi yang ada.
Menurut buku “Extractive Metallurgy of Nickel and Cobalt”
(Tyroler & Landolt, 1998). Persamaan reaksi ekstraksi dari nikel
laterit pada proses reduksi ditunjukkan pada reaksi :
1. Terjadi dekomposisi garnierite dan goethite (Bijih)
Ni3Mg3Si4O10(OH)8(s) + Heat → 3NiO(s) + 4SiO2(s) +
4H2O(g), pada 800 °C (2.1)
2FeO(OH)(s) + heat → Fe2O3(s) + H2O(g), pada 800 °C
(2.2)
2. Reaksi reduksi oleh gas CO
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2 (2.3)
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 (2.4)
FeO + CO → Fe + CO2 (2.5)
NiO + CO → Ni + CO2 (2.6)

Karakteristik dari burden material yang sesuai pada proses Blast


Furnace diantaranya :
1. Kandungan oksigen, semakin sedikit kandungan oksigen
yang dihilangkan saat aglomerasi, akan semakin efisien
proses di Blast Furnace
2. Fasa yang terbentuk dari burden material. Standar fasa yang
terbentuk pada iron ore sinter umumnya berupa : Magnetit,
Calcium Ferrite, Fayalite, Olivines (Gupta 2010).
3. Permeabilitas, kontak antara gas reduktor dengan burden
ore sangat penting dalam proses di Blast Furnace. Untuk
optimasi kontak antara gas reduktor dengan burden material
perlu adanya permeabilitas dari burden material.
Permeabilitas semakin tinggi akan semakin baik.
Permeabilitas dipengaruhi oleh jumlah pori dari burden ore.

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Dimana semakin banyak pori pada burden ore maka akan


semakin luas permukaan dari burden ore yang akan
berinteraksi dengan gas reduktor.
4. Ukuran burden material, ukuran minimal dari burden
material pada Blast Furnace yaitu 5 mm. Ukuran minimal
ini didapat dari Shatter Index. Shatter Index merupakan nilai
ketahanan suatu burden material yang dijatuhkan dari
ketinggian 2 meter (Bhavan and Marg 1981).
5. Komposisi kimia, meliputi Basisitas, Al2O3 dan MgO yang
berperan penting dalam proses.
6. Sifat metalurgi, meliputi:
 Cold strength, merupakan ketahanan burden material
terhadap degradasi selama transportasi dan handling;
 Reduksi-disintegrasi, merupakan efek dari tahap
reduksi awal dan kesesuaian pada zona stack dalam
blast furnace;
 Sifat softening dan melting, penting pada pembentukan
zona kohesif dan zona melting pada Blast Furnace
(Geerdes, Toxopeus and Vliet 2009).
2.5. Reduktor Batu Bara
Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian
umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk
dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan
terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya
terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batu bara juga adalah
batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisis unsur
memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk
bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol


oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam
lima kelas : antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

1. Antrasit; adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna


hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% -
98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
2. Bituminus; mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan
berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling
banyak ditambang di Australia.
3. Sub-bituminus; mengandung sedikit karbon dan banyak air,
dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang
efisien dibandingkan dengan bituminus.
4. Lignit; atau batubara coklat adalah batu bara yang sangat
lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
5. Gambut; berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta
nilai kalori yang paling rendah

Menurut C. F. K. Diessel (1992) pembentukan batubara


diawali dengan proses biokimia, kemudian diikuti oleh proses
geokimia dan fisika, proses yang kedua ini sangat berpengaruh
terhadap peringkat batubara “coal rank“, yaitu perubahan jenis
mulai dari gambut ke lignit, bituminus, sampai antrasit. Faktor yang
sangat berperan didalam proses kedua tersebut adalah temperatur,
tekanan, dan waktu. Bentuk fisik dari batu bara ditunjukkan pada
Gambar 2.6.

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 2.6. Batu Bara (Sumber: id.wikipedia.org)

2.6. Fluks Dolomit


Dolomit merupakan salah satu contoh bahan galian industri
penting yang termasuk kelompok mineral karbonat. Batuan dolomit
pertama kali dideskripsikan oleh mineralogist Prancis bernama
Deodat de Dolomieu pada tahun 1791 dari tempat terdapatnya di
daerah pegunungan Alpen Selatan. Dolomit tergolong dalam batuan
sedimen karbonat yang merupakan kelas batuan sedimen. Batuan
sedimen adalah batuan yang terbentuk akibat proses pembatuan atau
lithifikasi dari hasil proses pelapukan dan erosi yang kemudian
tertransportasi dan seterusnya terendapkan.

Dolomit terutama terdiri atas dua mineral karbonat yaitu


Kalsit (CaCO3) dan Magnesit (MgCO3). Mineral dolomit
murnisecara teoritis mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO
dan 54,3% CaCO3 atau 30,4% CaO. Mineral dolomit dapat
dituliskan dengan rumus kimia CaCO3MgCO3, CaMg(CO3)2 atau
CaxMg1-xCO3, dengan nilai x kurang dari satu. Kandungan unsur
magnesium pada dolomit menentukan nama dolomit tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 23


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Adapun tata nama batu gamping bedasarkan kandungan


magnesiumnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Tata Nama Gamping Bedasarkan Kandungan


Magnesium [Oates, 1998]
Nama Batuan Kadar Dolomit Kadar MgO
(%) (%)
Batu Gamping 0–5 0,1 – 1,1

Batu Gamping 5 – 10 1,1 – 2,2


Magnesium
Batu Gamping 10 – 50 2,2 – 10,9
Dolomitan
Dolomit Berkalsium 50 – 90 10,9 – 19,9

Dolomit 90 – 100 19,9 – 21,8

Dolomit akan terdekomposisi termal secara langsung


membentuk CaCO3 dan CO2 disertai dengan pembentukan MgO
pada temperature antara 700 oC hingga 750 oC. Dimana reaksi yang
terjadi yaitu :

2CaMg(CO3) → CaCO3 + CaO + 2MgO + 3CO2 (2.7)

Pada temperature yang lebih tinggi, CaCO3 akan mulai


terdekomposisi meskipun masih terdapat dolomit (CaMg(CO3)2).
Reaksi dekomposisi dolomit dan CaCO3 akan berlangsung secara
spontan yang terdiri dari 2 reaksi, yaitu :

CaMg(CO3)2 → CaO + MgO + 2CO2 (2.8)

24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

CaCO3 → CaO + CO2 (2.9)

Reaksi tersebut akan berlangsung secara spontan pada temperature


780 – 785 oC serta terdekomposisi secara keseluruhan pada
temperatur 950 – 960 oC (Philip Engler, dkk. 1988).
Dalam penelitian ini dolomit yang digunakan berperan
sebagai penyedia gas CO2 dalam proses reduksi. Gas CO2 ini
berguna untuk reaksi pembentukan gas CO (Reaksi Boduard). Gas
CO2 diperoleh dari reaksi dekomposisi dolomit dan CaCO3. Selain
itu dolomit juga berperan sebagai flux agent atau pengikat pengotor.
Dolomit dapat berperan dalam proses desulfurisasi batubara pada
range temperatur 870 – 1037 oC (Spencer. 1985), dengan reaksi :

H2S (g) + CaO (s) → CaS (s) + H2O (g) (2.10)

Gambar 2.7. Batu Kapur / Dolomit (sumber : manfaat.co.id)

2.7. Termodinamika Reduksi Nikel Laterit Limonitik


Di dalam aspek termodinamika, dapat dijelaskan apakah
suatu reaksi dapat terjadi atau tidak. Pada aspek ini, tidak dapat
ditentukan seberapa cepat reaksi tersebut akan berlangsung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 25


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 2.8. Diagram Boudouard (sumber: Ross, 1980)

Gaussner-Boudouard telah membuat suatu diagram yang


menggambarkan suatu kesetimbangan antara besi, hematite,
magnetite, wustite, karbon padat, karbondioksida (CO2), dan
karbonmonoksida (CO). Diagram ini merupakan dasar untuk
reduksi langsung dengan karbon padat. Selain itu kita juga dapat
mengetahui pada kadar CO dan temperatur berapa akan terbentuk
senyawa-senyawa Fe2O3, Fe3O4, FeO dan lainnya. Pada diagram
Boudouard terdapat kesetimbangan besi oksida dengan campuran
gas CO/CO2 seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.11),
(2.12), (2.13), dan (2.14) dibawah ini :

Garis kesetimbangan Boudouard : C(s) + CO2(g) → 2CO(g) (2.11)

Garis kesetimbangan : 3Fe2O3 + CO(g) → 2Fe3O4(s) + CO2(g) (2.12)

Garis kesetimbangan : Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 (2.13)

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Garis kesetimbangan : FeO + CO → Fe + CO2 (2.14)

Pada daerah di sebelah kanan garis kesetimbangan Boudouard


seperti pada gambar 2.8 di atas, gas CO lebih stabil sehingga gas
CO2 akan mengalami reaksi Boudouard yang membentuk gas CO.
Sedangkan pada daerah sebelah kiri garis kesetimbangan
Boudouard, gas CO2 akan lebih stabil sehingga gas CO yang ada
akan terurai menjadi CO2. Fenomena inilah yang merupakan contoh
dari prinsip Le Chatelier yang mengatakan bahwa reaksi Boudouard
adalah reaksi yang endotermik sehingga membutuhkan temperatur
tinggi untuk berjalan. Dari diagram tersebut, terlihat bahwa pada
keadaan standard, Fe baru dapat terbentuk dengan kadar CO sekitar
60%. Persentase CO itu sendiri dipengaruhi oleh kadar karbon pada
sampel dan kadar oksigen pada lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 27


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 2.9. Diagram Ellingham (Ross, 1980)

Diagram Ellingham merupakan diagram yang berisi energi


bebas suatu reaksi yang diplot ke dalam suatu grafik dengan
parameter energi bebas terhadap temperatur seperti yang

28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

ditunjukkan pada Gambar 2.9. Pada diagram Ellingham, logam yang


aktif secara kimia memiliki energi bebas yang paling tinggi (negatif)
dalam membentuk oksida dan terletak pada diagram di bagian paling
bawah. Sedangkan untuk logam yang memiliki energi bebas terkecil
(positif) dalam membentuk oksida terletak pada diagram di bagian
paling atas. Besar nilai energi bebas (∆G°) untuk reaksi oksidasi
merupakan ukuran afinitas kimia suatu logam terhadap oksigen.
Semakin negatif nilai ∆G° suatu logam menunjukkan logam tersebut
semakin stabil dalam bentuk oksida.
Dari diagram Ellingham pada Gambar 2.9 dapat diketahui
temperatur minimal yang dibutuhkan agar terjadi reaksi tersebut
terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh perpotongan antara
kurva oksida dan garis pembentukan CO. Termodinamika hanya
dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu reaksi dapat
berjalan spontan atau tidak pada temperatur tertentu berdasarkan
energi bebas yang dimiliki. Namun tidak dapat digunakan untuk
menentukan laju reaksi. Perpotongan antara garis reaksi oksida dan
reduksi secara termodinamika menunjukkan bahwa reaksi tersebut
berjalan pada temperatur tertentu.
Klasifikasi reaksi reduksi suatu bijih mineral berdasarkan
reducing agent dikemukakan oleh metallurgist Prancis bernama
Jacquez Assenfratz pada tahun 1812 (Andronov 2007). Dia
membuktikan secara pengujian bahwa reduksi bijih besi terjadi
dalam 2 cara, yaitu: kontak antara bijih dan arang atau interaksi
dengan gas reduktor.
Dalam proses berdasarkan batu bara, gas reduktor utama
adalah CO. Tiga reaksi reduksi dan entalpi reaksi pada 25 °C dari
mineral besi dalam laterit dapat dituliskan sebagai berikut:

3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2 ΔH= -12636 cal/mol (2.15)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 29


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 ΔH= +8664 cal/mol (2.16)

FeO + CO → Fe + CO2 ΔH= -4136 cal/mol (2.17)

Ketika wustit bertemu dengan silikat akan membentuk fasa fayalit,


seperti reaksi:

2FeO + SiO2 → ¼Fe2SiO4 (2.18)

Entalpi reaksi pada 25 °C dapat diketahui dari entalpi


pembentukan. Reaksi (2.15) dan (2.17), mempunyai entalpi negatif,
yang berarti reaksi eksotermik dan reaksi (2.16) mempunyai entalpi
positif, berarti reaksi endotermik dan membutuhkan energi. Karena
wustit metastabil di bawah 570°C, Fe3O4 dapat direduksi dalam satu
langkah menjadi besi metalik, tanpa melewati reaksi wustit.

⅓Fe3O4 + CO → ¼Fe + CO2 ΔH= -936 cal/mol (2.19)

Dalam sistem solid dan reduktor berfasa gas, seluruh rekasi


selama reduki bijih besi dapat terjadi dalam dua langkah (Chatterjee
1988): reduksi mineral besi dan gasifikasi karbon.

mFexOy + pCO(g) → nFezOw(s) + rCO2(g) (2.20)

C(s) + CO2(g) → 2CO(g) (Reaksi Boudouard) (2.21)

Dalam reaksi Boudouard, ketika karbon dioksida bereaksi


dengan karbon membentuk karbon monoksida, satu volume karbon
dioksida menghasilkan dua volume karbon monoksida pada tekanan
konstan. Jika dalam volume konstan, reaksi akan meningkatkan
temperatur. Jika tekanan meningkatkan, maka kesetimbangan
sistem karbon-oksigen akan bergeser untuk melepas tekanan. Oleh

30 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

karena itu untuk menjaga rasio CO/CO2 tetap sama pada tekanan
tinggi, temperatur harus ditingkatkan.
Dilihat dari diagram Ellingham, reaksi reduksi NiO oleh CO
mulai terjadi pada temperatur 440 °C. Sedangkan reaksi reduksi
Fe2O3 dengan gas CO terjadi pada tempetarur 650 °C. Namun kedua
reaksi reduksi ini belum akan terjadi pada temperatur tersebut oleh
gas CO karena reaksi Boudouard baru terjadi pada temperatur diatas
900 °C.
Menurut Li (2011), reaksi reduksi nikel dari laterit terjadi
pada metode deoksidasi solid-state, reduktor gas dan padat
keduanya digunakan. Proses reduksi nikel Ni dipengaruhi oleh
temparatur, waktu reduksi, kadar CO, kadar karbon dan kadar CaO.
Reaksi utama dari nikel oksida menjadi nikel metalik
adalah:

C + CO2 → 2CO ΔG°= 166550 – 171T J/mol (2.22)

NiO + C → Ni + CO ΔG°= 124800 – 175T J/mol (2.23)

NiO + CO →Ni + CO2 ΔG°= -40590 – 0,42T J/mol (2.24)

Dari diagram Ellingham (Gambar 2.9), temperatur terendah


pada tekanan atmosfer, reduksi NiO oleh fixed carbon terjadi pada
temperatur 440 °C. Kurva energi Gibbs standar dari pembentukan
NiO adalah lebih dari CO2, dan energi bebas Gibbs standar dari
reaksi (2.24) bernilai negatif pada tekanan atmosfer. Sehingga NiO
dengan mudah tereduksi dengan CO (Li, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 31


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 2.10. Standard Gibbs Free Energy untuk oksida nikel dan
karbon (Li, 2011)

Pada faktanya, bijih nikel laterit tergolong bijih kompleks


yang mengandung Fe2O3, Fe3O4, dsb; reaksi-reaksi reduksi lain
berlangsung serempak dalam proses reduksi.
Selain itu, kualitas karbon sangat berpengaruh terhadap
jalannya reduksi bijih. Pada kadar karbon rendah adapun urutan
reaksi reduksi nya yaitu Fe2O3 ↔ Fe3O4↔FeO↔Fe, sedangkan
pada karbon tinggi urutan reaksinya adalah Fe2O3↔Fe3O4↔Fe.
Dalam hal ini dapat terjadi suatu kesetimbangan reaksi dimana FeO
yang terbentuk langsung direduksi menjadi Fe. Berdasarkan reduksi
dari trevorite, NiO.Fe2O3, yang lebih mudah terjadi reduksi nikel
oksida menjadi nikel metalik dimulai dengan:

3NiO.Fe2O3 + CO → 2NiO + 2Fe3O4 + CO2 (2.25)

NiO + 2Fe3O4 + CO → Ni + 2Fe3O4 +CO2 (2.26)

32 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Ni + Fe3O4 + CO → Ni + 3FeO + CO2 (2.27)

Reduksi selanjutnya dari wustit menjadi besi metalik terjadi:

FeO + CO → [Fe]Ni + CO2 (2.28)

Berdasarkan kondisi percobaan, proses reduksi dari (2.27) dan


(2.28) akan sulit terjadi (Olli 1995).
Menurut Jiang (2013) mekanisme selective reduction dari
nikel terjadi sesuai reaksi berikut:
 Terjadi dekomposisi termal dan reduksi Natrium sulfat

Na2SO4 + 4CO → Na2S + 4CO2(g) (2.29)

Na2SO4 + 3CO → Na2O + S(g) + 3CO(g) (2.30)

 Pengikatan Fe membentuk FeS

Na2S + FeO → 2SiO2 + FeS + Na2Si2O5 (2.31)

Fe + S → FeS (2.32)

2.8. Kinetika Reduksi Ore


Kinetika reaksi reduksi bijih mineral adalah kecepatan
mineral oksida untuk bertransformasi menjadi logam metalik
dengan melepaskan oksigen. Kecepatan reaksi reduksi bijih mineral
ditentukan oleh tinggi rendahnya kemampuan bijih mineral tersebut
untuk direduksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran
partikel, bentuk dan distribusi ukuran partikel, bobot jenis, porosity,
struktur kristal, serta komposisi kimia (Ross 1980). Kinetika reduksi
menggunakan reduktor batu bara dipengaruhi oleh kombinasi
beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas, perpindahan massa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 33


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

oleh konveksi, difusi fase gas, serta reaksi kimia dengan gasifikasi
karbon. El-Geassy (2007) menjelaskan bahwa ada banyak faktor
yang mempengaruhi reduksi mineral oksida seperti komposisi bahan
baku, basisitas, komposisi gas, dan temperatur reduksi. Pengaruh
komposisi gas terjadi pada perubahan volume dari mineral oksida
pada temperatur 800 – 1100 °C.
Bijih mineral dapat dianggap tersusun atas butiran-butiran.
Celah diantara butiran-butiran dikenal sebagai pori makro dan pori
yang lebih kecil dikenal sebagai pori mikro. Mekanisme reduksi ore
mineral bertahap melalui langkah-langkah sebagai berikut dan
diilustrasikan Gambar 2.11. (Bogdandy, Von and Engell 1971).

Gambar 2.11. Mekanisme reduksi untuk mineral berpori


(Bogdandy, Von and Engell 1971).
Dimana:
1. Difusi gas reduktor melewati lapisan batas butir.

34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

2. Difusi gas reduktor melalui pori-pori makro pada bijih besi.


3. Difusi gas reduktor melalui pori-pori mikro menuju posisi
reaksi.
4. Reaksi pada batas fasa.
5. Difusi gas hasil reaksi reduksi melalui pori-pori mikro.
6. Difusi gas hasil reaksi reduksi melalui pori-pori makro.
7. Difusi gas hasil reaksi reduksi melalui lapisan batas butir.
Dari semua mekanisme reduksi, langkah-langkah yang
mendasar dalam reduksi bijih mineral, diantaranya (Takuda,
Yoshikoshi and Ohtano 1973) :
1) Perpindahan panas dalam reaksi antarmuka
2) Perpindahan massa antara gas dan permukaan padat oksida,
yang meliputi difusi gas reduktor kedalam permukaan solid atau
gas hasil reduksi keluar dari permukaan.
3) Perpindahan massa antara permukaan oksida dan reaksi
antarmuka internal melalui lapisan hasil reduksi, yang
dipengaruhi oleh:
• Difusi solid melalui oksida rendah
• Difusi solid melalui lapisan logam metal
• Difusi antar partikel gas reduktor atau gas hasil reduksi.
4) Reaksi kimia penghilangan oksigen pada permukaan antarmuka.
5) Pengintian dan pertumbuhan fasa logam metalik.

2.9. Kajian Terdahulu Mengenai Reduksi Nikel Laterit


Limonitik
Beberapa kegiatan penelitian untuk meningkatkan kadar
nikel dalam laterit limonit telah dilakukan oleh beberapa peneliti
terdahulu. Rudi dan kawan-kawan dalam penelitiannya yang
berjudul “Peningkatan kadar nikel dalam laterit jenis limonit
dengan cara peletasi, pemanggangan reduksi, dan pemisahan
magnet campuran bijih, batu bara, dan Na2SO4”, telah melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 35


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

penelitian untuk meningkatkan kadar nikel dalam nikel laterit kadar


rendah yang mempunyai kandungan awal NiO 1,42% dan Fe2O3
69,55% dengan cara pemanggangan bijih nikel laterit limonit
dengan komposisi 10% Na2SO4 dan 10% batu bara pada temperatur
500 °C selama 1 jam kemudian dilanjutkan dengan proses
pemisahan magnet dalam media air terhadap hasil reduksi yang
dihasilkannya. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa kadar
nikel dalam bijih dapat ditingkatkan dari 1,42% menjadi 1,51% pada
temperatur reduksi 800 oC, kemudian menjadi 1,46% pada
temperatur reduksi 900 oC, dan menjadi 1,62% pada temperatur
reduksi 1000 oC, serta menjadi 1,60% pada temperatur 1100 oC.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Li dan kawan-kawan di
dalam penelitiannya yang berjudul “The reduction of nickel from
low-grade nickel laterite ore using a solid-state deoxidisation
method” yang telah melakukan percobaan untuk meningkatkan
kadar nikel dalam bijih nikel laterit kadar rendah yang mempunyai
kadar Ni 1,09% dan Fe 9,16%, dengan menggunakan teknik solid-
state deoxidization method. Dari hasil penelitiannya diperoleh
konsentrat feronikel dengan kadar nikel 4,5% dan perolehan nikel
dalam konsentrat mencapai 80%.
Upaya lainnya untuk meningkatkan kadar nikel dalam
laterit dilakukan oleh Agus dan kawan kawan dengan judul
penelitian “Pengaruh temperatur reduksi dalam proses peningkatan
kadar Ni dan Fe pada bijih nikel laterit jenis limonit” yang telah
melakukan penelitian proses reduksi bijih nikel laterit limonit
menggunakan muffel furnace dengan temperatur reduksi 900 oC,
950 oC, 1000 oC, dan 1100 oC dengan waktu reduksi tetap selama 1
jam. Setelah dilakukan proses reduksi, dilakukan pengujian AAS
untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kadar Ni dan Fe nya.
Hasil analisis AAS dari konsentrat menunjukkan bahwa semakin
tinggi temperatur, maka semakin tinggi kadar Ni dan Fe. Dari hasil

36 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

percobaan di atas, diperoleh data optimal yaitu pada temperatur


1100 oC dengan perolehan kadar Ni sebesar 2,27% dan Fe sebesar
53,59%.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 37


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

38 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Diagram Alir Penelitian

39
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

40 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.2. Bahan Penelitian


Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain :
3.2.1. Bijih Nikel
Bijih nikel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bijih
nikel laterit jenis limonit, yang berasal dari daerah Sulawesi
Tenggara. Bijih nikel dihancurkan terlebih dahulu kemudian
diayak hingga berukuran 50 mesh. Bijih nikel laterit limonitik yang
digunakan ditujukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Bijih Nikel Laterit Limonitik

3.2.2. Batu Bara


Batu bara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu batu
bara dengan jenis sub-bituminus dari Binuang, Kalimantan Selatan.
Batu bara ini juga dihancurkan terlebih dahulu kemudian diayak
hingga berukuran 50 mesh. Batu bara yang digunakan ditunjukkan
pada Gambar 3.3.

BAB III METODE PENELITIAN 41


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.3. Batu Bara

3.2.3. Batu Kapur


Batu Kapur (Dolomite) yang digunakan dihancurkan
terlebih dahulu kemudian diayak hingga berukuran 50 mesh. Batu
kapur yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Batu Kapur

3.2.4. Natrium Sulfat


Natrium Sulfat (Na2SO4) digunakan dalam penelitian ini
sebagai agen selective reduction pada nikel laterit seperti pada
Gambar 3.5.

42 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.5. Serbuk Natrium Sulfat

3.2.5. Kanji
Kanji digunakan dalam penelitian ini sebagai pengikat
(binder) dalam pembuatan briket seperti pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Serbuk Kanji

3.2.6. Air
Air digunakan sebagai bahan campuran di dalam proses
pembuatan briket. Air yang digunakan yaitu air ledeng.

BAB III METODE PENELITIAN 43


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.2.7. LPG
LPG digunakan sebagai sumber bahan bakar pada proses
reduksi bijih nikel di dalam Muffle Furnace. LPG yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7. LPG


3.3. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain :
3.3.1. Alat Kompaksi
Alat kompaksi berfungsi untuk membentuk campuran bahan
menjadi briket yang berbentuk bantal (pillow). Alat kompaksi yang
digunakan ditunjukkan pada Gambar 3.8. Briket dibuat dengan
menggunakan bahan baku berupa bijih nikel laterit limonitik,
batubara, natrium sulfat, dan kanji. Volume hasil beriket yaitu 14
cm3 dan dimensi briket :
Panjang : 4,3 cm
Lebar : 3,4 cm
Tebal : 1,65 cm

44 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.8. Alat Kompaksi

3.3.2. Muffle Furnace


Proses reduksi dilakukan di dalam Muffle Furnace seperti
pada Gambar 3.9. Dimensi Muffle Furnace yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Diameter atas : 36 cm
Diameter bawah : 36 cm
Tinggi : 64 cm
Tebal : 7 cm

BAB III METODE PENELITIAN 45


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.9. Muffle Furnace


3.3.3. Crucible
Di dalam penelitian ini, crucible digunakan sebagai media
tempat terjadinya reduksi briket nikel laterit limonitik yang
tertimbun di dalam bed batubara. Dimensi crucible yang digunakan
adalah sebagai berikut seperti pada gambar 3.10:
Diameter atas : 13 cm
Diameter bawah : 10 cm
Tinggi : 17 cm
Tebal : 2,5 cm

46 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.10. Crucible

3.3.4. Timbangan Digital


Timbangan digital digunakan dalam penelitian ini untuk
menimbang bahan baku yang akan digunakan sebagai bahan
campuran untuk pembuatan briket dan pembuatan bed batubara,
ditunjukkan pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11. Timbangan Digital

BAB III METODE PENELITIAN 47


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.3.5. Ayakan
Ayakan digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan
ukuran butir dari bahan baku yang digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan briket. Ayakan yang digunakan berukuran 50
mesh seperti pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Ayakan

3.3.6. Thermocouple
Thermocouple digunakan untuk mengetahui temperatur di
dalam Muffle Furnace saat proses reduksi.

48 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.13. Thermocouple

3.3.7. Blower
Blower digunakan untuk meniupkan udara luar ke dalam
Muffle Furnace. Blower yang digunakan ditunjukkan pada Gambar
3.14.

Gambar 3.14. Blower

BAB III METODE PENELITIAN 49


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.3.8. Oven
Oven digunakan untuk mengeringkan briket hasil kompaksi
untuk menghilangkan moisture content. Oven yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 3.15.

Gambar 3.15. Oven

3.3.9. Alat Tumbuk


Alat tumbuk pada Gambar 3.16 digunakan untuk
menghancurkan bahan baku yang digunakan agar mendapatkan
ukuran butir bahan baku yang sesuai, yaitu 50 mesh.

Gambar 3.16. Alat Tumbuk

50 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.4. Pelaksanaan Penelitian


3.4.1. Persiapan Material
Langkah – langkah yang dilakukan pada proses preparasi
material yaitu :
1. Bijih laterit limonitik, batu bara, dan batu kapur (dolomit)
ditumbuk dan dilakukan pengayakan dengan ukuran
sebesar 50 mesh.
2. Bijih laterit limonitik, batu kapur (dolomit) dilakukan
pengujian EDX dan XRD.
3. Batu bara dilakukan pengujian Proximate Analysis.
4. Pembuatan briket nikel laterit limonitik.
Bijih nikel laterit limonitik hasil ayakan dicampur dengan
batu bara dan natrium sulfat. Kanji dicampur dengan air
hingga 100 mL, dan dipanaskan dalam air mendidih
hingga sedikit mengental. Campuran dari bijih nikel laterit
limonitik, batu bara, dan natrium sulfat ditambahkan kanji
yang telah sedikit mengental dan diaduk hingga merata.
Campuran dibentuk menjadi briket pillow dengan alat
kompaksi dengan tekanan 30 kgf/cm2, kemudian
dilakukan proses pengeringan (drying) di dalam oven pada
temperatur 110oC selama 3 jam. Dalam satu kali proses
reduksi dibutuhkan 4 buah briket.
5. Pembuatan campuran bed batubara.
Batu bara dan batu kapur yang telah diayak, dicampur
hingga homogen sesuai dengan komposisi yang telah
ditentukan.

BAB III METODE PENELITIAN 51


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.4.2. Proses Aglomerasi dan Reduksi


Langkah – langkah yang dilakukan dalam proses aglomerasi
dan reduksi yaitu :
1. Briket yang telah dikeringkan, dimasukkan ke dalam
crucible yang di bagian dasarnya telah dimasukkan
sejumlah campuran batu bara dan dolomit sebagai lapisan
bed bagian dasar.
2. Briket tersebut ditutup kembali menggunakan campuran
batu bara dan dolomit yang sama membentuk lapisan bed
bagian atas, dan seterusnya hingga membentuk tumpukan
batu bara+dolomit dengan briket seperti pada gambar 3.17
berikut untuk dilakukan proses aglomerasi dan reduksi di
dalam Muffel Furnace.

Bed batu bara

Briket

Gambar 3.17. Skematik Posisi Briket di dalam Crucible

3. Pemanasan awal di Muffle Furnace dilakukan pada


temperatur 800oC dengan heat rate 10 oC / menit, kemudian
dilakukan holding selama 2 jam.
4. Pemanasan selanjurnya dilakukan masing-masing hingga
temperatur 1200oC, 1300oC, dan 1400oC dengan heat rate

52 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

10 oC / menit. Kemudian dilakukan holding pada masing-


masing temperatur tersebut selama 6 jam.
5. Briket hasil reduksi didinginkan di dalam Muffle Furnace
hingga temperatur kamar.
6. Setelah proses pendinginan selesai, setiap sampel
dikeluarkan dari Muffle Furnace.
7. Briket hasil reduksi selanjutnya akan dilakukan proses
pengujian SEM, XRD dan EDX.
3.4.3. Proses Pengujian Sampel
1. X-Ray Diffraction (XRD)
Untuk mengetahui struktur kristal dan senyawa secara
kualitatif yang terdapat pada bahan baku yang digunakan diuji
dengan alat XRD seperti pada Gambar 3.18. Dalam pengujian
XRD sampel yang akan diuji sebelumnya harus sudah dihancurkan
terlebih dahulu hingga berukuran 200 mesh. Sinar X merupakan
radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar 200 eV
hingga 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh interaksi antara berkas
elektron eksternal dengan elektron pada kulit atom. Spektrum sinar
X memiliki panjang gelombang 10-1 – 10 nm, berfrekuensi 1017 –
1020 Hz dan memiliki energi 103 – 106 eV. Panjang gelombang
sinar X memiliki orde yang sama dengan jarak antar atom sehingga
dapat digunakan sebagai sumber difraksi kristal. XRD digunakan
untuk menentukan ukuran kristal, regangan kisi, komposisi kimia,
dan keadaan lain yang memiliki orde sama.

BAB III METODE PENELITIAN 53


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 3.18. XRD PAN Analytical

2. Scanning Electron Microscope (SEM)


Scanning Electron Microscope (SEM) adalah sebuah
mikroskop elektron yang didesain untuk menyelidiki permukaan
dari objek solid secara langsung. SEM memiliki kemampuan untuk
mengetahui topografi, morfologi dari suatu sampel yang diuji. Alat
uji SEM-EDX yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 3.19.

Gambar 3.19. SEM-EDX

54 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3. Energy Disperssive X-Ray Spectroscopy (EDX)


Energy Disperssive X-Ray Spectroscopy atau EDX adalah
suatu teknik yang digunakan untuk menganalisis elemen atau
karakterisasi kimia dari suatu sampel. Prinsip kerja dari alat ini
adalah metode spektroskopi, dimana elektron ditembakkan pada
permukaan sampel, yang kemudian akan memancarkan X-Ray.
Energi tiap – tiap photon X-Ray menunjukkan karakteristik masing
– masing unsur yang akan ditangkap oleh detektor EDX, kemudian
secara otomatis akan menunjukkan puncak–puncak dalam
distribusi energi sesuai dengan unsur yang terdeteksi. Hasil yang
didapatkan dari pengujian EDX adalah berupa grafik energy (KeV)
dengan counts. Dari data grafik tersebut kita bisa melihat unsur –
unsur apa saja yang terkandung di dalam suatu sampel. Serta
dengan pengujian EDX, didapatkan pula persentase dari suatu
unsur yang terkadung di dalam suatu sampel.
4. Proximate Analysis
Untuk mengetahui kandungan batu bara seperti kadar
moisture, volatile matter, ash, dan fixed carbon dapat dilakukan
pengujian proximate analysis. Standard pengujian yang dilakukan
yaitu ASTM D 3172-02 (Fixed Carbon), ASTM D 3173-02
(Moisture), ASTM D 3174-02 (Ash), dan ASTM D 3175-02
(Volatile matter).
4.1. Moisture
Analisis kadar moisture dalam batu bara dilakukan dengan
standard ASTM D 3173-02. Sampel yang digunakan dihaluskan
hingga 250 µm.
Alat :
1. Oven Pengering
Bahan :
1. Udara kering
2. Pengering, seperti kalsium sulfat anhidrat (0,004 mg/L),
silika gel, magnesium perklorat (0,0005 mg/L), dan asam
sulfat (0,003 mg/L)
Prosedur :

BAB III METODE PENELITIAN 55


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

1. Mengeringkan sampel dalam pengering selama 15 menit


hingga 30 menit dan ditimbang. Mengambil sampel
seberat 1 gram dan diletakkan dalam kapsul, tutup kapsul
dan timbang.
2. Meletakkan kapsul dalam oven yang telah dipanaskan
(104oC – 110oC). Tutup oven dan panaskan selama 1 jam.
Buka oven dan dingingkan dengan pengering. Timbang
segera kapsul bila telah mencapai temperatur ruangan.
3. Menghitung hasil analisis.
Perhitungan :
Moisture, % = [(A – B) / A] × 100
(3.1)
Dimana, A = berat sampel yang digunakan (gram)
B = berat sampel setelah pemanasan (gram)
4.2. Volatile Matter
Analisis kadar volatile matter dalam batu bara dilakukan
dengan standard ASTM D 3175-02. Sampel yang digunakan
dihaluskan hingga 250 µm.
Alat :
1. Krusibel platina dengan tutup, untuk batu bara
berkapasitas 10 – 20 mL, diameter 25 – 35 mm, dan tinggi
30 – 35 mm.
2. Vertical electric tube furnace.
Prosedur :
1. Menimbang sampel seberat 1 gram dalam krusibel platina,
tutup krusibel dan masukkan dalam furnace, temperatur
dijaga 950 ± 20oC.
2. Setelah volatile matter lepas, yang ditunjukkan dengan
hilangnya api luminous, periksa tutup krusibel masih
tertutup.
3. Setelah pemanasan tepat 7 menit, pindahkan krusibel
keluar furnace dan didinginkan.
4. Timbang ketika dingin
5. Presentasi weight loss dikurangi presentasi moisture sama
dengan volatile matter.

56 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Perhitungan :
Weight Loss, % = [(A – B) / A] × 100
(3.2)
Dimana, A = berat sampel yang digunakan (gram)
B = berat sampel setelah pemanasan (gram)
Kemudian persen volatile matter dihitung
Volatile Matter, % = C – D
(3.3)
Dimana, C = Weight Loss (%)
D = Moisture (%)
4.3. Ash
Analisis kadar ash dalam batu bara dilakukan dengan
standard ASTM D 3174-02. Sampel yang digunakan dihaluskan
hingga 250 µm.
Alat :
1. Electric muffle furnace
2. Kapsul porselen atau krusibel platina
3. Tutup krusibel
Prosedur :
1. Memasukkan 1 gram sampel dalam kapsul dan ditimbang
dan tutup. Letakkan kapsul dalam furnace dingin.
Panaskan dengan temperatur 450 – 500 oC selama 1 jam.
2. Memanaskan sampel hingga temperatur mencapai 700–
750oC selama 1 jam. Kemudian lanjutkan pemanasan
hingga 2 jam.
3. Pindahkan kapsul keluar dari furnace, didinginkan dan
timbang.
Perhitungan :
Ash, % = [(A – B) / C] × 100
(3.4)
Dimana, A = berat kapsul, tutup, dan ash (gram)
B = berat kapsul kosong dan tutup (gram)
C = berat sampel yang digunakan (gram)

BAB III METODE PENELITIAN 57


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

4.4. Fixed Carbon


Analisis kadar fixed carbon dalam batu bara dilakukan
dengan standard ASTM D 3172-02 dengan perhitungan dari data
kadar moisture, ash, dan volatile matter.
Fixed Carbon, % = 100% – [moisture (%) + ash (%) + volatile
matter (%)] (3.5)
3.4.4. Jadwal Rencana Penelitian

Tabel 3.1. Jadwal Rencana Penelitian


Februari Maret April Mei
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Preparasi alat
dan sample
Pengujian Bahan
Pembriketan dan
Proses Reduksi
Pengujian Hasil
Reduksi
Analisis data dan
Pembahasan

58 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

3.4.5. Rencana Penelitian

Tabel 3.2. Rencana Penelitian

Perbandingan Komposisi Briket dengan Hasil


Variasi Temperatur Reduksi Pengujian

Variasi Rasio Komposisi* XRD EDX


Temp.
Reduksi
(oC)

1200 100 : 81,88 : 50,25 : 19,1 : 7,53 √ √

1300 100 : 81,88 : 50,25 : 19,1 : 7,53 √ √

1400 100 : 81,88 : 50,25 : 19,1 : 7,53 √ √

*Komposisi Bahan : Bijih Nikel : Batu Bara : Dolomit : Na2SO4 :


Kanji

3.5. Neraca Massa Briket Nikel Laterit Limonitik


Sebelum dilakukan proses aglomerasi dan reduksi, terlebih
dahulu dilakukan proses perhitungan kesetimbangan massa
(Neraca Massa) terhadap komposisi bahan di dalam briket.
Perhitungan kesetimbangan massa briket tersebut akan
berpengaruh pada keberhasilan proses aglomerasi dan reduksi,
serta berpengaruh pada komposisi briket hasil reduksi yang
dihasilkan. Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai
penyusun briket antara lain bijih nikel laterit limonitik, batu bara,
batu kapur dolomit, Natrium Sulfat, dan kanji.

BAB III METODE PENELITIAN 59


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Komposisi massa batu bara dihitung bedasarkan


kebutuhan gas CO sebagai agen reduktor dalam proses reduksi
Fe2O3 dan NiO yang terkandung di dalam bijih nikel laterit
limonitik dengan jumlah yang telah ditentukan sesuai dengan
reaksi Boudouard (2.23). Adapun batu kapur dolomit dihitung
bedasarkan kebutuhan gas CO2 pada proses awal reaksi Boudouard
untuk membentuk gas reduktor CO, serta dihitung bedasarkan
target basisitas briket. Sedangkan Natrium Sulfat (Na2SO4)
ditambahkan sebesar 10% dari massa total campuran bijih nikel,
batu bara, dan dolomit. Penambahan Natrium Sulfat ke dalam
briket diharapkan dapat meningkatkan proses reduksi selektif
(selective reduction) nikel oksida menjadi nikel metal dengan cara
menekan pembentukan besi metal di dalam proses reduksi sesuai
reaksi (2.33) dan (2.34).
Desain target proses reduksi briket ditentukan pada Tabel
3.3. berikut:

Tabel 3.3. Target Reduksi Briket


Target Keterangan Nilai Satuan
Reaksi Fe2O3 → Fe3O4 100 Persen (%)
Reduksi Fe3O4 → FeO 100 Persen (%)
NiO→ Ni 100 Persen (%)
Reaksi FeO → Fe 100 Persen (%)
Pengikat Kanji 3 Persen (%)

Target proses reduksi briket di atas selanjutnya dijadikan dasaran


dalam menghitung neraca massa untuk menentukan komposisi
briket. Bijih nikel laterit limonitik ditetapkan sebagai basis
perhitungan neraca massa dengan batasan nilai basisitas sebesar
1,2. Setelah dilakukan proses penghitungan, diperoleh
perbandingan komposisi Bijih Nikel : Batu Bara : Batu Kapur

60 BAB III METODE PENELITIAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Dolomit : Natrium Sulfat : Kanji untuk masing-masing variabel


yang ditunjukkan pada tabel 3.4. berikut.

Tabel 3.4. Perbandingan Komposisi Briket


Variabel Bijih Batu Na2SO4 Kanji Total
Temp. Nikel Bara (gram) (gram) (gram)
Reduksi (gram) (gram)
1200 oC 100 67,56 17,23 5,54 190,35

1300 oC 100 67,56 17,23 5,54 190,35

1400 oC 100 67,56 17,23 5,54 190,35

Setelah dilakukan penimbangan sesuai dengan perbandingan


komposisi di atas, bahan-bahan tersebut selanjutnya dicampur dan
dipadatkan membentuk briket pillow dengan ukuran 14 cc
menggunakan alat kompaksi.
Dengan dilakukannya pencampuran bijih nikel dengan
bahan tambahan di atas, kadar unsur nikel dan unsur besi di dalam
briket pun akan berubah. Jika sebelum dicampur, kadar unsur nikel
dan besi di dalam bijih adalah 1,25%dan 55,37%, maka setelah
dicampur, kadar unsur-unsur tersebut akan berubah sesuai pada
Tabel 3.5. berikut.

BAB III METODE PENELITIAN 61


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Tabel 3.5. Kadar Fe dan Ni pada Briket sebelum Reduksi


Variabel Massa Fe Ni
Temp. Campuran Massa % Massa %
Reduksi Briket (gram) (gram)
1200 oC 190,35 55,37 29,09 1,25 0,66

1300 oC 190,35 55,37 29,09 1,25 0,66

1400 oC 190,35 55,37 29,09 1,25 0,66

Kemudian, banyaknya batu bara dan dolomit yang


digunakan sebagai bed pada proses reduksi ditentukan bedasarkan
kebutuhan gas CO yang digunakan untuk mereduksi briket pada
masing-masing variabel sesuai perhitungan neraca massa.
Komposisi batu bara dan dolomit yang digunakan sebagai bed pada
penelitian ini antara lain berturut-turut sebesar 67,56 gram dan
43,43 gram.

62 BAB III METODE PENELITIAN


BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Bijih Nikel Laterit Limonitik


Identifikasi fasa dari bijih nikel laterit limonitik dilakukan
menggunakan mesin XRD PAN analytical. Pengujian dilakukan
pada posisi 2θ dari 10O sampai 90O dan menggunakan panjang
gelombang CuKα sebesar 1,54056 Å. Bijih nikel yang digunakan
pada pengujian ini berjenis nikel laterit limonitik yang berasal dari
Sulawesi Tenggara. Bijih nikel tersebut telah diayak menggunakan
ayakan dengan ukuran 50 mesh atau 300 µm. Hasil pengujian XRD
dari bijih nikel laterit limonitik dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Hasil Pengujian XRD Bijih Nikel Laterit Limonitik

Pengujian XRD bijih nikel tersebut menghasilkan peak


senyawa yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 di atas. Hasil pengujian
XRD dianalisis dengan menggunakan PDF-2 Release 2011. Dari

63
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

peak tersebut dapat diketahui fasa-fasa yang terdapat pada bijih


nikel laterit limonitik yang diuji. Semakin tinggi peak yang
terbentuk menandakan semakin banyaknya fasa yang terdapat pada
bijih tersebut, maka bedasarkan analisis peak yang dihasilkan,
didapatkan fasa dominan yang ada pada bijih nikel laterit limonitik
tersebut adalah fasa geothite (FeOOH). Selain itu juga terdapat fasa
lizardite (Mg3Si2O5(OH)4) dan Nickel Iron Oxide (Fe2O3.NiO).
Pengujian komposisi / kadar bijih nikel laterit limonitik dilakukan
terhadap bijih nikel hasil sampling yang sama seperti pengujian
XRD. Pengujian tersebut menggunakan mesin SEM-EDX.
Sehingga, didapatkan data komposisi bijih seperti yang ditujukkan
pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil Pengujian EDX bijih nikel laterit limonitik


No Unsur % Wt
1 Ni 1.25
2 Fe 55.37
3 Si 1.94
4 Mg 0.42
5 Ca 0.46
6 Al 5.04
7 Co 1.62
8 Cr 1.54
9 S 0.67
10 P 0.20
11 O 31.48

4.2. Karakteristik Batubara


Batubara berperan penting sebagai penyedia utama unsur
karbon yang bertindak sebagai agen reduktor (gas CO hasil
gasifikasi batubara), dimana gas CO yang terbentuk berperan dalam

64 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

proses reduksi Fe2O3 menjadi Fe dan juga proses reduksi NiO


menjadi Ni.
Pengujian proximate analysis merupakan pengujian yang
sangat penting dalam menentukan kadar moisture, ash, volatile
matter, dan fixed carbon. Pengujian proximate dilakukan
berdasarkan standard ASTM D 3173-02. Hasil pengujian proximate
analysis batubara yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Hasil Pengujian Proximate Analysis Batubara


Parameter Hasil Unit Standar
Pengujian
Kelembapan Total 1.8 %, ar ASTM D3302-02
(Moisture)
Kadar Abu 4.75 %, ar ASTM D3174-02
(Ash)
Kadar Karbon Tetap 42.35 %, adb ASTM D3175-02
(Fixed Carbon)
Kadar Zat yang 52.86 %, adb ASTM D3172-02
mudah menguap
(Volatile Matter)
Nilai Kalori 7204 Cal/gr, adb ASTM D5865-03

Batu bara yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai


kalori yang cukup tinggi, yaitu 7204 kal/gr dan kadar karbon 42,35
%. Sehingga dapat dikategorikan sebagai batu bara golongan Sub-
bituminus. Hasil dari analisis proksimat di atas digunakan dalam
perhitungan neraca massa yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan fluks, batu bara, Natrium Sulfat dan kanji untuk proses
aglomerasi dan reduksi bijih nikel laterit limonitik.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 65


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

4.3. Karakteristik Batu Kapur (Dolomit)


Identifikasi fasa yang terdapat di dalam batu kapur dolomit
dilakukan menggunakan mesin XRD PAN analytical. Pengujian
dilakukan pada posisi 2θ dari 10O sampai 90O dan menggunakan
panjang gelombang CuKα sebesar 1,54056 Å. Batu kapur yang
digunakan berupa dolomit yang berasal dari daerah Gresik. Sebelum
dilakukan pengujian, batu kapur diayak menggunakan ayakan
dengan ukuran 50 mesh atau 300 µm. Hasil pengujian XRD dari batu
kapur dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Hasil Pengujian XRD Batu Kapur Dolomit

Pengujian XRD batu kapur tersebut menghasilkan peak


senyawa yang ditunjukkan pada Gambar 4.2 di atas. Hasil pengujian
XRD dianalisis menggunakan PDF-2 Release 2011. Dari peak
tersebut dapat diketahui fasa-fasa yang terdapat pada batu kapur.
Semakin tinggi peak yang terbentuk menandakan semakin

66 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

banyaknya fasa yang terdapat pada batu kapur tersebut, maka


bedasarkan analisis peak yang dihasilkan, didapatkan fasa dominan
pada batu kapur adalah Calcium Magnesium Carbonate
(CaMg(CO3)2).
Setelah mengetahui fasa dari batu kapur, selanjutnya batu
kapur dilakukan pengujian EDX untuk mengetahui komposisi yang
terdapat di dalamnya. Setelah dilakukan pengujian, didapatkan data
komposisi batu kapur seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil Pengujian EDX Batu Kapur Dolomit

No. Elemen Rumus Kimia Komposisi


(%)

1. Kalsium Ca 18.015

2. Magnesium Mg 14.30

3. Karbon C 12.6215

4. Oksigen O 55.0635

Bedasarkan hasil pengujian EDX di atas, tampak bahwa kapur


memiliki kandungan Mg yang cukup tinggi, yaitu sebesar 14.30 %.
Sehingga dapat disimpulkan dan dipastikan bahwa kapur yang
digunakan adalah batu kapur jenis dolostone atau dolomit. Unsur
Mg dan Ca yang membentuk senyawa CaMg(CO3)2 di dalam batu
kapur dolomit akan terdekomposisi membentuk gas CO2, dan akan
bereaksi dengan unsur C dari batu bara membentuk gas CO yang
berperan sebagai agen pereduksi di dalam proses aglomerasi dan
reduksi bijih nikel laterit limonitik.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 67


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

4.4. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Komposisi


Unsur pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
Untuk mengetahui pengaruh temperatur reduksi terhadap
komposisi unsur yang terdapat di dalam briket, dilakukan proses
reduksi dengan berbagai temperatur yang berbeda. Menurut Li,
temperatur reduksi sangat berpengaruh pada perubahan komposisi
unsur yang ada di dalam sampel yang tereduksi. Perubahan
komposisi unsur tersebut dipengaruhi oleh besar atau kecilnya
energi aktivasi yang dimiliki tiap unsur untuk dapat saling terlepas
dan berikatan dengan unsur lain membentuk senyawa baru. Pada
penelitian ini, adanya variasi temperatur reduksi diharapkan mampu
mereduksi senyawa nikel oksida dan meningkatkan kadar unsur
Nikel yang ada di dalam briket, dan juga dapat meningkatkan nilai
recovery unsur Nikel tersebut. Kenaikan kadar unsur Nikel yang
tinggi dapat diperoleh melalui proses reduksi dengan temperatur
yang ideal.
Adapun data komposisi unsur di dalam briket hasil proses
reduksi yang telah dilakukan pengujian EDX diperoleh sesuai pada
Tabel 4.4. berikut.

Tabel 4.4. Komposisi Unsur Briket Hasil Proses Reduksi


Variabel Unsur (%)
Temp.
Fe Ni Mg Ca Al Si Cr Na O
Reduksi
Briket 55,37 1,25 0,42 0,46 5,04 1,94 1,54 0,88 bal
Awal
1200 oC 68,26 1,44 0,53 0,76 4,08 2,01 2,30 4,10 bal
1300 oC 78,04 2,99 2,37 1,28 7,38 3,08 2,99 1,92 bal
1400 oC 67,68 4,69 0,84 1.91 0,93 1,29 1,13 1,02 bal

68 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Bedasarkan data tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara


umum, kadar unsur Nikel di dalam briket yang tereduksi pada
berbagai temperatur mengalami tren peningkatan yang positif di
setiap variabel temperatur reduksi. Semakin tinggi temperatur
reduksi, semakin tinggi pula peningkatan kadar unsur Nikel di dalam
briket. Sementara itu, kadar unsur Fe di dalam briket hasil reduksi
juga mengalami peningkatan di variabel temperatur 1200 oC dan
1300 oC. Namun pada variabel temperatur1400 oC, nilai peningkatan
kadar unsur Fe di dalam briket mengalami penurunan yang cukup
signifikan.
Persentase dari kadar unsur-unsur tersebut terrepresentasi di
dalam berbagai senyawa yang terbentuk pada briket hasil reduksi.
Secara morfologi, briket hasil reduksi teridentifikasi dalam dua
bentuk, antara lain dalam bentuk bongkahan logam/metal dan
bentuk serpihan halus/serbuk. Adanya perbedaan bentuk tersebut
disebabkan oleh perbedaan variabel temperatur reduksi sehingga
memungkinkan beberapa unsur di dalam briket hasil reduksi untuk
saling berikatan membentuk logam. Adapun pada penelitian ini,
briket yang tereduksi pada temperatur 1200 oC dan 1300 oC
teridentifikasi dalam bentuk serpihan halus/serbuk, sedangkan
briket yang tereduksi pada temperatur 1400 oC teridentifikasi dalam
bentuk serpihan halus/serbuk dan dalam bentuk bongkahan
logam/metal.

4.4.1. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Unsur Nikel


pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
Temperatur reduksi pada proses aglomerasi dan reduksi
bijih Nikel akan memengaruhi kadar unsur nikel yang ada di
dalamnya. Unsur Nikel yang ada di dalam briket akan meningkat
seiring dengan terjadinya reaksi reduksi, yaitu reaksi pemisahan
mineral berharga dari pengotor-pengotornya. Adanya temperatur

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 69


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

reduksi yang ideal akan menghasilkan reaksi reduksi yang optimal,


sehingga kadar Nikel di dalam briket akan semakin meningkat.
Grafik peningkatan kadar unsur Nikel pada penelitian ini disajikan
pada Gambar 4.3. berikut.
5

4,69
4
Kadar Nikel (%)

3
2,99
2

1 1,44
1,25

0
Awal 1200 1300 1400
Temperatur Reduksi (oC)

Gambar 4.3. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Kadar Unsur


Nikel di dalam Briket Hasil Proses Reduksi

Gambar 4.3. di atas menunjukkan bahwa persentase kadar


awal unsur Nikel di dalam bijih adalah 1,25 %. Setelah dilakukan
proses reduksi pada temperatur 1200 oC dengan holding time selama
6 jam, diperoleh kadar unsur Nikel pada briket hasil reduksi sebesar
1,44 % dengan peningkatan unsur Nikel sebesar 0,19 %. Adanya
peningkatan unsur tersebut disebabkan oleh terjadinya reaksi
dehidroksilasi senyawa Geothite FeO(OH) pada temperatur antara
200-700 oC yang mengakibatkan terlepasnya senyawa NiO dan
senyawa Fe2O3 dari senyawa Goethite tersebut (Crundwell
dkk,2011). Reaksi dehidroksilasi senyawa Goethite dimulai dengan
lepasnya ikatan Hidroksida (OH) dan diikuti oleh reaksi reduksi besi
hematite Fe2O3 hingga membentuk besi wustite FeO oleh gas CO

70 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

yang berasal dari reaksi Bouduard (2.17.). Reaksi reduksi besi


hematite ini berlangsung pada temperatur antara 800-1100 oC.
Setelah sebagian besi hematite tereduksi menjadi besi wustite,
senyawa NiO kemudian akan mulai tereduksi membentuk Ni metal.
Rendahnya peningkatan kadar unsur Nikel pada variabel temperatur
reduksi ini diduga disebabkan oleh belum tuntasnya reaksi reduksi
besi hematite akibat rendahnya temperatur reduksi. Sehingga reaksi
reduksi senyawa NiO membentuk Ni metal belum banyak terjadi di
dalam briket.
Kadar unsur Nikel dari briket yang tereduksi pada
temperatur 1300 oC selama 6 jam menunjukkan angka persentase
sebesar 2,99 %, dengan peningkatan unsur Nikel sebesar 1,74 %.
Nilai peningkatan kadar unsur Nikel pada variabel temperatur ini
lebih tinggi dibandingkan dengan variabel sebelumnya. Hal tersebut
diakibatkan oleh semakin banyaknya senyawa NiO yang tereduksi
membentuk Ni metal seiring dengan meningkatnya temperatur
reduksi. Dengan meningkatnya temperatur reduksi, energi yang
diberikan untuk memecah ikatan logam Nikel dengan oksidanya
akan semakin besar. Sehingga kadar unsur Nikel di dalam briket
hasil reduksi akan semakin meningkat, dan nilai recovery unsur
Nikel juga akan semakin meningkat.
Pada variabel temperatur reduksi 1400 oC, kadar unsur
Nikel yang ada di dalam briket hasil reduksi menunjukkan angka
persentase sebesar 4,69 % dengan peningkatan unsur Nikel sebesar
3,44 %. Peningkatan kadar unsur Nikel pada variabel ini memiliki
nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan peningkatan kadar
unsur Nikel pada variabel lainnya. Tingginya peningkatan kadar
unsur Nikel tersebut disebabkan oleh besarnya energi panas yang
dapar diberikan untuk dapat memutus ikatan senyawa NiO
membentuk Ni metal. Hal tersebut berkaitan dengan semakin
banyaknya gas CO yang terbentuk di dalam crucible. Dengan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 71


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

semakin banyaknya gas CO yang terbentuk, atmosfer reduksi di


dalam crucible akan semakin kuat, sehingga proses reaksi reduksi
briket di dalam furnace akan berlangsung secara optimal. Selain itu,
tingginya peningkatan kadar unsur Nikel pada variabel ini juga
didukung oleh adanya selektivitas reduksi unsur Nikel (Selective
Reduction) akibat dari penambahan Natrium Sulfat (Na2SO4) ke
dalam briket. Dengan meningkatnya temperatur reduksi, Natrium
Sulfat akan mengalami reaksi dekomposisi menjadi Na2O, Na2S,
dan Sulfur. Natrium (Na) akan mengikat silikat, dan Sulfur (S) akan
bereaksi dengan FeO membentuk FeS sesuai reaksi (Na2S + FeO →
2SiO2 + FeS + Na2Si2O5) sehingga akan terjadi selektivitas reduksi
dimana NiO akan tereduksi membentuk Ni metal dan Fe yang telah
tereduksi dari besi wustite (FeO) akan bereaksi dengan Sulfur
membentuk FeS. FeS merupakan senyawa non-magnetik, sehingga
senyawa ini tidak tertarik oleh magnet dan akan terbuang bersama
slag pada saat dilakukan proses magnetic separation. Hal ini
berakibat pada menurunnya kadar Fe di dalam briket hasil reduksi
(Guang Li, 2012). Dengan penurunan kadar Fe pada massa total
briket tereduksi, maka akan berimbas pada peningkatan unsur Ni di
dalam briket hasil reduksi tersebut.

4.4.2. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Unsur Besi


pada Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
Temperatur reduksi pada proses aglomerasi dan reduksi
bijih nikel akan memengaruhi kadar unsur besi yang ada di
dalamnya. Unsur besi (Fe) yang ada di dalam briket akan meningkat
seiring dengan terjadinya reaksi reduksi di dalam briket. Namun
pada titik temperatur tertentu, peningkatan kadar unsur Fe di dalam
briket tereduksi tersebut akan menurun (Gupta, 2010). Beberapa
literatur menyebutkan bahwa kadar unsur Nikel di dalam briket hasil
reduksi akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar unsur Fe.

72 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Sehingga pada penelitian ini, diharapkan temperatur reduksi yang


ideal dapat meningkatkan kadar unsur Nikel, dan juga menurunkan
kadar unsur Fe di dalam briket hasil proses reduksi. Grafik
peningkatan kadar unsur Fe pada penelitian ini disajikan pada
Gambar 4.4. berikut.

90
80
70 78,04
Kadar Fe (%)

60 68,26 67,68
50
55,37
40
30
20
10
0
Awal 1200 1300 1400
Temperatur Reduksi (oC)

Gambar 4.4. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Kadar Unsur


Fe di dalam Briket Hasil Proses Reduksi

Gambar 4.4. di atas menunjukkan bahwa persentase kadar


awal unsur Fe di dalam bijih adalah 55,37 %. Setelah dilakukan
proses reduksi pada temperatur 1200 oC dengan holding time selama
6 jam, diperoleh kadar unsur Fe pada briket hasil reduksi sebesar
68,26 % dengan peningkatan unsur Fe sebesar 12,89 %. Besarnya
peningkatan kadar unsur Fe tersebut disebabkan oleh banyaknya
senyawa besi hematite (Fe2O3) yang tereduksi membentuk FeO dan
Fe metal, dimana besi hematite tersebut didapatkan dari proses
reaksi dehidroksilasi senyawa Geothite FeO(OH) pada temperatur
antara 200-700 oC. Menurut Gupta, besi hematite (Fe2O3) memiliki

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 73


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

nilai kemampuan tereduksi lebih tinggi untuk membentuk besi


magnetite (Fe3O4) dan besi wustite (FeO) jika dibandingkan dengan
Nikel oksida (NiO). Sehingga setelah terjadi proses dehidroksilasi
Goethite, besi hematite akan terlebih dahulu tereduksi oleh gas CO
membentuk besi magnetite, dan besi magnetite juga akan tereduksi
hingga membentuk besi wustite. Sedangkan pada kondisi ini, Nikel
oksida yang telah terbentuk dari proses dehidroksilasi Goethite
belum akan tereduksi hingga proses reduksi besi hematite telah
selesai. Hal tersebut lah yang menyebabkan tingginya peningkatan
kadar unsur Fe di dalam briket hasil reduksi pada variabel
temperatur ini.
Kadar unsur Fe dari briket yang tereduksi pada temperatur
1300 oC selama 6 jam menunjukkan angka persentase sebesar 78,04
%, dengan peningkatan unsur Fe sebesar 22,67 %. Nilai peningkatan
kadar unsur Fe pada variabel temperatur ini lebih tinggi
dibandingkan dengan variabel sebelumnya. Hal tersebut diakibatkan
oleh semakin banyaknya besi hematite yang tereduksi membentuk
besi wustite dan besi metal seiring dengan meningkatnya temperatur
reduksi. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa nilai
kemampuan reduksi Nikel oksida untuk membentuk Nikel metal
lebih rendah dibandingkan kemampuan reduksi besi hematite
membentuk besi magnetite dan besi wustite, namun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kemampuan reduksi besi wustite membentuk
besi metal. Sehingga pada variabel temperatur ini, sebagian besi
wustite telah tereduksi membentuk besi metal, diikuti oleh proses
reduksi nikel oksida membentuk nikel metal. Hal tersebut
mengakibatkan kadar unsur nikel di dalam briket hasil proses
reduksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar unsur
Fe (Babich, et al. 2008).
Pada variabel temperatur reduksi 1400 oC, kadar unsur Fe
yang ada di dalam briket hasil reduksi menunjukkan angka

74 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

persentase sebesar 67,68 % dengan peningkatan unsur Fe sebesar


12,31 %. Nilai peningkatan kadar unsur Fe pada variabel ini
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan nilai peningkatan
kadar unsur Fe pada variabel lainnya. Dan peningkatan kadar unsur
Fe pada variabel ini memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan
dengan peningkatan kadar unsur Fe pada variabel lainnya.
Rendahnya peningkatan kadar unsur Fe tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain rendahnya nilai kemampuan reduksi
besi wustite (FeO) membentuk besi metal (Fe) dibandingkan dengan
nilai kemampuan reduksi Nikel oksida (NiO) membentuk Nikel
metal (Ni), dan terbentuknya senyawa Triolite (FeS) di dalam briket
hasil reduksi. Sehingga sebagian Fe metal yang telah terbentuk, ikut
terbuang membentuk slag.

4.4.3. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai Recovery


Unsur Nikel
Proses reduksi bijih Nikel dilakukan untuk memisahkan
logam Nikel dari pengotornya. Suatu proses reduksi dikatakan
optimal jika produk yang dihasilkan memiliki nilai recovery unsur
logam yang tinggi. Persentase nilai recovery ini dihitung dari hasil
perbandingan massa Nikel awal dengan massa Nikel akhir hasil
proses reduksi. Massa Nikel dihitung dengan mengalikan persentase
kadar Nikel dengan massa total. Pada penelitian ini, massa total
briket hasil reduksi didapatkan dari penjumlahan massa briket dalam
bentuk bongkahan logam/metal dengan massa briket dalam bentuk
serpihan halus/serbuk. Perhitungan massa Nikel akhir hasil proses
reduksi ditampilkan pada Tabel 4.5., sedangkan hasil perhitungan
recovery Nikel ditunjukkan pada pada Gambar 4.5. melalui
persamaan 4.1.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 75


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Tabel 4.5. Perhitungan Massa dan Nilai Recovery Unsur Nikel Hasil
Proses Reduksi
Temp. Massa Massa Massa % Ni % Ni Massa
Reduksi Awal Total Total dalam dalam Akhir
(oC) Ni (gr) Serbuk Metal Metal Serbuk Ni (gr)
(gr) (gr)
1200 0,685 24,23 - - 1,44 0,349
1300 0,685 17,72 - - 2,99 0,530
1400 0,685 20,67 4,87 4,69 1,77 0,594

𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑁𝑖 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑅𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖


% Recovery Ni = 𝑥 100% (4.1)
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑁𝑖 𝐴𝑤𝑎𝑙 𝐵𝑟𝑖𝑘𝑒𝑡

100
86,75
90
77,35
80
Recovery (%)

70
60 50,94
50
40
30
20
10
0
1200 1300 1400
Temperatur Reduksi (oC)
Gambar 4.5. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Nikel

Bedasarkan Gambar 4.5. di atas, dapat diketahui bahwa nilai


recovery unsur Nikel pada masing-masing variabel mengalami tren
peningkatan yang positif. Pada variabel temperatur 1200 oC,
recovery unsur Nikel memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 50,9 %.

76 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Namun ketika temperatur reduksi dinaikkan menjadi 1300 oC, nilai


recovery naik menjadi 77,35 % dengan nilai peningkatan sebesar
26,41 %. Sedangkan nilai recovery unsur Nikel tertinggi didapatkan
pada briket yang tereduksi pada temperatur 1400 oC dengan nilai
sebesar 86,75 %. Pada temperatur ini, terjadi peningkatan nilai
recovery sebesar 9,4 % dibandingkan dengan variabel sebelumnya.
Terjadinya peningkatan nilai recovery tersebut disebabkan oleh
semakin tingginya temperatur reduksi, sehingga menyebabkan
banyaknya Nikel oksida yang tereduksi membentuk Nikel metal,
seperti yang telah dibahas pada subbab 4.5.1 di atas.

4.4.4. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai Recovery


Unsur Besi
Untuk mengetahui nilai recovery unsur Fe di dalam briket
hasil reduksi, dilakukan perhitungan massa Fe awal dengan massa
Fe akhir hasil proses reduksi. Massa Fe dihitung dengan mengalikan
persentase kadar Fe dengan massa total. Pada penelitian ini, massa
total briket hasil reduksi didapatkan dari penjumlahan massa briket
dalam bentuk bongkahan logam/metal dengan massa briket dalam
bentuk serpihan halus/serbuk. Perhitungan massa Fe akhir hasil
proses reduksi ditampilkan pada Tabel 4.6., sedangkan hasil
perhitungan recovery Fe ditunjukkan pada Gambar 4.6. melalui
persamaan 4.2.

Tabel 4.6. Perhitungan Massa dan Nilai Recovery Unsur Fe Hasil


Proses Reduksi
Temp. Massa Massa Massa % Fe %Fe Massa
Reduksi Awal Total Total dalam dalam Akhir
(oC) Fe (gr) Serbuk Metal Metal Serbuk Fe (gr)
(gr) (gr)
1200 18,499 24,23 - - 68,26 16,54
1300 18,499 17,72 - - 78,04 13,83

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 77


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

1400 18,499 20,67 4,87 67,68 51,95 14,04

𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐹𝑒 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑅𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖


% Recovery Fe = 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐹𝑒 𝐴𝑤𝑎𝑙 𝐵𝑟𝑖𝑘𝑒𝑡
𝑥 100% (4.2)

95
89,41
90
Recovery (%)

85

80
75,86
74,75
75

70

65
1200 1300 1400
Temperatur Reduksi (oC)
Gambar 4.6. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Nilai
Recovery Unsur Fe

Bedasarkan Gambar 4.6. di atas, dapat diketahui bahwa nilai


recovery unsur Fe mengalami penurunan secara signifikan pada
variabel temperatur 1300 oC, dan mengalami sedikit peningkatan
pada variabel temperatur 1400 oC. Pada variabel temperatur 1200
o
C, recovery unsur Fe memiliki nilai tertinggi, yaitu sebesar 89,41
%. Namun ketika temperatur reduksi dinaikkan menjadi 1300 oC,
nilai recovery turun menjadi 74,75 % dengan nilai penurunan
sebesar 14,66 %. Pada temperatur ini, nilai recovery unsur Fe berada
pada titik terendah dibanding dengan variabel temperatur lainnya.
Hal ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya massa total briket
hasil reduksi secara signifikan. Rendahnya nilai perbandingan antara
massa awal briket dengan massa akhir briket hasil reduksi sangat

78 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

memengaruhi nilai recovery unsur-unsur yang ada di dalamnya.


Banyaknya massa yang hilang disebabkan oleh terbentuknya fasa
Triolite (FeS) di dalam briket seperti yang telah di jelaskan pada
subbab 4.5.2. di atas.
4.4.5. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Faktor
Selektivitas pada Proses Reduksi
Di dalam proses reduksi bijih nikel laterit, peningkatan
kadar unsur Ni dan Fe saling berpengaruh. Artinya, kadar unsur
Nikel akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar unsur Fe,
begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam upaya mendapatkan kadar
unsur Nikel yang tinggi, peningkatan kadar unsur Fe harus dibatasi.
Salah satu cara untuk dapat membatasi peningkatan kadar unsur Fe
di dalam proses reduksi bijih Nikel laterit adalah dengan
menambahkan senyawa tambahan ke dalam briket, dalam hal ini
adalah Na2SO4, guna meningkatkan reduksi selektif pada saat proses
reduksi berlangsung. Di dalam proses reduksi, faktor selektivitas
dipengaruhi oleh atmosfer reduksi. Atmosfer reduksi yang rendah di
dalam furnace akan semakin meningkatkan faktor selektivitas
(Pickles dkk.,2014). Pada penelitian ini, faktor selektivitas
menunjukkan kemampuan gas CO untuk dapat mereduksi Ni dan
Fe, dimana kemampuan reduksi Ni yang semakin tinggi dengan
kemampuan reduksi Fe yang semakin rendah akan meningkatkan
nilai faktor selektivitas. Persamaan rumus yang digunakan untuk
menghitung faktor selektivitas dapat dilihat pada persamaan 4.3. di
bawah. Sedangkan hasil perhitungan faktor selektivitas masing
variabel temperatur reduksi pada penelitian ini disajikan pada
Gambar 4.7.
% 𝐹𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 % 𝑁𝑖 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟
Selectivity = (4.3)
% 𝑁𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 % 𝐹𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 79


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Tabel 4.7. Perbandingan Selectivity Factor di beberapa Penelitian


Nama Reduktan Aditif Waktu Temperatur Faktor
Peneliti Reduksi Reduksi Selektivitas
Zulfiandi Batu - - 1 jam 1400 1,6
(2016) Bara
Rudi dkk Batu - Na2SO4 1 jam 1000 1,87
(2016) Bara
R Elliot Batu - Sulfur 1 jam 1000 1,69
dkk Bara
(2016)
Shiwei Batu - NaCl 30 min 1200 1,25
dkk Bara
(2015)

4,5
3,84
4
Selectivity Factor

3,5
3
2,5 2,15
2
1,5 1,2
1
0,5
0
1200 1300 1400
Temperatur Reduksi (oC)

Gambar 4.7. Nilai Faktor Selektivitas Hasil Proses Reduksi

4.5. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Fasa di dalam


Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
Identifikasi fasa dari hasil aglomerasi briket nikel laterit
limonitik dilakukan menggunakan mesin XRD PAN Analytical.

80 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Pengujian dilakukan dengan posisi 2θ 20 – 90 ° dan menggunakan


panjang gelombang CuKα sebesar 1.54056 Ǻ. Sampel briket hasil
proses aglomerasi dan reduksi menggunakan muffel furnace yang
dilakukan pengujian XRD terdiri dari tiga jenis sampel dengan
variasi temperatur reduksi yang berbeda, antara lain sampel briket
yang direduksi pada temperatur 1200 oC, 1300 oC, dan 1400 oC.
Setelah itu, data hasil pengujian XRD pada masing-masing sampel
dianalisis menggunakan PDF-2 Release 2011. Gambar 4.8.
merupakan hasil identifikasi fasa yang terbentuk di dalam masing-
masing sampel briket hasil proses aglomerasi dan reduksi, yang juga
disajikan di dalam Tabel 4.8.

Gambar 4.8. Hasil Pengujian XRD Briket Hasil Proses Reduksi

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 81


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Tabel 4.8. Identifikasi Fasa pada Briket Hasil Proses Reduksi


Fasa Rumus Kimia PDF Number
Iron Oxide Hydroxide (Fe,Ni)OOH 01-073-1519
Forsterite (Mg,Fe)2SiO4 01-070-7060
Nepheline Na3MgAl(SiO4)2 00-035-0590
Calcium Iron Oxide CaFe3O5 00-047-1744
Iron Nickel (Kamacite) α-(Fe,Ni) 01-071-8326
Iron Nickel (Taenite) γ-(Fe,Ni) 01-071-8472

4.5.1. Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada 1200 oC


Bedasarkan analisis data hasil pengujian XRD briket ini,
dapat diketahui bahwa fasa dominan yang terbentuk adalah fasa
Forsterite ((Mg,Fe)2SiO4) dan Calcium Iron Hyroxide (Ca2Fe2O5),
atau yang juga biasa disebut sebagai fasa Calcium Ferrite pada
puncak peak tertinggi dengan nilai 2θ sebesar 35,99 dan 33,49.
JCPDS Card yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa ini adalah
00-047-1744 (Calcium Ferrite). Selain itu, terdapat juga fasa lain
berupa Iron Oxide Hydroxide (FeOOH) atau yang disebut dengan
Geothite pada puncak peak dengan nilai 2θ sebesar 54,32, dan fasa
Nepheline (Na3MgAl(SiO4)2) pada puncak peak dengan nilai 2θ
sebesar 63,76 yang menggunakan JCPDS Card 01-073-1519 dan
JCPDS Card 00-035-0590.
Fasa Forsterite ((Mg,Fe)2SiO4) terbentuk melalui proses
dehidroksilasi fasa Lizardite ((Mg,Fe)3Si2O5(OH)4) dan proses
rekristalisasi mineral silikat yang ada pada bijih nikel laterit
limonitik bedasarkan reaksi berikut (Li et al, 2011);

Mg3Si2O5(OH)4 → 3/2Mg2SiO4 + ½SiO2 + 2H2O(g) (4.4)

82 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Bijih nikel laterit limonitik merupakan salah satu jenis bijih nikel
yang memiliki kadar unsur Fe yang tinggi dalam bentuk fasa
Geothite sebagai fasa dominan, sehingga fasa Forsterite tersebut
terbentuk berupa larutan padat melalui proses substitusi unsur Fe
dengan Mg ke dalam fasa Mg2SiO4 hingga membentuk fasa
(Mg,Fe)2SiO4 yang memiliki kadar unsur Fe tinggi di dalam fasa,
dengan sedikit kandungan unsur nikel di dalamnya. Reaksi
endotermik dehidroksilasi gugus hidroksi dari senyawa Serpentine
(Lizardite) terjadi pada temperatur 750 oC, dan diikuti dengan reaksi
eksotermik pada temperatur 950 oC yang merupakan rekristalisasi
fasa Fosterite. Pada temperatur 750 oC, struktur dari Lizardite dan
Goethite mengalami kerusakan, sehingga temperatur ini merupakan
saat yang tepat untuk melakukan proses benefisiasi nikel karena
struktur dari Lizardite menjadi terbuka terhadap pengaruh luar
(G.W. Brindley, 2009). Tetapi bila dipanaskan lebih lanjut, maka
suatu reaksi endotermik yang cepat akan terjadi pada temperatur
rekristalisasi Fosterite. Dalam kaitannya dengan proses ekstraksi
nikel, pada tahap ini logam nikel dan besi akan sulit untuk direduksi
lebih lanjut karena fasa yang terbentuk akan menjebak logam besi
dan nikel di dalamnya sehingga proses reduksi akan terhambat
(Mackenzie, 2009). Bedasarkan analisis data hasil pengujian XRD
pada Gambar 4.8. di atas, dapat diketahui bahwa briket yang
tereduksi pada temperatur 1200 oC belum menunjukkan adanya fasa
Feronikel yang terbentuk. Hal ini terjadi kemungkinan karena
sebagian logam besi dan nikel terlarut di dalam kristal Fosterite
setelah proses pemanasan. Sehingga unsur nikel dan besi
terepresentasi di dalam fasa Forsterite tersebut, dan diperlukan
temperatur reduksi yang lebih tinggi untuk dapat memecah struktur
kristal Forsterite agar dapat terbentuk fasa Feronikel (Fe,Ni) di akhir
pemanasan.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 83


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Selain fasa Forsterite, briket yang tereduksi pada


temperatur 1200 oC ini juga menghasilkan fasa dominan berupa
Calcium Iron Hyroxide (Ca2Fe2O5) di dalam sampel briket. Calcium
Iron Hyroxide (Ca2Fe2O5) tersebut terbentuk karena adanya CaO
hasil dekomposisi thermal dari dolomit yang bereaksi dengan
Hematite (Fe2O3) pada temperatur 900 oC, sedangkan Hematite
terbentuk dari proses dekomposisi Goethite (FeOOH) pada
temperatur 800 oC (Babich, et al. 2008). Hal tersebut mengakibatkan
sulitnya Hematite untuk tereduksi membentuk Magnetite. Sehingga
di akhir proses reduksi, fase Magnetite belum banyak terbentuk, dan
logam besi akan cenderung berikatan dengan mineral silikat
membentuk fasa Forsterite.

4.5.2. Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada 1300 oC


Bedasarkan analisis data hasil pengujian XRD briket ini,
dapat diketahui bahwa fasa dominan yang terbentuk adalah fasa
Forsterite (Mg,Fe)2SiO4 pada puncak peak tertinggi dengan nilai 2θ
sebesar 35,675. JCPDS Card yang digunakan untuk
mengidentifikasi fasa ini adalah 01-070-7060. Selain itu, terdapat
juga fasa lain berupa Kamacite (α-Fe,Ni) pada puncak peak
tertinggi kedua dengan nilai 2θ sebesar 44,856, serta Calcium Iron
Hyroxide (CaFe3O5) dan Nepheline (Na3MgAl(SiO2)4) pada puncak
peak tertinggi ketiga dengan nilai 2θ sebesar 33,442. JCPDS Card
yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa-fasa tersebut adalah
01-071-8326 dan 00-035-0590.
Jika dikaitkan dengan hasil pengujian EDX pada subbab
sebelumnya, kadar unsur nikel di dalam briket hasil reduksi pada
temperatur 1300 oC mengalami peningkatan dari 1,25 % Ni menjadi
2,99 % Ni dengan nilai recovery nikel sebesar 77,35%. Sedangkan
unsur Fe di dalam briket juga mengalami peningkatan dari 55,37%
Fe menjadi 78,04 % Fe dengan nilai recovery sebesar 74,75 %. Hal

84 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

tersebut sejalan dengan hasil pengujian XRD yang menunjukkan


bahwa sampel briket yang direduksi pada temperatur ini telah
menunjukkan terbentuknya fasa Kamacite (α-Fe,Ni). Secara fisik,
Kamacite tersebut tidak terlihat secara makro pada briket hasil
reduksi. Sehingga diduga besi dan nikel metal yang saling berikatan
membentuk Kamacite terjadi secara mikro di dalam briket melalui
hasil reduksi Goethite (FeOOH) dan Lizardite
((Mg,Ni)3Si2O5(OH)4) (Li et al, 2011).
Adanya fasa Kamacite ini menandakan bahwa feronikel
yang terbentuk memiliki kandungan unsur besi yang tinggi di dalam
fasa. Unsur nikel di dalam briket belum mengalami proses reduksi
secara sempurna membentuk NiO dan Ni metal yang diakibatkan
oleh beberapa hal, diantaranya adalah rendahnya temperatur reduksi
yang digunakan untuk mereduksi logam Ni, dan tingginya nilai
kemampuan reduksi Hematite membentuk Magnetite dibanding
dengan Nikel Iron Oxide (Fe2O3.NiO) membentuk Ni metal. Fasa
Goethite (FeOOH) yang ada di dalam briket bijih nikel tersebut
terdekomposisi membentuk fasa hematite (Fe2O3), dan Hematite
tersebut selanjutnya akan tereduksi oleh gas CO membentuk fasa
dominan berupa Magnetite (Fe3O4) di dalam briket hasil reduksi
bedasarkan reaksi 2.2 dan 2.3. Gas CO yang terbentuk melalui reaksi
Bouduard pada temperatur 900 oC hanya mampu mereduksi
Hematite dan belum secara maksimal mereduksi Nickel Iron Oxide
menjadi NiO atau Ni metal.
Sebagian Magnetite yang terbentuk akan bereaksi dengan
pengotor berupa CaO yang dihasilkan dari reaksi dekomposisi fluks
dolomit membentuk fasa Calcium Iron Oxide (CaFe3O5) di
temperatur 1200 oC dengan basisitas 1,2. Fasa Calcium Iron Oxide
atau Calcium Ferrite memiliki kemampuan reduksi yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Magnetite (Fe3O4), dimana
kemampuan reduksi dari fasa Calcium Ferrite untuk dapat

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 85


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

membentuk logam Fe memiliki nilai sebesar 80,3%. Sedangkan


kemampuan reduksi dari magnetite memiliki nilai lebih rendah yaitu
53,5% (Gupta, 2010). Terbentuknya fasa Calcium Ferrite ini tentu
sangat merugikan saat berlangsungnya proses reduksi bijih Nikel.
Hal tersebut dikarenakan nilai recovery unsur Ni yang tereduksi
akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya nilai
recovery unsur Fe di dalam proses reduksi. Sehingga hal tersebut
akan mengakibatkan rendahnya kadar unsur logam Nikel yang akan
didapatkan di akhir proses reduksi bijih nikel.
Meskipun kemampuan reduksi Hematite membentuk
Magnetite lebih tinggi dibandingkan dengan Nickel Iron Oxide
membentuk Ni metal, namun hasil pengujian EDX menunjukkan
recovery unsur Fe pada briket hasil reduksi pada temperatur ini
memiliki nilai yang rendah jika dibandingkan dengan briket hasil
reduksi pada temperatur 1200 oC dan 1400 oC. Rendahnya nilai
recovery Fe tersebut disebabkan oleh munculnya senyawa Na2O
hasil dekomposisi zat aditif Na2SO4 yang bereaksi dengan mineral
silikat membentuk fasa Nepheline (Na3MgAl(SiO4)2) yang memiliki
titik leleh rendah (Watanabe et al, 1987). Atmosfer reduksi akan
semakin lemah di dalam molten ore, karena laju difusi gas reduktor
akan berkurang oleh karena terbentuknya mineral dengan titik leleh
yang rendah. Selain itu, perhitungan termodinamika menunjukkan
bahwa oksida nikel akan tereduksi lebih dahulu daripada besi
oksida, sehingga Magnetite yang dapat tereduksi lebih lanjut
membentuk Fe metal akan tertahan di dalam atmosfer reduksi yang
lemah. Akibatnya hanya sedikit besi oksida dan nikel oksida yang
tereduksi membentuk Kamacite.

4.5.3. Analisis Hasil XRD Briket yang Tereduksi pada 1400 oC


Bedasarkan analisis data hasil pengujian XRD briket ini,
dapat diketahui bahwa fasa dominan yang terbentuk adalah fasa Iron

86 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Nickel (Fe,Ni) dalam bentuk fasa Kamacite (α-Fe,Ni) sebagai fasa


dominan dan fasa Taenite (γ-Fe,Ni) pada puncak peak tertinggi
dengan nilai 2θ sebesar 44,725 dan 43,33. JCPDS Card yang
digunakan untuk mengidentifikasi fasa ini adalah 01-071-8326 dan
01-071-8472. Perbedaan dari kedua jenis fasa Iron Nickel (Fe,Ni)
tersebut adalah kandungan unsur nikel yang ada di dalamnya.
Taenite memiliki kadar unsur Ni yang lebih tinggi dengan kadar
unsur Fe yang lebih rendah. Sedangkan Kamacite memiliki kadar
unsur Fe yang lebih tinggi dengan kadar Ni yang lebih rendah (Li,
1999). Fasa Kamacite terbentuk dari hasil reduksi Goethite
(FeOOH) dan Lizardite ((Mg,Ni)3Si2O5(OH)4). Sedangkan Taenite
terbentuk dari hasil reduksi Nickel Iron Oxide (NiFe2O4) dengan
nilai recovery dan kadar unsur nikel yang lebih tinggi (Li et al,
2011).
Hasil XRD yang menunjukkan dominasi fasa Kamacite
mengindikasikan bahwa ferronikel yang diperoleh dari proses
reduksi memiliki nilai recovery Ni yang tinggi dengan recovery Fe
metal yang juga tinggi di dalam fasa tersebut. Sedangkan secara
umum, munculnya fasa Taenite di dalam briket hasil reduksi pada
temperatur 1400 oC menunjukkan bahwa recovery unsur nikel
mengalami peningkatan, diikuti dengan penurunan recovery unsur
Fe, jika dibandingkan dengan briket hasil reduksi pada temperatur
1200 oC dan 1300 oC (Li, 1999). Hal tersebut disebabkan oleh
terbentuknya senyawa Triolite (FeS) di dalam proses reduksi pada
temperatur antara 1100-1300 oC. Terbentuknya senyawa FeS
tersebut membantu meningkatkan kadar unsur nikel di dalam briket
hasil proses reduksi, dan juga meningkatkan nilai recovery nikel.
Sulfur (S), yang diperoleh dari proses dekomposisi zat aditif Na2SO4
dan unsur kandungan pada batu bara, dapat bereaksi dengan besi
metal (Fe) membentuk senyawa FeS. Senyawa ini bersifat non-
magnetik, sehingga ketika dilakukan proses magnetic separation,

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 87


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

senyawa ini tidak tertarik oleh magnet dan terbuang bersama dengan
unsur pengotor lainnya membentuk slag. Terbentuknya senyawa
FeS ini juga menyebabkan turunnya recovery unsur Fe dan
meningkatkan kadar unsur nikel seiring dengan bertambahnya kadar
unsur sulfur di dalam briket. Keberadaan unsur Sulfur juga
mendukung pertumbuhan partikel feronikel sehingga dapat
meningkatkan kadar nikel di dalam fasa metalik (Nagata, 1986).

4.6. Pengaruh Temperatur Reduksi terhadap Morfologi


Briket hasil proses Aglomerasi dan Reduksi
Untuk dapat mengetahui bentuk morfologi briket hasil
proses reduksi serta perilaku pembentukan logam di dalamnya,
dilakukan pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) pada
briket hasil reduksi untuk masing-masing variabel temperatur. Pada
penelitian ini, pengujian SEM dilakukan dengan perbesaran 250x
untuk mengetahui bentuk aglomerat dan melakukan pengujian EDX
pada spot-spot tertentu untuk mengetahui perilaku terbentuknya
metal di dalam briket. Adapun gambar morfologi briket hasil proses
reduksi untuk masing-masing variabel temperatur ditampilkan pada
Gambar 4.9. di bawah.

88 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 4.9. Gambar Morfologi Briket Hasil Proses Reduksi;


(a) 1200 oC, (b) 1300 oC, (c) 1400 oC

Bedasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa morfologi briket


hasil reduksi pada masing-masing variabel temperatur memiliki
bentuk yang berbeda-beda dengan ciri-ciri dan karakteristik yang
berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur reduksi
memengaruhi bentuk morfologi briket hasil proses reduksi. Gambar
4.9. (a) menunjukkan bentuk morfologi briket yang tereduksi pada
temperatur 1200 oC. Dari gambar tersebut, dapat terlihat bahwa
briket tersebut belum mengalami proses reduksi dengan sempurna.
Hal tersebut dibuktikan dengan bentuk morfologi dengan jumlah
positas yang sangat banyak. selain itu, dari gambar terlihat bahwa
partikel di dalam briket belum menyatu dengan sempurna, sehingga
belum ada logam/metal yang terbentuk di dalam briket secara
makro/masih berukuran sangat kecil. Sementara itu, pengujian EDX
yang ditembakkan pada spot 1, 2, dan 3 secara umum menunjukkan
kadar unsur Fe dan Ni yang relatif sama. Hal tersebut menunjukkan
bahwa unsur Fe dan Ni di dalam briket masih tersebar secara halus
di dalam kristal atom senyawa-senyawa yang menyusun briket
tersebut (Jiang, 2013).

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 89


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

Gambar 4.9. (b) merupakan bentuk morfologi briket yang


tereduksi pada temperatur 1300 oC. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa di dalam briket mulai terbentuk logam/metal dalam ukuran
mikro. Hal ini dibuktikan dengan adanya bulatan-bulatan aglomerat
yang tersebar merata di permukaan briket hasil proses reduksi
tersebut yang memiliki ukuran diameter sekitar 5-10 mikrometer.
Dugaan ini juga didukung oleh hasil pengujian EDX yang
ditembakkan pada salah satu bulatan aglomerat yang ada pada
briket. Hasil tembakan EDX menunjukkan bahwa bulatan tersebut
mengandung kadar unsur Fe yang cukup tinggi, dapat dilihat pada
hasil penembakan EDX di spot 5 yang memiliki kadar unsur Fe
cukup tinggi, yaitu sebesar 91,64 %. Partikel unsur Fe dan Ni yang
telah mulai tereduksi di dalam briket akan melepaskan unsur
pengotornya dan saling bergerak untuk saling berikatan membentuk
gumpalan-gumpalan aglomerat logam dalam skala mikro (Diaz,
1988). Namun secara makro, briket yang tereduksi pada temperatur
ini belum menunjukkan adanya bongkahan logam yang terbentuk di
akhir proses reduksi. Hal ini juga bersesuaian dengan perolehan
produk akhir briket hasil reduksi, dimana pada variabel temperatur
ini, tidak ditemukan adanya bongkahan logam berukuran besar
setelah proses reduksi. Produk akhir briket hasil proses reduksi
hanya ditemukan dalam bentuk serbuk dengan kadar unsur Nikel
sebesar 2,99 % dan kadar unsur Fe sebesar 78,04 %. Seiring dengan
meningkatnya temperatur reduksi, partikel unsur Fe dan Ni akan
semakin banyak tereduksi, sehingga juga akan semakin banyak
terbentuk aglomerat metal untuk kemudian mulai bermigrasi dan
saling bergabung membentuk suatu aglomerat baru yang lebih besar
(Zulfiadi, 2016).
Bentuk aglomerat briket hasil pengujian SEM yang
tereduksi pada temperatur 1400 oC ditunjukkan pada Gambar 4.9.
(c). Dari gambar tersebut, terlihat bahwa bentuk permukaan

90 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

morfologi briket lebih rata dan halus dengan porositas yang lebih
sedikit dibandingkan dengan permukaan morfologi briket yang
tereduksi pada temperatur 1200 oC dan 1300 oC. Dari gambar, dapat
diketahui pula bahwa masih terdapat sejumlah bulatan aglomerat
metal berukuran kecil yang menempel pada permukaan aglomerat
solid yang berukuran lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa
bulatan-bulatan aglomerat kecil tersebut telah bergerak dan saling
bergabung membentuk suatu aglomerat yang lebih besar, hingga
pada akhirnya terbentuk bongkahan logam/metal dengan ukuran
makro. Diameter bongkahan yang terbentuk di dalam briket yang
tereduksi pada temperatur ini rata-rata berukuran lebih dari 100
mikrometer. Hal ini juga bersesuaian dengan perolehan produk akhir
briket hasil reduksi, dimana pada variabel temperatur ini, terdapat
4,87 gram bongkahan logam berukuran besar dengan kadar unsur
Nikel sebesar 4,69 % dan kadar unsur Fe sebesar 67,68 % di akhir
proses reduksi. Namun demikian, secara umum bedasarkan hasil
penembakan EDX di beberapa spot, rata-rata kadar unsur Fe di
dalam briket yang tereduksi pada temperatur 1400 oC mengalami
penurunan dibandingkan kadar unsur Fe di variabel temperatur
sebelumnya. Hal ini terjadi karena sebagian unsur Fe berikatan
dengan Sulfur hasil proses dekomposisi Na2SO4 membentuk
senyawa Triolite (FeS). Senyawa ini merupakan pengotor, sehingga
senyawa ini tidak ikut bermigrasi dan bergabung dengan bulatan
aglomerat lainnya, dan pada akhirnya akan terbuang menjadi slag di
akhir proses reduksi (Nagata, 1986).

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 91


Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

92 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan analisis data yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Temperatur reduksi memengaruhi kadar Nikel (Ni) dan kadar
Besi (Fe) di dalam briket hasil proses aglomerasi dan reduksi.
Kadar unsur Ni tertinggi didapatkan saat briket direduksi pada
temperatur 1400 oC, dengan nilai recovery sebesar 86,75 %.
Sedangkan kadar unsur Fe tertinggi didapatkan saat briket
direduksi pada temperatur 1300 oC, dengan nilai recovery
sebesar 74,75 %.
2. Temperatur reduksi juga memengaruhi bentuk morfologi
briket hasil proses aglomerasi dan reduksi. Semakin tinggi
temperatur reduksi, maka akan semakin banyak nikel metal
yang terbentuk di dalam briket. Sehingga feronikel yang
terbentuk juga akan semakin besar.
3. Dilihat dari nilai peningkatan kadar Nikel yang paling tinggi
serta ukuran dan jumlah feronikel yang terbentuk, maka
temperatur reduksi yang paling optimal adalah 1400 oC.

5.2. Saran
1. Melakukan penelitian mendalam terkait pengaruh temperatur
reduksi dengan variasi temperatur reduksi yang berbeda.
2. Melakukan penelitian dengan menggunakan waktu tahan
reduksi (holding time) yang berbeda.
3. Melakukan penelitian tentang pembentukan pori pada produk
aglomerat.

93
Laporan Tugas Akhir
Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI – ITS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

94 BAB V KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
A. Warner, C. Díaz, A. Dalvi, P. Mackey and A. Tarasov, 2006. "JOM
World Nonferrous Smelter Survey,Part III: Nickel: Laterite".
JOM. vol. 58, no. 4, pp. 11-20.
Bergman, R. A., 2003. “Nickel production from low-iron laterite ores:
process descriptions”. CIM Bulletin. Vol. 96, (1072): pp. 127–
138.
Bogdandy, L Von, and H.J Engell. 1971. The Reduction of Iron Ore.
Federal Republic of Germany: Springer-Verlag.
Chatterjee, Amit. 1988. Sponge Iron Production by Direct Reduction
of Iron Oxide. India: PHI Learning Pvt. Ltd.
C. M. Diaz, C. A. Landolt, A. E. M. Varner and J. C. Taylor, 1988. A
Review of Nickel Pyrometallurgical Operations in A. Vahed.
Extractive Metallurgy of Nickel and Cobalt. Chicago: The
Metallurgical Society.
Crundwell, Frank K. 2011. Extractive Metallurgy of Nickel, Cobalt
and Platinum-Group Metals. Amsterdam: Elsevier Ltd.
C. T. Harris, J. G. Peacey and C. A. Pickles. 2009. Thermal Upgrading
of Nickeliferous Laterites-A Review. Sudbury, Ontario,
Canada.
Dalvi, Ashok D, W Gordon Bacon, and Robert C Osborne., 2004 "The
Past and The Future of Nickel Laterites". International
Convention. PDAC 2004: 1-7.
D. A.D., B. W.G. and O. R.C., 2004. "The Past and the Future of Nickel
Laterites". PDAC 2004 International Convention, Trade
Show & Investors Exchange. March 7-10: 44-419.
D. G. E. Kerfoot. 2005. Ullmann's Encyclopedia of Industrial
Chemistry. London: Wiley-VCH.
Diessel.C.F.K., 1992. “Coal – Bearing Depositional Systems”,
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany.
El-Hussiny, N.A, I.A Nafeaa, M.G Khalifa, S.S Abdel-Rahim, and M.E.H
Shalabi., 2016. "Sintering and Reduction of Pellets of El-Baharia
Iron Ore with Dolomite by Hydrogen". International Journal
of Scientific & Engineering Research: 66-74.
Geerdes, Maarten, Hisko Toxopeus, and Cor van der Vliet. 2009. Modern
Blast Furnace Ironmaking an Introduction. Amsterdam: IOS
Press BV.
G. M. Mudd, 2010. "Global trends and environmental issues in nickel
mining: Sulfides versus laterites". Ore Geology Reviews. vol.
38, p. 9–26.
Gupta, R.C. 2010. Theory And Laboratory Experiments In Ferrous
Metallurgy. New Delhi: PHI Learning Private Ltd.
J. H. Canterford, 1975. “The treatment of nickeliferous laterites”.
Minerals Sci. Eng. vol. 7, no. 1: pp. 3-17.
Jiang, M., Sun, T., Liu , Z., Kou, J., Liu, N., & Zhang, S., 2013.
“Mechanism of Sodium Sulfate in Promoting Selective
Reduction of Nickel Laterit Ore during Reduction Roasting
Process”. International Journal of Mineral Processing: 32-33.
Li, Shoubao. 1999. Study of Nickeliferrous Laterite Reduction. page:
1-8.
M. G. King, July 2005. "Nickel Laterite Technology - Finally a New
Dawn?", JOM. pp. 35-39.
Noviyanti, Jasruddin, and Eko Hadi Sujiono, 2015. "Karakterisasi
Kalsium Karbonat dari Batu Kapur Kelurahan Tellu Limpoe
Kecamatan Suppa", Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika: 169-
172.
Oates, J. A. H. 1998. Lime and Limestone Chemistry and Technology,
Production and Uses. Weinheim, Federal Republic of
Germany: WILEY-VCH Verlag HmbH.
Rhamdhani, M.A., Hayes, P.C., Jak, E, 2009. Nickel laterite Part 1 –
microstructure and phase characterizations during
reduction roasting and leaching in Miner. Process. Extr.
Metall. Rev. 3., Vol. (118), pp. 129–145.
Rodrigues, Filipe Manuel. 2013. "Investigation Into The Thermal
Upgrading of Nickeliferous Laterite Ore". Material Science.
page: 1-10.
Ross, H.U., 1980. Physical Chemistry: Chapter 3 Direct Reduced
Iron Technology and Economics of Productions and Use.
Warrendale: The Iron and Steel Society of AIME
R. R. Moskalyk and A. M. Alfantezi, 2002. "Nickel laterite processing
and electrowinning practice", Minerals Engineering. vol. 15:
pp. 593-605.
Rudi, S.,Prasetyo, A. B., M. S. Wahyu., 2016. “ Peningkatan Kadar Nikel
dalam Laterit jenis Limonit dengan cara Peletasi,
Pemanggangan Reduksi dan Pemisahan Magnet Campuran
Bijih, Batu Bara, dan Na2SO4”. Pusat Penelitian Metalurgi
dan Material – LIPI : 1-7.
S. Agatzini-Leonardou, I. G. Zafiratos and D. Spathis, 2004.
"Beneficiation of a Greek serpentinic nickeliferous ore Part I.
Mineral processing". Hydrometallurgy. vol. 74: pp. 259-265.
Takuda, M, H Yoshikoshi, and M Ohtano., 1973. "Trans." ISIJ : 350.
T. Norgate and S. Jahanshahi, 2010. "Low grade ores – Smelt, leach or
concentrate?". Minerals Engineering. vol. 23: pp. 65-73.
Tyroler, G.P, and C.A Landolt. 1998. Extractive Metallurgy of Nickel
and Cobalt. New York: The Metallurgical Society.
LAMPIRAN

A. Perhitungan Stoikiometri Briket Bijih Nikel Laterit


Limonitik
Pada setiap reaksi kimia diperlukan kesetimbangan rumus
molekul untuk senyawa kimia dengan persamaan stoikiometri.
Pada proses reduksi laterit terdapat beberapa reaksi kimia yang
terlibat, seperti reduksi, dekomposisi, reaksi Bouduard. Persamaan
reaksi yang terjadi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
CO2 + C → 2CO
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2
NiO + CO → Ni + CO2
Na2SO4 + 4CO → Na2S + 4CO2
Na2SO4 + 3CO → Na2O + 3CO2 + S
Na2S + FeO → 2SiO2 + FeS + Na2Si2O5

Data yang dibutuhkan dalam perhitungan komposisi


material
1. Bijih Nikel Laterit Limonitik
Dari data pengujian EDX, diperoleh presentase berat
elemen-elemen yang terkandung di dalam bijih nikel laterit
limonitik.

Hasil EDX Nikel Laterit Limonitik


Unsur Ni Fe Si Mg Ca Al Mn Cr
% Wt 1.25 55.37 1.94 0.42 0.46 5.01 0.886 1.54

Dari data pengujian XRD, mineral-mineral kompleks yang


terkandung dalam laterit diolah menjadi senyawa oksida, antara
lain :

 Hematite (Fe2O3)
 Nikel oksida (NiO)
2. Batu bara
Dari data pengujian proximate analysis (fixed carbon)
diperoleh konsentrasi 42,35 %.
Dari kadar unsur dalam laterit, maka jumlah Fe2O3 dan NiO
diketahui dengan cara sebagai berikut :

 Berat Fe2O3 dalam lateri


Mr Fe2 O3
%Wt Fe2O3 = × %Wt Fe
2 Ar Fe
159,69
= 55,847 × 55.37% = 79,113 %
 Berat NiO dalam laterit
Mr NiO
%Wt NiO = × %Wt Ni
Ar Ni
74,7094
= × 1.25
58,71
= 1.59 %
Dari perhitungan diperoleh presentase Fe2O3 dan NiO dalam
laterit. Jika diasumsikan dalam 100 gram bijih maka terdapat
Fe2O3 = 79,113 gram
NiO = 15.90 gram
Dari massa kedua senyawa maka diperoleh jumlah mol
yang terkandung dalam lateri
massa Fe O
Fe2O3 = Mr Fe O2 38
2 3
79,113
= 159,69
= 0,495 mol
massa NiO
NiO = Mr NiO
15.906
= 74,7094
= 0.0195 mol
Dalam penelitian ini reduksi nikel oksida dan besi oksida pada
laterit bertahap seperti berikut.
NiO (1) → Ni (2)
Fe2O3 (3) → Fe3O4 (4) → FeO (5) → Fe (6)
Dengan target reduksi Fe2O3 → Fe3O4 = 100 %
reduksi Fe3O4 → FeO = 100 %
reduksi FeO → Fe = 100%
reduksi NiO → Ni = 100 %
Natrium sulfat ditambahkan sebesar 10% dari massa total
briket untuk meningkatkan agregasi dari Fe-Ni.
Dari skema reaksi di atas dapat diketahui berapa mol gas CO
yang dibutuhkan untuk reaksi dan berapa mol C untuk membentuk
bereaksi dengan CO2 membentuk gas CO yang harus bereaksi
dengan C batu bara.
a. Reaksi 1
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2
0,495 mol 0.165 mol 0,330 mol 0.165 mol
Reaksi Boduard
CO2 + C → 2CO
0,0826 mol 0,0826 mol 0,165 mol
Reaksi gas CO2 hasil reaksi 1 dengan C batu bara
CO2 + C → 2CO
0.165 mol 0.165 mol 0,330 mol

b. Reaksi 2
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2
0,330 mol 0,330 mol 0,991 mol 0,330 mol
Reaksi Boduard
CO2 + C → 2CO
0 mol 0 mol 0 mol
Reaksi gas CO2 hasil reaksi 2 dengan C batu bara
CO2 + C → 2CO
0,330 mol 0,330 mol 0.661 mol

c. Reaksi 3
FeO + CO → Fe + CO2
0,991 mol 0,991 mol 0,991 mol 0,991 mol
Reaksi Boduard
CO2 + C → 2CO
0.165 mol 0.165 mol 0,330 mol
Reaksi gas CO2 hasil reaksi 3 dengan C batu bara
CO2 + C → 2CO
0,991 mol 0,991 mol 1,981 mol
d. Reaksi 4
NiO + CO → Ni + CO2
0.0195 mol 0.0195 mol 0.0195 mol 0.0195 mol
Reaksi Boduard
CO2 + C → 2CO
0 mol 0 mol 1,962 mol → sisa gas CO reaksi 4
Reaksi gas CO2 hasil reaksi 3 dengan C batu bara
CO2 + C → 2CO
0.0195 mol 0.0195 mol 0,0391 mol
Sisa total gas CO = 0,0391 + 1,962 = 2,001 mol
e. Reaksi 5
Semisal diketahui kebutuhan Natrium Sulfat sebesar 10% berat
briket 17,239 gram, maka diperoleh sebesar 0,121 mol.
2Na2SO4 + 7CO → Na2S + Na2O + 7CO2 + S
0,121 0,425 0,061 0,061 0,425 0,061
mol mol mol mol mol mol
Reaksi gas CO2 hasil reaksi 4 dengan C batubara
CO2 + C → 2CO
0,2124 mol 0,2124 mol 0,425 mol

Perhitungan Kebutuhan Batubara


Total mol C = 0,0826 + 0,165 + 0 + 0,330 + 0,165 + 0.991 +
0,0195 + 0,2124 + 0,425`= 2.39 mol
Massa C yang dibutuhkan = total mol C x Ar C
= 22.39 mol × 12,01115
= 28,71 gram
100
Massa batu bara yang dibutuhkan= 42,35% × massa C
100
= 42,35% × 28,71
= 67,56 gram
Pembulatan jumlah batu bara dijadikan sebesar 68 gram.
Perhitungan Kebutuhan Dolomit
Dari data pengujian XRF, diperoleh persentase berat
elemen-elemen yang terkandung di dalam batu kapur yang
diperoleh dari Gresik, Jawa Timur.

Tabel 1 Hasil EDX Dolomit


No. Elemen Rumus Komposisi
Kimia (%)
1. Kalsium Oksida CaO 25.21
2. Magnesium Oksida MgO 24.23

Dari data pengujian XRD, terdapat mineral – mineral lain


yang terkandung dalam batu kapur adalah dolomite (CaMg(CO3)2

Perhitungan Kebutuhan Fluks Dolomit


Mempertimbangkan kebutuhan gas CO2 untuk reaksi
bodouard. Batu kapur berperan sebagai penyedia gas CO2 untuk
reaksi boduard yang akan menghasilkan gas reduktor CO, maka
CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi termal pada dolomit perlu
direaksikan dengan C pada batu bara, sehingga akan diberi
penambahan batu bara pada briket variasi fluks dolomit.
Perhitungan Jumlah Gas CO2
Total mol CO2 = 0,0826 + 0 + 0,165 + 0,2124
= 0,4601 mol
Reaksi dekomposisi termal yang terjadi pada dolomit yaitu :
CaMg(CO3)2 → CaO + MgO + 2CO2
0,23005 0,4601

Massa Dolomit = mol x Mr CaMg(CO3)2


= 0,23005 x 184,405
= 42,42 gram
Perhitungan Kebutuhan Natrium Sulfat
Natrium Sulfat yang ditambahkan yaitu sebesar 10% dari massa
total briket sebelum penambahan Na2SO4.
Massa total briket tanpa Na2SO4 = massa bijih + massa batu bara +
masssa dolomit
= 100 gram + 49,55 gram + 22,84
= 172,39 gram
Maka, massa Natrium Sulfat yang ditambahkan sebesar 17,239
gram

Perhitungan Kebutuhan Kanji


Kanji yang ditambahkan sebagai pengikat pada pembentukan
briket sebesar 3 % dari massa campuran briket. Dengan komposisi
bijih 100 gram, batu bara 67,56 gram, Natrium Sulfat 17,239 gram,
maka kanji yang ditambahkan sebesar 5,54 gram

Sehingga rasio perbandingan pembuatan briket komposisi ore :


batu bara : Na2SO4 : kanji yaitu 100 : 67,56 : 17,239 : 5,54.

Sedangkan rasio perbandingan komposisi ore : batu bara :


dolomit : Na2SO4 : kanji yaitu 100 : 67,56 : 42,42 : 17,239 : 5,54.
D. Hasil Pengujian XRD
1. Hasil Uji XRD Bijih Nikel Laterit Limonitik

Counts
Limonit 200 Mesh

800

600

400

200

0
20 30 40 50 60 70 80
Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Peak List :
Pos. Height FWHM Left d-spacing [Å] Rel. Int.
[°2Th.] [cts] [°2Th.] [%]
21.3319 162.50 0.4684 4.16536 59.17
33.1447 60.69 0.5353 2.70290 22.10
35.6694 105.51 0.2007 2.51717 38.42
36.5204 274.63 0.0502 2.46044 100.00
59.3184 30.95 0.5353 1.55795 11.27
61.4627 34.32 0.5353 1.50864 12.50
77.6681 39.86 0.4015 1.22943 14.51
2. Hasil Uji XRD Batu Kapur Dolomit
Counts
4000 Limestone 200Mesh

3000

2000

1000

0
20 30 40 50 60 70 80
Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Peak List :
Pos. Height [cts] FWHM Left d-spacing [Å] Rel. Int. [%]
[°2Th.] [°2Th.]
22.0253 96.98 0.0836 4.03577 2.41
23.0640 20.57 0.2007 3.85633 0.51
24.0750 194.18 0.0669 3.69663 4.82
27.8354 10.58 0.2007 3.20519 0.26
29.4675 241.94 0.1171 3.03127 6.01
30.9404 4025.23 0.1004 2.89025 100.00
33.5214 198.52 0.0836 2.67338 4.93
35.2988 170.14 0.1004 2.54274 4.23
37.3602 380.36 0.0836 2.40704 9.45
39.4620 31.78 0.1338 2.28355 0.79
41.1198 943.84 0.1224 2.19342 23.45
41.2406 491.06 0.0612 2.19271 12.20
43.2661 21.03 0.1632 2.08945 0.52
43.7884 142.23 0.0816 2.06573 3.53
44.9227 494.58 0.1020 2.01617 12.29
45.0616 260.36 0.0612 2.01528 6.47
47.5962 35.20 0.1632 1.90897 0.87
48.5714 49.76 0.1224 1.87290 1.24
49.2485 133.08 0.0816 1.84872 3.31
50.4901 387.48 0.1428 1.80613 9.63
51.0620 566.64 0.1224 1.78724 14.08
51.2255 338.04 0.0612 1.78634 8.40
57.5178 15.27 0.2448 1.60104 0.38
58.8791 102.10 0.1224 1.56723 2.54
59.8041 196.15 0.1428 1.54518 4.87
59.9851 116.90 0.0612 1.54477 2.90
62.0630 12.17 0.4896 1.49425 0.30
63.4062 153.55 0.1020 1.46579 3.81
64.4703 62.17 0.1632 1.44414 1.54
65.1337 66.92 0.2448 1.43103 1.66
66.0429 53.28 0.1632 1.41351 1.32
67.3645 172.51 0.1428 1.38896 4.29
67.6030 82.52 0.1224 1.38808 2.05
70.4225 45.24 0.2448 1.33595 1.12
72.8225 38.38 0.1224 1.29772 0.95
74.6692 43.69 0.2856 1.27014 1.09
76.9099 47.27 0.2040 1.23862 1.17
79.6817 30.40 0.1632 1.20236 0.76
82.5618 31.60 0.3264 1.16756 0.79
84.6788 9.42 0.9792 1.14369 0.23
86.5982 28.35 0.1632 1.12320 0.70
87.8726 83.43 0.2856 1.11017 2.07
89.2212 28.87 0.4080 1.09685 0.72
3. Hasil Uji XRD Briket yang Tereduksi pada 1200 oC
Counts
Spesimen 1 Fe Ni

100

20 30 40 50 60 70 80
Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Peak List:
Pos. Height FWHM Left d-spacing Rel. Int.
[°2Th.] [cts] [°2Th.] [Å] [%]
33.4956 64.14 0.4015 2.67538 42.99
35.9958 149.21 0.4684 2.49509 100.00
41.2413 20.21 0.8029 2.18905 13.54
44.9154 23.84 0.5353 2.01815 15.98
49.8246 30.71 0.5353 1.83020 20.58
54.3261 63.75 0.4015 1.68871 42.72
57.4232 32.45 0.8029 1.60478 21.75
62.7665 55.90 0.8029 1.48041 37.46
64.2046 37.12 0.4015 1.45068 24.88
4. Hasil Uji XRD Briket yang Tereduksi pada 1300 oC
Counts
Spesimen 2 Fe Ni
200

100

20 30 40 50 60 70 80
Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Peak List:
Pos. Height FWHM d-spacing Rel.
[°2Th.] [cts] Left [Å] Int.
[°2Th.] [%]
21.5260 49.53 0.2007 4.12825 23.56
30.2533 25.10 0.8029 2.95430 11.94
33.4422 138.69 0.1338 2.67953 65.97
35.6753 210.22 0.1338 2.51677 100.00
36.4978 80.27 0.2676 2.46191 38.18
37.3682 76.97 0.2007 2.40655 36.61
43.4038 55.33 0.5353 2.08487 26.32
44.8560 201.41 0.1673 2.02069 95.81
49.6851 25.74 0.8029 1.83501 12.25
54.3539 32.61 0.8029 1.68791 15.51
57.1798 49.86 0.4015 1.61103 23.72
62.7206 83.27 0.2676 1.48138 39.61
82.5070 30.98 0.4015 1.16916 14.74
5. Hasil Uji XRD Briket yang Tereduksi pada 1400 oC
Counts
FeNi 1

600

400

200

20 30 40 50 60 70 80
Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Peak List:
Pos. Height FWHM d-spacing Rel. Int.
[°2Th.] [cts] Left [Å] [%]
[°2Th.]
43.3299 104.15 0.4015 2.08825 15.53
44.7256 670.70 0.0669 2.02627 100.00
65.1401 92.29 0.4015 1.43209 13.76
82.4025 131.06 0.5353 1.17038 19.54
E. JCPDS Card
a. 01-073-1519 (Nickel Oxide)

b. 01-071-8326 (Nickel Iron)


c. 00-002-1296 (Aluminum Silicate)

d. 00-027-0759 (Magnesium Oxide)

e. 00-003-0812 (Hematite)
f. 00-024-0072 (Hematite)

g. 01-071-6337 (Magnetite)
h. 01-071-3763 (Iron)

i. 01-070-7060 (Forsterite)

j. 00-003-0804 (Calcium Iron Oxide)


k. 01-073-1519 (Nickel Oxide)

l. 00-035-0590 (Calcium Magnesium Silicate)


F. Hasil Pengujian EDX
1 Hasil EDX Briket yang Tereduksi pada 1200 oC

Element Wt % At %
CK 02.93 08.94
OK 11.03 25.26
NaK 04.10 06.53
MgK 00.53 00.79
AlK 04.08 05.54
SiK 02.01 02.62
SK 01.32 01.51
CaK 00.76 00.69
CrK 02.30 01.62
MnK 01.24 00.83
FeK 68.26 44.76
NiK 01.44 00.90
2 Hasil EDX Briket yang Tereduksi pada 1300 oC

Element Wt % At %
AlK 09.16 16.48
SiK 03.85 06.65
SK 01.20 01.81
CaK 01.28 01.55
CrK 03.48 03.25
FeK 78.04 67.79
NiK 02.99 02.47

3 Hasil EDX Briket yang Tereduksi pada 1400 oC

Element Wt % At %
NaK 01.02 01.95
MgK 04.68 08.52
AlK 07.41 12.15
SiK 06.22 09.81
PK 00.36 00.51
SK 04.87 06.73
KK 00.56 00.64
CaK 01.59 01.76
CrK 00.91 00.77
FeK 67.68 53.63
NiK 04.69 03.54

G. Hasil Pengujian SEM


1. Hasil Pengujian SEM Briket yang Tereduksi 1200 oC

2. Hasil Pengujian SEM Briket yang Tereduksi 1200 oC

3. Hasil Pengujian SEM Briket yang Tereduksi 1200 oC


G. Foto Dokumentasi

Gambar Peletakan Crucible dalam Furnace (kiri) dan Proses


Reduksi di dalam Crucible (kanan)
Gambar Proses Aglomerasi dan Reduksi pada Temperatur 1400
o
C (kiri) dan Briket setelah direduksi di dalam Crucible (kanan)
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
BIODATA PENULIS

Ahlidin Nursidiq lahir di Jakarta,


pada tanggal 10 Mei 1994. Penulis
merupakan putra sulung Bapak Sabar
Prayitno dan Ibu Esti Astuti dari empat
bersaudara. Penulis menempuh pendidikan
formal di TK Tunas Bangsa Jakarta, SD
Negeri Keramat Pela 07 Pagi Jakarta, SMP
Negeri 11 Jakarta, dan SMA Negeri 82
Jakarta. Setelah itu melanjutkan pedidikan
perguruan tingginya di Departemen Teknik
Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya angkatan 2013.
Selama berkuliah di ITS, penulis juga aktif di kegiatan
ekstrakurikuler, diantaranya di Kementerian Hubungan Luar,
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS sebagai Koordinator
Kerjasama Kampus (2015-2016). Prestasi yang pernah diraih
penulis adalah PKM-P dan PMW terdanai oleh DIKTI pada tahun
2015, dan peraih Beasiswa penuh pada kegiatan Global Citizenship
Camp 2016 di Mahasarakham University, serta kegiatan The 6th
NIDA Summer Camp 2017 di National Institute of Development
Administration, Bangkok, Thailand.
Pengalaman kerja yang pernah diikuti penulis yaitu kerja
praktik di Satuan Kerja Research, Business and Development PT.
ANTAM, Tbk. UBPP Logam Mulia, pada bulan Agustus hingga
September 2016. Selain itu, penulis juga pernah menjadi tentor
mata pelajaran Fisika, Kalkulus, dan Kimia untuk siswa SMA
hingga mahasiswa tahun pertama di Lembaga Bimbingan Belajar
Zenius dari bulan November hingga Desember 2016. Selain itu,
penulis juga turut menggeluti dunia wirausaha dengan membangun
sebuah bisnis di bidang kuliner dessert malalui nama branding
“Pannacotta”. Penulis dapat dihubungi melalui email:
ahlidinursidiq@gmail.com

xlix
(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Anda mungkin juga menyukai