Anda di halaman 1dari 48

KONSENSUS

PPHI
Tentang
PANDUAN TATA LAKSANA INFEKSI
HEPATITIS B KRONIK

26 Agustus 2006

Perhimpunan Peneliti Hati


Indonesia
i
Daftar isi

• Latar Belakang Konseptual 1


• Evaluasi & Penatalaksanaan Pasien dengan Infeksi HBV 3
• Preventif 7
• Konseling Hepatitis B 16
• Pengobatan 19
• Rekomendasi Tata Laksana Infeksi Hepatitis B 35
• Referensi 39
• Tentang Metode Pembuatan Konsensus PPHI 45

Team Editor

• dr. Poernomo Boedi Seti awan, SpPD-KGEH


• dr. Ali Djumhana, SpPD-KGEH
• Prof. dr. H. Nurul Akbar, SpPD-KGEH
• Prof. Laurentius A. Lesmana, Ph.D, SpPD-KGEH, FACP, FACG

Konsensus ini dibuat pada tanggal


26 Agustus 2006 di Hotel Shangri-La Jakarta

Persiapan dan penyusunan buku ini didukung


oleh PT Bristol-Myers Squibb Indonesia Tbk.

ii
Kata Pengantar

Konsensus penatalaksanaan infeksi hepatitis B di Indonesia telah


selesai disempurnakan dengan beberapa perubahan sesuai data publikasi
terbaru. Seperti diketahui prevalensi hepatitis B tertinggi di dunia terdapat di
daerah Asia Pasifik sehingga penelitian terkini mengenai sejumlah aspek
infeksi hepatitis B umumnya berasal dari negara dari Asia Pasifik. Dengan
adanya obat baru untuk pengobatan hepatitis B kronik serta data angka
kejadian karsinoma hati yang berhubungan dengan kadar HBV-DNA serum
menyebabkan begitu cepatnya kebutuhan menyempurnakan konsensus
penatalaksanaan hepatitis B kronik di negara kita.
Sudah menjadi keharusan bagi para dokter untuk selalu terus
mengikuti perkembangan dan kemajuan terbaru dalam penanganan
kasus hepatitis B kronik.
Pada kesempatan ini pengurus besar PPHI ingin mengucapkan
terima kasih kepada dr. Poernomo Boedi Setiawan dan dr. Ali Djumhana
yang telah bekerja keras memperbaiki dan menyempurnakan buku
konsensus ini.
Semoga buku konsensus mengenai penatalaksanaan hepatitis B
kronik ini akan bermanfaat bagi seluruh dokter dan instansi terkait dalam
menangani kasus hepatitis B kronik

Jakarta, 9 Oktober 2006,

Prof. Laurentius A. Lesmana, Ph.D, SpPD-KGEH, FACP, FACG


Ketua PB Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

PERHIMPUNAN PENELITI
HATI INDONESIA

iii
LATAR BELAKANG KONSEPTUAL
Virus Hepatitis B, patogenesis dan perjalanan penyakit

Infeksi kronik virus hepatitis B (HBV) merupakan masalah yang


serius karena penyebarannya di seluruh dunia dan kemungkinan
terjadinya gejala sisa, khususnya di wilayah Asia-Pasifik yang
prevalensinya tinggi. Di Asia Pasifik, infeksi HBV biasanya terjadi melalui
infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak, dan penderita dapat
juga terinfeksi virus hepatotropik lainnya secara bersamaan.
Pemahaman yang lebih baik di bidang biologi molekuler dan
patogenesis HBV telah menemukan covalently closed circular DNA
(cccDNA) yang memegang peranan dalam terjadinya infeksi kronik HBV
yang menetap. HBV sendiri biasanya tidak sitopatogenik. Infeksi kronik
HBV merupakan suatu keadaan dinamis dimana terjadi interaksi antara
virus, hepatosit dan sistem imun penjamu(1).
Tersedianya pemeriksaan HBV DNA yang lebih baik dan pemahaman
yang lebih baik mengenai genom HBV, siklus replikasi virus dan respon
imun pejamu telah merubah pemahaman konsep perjalanan alami penyakit
infeksi kronik HBV dari pembagian 2 atau 3 fase di pertengahan tahun
1980an menjadi 4 fase pada saat ini. Keempat fase tersebut adalah: (i)
immune tolerance (ii) immune clearance, (iii) inactive HBsAg carrier state
(iv), reactivation of HBV replication/HBe-negative chronic hepatitis B. Fase
immune tolerance ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar HBV DNA
yang tinggi, kadar ALT yang normal dan gambaran histologi hati yang normal
atau perubahan minimal. Pada fase ini, yang dapat berlangsung 1 sampai 4
dekade serokonversi spontan atau karena pengobatan sangat jarang terjadi
(< 5% / tahun). Fase immune clearance ditandai dengan keberadaan
HBeAg, kadar HBV DNA yang tinggi atau berfluktuasi, kadar ALT yang
meningkat dan gambaran histologi jaringan hati menunjukkan keradangan
yang aktif. Hal penting sebagai outcome dari fase immune clearence adalah
terjadinya serokonversi HBeAg menjadi Anti HBeAg.

1
Fase inactive HBsAg carrier state ditandai dengan HBeAg yang negatif,
Anti HBe positif, kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi (<
100.000 lU/mL), gambaran histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang
minimal atau hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan,
dan menunjukkan prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh seseorang
penderita. Beberapa penderita pada fase ini masih dapat mengalami
reaktivasi. Fase keempat yaitu reactivation of HBV DNA replication
/HBeAg negative chronic hepatitis B ditandai dengan HBeAg negatif, Anti
HBe positif, kadar HBV DNA yang positif atau dapat dideteksi, kadar ALT
yang meningkat serta gambaran histologi hati menunjukkan proses nekro
inflamasi yang aktif (2). Perjalanan penyakit hepatitis B kronik yang
HBeAg negatif dengan HBV DNA positif di wilayah Asia-Pasifik masih
belum banyak diteliti, namun reaktivasi hepatitis dan progresivitas
penyakit memang terjadi. (3) Derajat beratnya penyakit, luas, lama dan
frekuensi perubahan lobulus hati selama reaktivasi hepatitis cenderung
untuk menentukan hasil akhir penyakit dan pembersihan HBV (2).
Pentingnya kadar serum HBV DNA telah disampaikan pada studi
“REVEAL HBV” yang menyatakan bahwa peningkatan kadar serum HBV
DNA (>10.000 kopi/mL) adalah prediktor risiko yang penting dan tidak
terkait dengan kadar HBeAg, kadar ALT dan sirosis hati terhadap
terjadinya karsionoma hepatoseluler (KHS) (4).
Walaupun penyebaran genotipe HBV berbeda-beda dalam wilayah
Asia-Pasifik dan terdapat perbedaan bermakna dalam karakteristik klinik
dan virologi (termasuk respons terhadap terapi) antara pasien dengan
genotipe yang berbeda (5), namun jelas bahwa dalam setiap kasus,
pembersihan virus akan menyebabkan pengurangan atau pencegahan
terhadap kerusakan hati dan sangat penting dalam pencegahan
progresivitas penyakit.
Sejak Konsensus Tatalaksana Hepatitis B di Indonesia dibuat tahun
2004, maka pada saat ini lamivudine, adefovir dipivoxil, entecavir dan
pegylated interferon a 2a telah diterima di banyak negara sebagai obat

2
untuk hepatitis B kronis, dan juga telah dipublikasikan konsensus
penatalaksanaan hepatitis B kronik Asia-Pasifik (up date 2005), sehingga
diperlukan pula pembaharuan dari konsensus tersebut.

EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN


PASIEN DENGAN INFEKSI HBV

Evaluasi awal
Evaluasi awal pasien dengan infeksi HBV meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada faktor-faktor risiko
terjadinya infeksi gabungan, penggunaan alkohol, riwayat keluarga dengan
infeksi HBV, dan kanker hati. Pemeriksaan laboratorium harus mencakup
pemeriksaan fungsi hati, petanda replikasi HBV, dan uji-uji untuk infeksi
gabungan dengan HCV, dan HIV pada orang-orang yang berisiko (Tabel 1).

Tabel 1.
Evaluasi Awal
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik
• Tes laboratorium untuk menilai fungsi hati - pemeriksaan darah
lengkap termasuk hitung trombosit, panel hati dan waktu protrombin
• Tes replikasi HBV— HBeAg/anti-HBe, HBV DNA (bila perlu)
• Tes untuk menghilangkan kemungkinan penyebab infeksi yang lain
pada hepar - anti HCV
• Tes untuk skrining KHS —AFP, PIVKA (bila perlu) dan pada pasien
risiko tinggi USG.
• Bila memungkinkan, dilakukan biopsi hati untuk menentukan tingkat
(grade) dan stadium (stage) penyakit hepar - pada pasien yang
termasuk kriteria hepatitis B kronik.
Pemantauan dilakukan pada keadaan:
1. Hepatitis B kronik dengan HBeAg-positif, HBV DNA >10 5 kopi/mL
(bila ada), dan ALT normal
- periksa ALT setiap 3-6 bulan

3
- jika ALT > 1-2 kali BAN N, periksa ALT setiap 1-3 bulan
- jika dalam tindak lanjut ALT naik menjadi > 2 kali BANN selama
5
3-6 bulan dan disertai HBeAg (+), HBV DNA >10 kopi/mL,
pertimbangkan untuk biopsi hati dan terapi.
2. Status HBsAg pengidap inaktif (HBeAg -, kalau dapat diperiksa HBV
DNA -)
- tes ALT setiap 6-12 bulan
- jika ALT naik > 1-2 kali BAN N, periksa serum HBV DNA
dan pastikan bukan disebabkan oleh hal yang lain
- pertimbangkan skrining KHS pada populasi yang berisiko

Vaksinasi untuk hepatitis A harus diberikan seperti yang direkomen-


dasikan oleh Centre for Disease Control ke orang-orang dengan hepatitis
B kronik. (6) Skrining pravaksinasi untuk antibodi hepatitis A (total atau Ig
G) harus dipertimbangkan jika prevalensi infeksi di masyarakat hampir
melebihi 33%. (6)

REKOMENDASI 1
Rekomendasi untuk vaksinasi hepatitis A pada penderita dengan infeksi
HBV.
Semua penderita hepatitis B kronik yang tidak imun terhadap hepatitis A
sebaiknya mendapat 2 dosis vaksinasi hepatitis A dengan jarak 6-18 bulan.

Pemeriksaan HBV DNA


Metode pemeriksaan HBV DNA yang cocok untuk pemeriksaan awal
pasien dengan infeksi kronik HBV masih kontroversi. Nilai acak 10 5
kopi/mL dipilih sebagai kriteria diagnostik untuk hepatitis B kronik pada
konferensi NIH (1). Namun demikian, terdapat beberapa masalah
dengan definisi ini. Pertama, pemeriksaan untuk mengetahui HBV DNA
secara kuantitatif belum distandarisasi dengan baik (Tabel 2). (7,8).
Kedua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronik mempunyai kadar
HBV DNA yang berfluktuasi yang dapat turun dibawah 10 5 kopi/mL.

4
Tabel 2.
Pemeriksaan Volume Sensitifitas* Linearitas Genotip Koefisien
HBV-DNA sample kopi/mL independent variasi (%)
Pg/mL kopi/mL
(mL)
Branched DNA 10 2.1 7x105 7x105-5x105 A,B,C,D,E,F 6-15
(Bayer) 2x105-1x105 A,B,C,D 10-15
Hybrid capture 30 0.5 1.4 x105 5x105-3x105
(Digene) 1000 0.02 5 x10s 5x105- 1x105
Liquid 100 1.6 4.5 x105 4x105- 1x105 Detects gen D 12-22
hybridization
(Abbot) [8 x10s] … better than A
PCR-Amplicor 50 0.001 4 x102 4x105- 1x105 (A),B,C,D,E 14-44
(Roche) Cobas: -105
Taqman: -10’°
Molecular 10-50 - <50 50-1x109 A-F 5-10
Beacons
Diadaptasi dari Zuezem S. (9)
* 1 pg HBV DNA = 283,000 kopi (-3x105 ekuivalen genom
viral) … batas deteksi yang dikoreksi

Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar


2
HBV DNA sampai dengan 10 kopi/mL tapi hasil dari pemeriksaan ini
harus diintepretasikan dengan hati-hati karena ketidakpastian arti
perbedaan klinis dari kadar HBV DNA yang rendah itu. Berdasarkan
pengetahuan dan definisi sekarang tentang hepatitis B kronik,
5 6
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 10 -10 kopi/mL sudah cukup
untuk evaluasi awal pasien dengan infeksi HBV kronik. Untuk evaluasi
keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan standar batas
deteksi kadar HBV DNA yang lebih rendah dan pada saat ini adalah yang
4
dapat mendeteksi virus sampai dengan < 10 kopi /mL.

REKOMENDASI 2
Rekomendasi mengenai pemeriksaan HBV DNA
2.1. Pemeriksaan HBV-DNA tidak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis awal.
2.2. Pemeriksaan HBV-DNA sebagai tanda keberhasilan terapi
menggunakan metode yang dapat mendeteksi kadar virus sampai
dengan < 104 kopi/mL.

5
Biopsi Hati
Tujuan dari biopsi hati adalah untuk menilai derajat kerusakan hati
serta menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya. Sebuah panel
inter-nasional dari para pakar merekomendasikan diagnosis histopatologi
hepatitis kronik harus termasuk etiologi, derajat aktivitas nekroinflamasi
dan derajat/luas fibrosis (10). Beberapa sistem penilaian numerik telah
ditetap-kan untuk dapat membuat perbandingan statistik dari aktivitas
nekroin-flamasi dan fibrosis (11-13). Hasil temuan gambaran histologi
dapat membantu memperkirakan prognosis (14).
Namun demikian, harus diketahui bahwa gambaran histologi hati
dapat membaik secara bermakna pada pasien yang merespons terapi
anti virus secara menetap atau serokonversi pada yang HBeAg secara
spontan. Gambaran histologi hati dapat memburuk secara cepat pada
pasien dengan eksaserbasi berulang atau hepatitis flare. Pada
umumnya, biopsi hati tidak diperlukan kecuali kalau dipertimbangkan
untuk diberikan pengobatan dengan indikasi tertentu.
Biopsi hati dapat digunakan untuk pengecatan immunohistokemikal
untuk HBsAg dan antigen inti virus hepatitis B (HBcAg).

REKOMENDASI 3
Rekomendasi mengenai biopsi hati
Biopsi hati tidak harus dilakukan untuk penilaian awal maupun
hasil pengobatan antivirus pada hepatitis B kronik.

Tindak lanjut pasien yang tidak diterapi


Pasien HBeAg positif dengan kadar HBV DNA serum tinggi tapi kadar
ALT normal harus dipantau dengan selang waktu 3-6 bulan (Tabel 1).
Pengawasan yang lebih sering harus dilakukan bila kadar ALT meningkat.
Eksaserbasi penyakit hati dilaporkan terjadi sampai 40% dari penderita
yang sebelumnya mengalami HBsAg kliren secara spontan (15 -18). Pada
5
pasien dengan HBeAg tetap positif dan kadar HBV-DNA lebih tinggi dari 10

6
kopi/mL dalam periode 3-6 bulan sesudah terjadi peningkatan kadar ALT
harus dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati.

REKOMENDASI 4
Rekomendasi untuk memantau pasien dengan infeksi HBV kronik:
4.1 Pasien HBeAg positif dengan peningkatan kadar ALT > 2 xBANN dapat
diobservasi selama 3 bulan untuk memberi kesempatan terjadinya
serokonversi HBeAg ke anti-HBe secara spontan sebelum diberikan
terapi antivirus.
4.2 Pasien dengan infeksi Hepatitis B inaktif (ALT normal) harus dipantau
test biokimia hati secara periodik (setiap 3 bulan) sebab penyakit hati
dapat menjadi aktif bahkan setelah sekian tahun tenang.
5
4.3 Pasien yang memenuhi kriteria hepatitis B Kronis (serum HBV-DNA >10
kopi/mL) dan terjadi peningkatan ALT yang menetap atau berfluktuasi
harus diperiksa lebih lanjut dengan biopsi hati.

PREVENTIF

Upaya preventif merupakan hal terpenting karena merupakan upaya


yang paling cost-effective. Secara garis besar, upaya preventif dibagi
dua yaitu upaya yang bersifat umum dan upaya yang lebih spesifik
(imunisasi HBV).
Kebijakan Preventif Umum
1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
2. Sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis digunakan
secara individual. Untuk pasien dengan HVB disediakan mesin
tersendiri. Jarum disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak
tembus jarum.
3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
4. Perilaku seksual yang aman.
5. Penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum
secara bergantian

7
6. Mencegah kontak mikrolesi, menghindar dari pemakaian alat yang
dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), berhati-hati dalam
menangani luka terbuka.
7. Skrining ibu hamil pada awal dan pada trimester ke-3 kehamilan,
terutama ibu yang berisiko terinfeksi HVB. Ibu hamil dengan HVB (+)
ditangani terpadu. Segera setelah lahir bayi di-imunisasi aktif dan
pasif terhadap HVB.
8. Skrining populasi risiko tinggi tertular HVB (lahir di daerah hiperen-
demis, homoseksual, heteroseksual, pasangan seks berganti-ganti,
tenaga medis, pasien diálisis, keluarga dari penderita HVB kronis,
kontak seksual dengan penderita HVB).

REKOMENDASI 5
Rekomendasi untuk pencegahan umum
5.1 Melaksanakan kewaspadaan universal di fasilitas kesehatan.
5.2 Perilaku seksual yang aman
5.3 Penyuluhan cara pemakaian jarum suntik yang aman terhadap
penyalah guna obat
5.4 Skrining ibu hamil & skrining populasi risiko tinggi

Kebijakan Preventif Khusus


Pelaksanaan program imunisasi pada bayi di negara endemis tinggi
berhasil menurunkan prevalensi infeksi HBV dan KHS (karsinoma
hepatoseluler) seperti di Taiwan, Gambia, Alaska, dan Polynesia.
Implementasi imunisasi bayi secara rutin akan menyebabkan
terbentuknya imunitas terhadap infeksi HBV di populasi luas serta
menurunkan risiko transmisi ke kelompok lainnya.

IMUNISASI PASIF
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dibuat dari plasma yang
mengandung anti HBs titer tinggi (> 100000 lU/ml) sehingga dapat
memberikan proteksi secara cepat meskipun hanya untuk jangka waktu

8
yang terbatas (3-6 bulan). Pada orang dewasa, HBIg diberikan dalam waktu
48 jam pasca paparan HBV. Pada bayi dari ibu pengidap HBV, HBIg
diberikan seyogyanya bersamaan dengan vaksin HBV di sisi tubuh berbeda
dalam waktu 12 jam setelah lahir. Kebijakan ini terbukti efektif (85-95%)
dalam mencegah infeksi HBV dan mencegah kronisitas (19- 20) sedangkan
dengan vaksin HBV saja memiliki tingkat efektivitas 75%. Bila HBsAg ibu
baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg dapat diberikan bila usia bayi
£ 7 hari.
HBIg tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai upaya pencegahan
pra-paparan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan
(profilaksis pasca paparan) pada mereka yang terpapar HBV melalui
jarum/ penyuntikan, tertelan atau terciprat darah ke mukosa atau ke
mata, atau kontak seksual dengan penderita HBV kronis. Namun
demikian, efektivitasnya akan menurun bila diberikan 3 hari setelah
paparan. Umumnya, HBIg diberikan bersama vaksin HBV sehingga
selain memberikan proteksi secara cepat, kombinasi ini juga memberikan
proteksi jangka panjang.
Berikut ini dikemukakan algoritma tatalaksana profilaksis pasca
paparan pada tenaga medis yang terpajan pada sumber yang
diperkirakan menderita infeksi HBV.

9
Gambar 1. Algoritma
Profilaksis pasca paparan

Cara terpapar

Perkutaneus Bukan Perkutaneus

Tidak Sumber Ya Kondisi


Profilaksis (-) penularan memerlukan
HBsAg (+) ? profilaksis?

Ya/? Tidak

Tidak
Kontak rentang Profilaksis (-)
terhadap VHB?

Ya/?

Ambil darah kontak untuk pemeriksaan


HBlg 0,06 mg/kg dan vaksin HBsAg
pada sisi tubuh yang berbeda

+ -
Tak perlu Imunisasi dilengkapi
tatalaksana Periksa anti HBs kontak dengan dosis
lanjutan Ke-2 dan ke-3

10
Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Bila sumber penularan adalah HBsAg dengan HBeAgnya positif,


maka 22 - 31% akan mengalami gejala klinis hepatitis akut dan 37 - 61%
terbukti mengalami sero-evidence terhadap infeksi HBV (Tabel 3).
Kebijakan imunisasi pada needle stick injury dapat dilihat pada (Tabel 3)
Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Tabel 3.
Kontak yang Tatalaksana bila sumber penularan
terpapar HBsAg + HBsAg ??
Imunisasi (-) HBIg x2 atau HBIg & Bila sumber penularan berisiko
vaksin tinggi, perlakukan seperti HBsAg +
Imunisasi (+) Tidak perlu Tidak perlu profilaksis
(Responder) profil`aksis
Imunisasi (+) HBIg x2 atau HBIg & Bila sumber penularan berisiko
Non responder vaksin tinggi, perlakukan seperti HBsAg +

Kontak seksual dengan pasien terinfeksi HBV


Kebijakan tergantung dari kondisi sumber penularan. HBIg diberikan
dalam waktu <14 hari sesudah kontak terakhir. Kebijakan imunisasi pada
kontak seksual dapat dilihat pada tabel 4.

Kebijakan imunisasi pada kontak seksual


Tabel 4.
Riwayat imunisasi Sumber Penularan: Sumber Penularan:
individu yg terpapar HBV Akut Carrier
Tidak pernah imunisasi/ HBIg 0.06 ml/kg atau HBIg & vaksin atau
Anti HBs (-) HBIg & vaksin atau Periksa anti HBs bila
Periksa anti HBs bila risiko tinggi
risiko tinggi
Imunisasi (+) Tidak perlu profilaksis Tidak perlu profilaksis
Lupa : periksa anti HBs Anti HBs (-): Anti HBs (-):
HBIg & vaksin HBIg & vaksin

11
REKOMENDASI 6
Rekomendasi untuk pencegahan khusus
6.1 Pemberian HBIg bukan merupakan upaya profilaksis pra paparan
6.2 Pemberian HBIg untuk profilaksis pasca paparan terindikasi bila

6.2.1. terpapar sumber penularan HBsAg (+) atau diduga keras /


berisiko tinggi terinfeksi HBV
6.2.2. orang yang terpapar belum pernah imunisasi HBV atau belum
memiliki anti HBs
6.3 HBIg dianjurkan untuk diberikan kepada neonatus terlahir dari ibu HBV
(+), tenaga kesehatan terpapar darah pengidap HBV, dan kontak
seksual dengan pengidap HBV
6.4 HBIg diberikan < 48 jam pada needle stick injury, < 14 hari pada kontak

seksual

IMUNISASI AKTIF
Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program
imunisasi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV. Tujuan
akhirnya adalah (1) menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun; (2)
menurunkan risiko KHS akibat HBV; dan (3) eradikasi virus.

Sasaran dan strategi imunisasi aktif HBV


Prioritas utama adalah bayi baru lahir. Vaksinasi diberikan segera
setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama. Keuntungan strategi ini
adalah memotong transmisi dini HBV dan meningkatkan cakupan
imunisasi. Sasaran lainnya adalah:
• Semua bayi dan anak, remaja, yang belum pernah imunisasi (catch
up immunization). Anak yang belum pernah imunisasi, harus
secepatnya menjalani catch up immunization, paling lambat usia 11-
12 tahun. Imunisasi pada usia pra-pubertas dikaitkan dengan pola
perilaku yang dapat meningkatkan risiko HBV.
• Individu berisiko terpapar HBV berdasarkan profesi kerja yang
bersangkutan.

12
• Orang dewasa berisiko tertular HBV.
• Tenaga medis dan staf lembaga cacat mental.
• Pasien hemodialisis (imunisasi diberikan sebelum terapi dialisis
dimulai)
• Pasien yang membutuhkan transfusi darah/produk darah secara
berulang.
• Penyalah guna obat.
• Homoseksual dan biseksual, pekerja seks komersial, orang yang
baru terjangkit penyakit akibat seks (STD), heteroseksual dengan
pasangan berganti-ganti.
• Kontak serumah dan kontak seksual dengan pengidap HBV.
• Populasi dari daerah insidens tinggi HBV.
• Individu yang bepergian ke area endemis HBV.
• Kandidat transplantasi (imunisasi diberikan pra transplantasi).

Dosis dan jadwal pemberian


Tabel 5 memperlihatkan imunisasi HBV pada bayi baru lahir cukup
bulan. Bila ibu HBsAg positif, dianjurkan untuk memberikan baik
imunisasi aktif maupun pasif.
Pola pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi
Tabel 5.
HBsAg IMUNI- DOSIS JADWAL KETERANGAN
IBU SASI (Bulan)
+ EngerixB 10 pg/0.5 ml; 0, 1,6 < 12 jam pertama
( )
HBVax-ll:5 jjg; (0.5 ml)
Aktif Uniject

Pasif HBIg: 0.5 ml < 12 jam pertama

(“)/?* Aktif EngerixB 10 |jg (0.5 ml); 0, 1.6 Segera


HBVax-ll: 5 |jg (0.25) setelah lahir
Uniject 10 Mg/0.5 ml

13
Catatan : • Vaksin dapat dipertukarkan tanpa akan mempengaruhi
imunogenisitas
• Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah
memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil
(no < 23), tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.
• Status HBV ibu semula tidak diketahui tetapi bila dalam 7
hari terbukti ibu HBV, segera beri HBIg
• Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda
sampai bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah
mencapai 2 kg.(18, 21)
Pada bayi kurang bulan, respons imun masih belum efektif. Bila
imunisasi diberikan segera setelah lahir, yang mengalami serokonversi
hanya 53 - 68%. Penundaan dosis pertama vaksin HBV akan meningkatkan
tingkat serokonversi menjadi 90%. Pada bayi risiko rendah, imunisasi
ditunda sampai berat badan bayi mencapai 2.0 kg atau sampai bayi berusia
³ 2 bulan.
Pada pasien hemodialisis, dan pasien immunocompromised dosis
ditingkatkan (Tabel 6).

Pola pemberian imunisasi pada berbagai kelompok*


Tabel 6.
KELOMPOK VAKSIN
HBvax-ll Engerix-B
Bayi, anak, remaja 5 ug/0.5 ml 10 ug/0.5 ml
Dewasa 10 ug/1 ml 20 mg/1.0 ml
Dialisis / immunocompromised 40 ug/4 ml 40 ug/2 ml
* Untuk vaksin yang lain belum ada rekomendasi dosis yang pasti
untuk keadaan immunocompromised.

Untuk mencapai tingkat serokonversi yang tinggi dan konsentrasi anti-


HBs protektif (> 10 mlU/mL), imunisasi diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 1, 6
bulan. Pada bayi, imunisasi harus lengkap paling lambat sebelum berusia 18
bulan. Bila lupa datang pada jadwal yang sudah ditentukan, imunisasi
segera dilengkapi tanpa memandang jaraknya dari imunisasi

14
yang terakhir, tanpa harus mengulang dari awal, dan tanpa harus
melakukan pemeriksaan anti-HBs pasca imunisasi.
Cara pemberian vaksin dengan penyuntikan intramuskulär dalam di
deltoid/antero lateral paha. Pada penyuntikan di gluteus, serokonversi
lebih rendah (20% tidak membentuk antibodi protektif) dan titer 17 kali
lebih rendah dari titer pada penyuntikan di deltoid.

Efektivitas, lama proteksi


Efektivitas vaksin dalam mencegah HBV adalah 90-95%. Memori
sistem imun menetap minimal sampai dengan 12 tahun pasca imunisasi
sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster.
Pada kelompok non-responder diberi vaksinasi tambahan (kecuali
bila HBsAg positif) 1 - 3 kali. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan
tidak terjadi serokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis
Pada bayi-anak, tidak dianjurkan untuk memeriksa anti-HBs pra dan
pasca imunisasi. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada
kelompok yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan individu
yang berisiko tinggi tertular infeksi HBV.
Uji serologi pasca imunisasi dilakukan pada bayi terlahir dari ibu
pengidap HBV, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan
pasien immunocompromised.

Efek samping
Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan
dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan
untuk 1 - 2 hari. Resipien yang alergi terhadap komponen d dalam vaksin
sebaiknya mempertimbangkan pemberian HBIg. Reaks hipersensiti-vitas
juga bisa terjadi pada individu yang alergi terhadap antigen yeast dan tidak
direkomendasikan untuk memperoleh vaksir HBV yang sifatnya yeast-
derived. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksin HBV dapat

15
menimbulkan atau memperberat multiph sclerosis (MS) atau kelainan
susunan syaraf pusat lainnya
Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi HBV. Imunisas
tidak akan menimbulkan efek samping dan tidak akan membahayakan
individu yang sudah memiliki kekebalan terhadap HBV atau individ
1
pengidap HBV. Permasalahan yang bisa muncul akibat imunisasi HB
adalah terbentuknya mutan yang mengubah spesifisitas HBsAg sehingga
virus yang mutan tersebut bisa lolos dari respons sistem imun terhada
imunisasi. Angka kejadian mutan ini rendah dan sampai saat ini tidak
terbukti menimbulkan implikasi terhadap kesehatan masyarakat.
Vaksin HBV terbukti aman dan dapat efektif mencegah infeksi HB
sedikitnya 90%.

REKOMENDASI 7
Rekomendasi pemberian vaksinasi
7.1 Imunisasi HBV diberikan segera setelah bayi lahir (< 12 jam)
7.2 Imunisasi HBV catch up diberikan kepada anak yang belum pernah
imunisasi HBV sebelum anak memasuki masa pubertas
7.3 Imunisasi HBV catch up diberikan kepada orang dewasa berisiko
tinggi tertular HBV (dianjurkan periksa HBsAg dan anti-HBs terlebih
dahulu)
7.4 Pemeriksaan anti HBs pasca imunisasi HBV hanya terindikasi pada

bayi terlahir dari ibu pengidap, profilaksis pasca paparan, pasien


immunocompromised

KONSELING HEPATITIS B

Pasien dengan infeksi HBV kronik harus diberi pengarahan untuk


modifikasi pola hidup dan pencegahan penularan. Tidak ada ukuran diet
yang spesifik yang dapat menunjukkan adanya efek terhadap progresivitas
hepatitis kronik. Namun demikian, peminum alkohol berat (> 40 g/hari)
berhubungan dengan kadar ALT yang lebih tinggi (21, 22) dan terjadinya

16
sirosis. (23) Pada peminum berat alkohol dengan Hepatitis B kronik,
sirosis dan HCC dapat terjadi pada usia yang lebih muda. (24, 25)
Konsumsi makanan yang diduga mengandung afla toksin harus dihindari.
Pengidap hepatitis B harus diberi pengarahan sebab berisiko
menularkan kepada orang lain. Konseling harus termasuk pencegahan
penularan melalui hubungan seksual, perinatal, dan risiko penularan akibat
kecerobohan melalui tetesan darah yang mengkontaminasi lingkungan.
Anggota keluarga yang berisiko terinfeksi HBV harus divaksinasi HBV jika
ditemukan hasil HBsAg (-) dan anti HBs (-) pada pemeriksaan serologi.
Skrining harus dilakukan dengan melakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-
HBs. Vaksinasi dari pasangan seksual telah menunjukkan hasil yang efektif
dalam mencegah terjadinya penularan HBV secara seksual. Pasangan
seksual tetap harus diperiksa dan divaksinasi terhadap hepatitis B jika
ditemukan seronegatif. Untuk pasangan seksual tetap atau tidak tetap, yang
belum diperiksa HBsAg & anti HBs, atau belum lengkap imunisasinya,
metode perlindungan penghalang pada waktu hubungan seksual, harus
diterapkan (lihat bab Preventif).
Hasil pemeriksaan yang positif untuk antibodi dari hepatitis B core
antibody (anti - HBc) tidak dapat digunakan untuk membedakan antar«
terjadinya penyembuhan dengan infeksi kronik. Sebagai tambahan, hasil
positif palsu adalah hal yang biasa pada orang dengan isolated antibod)
terhadap hepatitis B core antigen.(26, 27)
Pada wanita hamil seyogyanya diperiksa HBsAg pada trimester
kadar HBV-DNA tinggi lebih infeksius, terbukti pada penularan
daripertama dan ketiga. Wanita hamil dengan infeksi hepatitis B harus
memberitahu kondisi tersebut kepada penolong persalinan.
Pengidap juga harus dianjurkan untuk menutup luka terbuka, luk
lecet dan membersihkan tetesan darah dengan menggunakan hipokloi
(pemutih/ bleach), karena HBV dapat bertahan hidup pada permukaa
lingkungan minimal 1 minggu.(9) Harus dicatat bahwa pengidap dengan
pengidap ibu ke bayi. (28)

17
Penularan HBV di lingkungan kerja dapat terjadi tetapi jarang (rare
instances). (29, 30) Untuk pengidap HBV yang bekerja sebagai tenaga
kesehatan, Centers for Disease Control merekomendasikan mereka dengan
HBeAg positif untuk tidak melakukan tindakan invasif tanpa meminta
konseling dan nasehat dari panel ahli, dalam keadaan bagaimana, jika
terjadi, mereka diperbolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan ini.
(31) Keadaan-keadaan ini akan termasuk memberitahukan kepada pasien
tentang status HBV mereka sebelum melakukan tindakan tersebut.
Untuk program vaksinasi mandiri pada anggota masyarakat sendiri
pada umur lebih dari 1 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan petanda
Hepatitis B terutama pada daerah dengan tingkat endemisitas sedang/
tinggi. (32)

REKOMENDASI 8
Rekomendasi konseling untuk pencegahan penularan Hepatitis B dari
individu dengan infeksi kronik HBV :
1.1 Pasien dengan infeksi Hepatitis B harus diberi penjelasan mengenai
pencegahan penularan HBV.
1.2 Orang-orang yang kontak secara seksual dan tinggal di dalam rumah
tangga pengidap, harus diperiksa petanda HBV (HBsAg dan anti-
HBs) dan jika negatif, akan diberi vaksinasi hepatitis B.
1.3 Booster imunisasi untuk hepatitis B tidak dianjurkan.
1.4 Orang yang berisiko terinfeksi HBV seperti bayi dari ibu HBsAg
positif, tenaga kesehatan dan pasien yang menjalani dialisis harus
diperiksa anti HBs.
1.5 Bayi dari ibu dengan infeksi harus diperiksa setelah 3 bulan
vaksinasi lengkap (3 kali).
1.6 Tenaga kesehatan diperiksa anti HBs 1 bulan setelah vaksinasi
lengkap.
1.7 Pasien hemodialisis dan pasien imunokompromais harus diperiksa

anti HBs setiap tahunnya.

18
1.8 Pemakaian alkohol harus dihentikan.
1.9 Pasien terinfeksi hepatitis B dengan ALT normal, anti HBe (+) dan

HBV DNA (-), boleh bekerja penuh seperti biasa.

PENGOBATAN

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk


mengeliminasi atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan
mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan
atau mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka
pendek adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya
dekompensasi hati, menghilangkan HBV-DNA (dengan serokonvers
HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT
pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan.
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare
yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah
sirosis dan/atau HCC, dan pada akhirnya memperpanjang usia,

Pengobatan yang tersedia saat ini


Pada saat konsesus ini dibuat, obat yang tersedia dan telah diterima
diberbagai negara adalah interferon a (IFN konvensional), pegylatec
interferon a-2a, lamivudine, adefovir dipivoxil dan entecavir. Thymosin a-
1 juga telah diterima dibeberapa negara khususnya di Asia.

Interferon a (IFN-a) konvensional


Pada pasien yang positif HBeAg dengan ALT yang lebih besar 3> dari
BANN, respons angka keberhasilan 6-12 bulan setelah akhir terapi
interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol
Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan
dapat efektif pada orang Oriental (Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit
lebih rendah dibanding orang Kaukasia (Eropa). Terdapat bukti baru bahwa
pengobatan selama 12 bulan dapat memperbaiki angka serokonversi

19
HBeAg (33). Penderita hepatitis anak dengan ALT tinggi memberikan
respons terhadap IFN-a dengan angka keberhasilan yang sama dengan
orang dewasa (34).
Pada pasien dengan kadar ALT pra-terapi yang lebih rendah (1,3- 3x
BANN), angka serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki
dengan pemberian kortikosteroid sebelum terapi interferon. Namur
demikian efek samping yang hebat pernah dilaporkan akibat penggunaan
cara ini (35).
Bila serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, ini akan menetap
pada lebih dari 80% kasus (36,37). Hal ini dapat juga diikuti dengar
hilangnya HBsAg selama tindak lanjut jangka panjang, walaupun hal ini
sangat jarang terjadi pada pasien-pasien Oriental.
Penderita hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti HBe
positif, HBV-DNA positif juga memberikan respons selama terapi
interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi. Pengobatan
ulangan dengan IFN-( menunjukkan angka keberhasilan respons 20-
40% baik pada HBeAg positif maupun negatif.
Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi HBeAg,
baik yang diinduksi oleh terapi interferon atau secara spontan, bermanfaat
untuk kelangsungan hidup, kejadian gagal hati dan mencegah KHS.
Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping
seperti flu-like symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya
masih dapat ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan
modifikasi dosis. Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat
menyebabkan dekompensasi pada pasien dengan sirosis dan dapat
berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati (38). Lama terapi
interferon 4-6 bulan.

Pegylated interferon a-2a


Pegylated interferon a adalah interferon a yang dipegilasi (41). Sama

seperti interferon a, pegylated interferon a memiliki mekanisme kerja ganda

20
yaitu sebagai imunomodulator dan anti-virus. Sebagai imunomodulator,
pegylated interferon a akan mengaktivasi makrofag, sel natural killer (NK)
dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi yang akan
meningkatkan respon imun host untuk melawan virus hepatitis B.
Sedangkan aktivitas anti-virus dilakukan dengan menghambat replikasi virus
hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-ribonuclease, elevasi
protein kinase dan induksi 2’,5’- oligodenylate synthetase (41, 42).
Pada saat ini yang telah diterima sebagai obat untuk hepatitis B Kronis
adalah pegylated interferon a-2a (40 KD). Pegylated interferon a-2 b (12
KD) belum diteliti dengan baik untuk penderita hepatitis B kronik HBeAg
negatif, dan belum diterima sebagai obat standar untuk Hepatitis B kronis.
Telah dilakukan uji klinis fase II pada penderita hepatitis B kronis
HBeAg (+) yang membandingkan efikasi pegylated interferon a-2a
dengan interferon konvensional. Hasilnya menunjukkan bahwa respon
kombinasi (hilangnya HBeAg, supresi HBV-DNA < 100.000 kopi/mL dan
normalisasi SGPT) dari pegylated interferon a-2a lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan Interferon konvensional. (39) Uji klinis fase III
pada penderita HBeAg positif dengan mayoritas pasien dalam studi ini
adalah ras Asia (85-87%), pernah diterapi lamivudine (9-15%) serta
interferon konvensional (11-12%) yang pegylated interferon a-2a dengan
lamivudine dan kombinasi pegylated interferon a-2a dan lamivudine,
hasilnya menunjukkan bahwa efikasi monoterapi pegylated interferon a-
2a lebih baik secara bermakna dibandingkan monoterapi lamivudine,
yaitu normalisasi ALT 41 % kasus, HBeAg serokonversi 32 %, kadar HBV
DNA < 100.000 kopi/mL 42%, kadar HBV DNA < 400 kopi/mL 14 % dan
HBsAg klirens 3 % (40) Penambahan lamivudine sebagai kombinasi
dengan pegylated interferon a-2a tidak meningkatkan respon 24 minggu
pasca terapi dibandingkan pegylated interferon a-2a tunggal (40, 41).
Uji klinis fase III pada 537 pasien hepatitis B kronik (mayoritas pasien
ras asia) yang membandingkan pegylated interferon a-2a dengan

21
lamivudine dan kombinasi pegylated interferon a-2a dan lamivudine lebih
baik secara bermakna dibandingkan monoterapi lamivudine. (42).
Penambahan lamivudine sebagai kombinasi dengan pegylated interferon
a-2a tidak meningkatkan respon 24 minggu pasca terapi dibandingkan
pegylated interferon a-2a tunggal. (42)
Sebuah studi follow-up yang dilakukan menunjukkan bahwa normalisas
ALT yang dicapai oleh terapi pegylated interferon a-2a tunggal 4i minggu
terus menetap hingga 1 tahun pasca terapi pada lebih dari 50°/ pasien. (43)
Pegylated interferon a-2a juga memberikan kesempatan untuk terjadinya
serokonversi HBsAg yang menetap baik pada pasien hepatitis B kronik
dengan HBeAg-positif dan negatif, yang mana hal ini tidak ditemukan pada
penggunaan lamivudine dalam kedua studi fase III. (44 Dosis yang
dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg-posit dan negatif adalah
180 pg sekali seminggu selama 48 minggu, disuntikkan secara subkutan.

Analog Nukleosida
Beberapa analog nukleosida (misalnya adenosine arabinoside, FIAU
dan lobucafir) ditemukan efektif namun memberikan efek toksisitas yang
bermakna sehingga evaluasi lebih lanjut tidak dilakukan.
Famciclovir mampu menekan replikasi HBV, namun pada uji fase
ketiga ditemukan bahwa terdapat efikasi yang terbatas. Lamivudine
terbukti mempunyai efektifitas yang tinggi dalam menginhibisi replikasi
HBV. Telah terbukti pula bahwa adefovir dipivoxil dan entecavir efektif
dan aman. Emtricitabine, clevudine, Ldt yang masih dalam berbagai
tahap penelitian. (45)

Lamivudine
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA, normalisasi ALT,
dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif /
HBV DNA positif. Pada penderita dengan HBeAg (+) yang diterapi selama
satu tahun dengan lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi
HBeAg dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi :

22
64% (vs. 14% sebelum terapi) pada pasien dengan ALT dengan 5x
BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasien dengan ALT 2-5x
BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada pasien dengan ALT
<2x BANN (46).
Dengan kata lain, penderita dengan respons imun terhadap HBV
yang lebih kuat memberikan respons yang lebih baik terhadap efek
langsung anti virus pada terapi lamivudine. Pasien anak juga
memberikan respons yang sama (47). Hepatitis flare kadang dapat
terjadi jika lamivudine dihentikan sebelum serokonversi HBeAg (48).
Terapi anti virus jangka panjang meningkatkan proporsi
menghilangnya HBV DNA dan serokonversi HBeAg. Pada pasien dengan
ALT sebelum terapi > 2x BANN, angka keberhasilan serokonversi HBeAg
adalah 65% setelah 3 tahun, dan 77% setelah 5 tahun. Pada saat
serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal tersebut bertahan pada
30-80% kasus (49) akan tetapi dapat lebih rendah jika pengobatan post-
serokonversi berlangsung kurang dari 4 bulan. Hepatitis flare dapat
terjadi yang dalam hal ini biasanya berhubungan dengan munculnya
kembali HBeAg. Pada pasien hepatitis B dengan HBeAg negatif / HBV-
DNA positif kerja antivirus dan anti hepatitis dari lamivudine tampaknya
sama seperti pada pasien dengan hepatitis kronis HBeAg positif. Namun
demikian sangatlah sulit untuk menentukan batas akhir pengobatan dan
respons antivirus yang bertahan diperoleh hanya dalam 15-20% kasus
setelah satu tahun pengobatan. Penelitian dengan masa pengobatan
yang lebih lama sedang dilakukan untuk keadaan ini.
Lamivudine ditoleransi dengan baik disertai angka kejadian efek
samping yang dapat diabaikan. Lamivudine aman digunakan bahkan
pada sirosis dekompensasi. Setelah 6-9 bulan terapi lamivudine, mutar
HBV yang resisten terhadap lamivudine mulai muncul. Spesies HBV in
telah melakukan mutasi pada gen polimerase, sehingga disebut mutas
YMDD. Insidensnya meningkat bersamaan dengan semakin lamanya
terapi (sekitar 70% dalam waktu 5 tahun) (45-47, 50).

23
Munculnya mutasi YMDD berhubungan dengan timbulnya kembali
HBV DNA (harus dibedakan dari ketidakpatuhan memakai obat), dan
seringkali dengan peningkatan ALT, walaupun nilai ALT seringkali tidak
mencapai kembali kadar sebelum terapi, (51). Terapi lamivudine jangka
panjang sebaiknya disertai dengan perhatian terhadap mutasi YMDI dan
stabilitas respons terapi. Penelitian Asia jangka panjang (Guan dkk),
memperlihatkan serokonversi masih ada walaupun telah terjadi mutan.
Pemberian dapat dilakukan sampai 5 tahun.
Kombinasi lamivudin dan interferon tampaknya meningkatkan angka
keberhasilan serokonversi HBeAg, khususnya pada pasien dengan AL
pra-terapi 2-5x BAN N (52, 53).

Adefovir dipivoxil
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine monofosfe
setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja langsung menghamb DNA
polymerase dengan tempat ikatan yang berbeda dengan lamivudin.
Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase deng«
berkompetisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosf
dan setelah berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga pembentuk rantai
DNA virus hepatitis B terhenti.
Efektifitas adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru hepatitis dengan
replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal dengi lamivudine, pasien
pasca transplantasi hati hingga pasien dengan dekompensasi hati maupun
yang dengan koinfeksi dengan HIV. Adefo difosfat bekerja menghambat
HBV polymerase dengan berkompet langsung dengan substrat endogen
deoksiadenosin trifosfat dan setel; berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga
pembentukan rantai DNA vir hepatitis B terhenti.
Penelitian 2 menunjukkan bahwa adefovir efektif dan aman, dan ju<
efektif dalam menekan HBV dengan mutasi YMDD (54, 55). Tidak adanya
potensi adefovir untuk berkembang menjadi resisten disebabkan karena
eratnya hubungan struktural dengan substrat alami sehingga membatasi

24
potensi untuk menjadi steric hindrance yang merupakan mekanisme
terjadinya resistensi. Di samping itu adefovir merupakan rangkaian asiklik
yang fleksibel yang memudahkan adefovir untuk berinteraksi dengan
HBV polymerase dengan konformasi yang berbeda sehingga akhirnya
menghambat terbentuknya steric hindrance.
Tidak adanya resistensi silang dengan lamivudine dengan adefovir
dikarenakan kelompok yang resisten terhadap lamivudine terjadi karena
pembentukan ‘steric hindrance’ berasal dari rantai gula L yang non
alamiah sedangkan adefovir berinteraksi dengan rantai gula D yang
alami sehingga menyebabkan adefovir masih dapat berinteraksi dengan
HBV polymerase (56-59).
Terapi dengan adefovir dipivoxil terbukti memberikan perbaikan
histologis yang sangat bermakna (53-59 % vs 25 %) pada kelompok
penderita Hepatitis B naive dengan hasil serokonversi HBeAg,
penurunan HBV-DNA maupun normalisasi ALT yang jauh lebih tinggi
dibandingkan plasebo.
Penggunaan adefovir dipivoxil dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
untuk pengobatan hepatitis B baik yang baru maupun yang sudah
resisten disamping terbukti sebagai penyelamat dalam pengobatan
dengan lamivudine.(59, 60)
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir adalah 10 mg per
hari. Efek samping penggunaan adefovir jika digunakan dosis tinggi (30
mg/hari) adalah gagal ginjal.

Entecavir
Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang menghambat
replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand synthesis,
dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi double
stranded viral DNA akan sangat menurun.
Penelitian klinis multinasional fase III, samar-ganda, mengamati 715
penderita hepatitis B kronik nukelosida naif, HBeAg positif, yang secara

25
acak menerima entecavir 0.5 mg satu kali sehari (n=357) atau lamivudine
100 mg satu kali sehari (n=358) setidaknya selama 52 minggu (61).
Dilaporkan setelah 48 minggu pengobatan perbaikan histologi (skor
Knodell) pada 72% kelompok pasien yang entecavir. dibandingkan
dengan 62% dari kelompok pasien lamivudine (p=0,009), dan juga
menghasilkan penurunan pada fibrosis sebagaimana diukur dengan Skor
Fibrosis Ishak (39% pada kelompok entecavir dan 35% pada kelompok
lamivudine, p=0,41).
Normalisasi kadar ALT juga diamati lebih banyak pada kelompok
pasien yang menerima entecavir (68%) dibandingkan dengan kelompok
pasien lamivudine (60%) (p=0,02).
Dari penelitian ini, 67% dari kelompok pasien entecavir mengalami
penurunan muatan virus hingga mencapai kadar tidak terdeteksi (kurang
dari 300 kopi/mL dengan metode PCR) dibandingkan 36% kelompok pasien
lamivudine (p<0,001) Selain itu, kelompok pasien enteca mengalami
penurunan 6,9 Iog10 kopi/mL rata-rata penurunan HB DNA dari nilai dasar
yang secara bermakna lebih besar daripada kelompok pasien lamivudine
yang mengalami penurunan 5,4 loc kopi/mL (p<0,001).
Pada minggu ke 48 tidak terdapat bukti adanya mutasi virus yar
dapat mengarah kepada resistensi terhadap entecavir di antara 3.’
pasien yang diamati.
Sebagai bagian dari penelitian klinis multinasional fase III, samar-
ganda, 648 pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif secara acak
mendapatkan entecavir 0,5 mg satu kali sehari (n=351) atau lamivudine
100 mg satu kali sehari (n-317) selama paling tidak 52 minggu.
Setelah 48 minggu pengobatan, 70% pasien entecavir menunjukkan
perbaikan secara histologik (skor Knodell) dibandingkan dengan 6 pasien
lamivudine (p=0,01), dan juga menunjukkan penurunan fibrosis (skor Ishak),
masing-masing 36% pada kelompok entecavir dan 3 pada kelompok
lamivudine (p=0,65). Secara bermakna lebih ban; pasien yang diobati
dengan entecavir daripada lamivudine mencapai kadar ALT normal pada

26
minggu ke 48 (78% pada kelompok entecavir dibandingkan dengan 71%
pada kelompok lamivudine; p=0,04).
Sembilan puluh persen(90%) pasien yang mendapatkan entecavir
mencapai penurunan kadar HBV-DNA hingga tingkat tidak terdeteksi
pada minggu ke-48 dibandingkan dengan 72 % pada kelompok pas yang
menggunakan lamivudine (p=0,001). Selain itu, pasien y menggunakan
entecavir mengalami penurunan kadar HBV-DNA y bermakna sebesar
5,0 log 10 kopi/mL rata-rata penurunan dibanding dengan 4,5 Iog10
kopi/mL pada kelompok lamivudine (p<0,0l Tidak terdapat bukti adanya
mutasi virus yang mengarah kepada resistensi terhadap entecavir pada
kelompok yang mengalami virolt rebound atau pada 211 pasien yang
diamati setelah 48 min pengobatan (61).
Pada penelitian fase III, samar ganda pada pasien dengan HBeAg
positif yang mengalami refrakter pada pengobatan dengan lamivudine
(adanya viremia yang persisten atau mutasi YMDD yang terdokumentasi
ketika menggunakan lamivudine) diacak untuk mendapat entecavir 1 mg
(n=141) atau terus menggunakan lamivudine 100 mg (n=145) masing-
masing satu kali sehari selama minimum 52 minggu.
Perbaikan histologis terjadi pada 55% (68/124) pada kelompok
entecavir dibandingkan dengan 28% (32/116) pada kelompok lamivudine
(P < .0001). Lebih banyak pasien dengan entecavir yang mencapai kadar
HBV branched DNA <0.7 MEq/mL yaitu 55% (77/141) untuk kelompok
entecavir dan 4% (6/145) untuk kelompok lamivudine (P < 0001). Rata-

rata penurunan kadar HBV DNA dari baseline adalah -5.11 log 10 kopi/mL
untuk kelompok yang diberikan entecavir dan -0.48 log 10 kopi/mL untuk
kelompok yang diberikan lamivudine (P < .0001).
Ditemukan adanya virologic rebound pada 2 dari 141 pasien yang
diberikan entecavir oleh karena substitusi resistensi dan resistensi
genotipik pada 10 pasien (62).

27
Thymosin a-1
Hanya sedikit penelitian yang telah menganalisis thymosin a1. Pada
satu penelitian diperlihatkan bahwa respons pemberian subkutan 1,6 mg
2 x/minggu selama 6 bulan adalah 40 % dibandingkan 9 % pada kontrol.
Masih diperlukan penelitian yang lebih luas untuk membuat kesimpulan
lebih pasti.

Obat Tradisional
Obat tradisional Cina dan obat tradisional lainnya (obat alternatif /
tambahan) dilaporkan mempunyai potensi terapeutik dalam mengobati
infeksi kronik HBV, namun harus dibuktikan dengan uji acak terkontrol dalam
skala yang lebih besar untuk memastikan efikasinya. Schisandrin C
bermanfaat untuk menurunkan ALT pada pasien dengan hepatitis kronik
(63) Imunomodulator non IFN dapat pula diberikan untuk pengobatan
Hepatitis B. (45)

Indikasi pengobatan
Data sampai saat ini menunjukkan bahwa pasien dengan ALT yang
persisten normal memberikan respon pengobatan yang tidak baik dengan
semua obat yang tersedia, dengan demikian pada penderita ini tidak perlu
diberi terapi antivirus namun harus dipantau kadar ALT setiap 3 - 6 bulan.
Pasien HBeAg (+) dengan kadar ALT ³ 2 x BAN N (batas atas nilai
normal) sedikitnya dalam masa pengamatan 1 bulan dapat segera
diberikan pengobatan antivirus.
Penderita hepatitis B kronik dengan HBeAg(-), anti HBe(+), kadar HBV
DNA > 100.000 kopi/ml dan kadar ALT >2 x BAN N diberi terapi anti virus.

REKOMENDASI 9
Rekomendasi terapi; indikasi
9.1 Pasien dengan ALT normal tidak perlu diterapi antivirus tapi perlu

dipantau kadar ALT setiap 3 bulan.

28
9.2 Pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg (+) dan kadar ALT > 2x
BANN pengobatan antivirus boleh segera dimulai.
9.3 Pasien hepatitis B kronik dengan kadar ALT meningkat > 2 x BANN
sedangkan HBeAg (-) disertai anti HBe (+) dan kadar HBV-DNA (+)
> 100.000 kopi/mL diberi terapi antivirus.
Pasien yang menunjukkan adanya peningkatan ALT (dari normal at<
peningkatan kadar minimal) atau ALT > 5x BANN mungkin diakibatkan
karena eksaserbasi, hepatitis berat atau dekompensasi hati. Oleh sebab itu,
mereka perlu diawasi secara ketat, termasuk pemeriksaan kadar bilirubin
dan prothrombin setiap minggu atau 2 mingguan dan pengobatan dimulai
tepat waktu untuk mencegah dekompensasi. Eksaserbasi tersebut dapat
juga mempercepat serokonversi HBeAg secara spontan yang diikuti dengan
remisi. Karena itu, maka masih diperbolehkan untuk menunda pemberian
terapi selama 3 bulan (observasi) jika tidak ada kekhawatiran akan
terjadinya dekompensasi hati.

Obat dan strategi yang mana?


Obat yang tersedia pada saat ini mempunyai keterbatasan dalc hal
“sustained response” jangka panjang, sehingga dalam penentu pemilihan
obat harus dipertimbangkan secara seimbang anta kemungkinan
respons, usia penderita, derajat keparahan penyakit, ei samping obat
dan komplikasi penyakit.
Obat yang tersedia dan telah diterima : interferon a-2b konvensional,
pegylated interferon a-2a, lamivudine, adefovir dipivoxil dan entecavir,
dapat dipilih sebagai obat awal. Pada pasien dengan HBV-DNA positif
baik HBeAg (+) maupun HBeAg (-), dengan kadar ALT > 5x BANN,
dianjurkan menggunakan analog nukleosida. Lamivudine digunakan
terutama bila didapatkan tanda-tanda dekompensasi hati.
Untuk pasien HBeAg positif dengan kadar ALT antara 2-5x BANN
pilihan antara analog nukleosida atau interferon, sama-sama dapat
digunakan. Dalam membuat pilihan antara analog nukleosida atau

29
interferon, pasien dan dokternya harus mempertimbangkan perbedaan
dalam lama waktu pengobatan, biaya pengobatan dan efek samping
yang tidak diinginkan dari masing-masing obat.
Pemberian intreferon a-2b konvensional dan khususnya pegylated
interferon a-2a menunjukkan hasil sustained response yang lebih tinggi,
namun kedua obat ini mempunyai efek samping yang lebih banyak dan
memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan kontra indikasi pada
keadaan dekompensasi hati. Penggunaan kedua obat ini pada penderita
sirosis hati dapat memicu terjadinya dekompensasi hati.
Pemberian kortikosteroid sebelum terapi interferon secara umum tidak
dianjurkan. Kalau pemberian koritikosteroid akan dilakukan, maka harus
secara hati-hati dan hanya pada pusat kesehatan yang berpengalaman.
Kombinasi atau strategi lain harus dievaluasi lebih lanjut.
Adefovir dipifoxil dapat dipilih atas dasar resistensinya yang rendah,
dan bermanfaat pada penderita yang mengalami mutan akibat
pengobatan lamivudine.
Entecavir mempunyai daya supresi HBV-DNA yang sangat kuat dan
belum menunjukkan adanya tanda resistensi (dalam waktu dua tahun)
terutama pada penderita naif analog nukleosida.

REKOMENDASI 9
Rekomendasi terapi: pemilihan obat
9.4 Pasien dapat diobati dengan interferon konvensional atau pegylated
interferon a-2a, lamivudine, adefovir dipifoxil dan entecavir.
Lamivudine dianjurkan bila terdapat tanda atau kemungkinan
dekompensasi hati. Thymosin-a1 merupakan obat pilihan berikutnya.

Bagaimana cara mengawasi?


Agar tercapai pengobatan yang paling cost-effective, pengawasan yang
adekuat sebelum dan sesudah pengobatan adalah penting.

30
REKOMENDASI 9
Rekomendasi terapi: pemantauan pengobatan
9.5 Selama terapi interferon kadar ALT harus diperiksa setiap bulan. HBV-
DNA, HBeAg dan anti-HBe diperiksa setelah terapi selesai. Selama
terapi interferon, pengawasan terhadap efek samping sangat penting
termasuk hitung trombosit dan leukosit.
9.6 Selama terapi dengan analog nukleosida kadar ALT diperiksa setiap
bulan. HBV-DNA, HBeAg dan anti-HBe diperiksa setelah 6 bulan.
9.7 Pada akhir terapi antivirus dilakukan pemeriksaan ALT, HBV DNA,
HBeAg dan anti-Hbe, kemudian ALT diperiksa setiap 3 bulan. Bagi
pasien yang tidak memberikan respons (non responders) atau relaps/
kambuh, diperlukan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui adanya
respons lambat atau untuk memberi pengobatan lain.

Kapan terapi antivirus dihentikan?


Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan, untuk pasi non
responders dan HBeAg negatif, pengobatan dapat diterusk; selama 12
bulan.
Pegylated interferon a-2a, diberikan selama 6 bulan pada pasi
HBeAg positif dan 12 bulan pada pasien HBeAg negal
Dianjurkan juga untuk melakukan pengawasan selama 6-12 bulan
setelah berakhirnya terapi interferon untuk melihat adanya respon lambat
atau perlunya terapi yang lain.
Pada umumnya pengobatan analog nukleosida diberikan minimal Sc tahun,
pada pasien HBeAg positif obat dihentikan bila telah tercapai serokonversi
dengan kadar HBV-DNA yang tidak terdeteksi pada d kali pemeriksaan
dalam jangka waktu enam bulan. Pada pasien HB& negatif, obat dapat
dihentikan bila kadar ALT telah normal dan kadar HBV-DNA tidak terdeteksi
3
(<10 kopi/mL) 3 kali pemeriksaan dalam jangka minimum 6 bulan.
Melihat kenyataan bahwa akan muncul varian YMDD selama
perpanjangan terapi lamivudin, maka dianjurkan untuk menghentikan terapi

31
sesegera mungkin setelah pasien mengalami serokonversi HBeAg
disertai dengan menghilangnya HBV-DNA (dengan menggunakan
metode PCR atau <105 kopi/mL) dalam 2 pemeriksaan berturut-turut
minimal berjarak 3 bulan. HBV-DNA tidak selalu harus diperiksa.
Untuk pasien dengan HBeAg negatif yang mendapat pengobatan
lamivudine lamanya pengobatan yang optimal tidak diketahui dan keputusan
untuk menghentikan pengobatan harus ditentukan berdasarkan respons
klinik dan beratnya penyakit hati yang mendasarinya.

REKOMENDASI 9
Rekomendasi untuk terapi:
9.8 Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan untuk
penderita HBeAg positif dan satu tahun untuk yang non
responder atau HBeAg negatif.
9.9 Pegylated interferon a-2a diberikan 6 bulan pada penderita
HBeAg positif dan 12 bulan pada pasien HBeAg negatif.
9.10. Pengobatan analog nukleosida (lamivudine, adefovir, entecavir,
diberikan minimal satu tahun. Pada pasien HBeAg positif
pengobatan dihentikan bila telah terjadi serokonversi disertai
kadar HBV-DNA yang tidak terdeteksi berdasarkan 2 kali
pemeriksaan dalam jangka 6 bulan. Pada pasien HBeAg negatif
pengobatan dapat dihentikan bila kadar ALT telah normal dan
kadar HBV-DNA tidak terdeteksi (PCR) dalam 3 kali pemeriksaan
dalam waktu minimal 6 bulan.

Pasien dengan kondisi khusus


Reaktivasi hepatitis B kronis sering dilaporkan pada pasien yang
menerima obat-obat imunosupresif atau kemoterapi. Reaktivasi ini dapat
memberikan komplikasi yang fatal dan kematian. Reaktivasi biasanya
timbul setelah dua atau tiga siklus pemberian obat-obat tersebut.
Dilaporkan bahwa pemberian lamivudine sebelum pemberian obat

32
imunosupresif atau kemoterapi yar kemudian dilanjutkan sampai dengan
minimal 6 minggu setelah pengobat? ternyata efektif mencegah
terjadinya rekativasi ini (64, 65).
Pasien yang menerima lamivudine dapat mengalami resistensi at<
mutasi YMDD, pada keadaan ini ternyata dilaporkan penggantian
lamivudine dengan obat tunggal adefovir memberikan manfaat klinis
yang baik. Didalam hal pemberian obat penggantian tidak
memungkinkan, maka penghentian lamivudine dengan monitoring yang
ketat dapat dilaksanakan (66, 67).
Untuk ibu hamil dengan HBsAg positif belum ada data yang kuat
bahwa pemberian lamivudine dapat mengurangi terjadinya angka
penularan vertikal, namun apabila ibu tersebut sedang dalam
pengobatan dengan lamivudine maka dapat dilanjutkan (68, 69).
Pasien HIV dengan hepatitis B aktif replikasi dan peningkatan A
seharusnya diobati. Pengobatan dilaksanakan secara individual. Adefovir
10 mg merupakan obat pilihan. Lamivudine dan tenofovir monoterapi
bukan pilihan utama oleh karena kemungkinan terjadinya resistensi HIV,
namun bila kedua obat sedang digunakan untuk pengobatan HIV dapat
dilanjutkan (70,71).

33
Algoritma Penatalaksanaan
Infeksi Hepatitis B

HBsAg (+)

Periksa HBeAg dan ALT


HBeAg (+) HBeAg (-)

ALT < ALT < BANN ALT > BANN ALT <
BANN BANN

Monitor/3 <2 >2 Monitor/6


bln X X bln

HBV DNA

Monitor/ 1-2 Dekompensasi hati


bln
Ya Tidak Ada Pos Neg

AN AN atau IFN Anti Virus -

Respons Tidak Respons

Monitoring Strategi lain ???

Kombinasi IFN dan NA


Kombinasi NA
Terapi alternatif
Catatan : NA : Nukleosid Analog (Lamivudine, Adefovir, Entecavir)

IFN : Interferon dan Pegylated interferon -2a


Pos : positif
Neg : negatif
BANN : batas atas nilai normal

34
Rekomendasi Tatalaksana
Infeksi Hepatitis B

REKOMENDASI 1
Rekomendasi untuk vaksinasi penderita dengan infeksi HBV kronik
terhadap hepatitis A:
Semua penderita hepatitis B kronik yang tidak imun terhadap
hepatitis A sebaiknya mendapat 2 dosis vaksinasi hepatitis A dengan
jarak 6-18 bulan.

REKOMENDASI 2
Rekomendasi mengenai pemeriksaan HBVDNA
2.1 Pemeriksaan HBV-DNA tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
awal.
2.2 Pemeriksaan HBV-DNA sebagai tanda keberhasilan terapi
menggunakan metode yang dapat mendeteksi kadar virus sampai
4
dengan < 10 kopi/mL.

REKOMENDASI 3
Rekomendasi mengenai biopsi hati
Biopsi hati tidak harus dilakukan untuk penilaian awal maupun hasil
pengobatan antivirus pada hepatitis B kronik.

REKOMENDASI 4
Rekomendasi untuk memonitor pasien dengan infeksi HBV kronik:
4.1 Pasien HBeAg positif dengan peningkatan kadar ALT dapat diobservasi
selama 3-6 bulan untuk terjadinya serokonversi HBeAg ke anti-HBe
secara spontan sebelum diberikan ter antivirus.
4.2 Pasien dengan infeksi HBsAg inaktif harus dimonitor biokimia hatinya

secara periodik sebab penyakit hati dapat menjadi aktif bahkan setelah
sekian tahun tenang.

35
5
4.3 Pasien yang memenuhi kriteria hepatitis B kronik (serum HI DNA >10
kopi/mL) dan terjadi peningkatan ka aminotransferase yang menetap
atau berfluktuasi harus diperiksa lebih lanjut dengan biopsi hati.

REKOMENDASI 5
Rekomendasi untuk pencegahan umum
5.1 Melaksanakan kewaspadaan universal di fasilitas kesehatan.
5.2 Perilaku seksual yang aman.

5.3 Penyuluhan cara pemakaian jarum suntik yang aman terhadap


penyalah guna obat.
5.4 Skrining ibu hamil & skrining populasi risiko tinggi.

REKOMENDASI 6
Rekomendasi untuk pencegahan khusus
6.1 Pemberian HBIg bukan merupakan upaya profilaksis pra paparan.
6.2 Pemberian HBIg untuk profilaksis pasca paparan terindikasi bila:
6.2.1 Terpapar sumber penularan HBsAg (+) atau diduga keras /
berisiko tinggi terinfeksi HBV.
6.2.2 Orang yang terpapar belum pernah imunisasi HBV atau belum
memiliki anti HBs.
6.3 HBIg dianjurkan untuk diberikan kepada neonatus terlahir dari ibu HBV
(+), tenaga kesehatan terpapar darah pengidap HBV, kontak seksual
dengan pengidap HBV.
6.4 HBIg diberikan < 48 jam pada needle stick injury, <14 hari pada kontak

seksual.

REKOMENDASI 7
Rekomendasi pemberian vaksinasi
7.1 Imunisasi HBV diberikan segera setelah bayi lahir (dalam waktu < 12
jam).
7.2 Imunisasi HBV catch up diberikan kepada anak yang belum pernah

imunisasi HBV sebelum anak memasuki masa pubertas.

36
7.3 Imunisasi HBV catch up juga diberikan kepada orang dewasa berisiko
tinggi tertular HBV (bila perlu periksa HBsAg dan anti-HBs terlebih
dahulu).
7.4 Pemeriksaan anti HBs pasca imunisasi HBV hanya terindikasi pada bayi

terlahir dari ibu pengidap, profilaksis pasca paparan, pasien


immunocompromised.

REKOMENDASI 8
Rekomendasi konseling untuk pencegahan penularan Hepatitis B dari
individu dengan infeksi kronik HBV:
8.1 Pasien dengan infeksi hepatitis B harus diberi penjelasan mengenai
pencegahan penularan HBV.

REKOMENDASI 8
Rekomendasi konseling untuk pencegahan penularan Hepatitis B dari
individu dengan infeksi kronik HBV:
8.1 Pasien dengan infeksi hepatitis B harus diberi penjelasan mengenai
pencegahan penularan HBV.
8.2 Orang-orang yang kontak secara seksual dan tinggal serumah dengan
pengidap, harus diperiksa petanda HBV (HBsAg da anti-HBs) dan jika
negatif, akan diberi vaksinasi hepatitis B.
8.3 Booster imunisasi untuk hepatitis B tidak dianjurkan
8.4 Orang yang berisiko terinfeksi HBV seperti tenaga kesehatan dan pasien
yang menjalani diálisis harus diperiksa anti HBí
8.5 Bayi dari ibu pengidap harus diperiksa setelah 3 bulan vaksinasi lengkap
(sudah 3 kali).
8.6 Tenaga kesehatan diperiksa anti HBs 1 bulan setelah vaksinasi
lengkap.

8.7 Pasien hemodialisis dan pasien immunocompromised harus diperiksa


anti HBs setiap tahunnya.
8.8 Pemakaian alkohol harus dihentikan.

37
8.9 Pasien terinfeksi hepatitis B dengan ALT normal, anti HB (+) dan HBV-

DNA (-), boleh bekerja penuh seperti biasa.

REKOMENDASI 9
Rekomendasi untuk terapi
9.1 Pasien dengan ALT normal tidak perlu diterapi antivirus tapi perlu
dipantau kadar ALT setiap 3 bulan.
9.2 Pasien Hepatitis B kronik dengan HBeAg (+) dan kadar ALT > 2x
BANN pengobatan antivirus boleh segera dimulai.
9.3 Pasien Hepatitis B kronik dengan kadar ALT meningkat > 2 x
BANN sedangkan HBeAg (-) disertai anti HBe (+) dan HBM DNA
(+) > 100.000 kopi/ml diberi terapi antivirus.
9.4 Pasien dapat diobati dengan interferon konvensional atau
pegylated interferon a-2a, lamivudine, adefovir dipivoxil dan
entecavir. Lamivudine dianjurkan bila terdapat tanda atau
kemungkinan dekompensasi hati. Thymosin a-1 juga merupakan
obat pilihan berikutnya.
9.5 Selama terapi interferon kadar ALT harus diperiksa setiap bulan.
HBV-DNA (bila perlu), HBeAg dan anti HBe diperiksa setelah terapi
selesai. Selama terapi interferon, pengawasan terhadap efek
samping sangat penting termasuk hitung trombosit dan leukosit.
9.6 Selama terapi dengan nukleosida analog kadar ALT diperiksa
setiap bulan. HBV-DNA (bila perlu) diperiksa setelah 3 bulan dan
HBeAg dan anti HBe setelah 6 bulan.
9.7 Pada akhir terapi antivirus, ALT, HBV-DNA (bila perlu), HBeAg dan
anti HBe diperiksa dan kemudian ALT setiap bulan. Bagi pasien
yang tidak memberikan respons (non responders) atau relaps/
kambuh, diperlukan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui
adanya respons lambat atau untuk memberi pengobatan lain.

38
9.8 Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan untuk
penderita HBeAg positif dan satu tahun untuk yang non responder
atau HBeAg negatif.
9.9 Pegylated interferon a-2a diberikan 6 bulan pada penderita HBeAg
positif dan 12 bulan pada pasien HBeAg negatif.
9.10. Pengobatan analog nukleosida (lamivudine, adefovir, entecavir)
diberikan minimal satu tahun. Pada pasien HBeAg positif
pengobatan dihentikan bila telah terjadi serokonversi disertai kadar
HBV-DNA yang tidak terdeteksi berdasarkan 2 kali pemeriksaan
dalam jangka 6 bulan. Pada pasien HBeAg negatif pengobatan
dapat dihentikan bila kadar ALT telah normal dan kadar HBV-DNA
tidak terdeteksi (PCR) dalam 3 kali pemeriksaan dalam” waktu
minimal 6 bulan.

REFERENSI
1. Liaw YF, Leung N, Guan R, Lau GK, Merican I, McCaughan G, et at.
Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic
hepatitis B: a 2005 update. Liver Int 2005;25(3):472-89.
2. Yim HY, Lok Anna SF (2006). Natural history of chronic hepatitis B
virus infection: what we knew in 1981 and what we know in 2005.
Hepatology 43 S173 - S181.
3. Hsu YS, Chien RN, Yeh CT. Long-term outcome after spontaneous
HBeAg seroconversion in patients with chronic hepatitis B. Hepatology.
4. Chen CJ, Yang HI, Su J, Jen CL, You SL, Lu SN, et al. Risk of
hepatocellulai carcinoma across a biological gradient of serum
hepatitis B virus DNA level. JAMA 2006,295(1):65-73.
5. Kao JH. Hepatitis B viral genotypes: clinical relevance and molecular
characteristics J Gastroenterol hepatol; 17:643-650.
6. Prevention of Hepatitis A Through Active or Passive Immunization:
Recommendation: of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP). MMWR Morb Morta Wkly Rep 1999;48 (RR 12):1-38.
7. Gerlich WH, Thomnssen R. Quantitative assays for hepatitis B virus
DNA standardization and quality control. Viral Hep Rev 1995;1:53-57
8. Hawkins A, Davidson F, Simmonds P. Comparison of plasma virus
loads amon individuals infected with hepatitis C virus (HCV)
genotypes 1, 2, and 3 by quantiplex HCV RN A assay versions 1 and
2, Roche Monitor assay, and an in-house limitin dilution method. J
Clin Microbiol 1997;35(1):187-92.

39
9. Wong VC, Ip HM, Reesink HW, Lelie PN, Reerink-Brongers EE, Yeung
CY, et s Prevention of the HBsAg carrier state in newborn infants of
mothers who are chron carriers of HBsAg and HBeAg by administration
of hepatitis-B vaccine and hepatiti. B immunoglobulin. Double-blind
randomised placebo-controlled study. Lane 1984;1(8383):921-6.
10. Pawlotsky JM, Bastie A, Hezode C, Lonjon I, Darthuy F, Remire J, et
al. Routir detection and quantification of hepatitis B virus DNA in
clinical laboratorie performance of three commercial assays. J Virol
Methods 2000;85(1-2):11-2
11. Desmet VJ, Gerber M, Hoofnagle JH, Manns M, Scheuer PJ.
Classification chronic hepatitis: diagnosis, grading and staging.
Hepatology 1994,19(6): 1513-*
12. Knodell RG, Ishak KG, Black WC, Chen TS, Craig R, Kaplowitz N, et
al. Formulati and application of a numerical scoring system for
assessing histological activity asymptomatic chronic active hepatitis.
Hepatology 1981;1(5):431-5.
13. Ishak K, Baptista A, Bianchi L, Callea F, De Groote J, Gudat F, et al.
Histologii grading and staging of chronic hepatitis. J Hepatol
1995,22(6):696-9.
14. Intraobserver and interobserver variations in liver biopsy
interpretation in patie, with chronic hepatitis C. The French METAVIR
Cooperative Study Group. Hepatok 1994:20(1 Ft 1): 15-20.
15. Weissberg Jl, Andres LL, Smith CI, Weick S, Nichols JE, Garcia G,
et.al. Sun/i in chronic hepatitis B. An analysis of 379 patients. Ann
Intern Med 19 101 (5):613-6.
16. Liaw YF, Chu CM, Su I J, Huang MJ, Lin DY, Chang-Chien CS. Clinical
and histological events preceding hepatitis B e antigen seroconversion
in chronic t B hepatitis. Gastroenterology 1983;84(2):216-9.
17. Lok AS, Lai CL, Wu PC, Leung EK, Lam TS. Spontaneous hepatitis B e
anti to antibody seroconversion and reversion in Chinese patients with
chronic hepe B virus infection. Gastroenterology 1987;92(6):1839-43.
18. Lok AS, Lai CL. Acute exacerbations in Chinese patients with chronic
hepatitis B virus (HBV) infection. Incidence, predisposing factors and
etiology. J Hepatol 1990;10(1):29-34.
19. McMahon BJ, Parkinson AJ. Clinical Significance and management
when antibody to hepatitis B core antigen is the sole marker for HBV
infection. Viral Hep. Rev 2000;6:229-236.
20. CDC. Recommendations for protection against viral hepatitis.
Recommendations of Immunization Practices Advisory Committee
(ACIP). Morb Mortal Wkly Rep 1988;37:341-346.
21. Liaw YF, Tai Dl, Chu CM, Pao CC, Chen TJ. Acute exacerbation in
chronic type B hepatitis: comparison between HBeAg and antibody-
positive patients. Hepatology 1987;7(1):20-3.
22. Villa E, Rubbiani L, Barchi T, Ferretti I, Grisendi A, De Palma M, et at.
Susceptibility of chronic symptomless HBsAg carriers to ethanol-
induced hepatic damage. Lancet 1982;2(8310):1243-4.

40
23. Kim Yl, Heathcote J, Wanless IR. The hepatitis B carrier state-a
follow-up study of 100 consecutive cases. Clin Invest Med
1987;10(5):383-7.
24. Chevillotte G, Durbec JP, Gerolami A, Berthezene P, Bidart JM,
Camatte R. Interaction between hepatitis b virus and alcohol
consumption in liver cirrhosis. An epidemiologic study.
Gastroenterology 1983;85(1):141-5.
25. Imanishi T, Morikawa S, Ohmagari K, Kurihara S, Nishihata S, Kamiya
T, et at. [The effect of habitual alcohol drinking of the development of
type B chronic hepatitis, liver cirrhosis and hepatocellular carcinoma],
Nippon Shokakibyo Gakkai Zasshi 1988;85(3):692-8.
26. Chung HT, Lai CL, Wu PC, Lok AS. Synergism of chronic alcoholism
and hepatitis B infection in liver disease. J Gastroenterol Hepatol
1989;4(1):11-6.
27. Lok AS, Lai CL, Wu PC. Prevalence of isolated antibody to hepatitis
B core antigen in an area endemic for hepatitis B virus infection:
implications in hepatitis B vaccination programs. Hepatology
1988;8(4):766-70.
28. Bond WW, Favero MS, Petersen NJ, Gravelle CR,EbertJW,
MaynardJE. Survival of hepatitis B virus after drying and storage for
one week. Lancet 1981; 1 (8219):550-1.
29. Burk RD, Hwang LY, Ho GY, Shafritz DA, Beasley RP. Outcome of
perinatal hepatitis B virus exposure is dependent on maternal virus
load. J Infect Dis 1994;170(6):1418-23.
30. Harpaz R, Von Seidlein L, Averhoff FM, Tormey MP, Sinha SD,
Kotsopoulou K,
31. Gerberding JL. The infected health care provider. N Engl J Med
1996; 334(9):594-5.
32. Kongres Nasional PGl/PEGI dan PPHI. In. Bandung; 1993.
33. Recommendations for Preventing Transmission of Human
Immunodeficiency Virus and Hepatitis B Virus to Patients During
Exposure-Prone Invasive Procedures. MMWR Morb Mortal Wkly Rep
1991;40(RR08):1-9.
34. Guan R. Interferon monotherapy in chronic hepatitis B. J
Gastroenterol Hepatol 2000; 15 Suppl:E34-40.et al. Transmission of
hepatitis B virus to multiple patients from a surgeon without evidence
of inadequate infection control. N Engl J Med 1996;334(9):549-54.
35. Lai MY, CooksleyWGE, Piravisuth T. Efficacy and safety of
peginterferon alfa-2A (40KD) (Pegasys(r)) in HBeAg-positive chronic
hepatitis B (CHB): 46-weeks results form a phase 4 study. J
Gastorenterol. Hepatology 2002.
36. Yokosuka O. Role of steroid priming in the treatment of chronic
hepatitis B. Gastroenterol Hepatol 2000;15 Suppl:E41-5.
37. Niederau C, Heintges T, Lange S, Goldmann G, Niederau CM, MohrL,
etal. Loni term follow-up of HBeAg-positive patients treated with

41
interferon alfa for chron, hepatitis B. N Engl J Med
1996;334(22):1422-7.
38. Lin SM, Sheen IS, Chien RN, Chu CM, Liaw YF. Long-term beneficial
effect i interferon therapy in patients with chronic hepatitis B virus
infection. Hepatoloc 1999;29(3):971-5.
39. Cooksley WG, Piratvisuth T, Lee SD, Mahachai V, Chao YC,
Tanwandee T, et i Peginterferon alpha-2a (40 kDa): an advance in
the treatment of hepatitis B antigen-positive chronic hepatitis B. J
Viral Hepat 2003; 10(4):298-30
40. Lau GK, Piratvisuth T, Luo KX, Marcellin P, Thongsawat S, Cooksley
G, et < Peginterferon Alfa-2a, lamivudine, and the combination for
HBeAg-positive chror, hepatitis B. N Engl J Med 2005;352 (26):2682-
95.
41. Lau GK. Peginterferon Alfa-2a (40KD) (PEGASYS) vs. Peginterferon
alfa-2a PI Lamivudine vs. Lamivudine in HBeAg-positive Chronic
HBV: Effect of Previo* Treatment and Drug Exposure on Sustained
Response; 200
42. Marcellin P, Lau GK, Bonino F, Farci P, Hadziyannis S, Jin R, et al.
Peginterfer. alfa-2a alone, lamivudine alone, and the two in
combination in patients with HBefi negative chronic hepatitis B. N
Engl J Med 2004;351(12):1206-1
43. Marcellin P, Lau, G.K.K., Bonino, F., Farci, P., .Hadziyannis, S,
Piratvisu T.,Germanidis, G., Yurdaydin, C., Lai, M.-xL, Pluck, N. .
Sustained response peginterferon a-2a (40 kDa) (PEGASYS(r)) in
HBeAg-negative chronic hepatitis 1-year follow-up data from a large,
randomised multinational study. Journal Hepatology 2005;42(suppl.
2):185-186.
44. Hadziyannis S, Lau, G.K.K.,Marcellin, R, Piratvisuth,T., Cooksley, G.,
Bonino, Chutaputti, A., Diago, M., Jin, R., Phck, N.. Sustained
HBSAG seroconversior patients with chronic hepatitis B treated with
peginterferon a-2a (40 ki (PEGASYS(r)). 2005;Volume 42,
Supplement 2:178.
45. Lau GK. Use of immunomodulatory therapy (other than interferon) for
the treatm of chronic hepatitis B virus infection. J Gastroenterol
Hepatol 2000, Suppl:E46-52.
46. Leung N. Nucleoside analogues in the treatment of chronic hepatitis
B. J Gastroenti Hepatol 2000; 15 Suppi.E53-60.
47. Chien RN, Liaw YF, Atkins M. Pretherapy alanine transaminase level
as a determiri for hepatitis B e antigen seroconversion during
lamivudine therapy in patients i chronic hepatitis B. Asian Hepatitis
Lamivudine Trial Group. Hepatok 1999;30(3):770-4.
48. Honkoop P, de Man RA, Niesters HG, Zondervan PE, Schalm SW.
Acute exacerba of chronic hepatitis B virus infection after withdrawal
of lamivudine there Hepatology 2000;32(3):635-9.

42
49. Guan R, Lai CL, Liaw YF, Lim SG, Lee CM. Efficacy and safety of 5
years lamivuc treatment of Chinese patients with chronic hepatitis B.
J. Gastroenterol. Hep 2001,16 (Suppl.):A60.
50. Song BC, Suh DJ, Lee HC, Chung YH, Lee YS. Hepatitis B e antigen
seroconver, after lamivudine therapy is not durable in patients with
chronic hepatitis B in Ko Hepatology 2000;32 (4 Pt 1):803-6.
51. Liaw YF, Chien RN, Yeh CT, Tsai SL, Chu CM. Acute exacerbation
and hepatitis B virus clearance after emergence of YMDD motif
mutation during lamivudine therapy. Hepatology 1999;30(2):567-72.
52. Schalm SW, Heathcote J, Cianciara J, Farrell G, Sherman M,
Willems B, et al. Lamivudine and alpha interferon combination
treatment of patients with chronic hepatitis B infection: a randomised
trial. Gut 2000; 46(4):562-8.
53. Barbaro G, Zechini F, Pellicelli AM, Francavilla R, Scotto G, Bacca D,
et al. Long- term efficacy of interferon alpha-2b and lamivudine in
combination compared to lamivudine monotherapy in patients with
chronic hepatitis B. An Italian multicenter, randomized trial. J Hepatol
2001;35(3):406-11.
54. Peters MG, Hann Hw H, Martin P, Heathcote EJ, Buggisch P, Rubin
R, et al. Adefovir dipivoxil alone or in combination with lamivudine in
patients with lamivudine- resistant chronic hepatitis B.
Gastroenterology 2004;126(1):91-101.
55. Tassopoulos N, Hadziyannis S, Cianciara J. Entecaviris effective in
treating patients with chronic hepatitis B who have failed lamivudine
therapy. Hepatology 2001;34:340A.
56. Brosgart C, Gibbs CS. Adefovir dipivoxil in the treatment of chronic
Hepatitis B virus infection. In: Buti M, Esteban R, Guardia J, editors.
Viral Hepatitis: Accion Medica, S.A.; 2000. p.; 63-73.
57. Ahmad J, Dodson SF, Balan V, Vargas HE, Fung J J, Rakela J.
Adefovir dipivoxil suppresses lamivudine resistant hepatitis B virus in
liver transplant recipients. Hepatology 2000;32:292A.
58. Gilson RJC, Murray-Lyon IM, Nelson MR, Rice SJ. Extended
treatment with adefovir dipivoxil in patients with chronic Hepatitis B
infection. Hepatology 1998,28 (4pt.2):491A.
59. Heathcote EJ, Jeffers L. Loss of serum HBV-DNA and HBeAg and
seroconversion following short term (12 weeks) adefovir dipivoxil
therapy in chronic hepatitis B: two placebo-controlled phase II
studies. Hepatology 1998;28(17):A56.
60. Marcellin P, Chang TT, Lim SG, Tong MJ, Sievert W, Shiftman M.
GS-98-437 A double blind, randomized, placebo-controlled study of
adefovir dipivoxil (ADV) for the treatment of patients with HBeAg+
chronic hepatitis B infection: 48 weeks results. Hepatology
2001;34:340A.
61. Chang TT, Gish RG, de Man R, Gadano A, Sollano J, Chao YC, etal.
A comparison of entecavir and lamivudine for HBeAg-positive chronic
hepatitis B. N Engl J Med 2006;354(10):1001-10.

43
62. Sherman, Yurdaydin, Sollano, Silva, Liaw, Cianciara, et al. Entecavir
for Treatment of Lamivudine-Refractory, HBeAg-Positive Chronic
Hepatitis B. Gastroenterology 2006;130(7):2039-2049.
63. Akbar N, Gani RA, Widayat D, Sumaryono, Noersoemarno HMS, Tao
GL. The effectiveness of synthetic analouge of schinzandrin C in
treatment of chronic hepatitis. Chinese Medical Journal
1998; 111:248-251.
64. Yeo W, Chan PK, Zhong S, Ho WM, Steinberg JL, Tam JS, et al.
Frequency of hepatitis B virus reactivation in cancer patients undergoing
cytotoxic chemotherapy: a prospective study of 626 patients with
identification of risk factors. J Med Virol 2000; 62(3).299-307.
65. Lau GK, He ML, Fong DY, Barthoiomeusz A, Au WY, Lie AK, et al.
Preemptive use of lamivudine reduces hepatitis B exacerbation after
allogeneic hematopoietic cell transplantation. Hepatology
2002;36(3):702-9.
66. Perillo R WB, Leung NM, et. al. Safety and efficacy of adding
adefovir dipivoxil to lamivudine therapy in compensated chronic
hepatitis B patients with YMDD variant and reduced response to
lamivudine. J Hepatol 2004;40 (suppl 1):A.
67. Lim YS LH, Chung YW, Lee YS, Suh DJ. Adefovir dipoivoxil alone or
in combination with lamivudine in paieints with lamivudine-resistant
decompensated liver disease. J Gastroenterol Hepatol 2004;19
(Suppl):A868.
68. Su GG PK, Zhao NF, et.al. Efficacy and safety of lamivudine
treatment for chronic hepatitis B in Pregnancy. Wort J Gastroenterol
2004;10:910-912.
69. Xu WM CY, Wang et.al. Efficacy and safety of lamivudine in late
pregnancy for the prevention for mother - child transmission,
randomised double blind, placebo con troled study. Hepatology
2004;40 (suppl1):A246.
70. Benhamou Y, Bochet M, Thibault V, Calvez V, Fievet MH, Vig P, et al.
Safety and efficacy of adefovir dipivoxil in patients co-infected with
HIV-1 and lamivudine- resistant hepatitis B virus: an open-label pilot
study. Lancet 2001; 358(9283):718-23.
71. Benhamou YBM, Thibault V, et.al. Safety and efficacy of long term
adefovir dipivoxil for lamivudineresistant HBV in HIV infected
patients. J Hepatol 2002,2002 (36 (suppl 1)):138.

44
Tentang Metode Pembuatan Konsensus PPHI

Pernyataan konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)


dipersiapkan oleh panel pakar kedokteran berlandaskan : (1) Presentasi
oleh pakar yang berkiprah di bidang yang relevan dengan pertanyaan
konsensus. (2) Pertanyaan dan pernyataan dari peserta konferensi selama
diskusi terbuka. Pernyataan ini merupakan laporan independen dari panel
dan bukan merupakan pernyataan kebijakan Depkes ataupun Dinkes.
Pernyataan ini mencerminkan telaah panel tentang pengetahuan medis
yang tersedia pada saat pernyataan dituliskan. Jadi, ia memberikan
suatu “foto” pada suatu saat tentang kondisi pengetahuan tentang topik
ketika membaca pernyataan ini. Mohon diingat bahwa pengetahuan yang
baru terus bermunculan lewat riset medis.
Konsensus ini dibuat di Shangri-La Jakarta, tanggal 26 Agustus 2006
bekerjasama dengan PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia.

45

Anda mungkin juga menyukai