Anda di halaman 1dari 12

TINEA CRURIS

1.1 DEFINISI
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural
saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau
bagian tubuh yang lain.(Budimulja, 2013)

1.2 EPIDEMIOLOGI
Tinea kruris menyebar melalui kontak langsung dan diperburuk oleh lingkunganyang
lembab. Tinea kruris tiga kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan
wanita, dan orang dewasa lebih sering terkena daripada anak-anak.

1.3 ETIOLOGI
Tiga penyebab utama tinea kruris yaitu Epidermophyton floccosum, Trichophyton
rubrum and Trichophyton mentagrophytes.
Dermatofita Gambaran Klinis
Trichophyton rubrum  Penyebab paling utama di USA
 Biasanya penyakit akan berkembang menjadi kronis
 Jamur tidak dapat bertahan pada (perabotan, karpet
dan linen) dalam jangka waktu yang lama
 Sering melebar ke gluteus, pinggang dan paha
Epidermophyton floccosum  Umumnya berhubungan dengan “epidemics”
seperti menyebar pada kamar ganti asrama
 Infeksi akut (jarang kronis)
 Jamur dapat bertahan pada (perabotan, karpet dan
linen) dalam jangka waktu yang lama
 Penyebaran jamur tidak melewati daerah inguinal
Trichophyton mentagrophytes  Infeksi lebih parah dan akut akan menyebabkan
peradangan dan pustul
 Jamur cepat menyebar ke tubuh dan ekstremitas
inferior, menyebabkan inflamasi berat

1
 Biasanya didapatkan pada bulu binatang

1.4 PATOGENESIS
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melewati dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu. Pertama
adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil
fragmentasi hifa, ke permukaan jaringanberkeratin setelah melewati beberapa
pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal.(Schieke SM et al,2012)
Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan
dan invasi spora mulai berlangsung.(Schieke SM et al,2012)

Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi
bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Selain itu, manans suatu zat yang terkandung dalam dinding sel dermatofita ini, dapat
menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas seluler yang
memperlambat penyembuhan epidermis.(Schieke SM et al,2012)

Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi


dipengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitifitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari
reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon imunitas
seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan berulang.
Pengaruh adanya atopi atau kadar IgE yang tinggi juga diduga berpengaruh terhadap
kronisitas.(Schieke SM et al,2012)

Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin,
usia, obesitas, penggunanaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di
lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan
kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian
tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis pada
daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim

2
tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur. .(Schieke SM et
al,2012)

1.5 GEJALA KLINIS


Secara umum, penyakit kausa jamur dermatofit akan memberikan gejala klinis
berupa gatal dan kelainan kulit yang berbatas tegas. Effloresensi yang dapat

ditemukan berupa makula eritematosa hingga hiperpigmentasi, berbentuk ireguler,


dengan tepi lebih aktif dan batas tegas yang terletak pada lipat paha, daerah perineum,
dan sekitar anus.(Budimulja, 2013) Gambaran ini cukup khas untuk infeksi jamur,
dalam hal ini tinea kruris. Lesi umumnya menunjukkan gambaran tepi lebih aktif dan
batas tegas karena mengikuti pergerakan dermatofita dalam mencerna keratin.
Skuama yang dapat ditemukan pada tinea kruris terkait dengan sisa keratin yang
dicerna oleh jamur sedangkan eskoriasi menandakan lesi akibat garukan sebagai
respons pasien terhadap gatal. Bila penyakit ini menahun, dapat terlihat bercak
kehitaman disertai adanya sedikit sisik. Pada Tinea kruris causa Epidermophyton
floccosum, pada umumnya lesinya akan terletak pada genitokrurial sedangkan pada
causa Trypcophyton rubrum pada regio pubis, perianal, gluteus, dan perut bagian
bawah.(Schieke SM et al,2012)

3
Gambar 1. Tinea Cruris dengan efloresensi berupa plak eritema berbentuk anular
pada area inguinal dan regio pubis.(Schieke SM et al,2012)

Gambar 2. Tinea Cruris dengan lesi berbatas tegas, polisiklis, polimorfis dengan
tepi aktif.

1.6 DIAGNOSIS BANDING


2. Eritrasma.(Schieke SM et al,2012)
Eritrasma adalah infeksi bakterial superfisial pada kulit yang dicirikan oleh
bercak merah-kecoklatan ireguler dan tegas, terjadi di daerah intertriginosa, atau
fissura dan maserasi putih di sela jari kaki. Ini biasanya salah diagnosa sebagai
tinea cruris untuk beberapa bulan sebelum diagnosis tepat dilakukan.
 Etiologi dan Epidemiologi
Corynebacterium minutissimum, agen etiologik eritrasma, adalah bakteri
basil kecil, gram positif dengan granula subterminal. Infeksi umum terjadi di
iklim tropis dibandingkan iklim sedang. Dalam penelitian di suatu tempat
iklim sedang, 20% dari subjek yang dipilih secara acak ditemukan memiliki
4
eritrasma melalui pemeriksaan lampu Wood. Penyakit generalisata umum
terjadi di daerah tropis. Eritrasma umum terjadi pada laki-laki dan dapat
muncul sebagai bentuk asimptomatik pada daerah genitocrural.
 Gejala Klinis
Gejala bervariasi dari asimptomatik sepenuhnya, lalu bentuk di genitocrural
dengan pruritus, hingga bentuk generalisata dengan plak berskuama pada
trunkus, daerah inguinal, dan sela jari kaki. Ketika gatal, iritasi dan lesi dapat
menyebabkan perubahan sekunder menjadi ekskoriasi dan likenifikasi.
 Effloresensi
Predileksi tersering adalah daerah sela jari kaki, tempat eritrasma muncul
sebagai plak maserasi putih berhiperkeratotik, terutama antara jari kaki
keempat dan kelima. Pada area genitocrural, axillar, dan inframammary, lesi
muncul sebagai bercak berbatas tegas, warna merah kecoklatan, superfisial,
berskuama halus dan bergambar halus. Pada daerah ini, bercak mempunyai
penampilan relatif seragam jika dibandingkan dengan tinea corporis atau
cruris, yang sering mempunyai central healing. Pemeriksaan lampu Wood
pada eritrasma menunjukkan pencahayaan warna menajdi merah-koral
disebabkan oleh corproporphyrin III. Pencahayaan warna bertahan setelah
eradikasi Corynebacterium karena pigmennya berada di dalam stratum
korneum yang tebal.
 Pemeriksaan Penunjang
Kultur spesifik Corynebacterium dari lesi memperkuat diagnosis. Jejak
pewarnaan gram dari lapisan tanduk kulit menunjukkan organisme basil,
gram positif dalam jumlah besar. Diagnosis sangat disarankan dengan lokasi
dan karakter superfisial proses, tetapi harus dikonfirmasi dengan demonstrasi
karakteristik pencahayaan warna merah-koral dengan pencahayaan lampu
Wood.

3. Kandidiasis Intertriginosa
Kandidiasis atau Kandidosis mengacu pada berbagai kelompok infeksi yang
disebabkan oleh Candida albicans atau kelompok lain dari genus Candida.
Organisme ini biasanya menginfeksi kulit, kuku, selaput lendir, dan saluran
pencernaan, tetapi mereka juga dapat menyebabkan penyakit
sistemik.(Budimulja,2013)

5
a. Etiologi dan Epidemiologi
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik
laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat
sebagai saprofit. Gambaran klinisnya bermacam-macam sehingga tidak
diketahui data-data penyebarannya dengan tepat.
Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida albicans yang dapat diisolasi
dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai
penyebab endokarditis kandidosis ialah C. parapsilosis dan penyebab
kandidosis septikemia ialah C. tropicalis.(Budimulja, 2013)
b. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kandidiasis intertriginosa adalah adanya pruritus,
eritema, maserasi pada daerah intertriginosa berbatas tegas dengan lesi satelit
vesikopustula. Pustul ini pecah meninggalkan dasar eritema dengan koloret
dari epidermis yang mengalami nekrosis yang mudah dilepaskan. Jamur
kandida mempunyai predileksi pada tempat-tempat yang lembab serta lipatan
kulit yang mengalami maserasi, misalnya paha, ketiak, sela jari,
inframammary, atau sekitar kuku. Lipatan kulit merupakan tempat yang
paling sering mengalami kandidiasis.(Schieke SM et al,2012)
c. Effloresensi
Lesi berupa bercak berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi
tersebut dikelilingi oleh satelit berupa
vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil
atau bula yang bila pecah meninggalkan
daerah yang erosif, dengan pinggir yang
kasar dan berkembang seperti lesi
primer.(Budimulja, 2013)

6
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis suatu
kandidiasis adalah dengan
melakukan pemeriksaan sediaan
langsung yang ditetesi KOH
untuk menemukan adanya
pseudohifa dan blatospora.
Jamur kandida akan menunjukkan penampakan sel bertunas berbentuk oval,
sel-sel dengan filamen yang memanjang berhubungan seperti bentuk sosis
atau seperti hifa bersepta (pseudohifa) .(Schieke SM et al,2012)

1.7 DIAGNOSIS
Anamnesis
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal hebat
pada daerah kruris (lipat paha), lipatan perineum, bokong dan dapat ke genitalia;
ruam kulit berbatas tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak
berkeringat.
Pemeriksaan Fisis
Lokalisasi: Regio inguinalis bilateral, simetris. Meluas ke perineum, sekitar anus,
intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke suprapubis dan abdomen bagian
bawah. Effloresensi: makula eritematosa numular, berbatas tegas dengan tepi lebih
aktif terdiri dari papula atau pustul. Jika kronik, makula menjadi hiperpigmentasi
dengan skuama diatasnya.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Elemen Jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi atau aktif.
Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH 10-20% didapatkan
hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang dua dan bersepta) dengan atau
tanpa artrospora (deretan spora diujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita.
Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur
merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau dan telah digunakan secara

7
luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga
40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada
15% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.

Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah)
 Pemeriksaan Kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah.
Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis dermatofitosis, biasanya
digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan
sistemik. Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur
penyebab tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya
karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Media
biakan yang digunakan adalah Dextrose Saborraud Agaryang ditambah
antibiotik, contohnya kloramfenikol dan sikloheksimid untuk menekan
pertumbuhan jamur saprofit (contohnya jamur non-Candida albicans,
Cryptococcus, Prototheca sp., P. Werneckii, Scytalidium sp., Ochroconis
gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-30°C selama tujuh hari, maksimal
selama empat minggu dan dibuang jika tidak ada pertumbuhan.(Yossela T, 2015)

8
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering
tinea kruris.(Schieke SM et al,2012)
Morfologi Koloni Gambaran Keterangan
Mikroskopis

Trichophyton rubrum Beberapa mikrokonidia berbentuk


air mata. Makrokonidia jarang
berbentuk pensil.

Epidermophyton floccosum Tidak ada mikrokonidia, beberapa


dinding tipis dan tebal.
Makrokonidia berbentuk gada.

Trichophyton interdigitale Mikrokonidia yang bergerombol,


bentuk cerutu yang jarang,
terkadang hifa spiral.

Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi makroskopis dan


mikroskopis. Secara makroskopis, tampak gambaran gross koloni dengan tekstur,
topografi dan pigmentasinya, sedangkan identifikasi mikroskopi dibuat preparat
dengan penambahan lactophenol cotton blue (LPCB) dan diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran objektif 40x. Gambaran mikroskopis yang harus
diperhatikan adalah morfologi hifa, pigmentasi dinding sel jamur, dan
karakteristik sporulasi (makrokonidia dan mikrokonidia) (Tabel 1) .(Schieke SM
et al,2012)

 Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi yang
khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan terapi
sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, hifa akan
9
terlihat pada stratum korneum. Pewarnaan yang apling sering digunakan adalah
dengan periodic acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan
methenamisme silver strains, jamur akan tampak coklat atau hitam.(Schieke SM
et al,2012)

1.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-medikamentosa.
Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil pemeriksaan
mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat
membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit diyakini memberikan
respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan topikal yang ada. (Yosela T,
2015)

Terapi topikal dan sistemik pada dermatofita

Azoles Allylamines Lainnya

(fungistatic) (fungicidal)

Topikal Miconazole Terbinafine Ciclopirox olamine

Clotrimazole (fungicidal)

Ketoconazole Tolnaftate

Oxiconazole Haloprogin

Econazole

Sistemik Ketoconazole Terbinafine Griseofulvin

Itraconazole (fungistatic)

Fluconazole

Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal. Namun,
steroid topikal tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang
akan meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk:
terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox.

10
Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral
diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi
kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit
bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1
sampai 2 minggu dengan krim terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis
kulit bersih.

Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik. Beberapa indikasi terapi
sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:

 Infeksi kulit yang luas.


 Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
 Infeksi kulit kepala.
 Granuloma majocchi.
 Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa pada tinea kruris, termasuk:

a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin dalam
bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25
– 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.

b. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam


pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka kesembuhan
sekitar 70%.
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam
pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan
kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai dua dosis
harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen
umumnya 2-4 minggu.

11
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun rejimen
100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.

g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat


diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak
ditemukan kembali.

Penatalaksanaan tinea kruris tidak hanya diselesaikan secara medikamentosa, namun


dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan pencegahan dari kekambuhan
penyakit sangat penting dilakukan, seperti mengurangi faktor predisposisi, yaitu
menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau
berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi.(Yossela T,2015)

12

Anda mungkin juga menyukai