Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya negara Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya


alam, hal ini disebabkan oleh sisi astronomi dan geologi Indonesia yang
mendukung terciptanya sumber daya alam beraneka ragam. Bahan tambang di
Indonesia meliputi mineral (emas, perak, tembaga, dan lain-lain) minyak dan gas
bumi, batu bara, dan lain-lain. Bahan tambang tersebut memiliki peranan penting
dalam pembangunan nasional di Indonesia.

Khususnya minyak dan gas bumi, hal ini dibuktikan melalui peran serta
Indonesia sebagai negara anggota OPEC (Organization of the Petroleum
Exporting Countries) sejak Desember 1962 sampai dengan Mei 2008. Pada Mei
2008 , Indonesia mengumumkan bahwa mereka telah mengajukan surat untuk
keluar dari OPEC dan pada akhir 2008 mengingat indonesia kini telah menjadi
importir minyak sejak 2003 karena kemampuan yang terbatas dan tidak bisa lagi
mengekspor minyak mentah. Tetapi setelah dilakukan rapat, Indonesia hanya di
suspen dari keanggotaan OPEC. Indonesia kembali menjadi anggota OPEC secara
resmi pada tahun 2014. Sektor minyak dan gas bumi di Indonesia masih
berpotensi untuk bisa dieksplorasi dan dikembangkan secara lebih baik.

Potensi minyak dan gas bumi yang cukup melimpah menjadi dasar bagi
pemerintah untuk terus meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri. Melalui
Pertamina dan SKK Migas, pemerintah berusaha membuka lapangan minyak dan
gas baru serta mempertahankan dan meningkatkan kapasitas produksi dari
lapangan yang sudah ada. Dengan usaha tersebut, diharapkan kebutuhan minyak
dan gas bumi dalam negeri dapat dipenuhi dan Indonesia dapat kembali menjadi
negara eksportir minyak dan gas bumi.

1
Minyak dan gas bumi dieksplorasi dari dalam lapisan permukaan bumi
yakni lapisan limestone dan sandstone dengan kedalaman bervariasi dari 200
meter sampai dengan 5300 meter (di wilayah Indonesia). Pada saat eksplorasi,
dilakukan proses pengeboran ke dalam lapisan permukaan bumi yang memiliki
cadangan minyak dan gas. Selanjutnya, lapisan yang telah dibor dibuat menjadi
sebuah sumur dengan memasukkan pipa selubung sebagai saluran produksi dan
semen sebagai penopang pipa selubung dan tanah.

Sebagai penopang pipa selubung dan tanah, semen memiliki peran penting
untuk memastikan proses produksi dapat berjalan dengan lancar. Semen
dipompakan ke dalam sumur saat masih dalam fase cairan (bubur) kemudian
mengalami proses hidrasi sehingga fasenya berubah menjadi padat. Formulasi
bubur semen yang dipompakan memiliki spesifikasi yang disesuaikan dengan
kondisi sumur dan operasional pemompaan. Pada kondisi sumur dengan
temperature tinggi (diatas 230 °F) diperlukan bubur semen dengan tambahan
bahan aditif sebagai zat anti retrogresif. Salah satu bahan yang dapat digunakan
adalah silica flour.

Silica flour adalah pasir silika murni yang dihaluskan hingga berbentuk
tepung dengan ukuran partikel maksimal 200-500 mesh. Dalam bubur semen,
silica flour berfungsi sebagai bahan pengganti silika dalam semen yang berubah
akibat temperatur tinggi dan mencegah terjadinya penurunan nilai kuat tekan
(compressive strength). Hal ini menjadi penting untuk menjaga kestabilan semen
saat sudah mulai mencapai fase padat. Apabila tidak ditambahkan pengganti silika
dalam campuran bubur semen maka pada saat proses hidrasi terjadi perubahan
struktur kimia yang dapat menyebabkan keretakan pada semen ketika telah
mengeras.

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh silica
flour dalam mencegah penurunan nilai kuat tekan (compressive strength) dari
semen. Dengan konsentrasi yang sesuai, pada kondisi sumur esktrim (temperatur
dan tekanan tinggi) bubur semen yang digunakan pun dapat digunakan dan tetap
bertahan.

2
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah


1. Dapatkah silica flour menjadi zat anti retrogresif.
2. Keberadaan silica flour dan keefektifannya.
1.2.2. Perumusan masalah
1. Adakah perubahan nilai kuat tekan (compressive strength) dari bubur
semen dengan zat aditif silica flour berdasarkan variable temperatur tinggi.

1.3. Tujuan penelitian

1. Mendapatkan metode dan formulasi yang tepat dalam pembuatan bubur


semen dengan tambahan bahan aditif silica flour.
2. Mengetahui pengaruh temperature tinggi terhadap nilai kuat tekan
(compressive strength) pada bubur semen dengan zat aditif silica flour.
3. Mendapatkan temperatur maksimal yang dapat digunakan pada bubur semen
dengan zat aditif silica flour di sumur minyak temperatur tinggi.

1.4. Luaran Penelitian

1. Produk dari penambahan aditif silica flour adalah bubur semen. Bubur semen
adalah campuran semen, air, dan bahan aditif lain yang memiliki sifat seperti
cairan kental dan dapat berubah fase menjadi padat setelah mengalami
hidrasi. Dari penelitian ini akan diperoleh kondisi optimum pada temperature
tinggi yang dapat memaksimalkan bubur semen dengan zat aditif silica flour.
2. Makalah penelitian yang berjudul “Pengaruh Temperatur Tinggi pada
Campuran Bubur Semen dengan Zat Aditif Silica Flour sebagai Zat Anti
Retrogresif”.

1.5. Manfaat penelitian

3
1. Mendapatkan bubur semen yang dapat bertahan pada sumur dengan
temperatur tinggi dan dapat diaplikasikan di lapangan.
2. Menggunakan silica flour sebagai bahan aditif yang cukup mudah ditemukan
di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Baku


2.1.1. Semen
Semen berasal dari bahasa latin Caementum yang berarti perekat. Pada
mulanya, istilah semen digunakan untuk setiap bahan pengikat yang mampu

4
mempersatukan atau mengikat bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan yang
kokoh atau suatu produk dimana fungsinya sebagai bahan perekat antara dua atau
lebih sehingga menjadi satu bahan yang saling mengikat. Jenis semen cukup
banyak, berdasarkan pada komposisi oksida logam yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan semen.

Pada tahun 1824, Joseph Aspidin seseorang berkebangsaan Inggris


menemukan komposisi semen yang pertama untuk membuat semen di pulau
Portland. Hal ini yang menjadi latar belakang pembuatan semen Portland yang
paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena sifatnya yang dapat
mengeras dan kekuatannya yang menyerupai batuan. Di Indonesia, pabrik semen
Portland pertama didirikan di Indarung dengan produk semen padang.

Bahan baku pembuatan semen dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu


bahan baku utama, bahan baku korektif, dan bahan baku tambahan. Bahan baku
utama terdiri atas CaCO3 (kalsium karbonat), oksida silika, dan alumina. Bahan
baku korektif terdiri atas pasir silika dan pasir besi. Serta untuk bahan baku
tambahan adalah CaSO4 (kalsium sulfat) atau lebih dikenal sebagai gipsum.

Bahan baku utama semen merupakan komponen terbesar yang menjadi


bahan dasar untuk membuat semen. CaCO3, oksida silika, dan alumina diperoleh
dari batuan alam melalui proses penambangan. CaCO3 yang memiliki komposisi
terbesar dalam pembentukan semen diperoleh dari batuan limestone atau kapur
dari gunung kapur yang kemudian diperkecil serta dihaluskan hingga ukuran
partikelnya cukup kecil. Di alam, persentase CaCO3 dalam batuan kapur memiliki
nilai yang beragam tergantung dari jenis batuan kapurnya. Adapun jenis-jenis
batuan kapur tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Jenis Batuan Kapur

Nama Batuan Alam Kadar CaCO3 (%)

High grade limestone 96-100

Limestone dan marly limestone 90-96

5
Calcareceous marl/limy 75-90

Marl 40-75

Argillaceous marl 10-40

Marly clay 4-10

Clay 0-4

Bahan baku korektif digunakan untuk memperbaiki sifat atau komposisi


alumina dan oksida besi di dalam semen dengan penambahan pasir silika dan
pasir besi. Sedangkan bahan baku tambahan digunakan untuk memperbaiki sifat
semen yang higroskopis dengan menambahkan gipsum. Bahan baku tersebut
(kecuali gipsum) kemudian melalui proses pengeringan, pengecilan ukuran, dan
pencampuran lalu dilewatkan pada sebuah kiln. Pada kiln inilah bahan baku
bereaksi membentuk senyawaan baru yang menjadi oksida logam pembentuk
semen. Komposisi kimia dalam semen antara lain sebagai berikut :

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Semen

Nama Oksida Komposisi Kimia

C3S 3CaO.SiO2 atau trikalsium silikat

C2S 2CaO.SiO2 atau dikalsium silikat

C3A 3CaO.Al2O3 atau trikalsium aluminat

C4AF 4CaO.Al2O3.Fe2O3 atau tetra kalsium


alumino ferrit

MgO Magnesioum oksida


CaO Kalsium oksida

Pada kiln proses pemanasan terjadi pada suhu 1450°C-1500°C. Pada suhu
tersebut, bahan baku mengalami perubahan fase dari padat menjadi semi padat.

6
Hal ini memudahkan proses transfer dan reaksi yang terjadi antar masing-masing
bahan baku (reaksi lebih homogen). Untuk mendapatkan proses yang lebih efektif,
bahan baku sebelum masuk ke dalam kiln mendapatkan perlakuan awal dengan
cara pemanasan hingga suhu 900°C. Hal ini mampu meningkatkan efektifitas
pemanasan dalam kiln dan yield produk dengan cukup signifikan.

Hasil dari pemanasan kiln adalah bongkahan-bongkahan oksida logam


semen yang dinamakan clinker. Selanjutnya clinker dilewatkan pada pendingin
dengan tujuan menurunkan suhunya hingga 100°C-200°C agar bentuk kristal dari
C3S, C2S, C3A, dan C4AF tetap dalam bentuk amorf (tidak dalam bentuk kristalin).
Setelah melewati proses pendinginan, clinker kemudian diperkecil ukuran
partikelnya lalu ditambahkan dengan bahan baku tambahan yakni gipsum. Hasil
dari clinker dengan tambahan gipsum adalah produk semen yang siap untuk
digunakan.

2.1.2. Oil Well Cement (Class G)


Salah satu jenis semen yang memiliki spesifikasi khusus dan masih
termasuk sebagai semen Portland adalah oil well cement. Semen jenis ini khusus
digunakan dalam bidang perminyakan untuk melakukan penyemenan sumur
minyak. Karena ruang lingkup penggunaannya yang terbatas, oil well cement
diproduksi dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Oil well cement memiliki beberapa kelas yang berbeda, disesuaikan
dengan komposisi oksida logam yang diatur di dalamnya. Berdasakan API
(American Petroleum Institute) oil well cement dibagi ke dalam 3 tingkatan besar
yakni ordinary grade (tingkat biasa), moderate grade (tingkat menengah), dan
high grade (tingkat tinggi). Adapun yang membedakan tiap tingkatan tersebut
adalah sifat ketahanan semen terhadap sulfat. Hal ini didasari pada adanya
keberadaan sulfat dalam tanah yang dapat menyebabkan pengikisan terhadap
semen dan menyebabkan semen menjadi rapuh.

Berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap sulfat, komposisi dari tiap


tingkatan semen disesuaikan untuk mendapatkan ketahanan yang sesuai. Adapun

7
untuk oil well cement dibagi menjadi 8 kelas yakni kelas A, B, C, D, E, F, G, dan
H. berikut adalah komposisi dari setiap kelas tersebut berdasarkan spesifikasi
API :
Tabel 2.3 Klasifikasi dan Spesifikasi Semen
Cement Class
A B C D, E, F G H
Ordinary Grade (O)
Magnesium oxide (MgO), maximum % 6,0 N/A 6,0 N/A N/A N/A
Sulfur trioxide (SO3), maximum % 3,5 N/A 4,5 N/A N/A N/A
Loss on ignition, maximum % 3,0 N/A 3,0 N/A N/A N/A
Insoluble residue, maximum % 0,75 N/A 0,75 N/A N/A N/A
Tricalcium aluminate (C3A), maximum % NR N/A 15 N/A N/A N/A
Moderate Sulfate-Resistant Grade (MSR)
Magnesium oxide (MgO), maximum % N/A 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
Sulfur trioxide (SO3), maximum % N/A 3,0 3,5 3,0 3,0 3,0
Loss on ignition, maximum % N/A 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0
Insoluble residue, maximum % N/A 0,75 0,75 0,75 0,75 075
Tricalcium silicate (C3S), maximum % N/A NR NR NR 58 58
minimum % N/A NR NR NR 48 48
Tricalcium aluminate (C3A), maximum % N/A 8 8 8 8 8
Sodium oxide (Na2O) equivalent, N/A NR NR NR 0,75 0,75
maximum %
High Sulfate Resistant Grade (HSR)
Magnesium oxide (MgO), maximum % N/A 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
Sulfur trioxide (SO3), maximum % N/A 3,0 3,5 3,0 3,0 3,0
Loss on ignition, maximum % N/A 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0
Insoluble residue, maximum % N/A 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75
Tricalcium silicate (C3S), maximum % N/A NR NR NR 65 65
Minimum % N/A NR NR NR 48 48
Tricalcium aluminate (C3A), maximum % N/A 3 3 3 3 3
Tetracalcium aluminoferrite (C4AF) plus N/A 24 24 24 24 24
twice the tricalcium aluminate (C3A),
maximum %
Sodium oxide (Na2O) equivalent, N/A NR NR NR 0,75 0,75
maximum %

Adapun oil well cement class G termasuk ke dalam jenis semen yang
memiliki tingkat menengah dalam hal ketahanan dan tingkat tinggi terhadap
sulfat. Pada proses pembuatannya, ditambahkan aditif CaSO4 (kalsium sulfat)
untuk meningkatkan ketahanannya terhadap sulfat. Semen jenis ini adalah jenis

8
semen yang paling banyak digunakan pada sumur perminyakan sehingga disebut
sebagai semen perminyakan umum.
Keistimewaan oil well cement class G adalah sifat fisika dari bubur semen
yang dibuat dapat diatur sesuai dengan kebutuhan lapangan. Hal ini sangat
membantu apabila kita melakukan pekerjaan penyemenan yang memerlukan
kriteria khusus seperti kekentalan pada saat pemompaan, cairan yang hilang
apabila bubur semen mengalami tekanan, waktu semen berubah fase dari cair
menjadi padat, dan kekuatan/ketahanan semen terhadap tekanan hidrostatik yang
diberikan sumur.

2.1.3. Silica Flour


Silica flour (tepung silika) adalah pasir silika murni yang dihaluskan
hingga berbentuk tepung berwarna putih kekuningan atau kecoklatan. Ukuran
penghalusan pada umumnya dari 200 mesh sampai dengan 500 mesh. Silica flour
adalah bahan aditif yang digunakan dalam campuran bubur semen sebagai zat anti
retrogresif semen. Adapun kandungan yang terdapat di dalam silica flour adalah
sebagai berikut :

Tabel 2.4 Kandungan Kimia dalam Silica Flour

Komposisi Nilai Kandungan (%)

Silica Flour SiO2 95,7

Al2O3 2

Fe2O3 0,2

SO3 1,8

Fungsi anti retrogresif dalam silica flour berasal dari kandungan SiO2 yang
dikandungnya. Dengan adanya SiO2, rasio perbandingan kalsium dan silika dalam
bubur semen meningkat. Dengan adanya peningkatan jumlah rasio tersebut,
perubahan struktur kimia C-S-H menjadi α-C2SH dalam bubur semen setelah
melewati proses hidrasi dan hardening pada suhu diatas 230°F akan berkurang.

9
2.2. Produk
2.2.1. Bubur Semen Anti Retrogresif
Bubur semen adalah campuran semen dengan air dan bahan tambahan lain
disesuaikan dengan fungsi dan peruntukannya. Untuk bubur semen dengan
menggunakan oil well cement class G, campuran yang ditambahkan adalah air dan
bahan aditif. Bahan aditif berfungsi untuk memodifikasi sifat fisika bubur semen
sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan. Adapun bahan-bahan aditif
yang dapat digunakan sebagai bahan campuran bubur semen adalah sebagai
berikut.

Tabel 2.5 Jenis dan Kandungan Aditif Semen

Jenis Aditif Kandungan Aditif Fungsi Aditif

Accelerator CaCl2, NaCl, KCl Untuk mempercepat waktu hidrasi


dari bubur semen.

Dispersant Lignosulfonate, NaCl Untuk menurunkan viskositas dari


>20% bubur semen.

Retarder Lignosulfonate, CMHEC Untuk memperlambat waktu


hidrasi dari bubur semen.

Fluid Loss Latex Untuk menjaga cairan dalam bubur


semen agar tidak terpisah apabila
terkena tekanan hidrostatik.

Gas Block Silica Fume Untuk mencegah terjadinya migrasi


gas ke dalam bubur semen.

Anti Foam Polypropylene Glycol Untuk menghilangkan busa yang


timbul akibat proses pengadukan
pada kecepatan tinggi.

Extender Sodium Silicate, Bentonite Untuk menaikkan viskositas dari


semen sekaligus menjaga
kestabilan bubur semen.

10
Sedangkan bubur semen anti retrogresif adalah bubur semen yang mampu
bertahan pada kondisi temperatur diatas 230°F dengan nilai compressive strength
yang stabil atau tidak mengalami penurunan. Oleh karena itu, untuk bisa
mewujudkan bubur semen ini, ditambahkan zat anti retrogresif berupa silica flour
yang merupakan hasil penggilingan pasir kuarsa.

Yang menjadikan silica flour sebagai zat anti retrogresif adalah kandungan
silika (SiO2) di dalamnya yang mampu menahan laju perubahan struktur kimia
dalam semen saat proses hidrasi. Dengan adanya zat ini, perubahan struktur kimia
dalam semen dapat dihambat dan menjadikan bubur semen tidak mengalami
perubahan sifat fisika (compressive strength).

2.3. Proses
2.3.1. Hidrasi

Pada bubur semen, proses kimiawi yang terjadi adalah reaksi hidrasi.
Reaksi ini melibatkan oksida logam dan bahan lain yang terkandung di dalam
semen dengan air. Meski terlihat sederhana, pada kenyataannya reaksi yang terjadi
sangat kompleks dan melibatkan banyak parameter dengan mekanisme serta
kecepatan yang berbeda.

Secara garis besar, proses perubahan fisika dan kimia pada semen terdiri
atas 5 tahap. Kelima tahap tersebut adalah tahap pre-induksi, tahap induksi
(dormant), tahap akselerasi, tahap deakselerasi, dan tahap steady state. Dari
kelima tahap tersebut, 3 tahap pertama (pre-induksi, induksi, dan akselerasi)
merupakan tahap yang paling kritis. Pada tahap pre-induksi, semen dicampurkan
dengan air bahan aditif lain sehingga pada tahap ini akan terlihat sejauh mana
semen dapat tercampur dan menjadi bubur semen. Pada tahap induksi, bubur
semen berada pada fase cair dan dapat dipompakan ke dalam sumur selama
jangka waktu tertentu. Sedangkan pada tahap akselerasi, bubur semen mulai

11
mengalami peningkatan viskositas (gel strength) dan mulai mengalami perubahan
fase menjadi padat.

Oksida Kecepatan Produk Efek dari


Logam Reaksi Produk

C-S-H
Gel
Amorf
Sebagai
C3S Cepat Produk Penopang
(Alite) Koloid Compressive
(Berbagai Strength
Variasi) Bubur
12
Semen
50-60%
Volume
Padatan
Ca(OH)2
(Kristalin)
C2S Lambat Tidak
(Belite) Ada
20-25% Efek
Volume
Padatan

C3A Sangat cepat


(Aluminate) AFm, AFt Reologi
(Kristalin)
Gipsum Lambat Viskositas

C4AF 15-20% Durabilitas


(Ferrite) Volume
Padatan

Dapat terlihat dari skema tersebut, reaksi yang terjadi dalam campuran bubur
semen merupakan reaksi yang kompleks dimana keterkaitan antara oksida logam
yang satu dengan yang lain menjadi sangat kritis. Selama proses hidrasi
berlangsung, terjadi pelepasan panas yang memperlihatkan bahwa reaksi berjalan
secara eksotermis. Oleh karenanya, pengaruh temperatur dalam reaksi hidrasi
sangat besar sehingga perlu adanya data temperatur yang akurat dalam setiap
pekerjaan yang menggunakan bubur semen.
2.4. Reaksi yang terjadi

Semen + Silica flour  C-S-H + Ca(OH)2 + AFm + Aft

13
2.5. Penelitian Terdahulu

Senyawa Silikat Dioksida (SiO2) merupakan salah satu bahan baku penting
dalam pembuatan semen, baik semen portland biasa maupun semen portland
untuk sumur minyak (oil well cement). Selain sebagai bahan baku semen, SiO 2
juga digunakan sebagai bahan aditif pada bubur semen dengan temperatur sumur
diatas 230 °F.
Pada penelitian terdahulu, sumber SiO2 yang digunakan berasal dari
keramik yang digiling dengan kandungan logam di dalamnya sebagai berikut:

Tabel 2.6 Komposisi Ceramic Waste

Komposisi Ceramic Waste


SiO2 62.01 %
Al2O3 21.77 %
Fe2O3 0.75 %
CaO 1.18 %
MgO 7.16 %
SO3 2.12 %
K2O 4.07 %

Dapat dilihat pada tabel, kadar SiO2 dalam komposisi keramik hanya
sebesar 62.01 %. Persentase ini cukup berpengaruh pada kemampuan tepung
keramik dalam mencegah terjadinya retrogresi pada semen.

Pada penelitian terdahulu pula tidak diberikan nilai pasti atau titik
terjadinya penurunan nilai compressive strength (breakdown) sehingga kinerja
dari tepung keramik tidak dapat dilihat secara pasti melainkan hanya melihat nilai
akhir dari pengujian tersebut.

2.6. Pemilihan Metodologi

Tabel 2.7 Perbandingan metoda penelitian terdahulu dan lanjutan

No. Penelitian Terdahulu Penelitian Lanjutan

14
Metode Metode

1 Bahan aditif anti retrogresif Bahan aditif anti retrogresif


yang digunakan adalah yang digunakan adalah silica
ceramic flour. flour.

2 Temperatur pengujian yang Konsentrasi silica flour


dilakukan adalah 536 °F. pengujian yang dilakukan
adalah 35%

3 Variasi konsentrasi ceramic Variasi suhu yang digunakan


waste yang digunakan adalah adalah 230 °F, 240 °F, 250 °F,
10%, 20%, dan 30%. 26 0°F, 270 °F, 280 °F, 290 °F,
300° F

4 Hasil akhir dari pengujian Hasil akhir dari pengujian


dilihat dari nilai akhir dilihat dari nilai penurunan
compressive strength. yang terjadi selama pengujian
kuat tekan (compressive
strength).

2.7. Hipotesa

Semakin tinggi nilai suhu pada bubur semen dengan zat aditif silica flour
35% bwoc maka akan semakin cepat nilai thickening time bubur semen tersebut,
hal ini di sebabkan karena semakin tinggi nilai suhu maka reaksi hidrasi pada
bubur semen akan berjalan lebih cepat sehingga bubur semen akan lebih cepat
berubah ke fase padat.

Untuk nilai compressive strength, kemungkinan pengaruh yang terjadi


pada bubur semen dengan zat aditif silica flour 35% bwoc adalah semakin tinggi
suhu maka nilai compressive strength akan semakin tinggi hingga titik tertentu

15
sampai terjadi breakdown (pecah) pada bubur semen sehingga nilai compressive
strength menurun.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di laboratorium PT. BBP Well Service dari
bulan Maret 2016 s.d. Mei 2016.

3.2. Bahan dan Alat


3.2.1. Bahan
1. Oil well cement class G.
2. Air PAM.

16
3. Aditif dispersant.
4. Aditif retarder.
5. Aditif fluid loss.
6. Aditif gas block.
7. Aditif anti foam.
8. Aditif silica flour.

3.2.2. Alat
1. Waring blender.
2. Syringe 50 mL.
3. Syringe 5 mL
4. Syringe 1 mL.
5. Wadah dry mixing.
6. Constant speed mixer Chandler.
7. Compressive strength cup.
8. Ultrasonic Cement Analyzer CTE.
9. Sendok semen.
10. UCA slurry volume gauge.

3.3. Metode Penelitian


Proses pembuatan semen anti retrogresif terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
1. Preparasi bahan baku
1.1 Siapkan 1 sax semen.
1.2 Disaring menggunakan saringan besi untuk memisahkan semen
yang telah menggumpal.
1.3 Ditimbang sesuai dengan formulasi yang ditentukan.
1.4 Siapkan bahan aditif cair (dispersant, retarder, fluid loss, gas block,
dan anti foam) sejumlah formulasi yang digunakan menggunakan
syringe.
1.5 Siapkan aditif silica flour dengan konsentrasi 35% bwoc.
1.6 Siapkan air PAM sejumlah formulasi yang digunakan.
2. Pencampuran bahan baku
2.1. Campurkan semen dan silica flour yang telah disiapkan pada
tempat pencampuran kering hingga keduanya tercampur merata.
2.2. Masukkan air ke dalam waring blender.
2.3. Nyalakan alat constant speed mixer, atur agar putarannya berada
pada 2000 rpm.

17
2.4. Campurkan bahan aditif cair dengan air pada waring blender,
ditunggu selama 1 menit.
2.5. Tekan tombol speed 1 pada panel (putaran naik menjadi 4000 rpm)
lalu masukkan campuran semen dan silica flour ke dalam waring
blender yang telah berisi air dan bahan aditif cair.
2.6. Pastikan proses memasukkan campuran semen dan silica flour
tidak lebih dari 15 detik (standar API).
2.7. Setelah campuran semen dan silica flour masuk seluruhnya, tekan
tombol speed 2 pada panel (putaran naik menjadi 12000 rpm).
2.8. Tekan tombol timer, ditunggu selama 35 detik. Kemudian alat akan
berhenti berputar secara otomatis.
2.9. Tekan tombol speed 0 pada panel. Pastikan bubur semen dalam
waring blender tidak berbuih pada permukaannya (jika berbuih
ditambah kembali aditif anti foam dan diaduk secara perlahan pada
1000 rpm).
2.10. Tuang bubur semen ke dalam wadah untuk uji compressive
strength. Pastikan volumenya cukup dengan menggunakan slurry
volume gauge.
2.11. Tutup wadah tersebut hingga rapat lalu tempatkan pada alat
Ultrasonic Cement Analyzer.
3. Reologi
3.1 Tuangkan bubur semen yang telah dimixing ke dalam slurry cup.
3.2 Letakkan slurry cup ke dalam dudukan alat chandler 3500 lalu
sesuaikan posisi tepat dipusat bob pada tanda tera.
3.3 Nyalakan alat reologi, atur kecepatan shear rate pada 300 rpm lalu
baca setelah 5 detik.
3.4 Lakukan hal yang sama untuk shear rate 200, 100, 6, dan 3 rpm.
3.5 Pembacaan reologi pada suhu ruang selesai.
3.6 Panaskan campuran bubur semen menggunakan alat atmospheric
consistometer untuk dikondisikan pada suhu 200°F selama 20
menit.
3.7 Tuangkan kembali bubur semen ke dalam slurry cup.
3.8 Letakkan slurry cup ke dalam dudukan alat chandler 3500 lalu
sesuaikan posisi tepat dipusat bob pada tanda tera.
3.9 Nyalakan alat reologi, atur kecepatan shear rate pada 300 rpm lalu
baca setelah 5 detik.
3.10Lakukan hal yang sama untuk shear rate 200, 100, 6, dan 3 rpm.
3.11Pembacaan reologi pada suhu 200°F selesai.

18
4. Thickening Time
4.1 Tuangkan bubur semen ke dalam slurry cup yang telah dirakit.
4.2 Tutup rapat slurry cup, masukkan ke dalam tempat pengujian
thickening time yang telah berisi mineral oil dan dudukkan pada
tempatnya.
4.3 Nyalakan motor penggerak sehingga slurry cup berputar dinamis.
4.4 Setting temperatur dan ramp time alat.
4.5 Tutup rapat tempat pengujian thickening time bersama
thermocouple.
4.6 Atur tekanan awal pada 600 psi.
4.7 Lakukan pengujian hingga bubur semen mencapai 100 Bc.
4.8 Bila sudah mencapai 100 Bc, buang tekanan secara perlahan.
4.9 Buka tutup dan thermocouple.
4.10 Angkat slurry cup dan bersihkan bubur semen yang telah
mengeras.

5. Hidrasi
5.1. Nyalakan alat Ultrasonic Cement Analyzer. Buka software pada
monitor.
5.2. Sambungkan kabel koneksi alat lalu pasang saluran air ke dalam
wadah bubur semen.
5.3. Atur temperature pengetesan pada salah satu suhu yang telah
ditentukan.
5.4. Atur tekanan awal pengetesan pada 600 psi.
5.5. Pilih start pada software, biarkan temperaturnya naik sampai suhu
yang telah di tentukan kemudian biarkan selama 48 jam.
5.6. Amati dan simpan data grafik yang tercatat.
5.7. Jika sudah 48 jam, release tekanan secara perlahan sambil
mendinginkan bubur semen pada wadah. Lepaskan saluran air dan
kabel konektor.
5.8. Jika sudah dingin, bubur semen yang telah terhidrasi dapat
dikeluarkan dari dalam wadah.

Catatan : Untuk satu kali analisa hanya bisa satu sample dan satu titik
suhu, untuk mengukur sample dengan titik suhu lain maka
dilakukan prosedur analisa dari awal. Titik suhu yang
digunakan adalah 230 °F, 240 °F, 250 °F, 260 °F, 280 °F,
290 °F, 300 °F.
3.4. Metode Analisa

19
Bubur semen diuji secara kuantitatif menggunakan alat Ultrasonic Cement
Analyzer. Dari hasil uji, akan diperoleh nilai compressive strength bubur semen
yang telah mengalami proses hidrasi pada suhu 230 °F,240 °F, 250 °F, 260 °F,
270 °F, 280 °F, 290 °F, 300 °F selama 48 jam. Nilai tersebut tercatat dalam
bentuk grafik dari alat sehingga dapat dilihat tren peningkatan maupun tren
penurunannya.
Sebagai media pembaca compressive strength dari bubur semen adalah
gelombang ultrasonic yang dilalirkan melalui air. Nilai compressive strength ini
yang menjadi indicator bubur semen yang diujikan memiliki sifat anti retrogresif
atau tidak.

20
3.5. Diagram Alir

OilWell Silica Aditif


Cement Air
Flour Cair
Class G

Pengayakan 200 mesh Ditimbang 209,10 gram Ditimbang 330,37 gram Ditimbang
97,89 gram

Ditimbang 597,41 gram Campuran semen Blender 2000 rpm


dan silica flour

Blender 2000 rpm

Blender 12000
rpm tunggu 35
detik

Bubur semen
dengan zat
aditif silica
flour 35% bwoc

Gambar 3.1. Diagram alir pembuatan bubur semen silica flour 35% bwoc

21
Bubur Semen dengan
Silica Flour 35% bwoc

Chandler 3500 Ultrasonic Cement Analyzer CTE Consistometer 22-400

Pengukuran Pengukuran nilai compressive strength Pengukuran


nilai plastic dengan variasi suhu 230 °F, 240 °F, 250 °F, thickening time
viscosity dari 260 °F, 270 °F, 280 °F, 290 °F, 300 °F, dari bubur
bubur semen selama 48 jam hidrasi dari bubur semen. semen dengan
dengan variasi variasi suhu
suhu 86°F dan 230-300°F
200°F Nilai compressive inerval 10

strength, breakdown
time, dan breakdown
Nilai plastic Nilai thickening
preasurre
viscosity dari time dari bubur
bubur semen semen

Gambar 3.2. Diagram alir metoda analisa bubur semen anti retrogresif

22
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Hasil dari penelitian ini adalah pengamatan kondisi optimum dari
temperatur saat pengujian nilai kuat tekan ke dalam adonan bubur semen dengan
zat aditif silica flour dengan waktu pengujian selama 48 jam.

4.1.1. Hasil Pengujian Pendahuluan


4.1.1.1. Kadar SiO2 dalam aditif silica flour
Kadar SiO2 diperoleh dari Certificate of Analysis (CoA) bahan baku
silica flour yang diperoleh dari suplier. Adapun kadar SiO 2 dan kandungan
lainnya terlampir dalam tabel berikut.
Tabel 4.1 Kandungan Kimia dalam Silica Flour

Komposisi Nilai Kandungan (%)

Silica Flour SiO2 95,7

Al2O3 2

Fe2O3 0,2

SO3 1,8

4.1.1.2. Reologi bubur semen


Adonan bubur semen dengan konsentrasi bahan aditif tertentu akan
memiliki nilai reologi spesifik. Sifat reologi ini tidak berpengaruh secara
langsung terhadap compressive strength namun cukup menjadi
pertimbangan dalam proses pengerjaan di lapangan. Hasil akhir yang diliat
dari pembacaan reologi akan dihitung sebagai plastic viscosity (PV).
Tabel 4.2 Nilai Plastic Viscosity
Konsentrasi Suhu Pengujian Nilai Plastic
Silica Flour Viscosity
35% bwoc 86°F 36
35% bwoc 200°F 63

23
Dapat dilihat dari grafik hasil pembacaan, adanya penambahan zat
aditif silica flour mengakibatkan terjadinya penurunan nilai plastic viscosity
pada bubur semen tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah bahan
baku semen yang digantikan oleh silica flour sehingga reaksi hidrasi yang
terjadi pada semen terhambat. Karena sifat silica flour tidak seperti semen
yakni tidak dapat berubah fase dari liquid menjadi solid dan tidak
mengalami reaksi hidrasi sehingga jumlah padatan terlarut di dalam bubur
semen menjadi berkurang.
Alat yang digunakan pada pengujian rheologi ini adalah chandler
3500. Alat ini normal digunakan untuk melakukan pengujian viskositas pada
fluida non-newtonian. Bubur semen termasuk ke dalam fluida Bingham
Plastic dimana fluida jenis ini memiliki keidentikan terhadap shear rate yang
dikenakan terhadap fluida tersebut.
Pada fluida Bingham Plastic, semakin tinggi shear rate yang
dikenakan terhadap fluida akan mengakibatkan nilai rheologinya menjadi
semakin lebih tinggi. Adapun untuk nilai shear stress yang diberikan
terhadap bubur semen sudah dibuat fix dengan menggunakan Bob yang
terpasang pada alat dengan ukuran tertentu.

Gambar 4.3 Chandler 3500

24
4.1.1.3. Thickening Time bubur semen
Thickening time adalah interval waktu di saat bubur semen masih
dapat dipompakan. Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa lama
perubahan waktu yang terjadi pada bubur semen ketika dilakukan proses
pemompaan di lapangan. Bubur semen yang pada awalnya berada pada
fase liquid, seiring berjalannya waktu terjadi reaksi yang mengakibatkan
terjadinya perubahan fase menjadi solid.
Reaksi hidrasi bubur semen menyebabkan fase bubur semen
berubah dan menjadikannya sulit untuk dipompakan. Oleh karena itu,
waktu pemompaan menjadi titik kritis dalam kaitan aplikasi bubur semen
di lapangan. Berikut adalah hasil pengujian thickening time pada bubur
semen yang diberi tambahan zat aditif silica flour dalam berbagai
konsentrasi.

Tabel 4.2 Hubungan konsentrasi SF dengan thickening time


Suhu Pengujian Bubur
Thickening Time
Semen dengan Silica
@ 100 Bc
Flour 35% bwoc
230 °F 241
240 °F 222
250 °F 204
260 °F 193
270 °F 182
280 °F 168
290 °F 152
300 °F 138

25
Gambar 4.4 Grafik waktu thickening time bubur semen konsentrasi
35% pada berbagai suhu sirkulasi sumur.

Dapat dilihat dari tabel dan grafik, terdapat hubungan terbalik


antara kenaikan suhu dan waktu yang dimiliki bubur semen dengan
konsentrasi 35% silica flour untuk dapat dipompakan. Saat suhu sirkulasi
tinggi maka semakin pendek atau sedikit thickening time bubur semen
tersebut.
Hal ini disebabkan oleh hidrasi bubur semen dalam waktu yang
cepat sehingga fase bubur semen akan cepat berubah dari cairan menjadi
padatan dan menjadikannya semakin sulit untuk dipompakan. Dengan
kata lain suhu berperan sebagai katalis reaksi hidrasi semen menyebabkan
akselerasi pada pembentukan komponen C-S-H.
Untuk pengujian thickening time, yang dilihat bukan hanya lambat
atau cepatnya bubur semen mengeras tetapi juga kesesuaian waktu
pengerasan dengan kebutuhan lapangan. Jadi hal ini berkaitan erat dengan
penggunaan aditif lain yakni accelerator dan retarder yang berfungsi
mempercepat dan atau memperlambat waktu thickening time bubur
semen tersebut.
Alat yang digunakan pada pengujian thickening time ini adalah
CTE Consistometer 22-400. Alat ini berfungsi sebagai simulator bubur
semen pada saat dipompakan ke dalam sumur dengan cara membuat
kondisi bubur semen dalam keadaan dinamis (flow) pada suhu dan
tekanan tertentu hingga terjadi perubahan fase bubur semen yang
terindikasi pada perubahan nilai konsistensi bubur semen tersebut.
Nilai konsistensi yang digunakan merupakan satuan khusus yakni
Bearden of consistency (Bc). Semakin rendah nilai Bc maka semakin
mudah bubur semen untuk mengalir dan semakin tinggi nilai Bc maka
semakin sulit pula bubur semen tersebut untuk mengalir. Interval
pembacaan Bc berkisar dari 0-100. Pada umumnya, bubur semen saat
pertama kali dipompakan akan memiliki nilai Bc dibawah 30. Apabila
bubur semen telah mencapai nilai 70 Bc, mulai terjadi perubahan fase

26
secara signifikan dimulai dengan pembentukan gel strength dari bubur
semen hingga akhirnya pada nilai 100 Bc bubur semen sudah tidak dapat
dipompakan kembali (tidak dapat mengalir). Berikut alat CTE
Consistometer 22-400 yang digunakan.

Gambar 4.5 CTE Consistometer 22-400

4.2. Hasil Pengujian Inti


4.2.1. Compressive Strength Bubur Semen

Nilai compressive strength dari bubur semen menjadi tolak ukur


utama dalam melihat kemampuan bahan aditif silica flour sebagai zat anti
retrogresi. Tidak hanya melihat dari nilai akhir saat pengujian tetapi juga
melihat perubahan nilai compressive strength dari bubur semen tersebut.
Dengan adanya penurunan nilai compressive strength selama pengujian
menjadi bukti bahwa telah terjadi perubahan struktur kimia dalam bubur
semen tersebut.

Berikut ini adalah data yang diperoleh dari hasil pengujian compressive
strength tersebut :

Tabel 4.3 Data Hasil Pengujian Compressive Strength


Suhu Compressive Strength (psi) Breakdown Breakdown
Pengujian 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam Time (jam) Pressures (psi)
230 °F 1034 1890 2056 2198 - -
240 °F 1067 1980 2120 2278 - -
250 °F 1118 2022 2237 2330 - -
260 °F 1327 2134 2445 2542 - -
270 °F 1542 2267 2724 2864 - -
280 °F 1678 2412 2896 2986 - -

27
290 °F 1890 2734 3053 2876 43,72 3212
300 °F 2012 2986 3178 2754 40,63 3428

Jika kita melihat lebih lanjut, nilai compressive strength akhir


setelah pengujian bubur semen selama 48 jam sangat bervariasi. Nilai akhir
ini bukanlah indikator utama kemampuan aditif silica flour sebagai zat anti
retrogresi karena bisa terjadi breakdown (penurunan nilai compressive
strength) yang disebabkan retrogresi struktur C-S-H dalam bubur semen
selama pengujian tersebut. Berikut adalah kurva nilai akhir compressive
strength dari setiap konsentrasi.

Gambar 4.6 Grafik nilai akhir compressive strength di berbagai suhu


pengujian

Dari gambar grafik diatas, dapat di simpulkan bahwa suhu optimum


untuk bubur semen dengan konsentrasi silica flour 35% adalah 280 °F
untuk nilai compressive strength. Pada suhu setelah 280 °F nilai
compressive strength rata-rata menurun secara terus menerus. Hal ini
disebabkan adanya perubahan komposisi semen akibat hilangnya zat aditif
silica flour sehingga C-S-H yang terbentuk dari reaksi hidrasi menjadi
berubah menjadi α-C2SH. Keberadaan silica flour akan memperlambat
proses hidrasi yang terjadi pada semen karena silica flour membutuhkan

28
waktu untuk mengalami reaksi hidrasi seingga nilai compressive strength di
dalam campuran menjadi lebih perlahan dan cenderung lebih stabil.
Meskipun nilai akhir compressive strength lebih rendah namun nilai
akhirnya masih memenuhi persyaratan API yakni diatas 500 psi setelah 24
jam.

Gambar 4.7 UCA Chandler 4265

4.2.2. Waktu Breakdown Bubur Semen

Setelah dilakukan pengujian compressive strength selama 48 jam,


dapat dilihat pada tabel bahwat terjadi penurunan nilai compressive
strength (breakdown) yang disebabkan oleh retrogresi komponen C-S-H di
dalam bubur semen. Hanya pada 230 °F sampai 280 °F silica flour tidak
terjadi fenomena breakdown. Berikut kurva yang memperlihatkan waktu
breakdown dari bubur semen yang mengalami retrogresi.

29
Gambar 4.8 Kurva waktu breakdown bubur semen (dalam jam) untuk
konsentrasi silica flour 35% bwoc pada berbagai suhu.

Dapat dilihat pada grafik dan tabel, hubungan antara kenaikan suhu
pengujian dengan waktu breakdownnya optimal pada suhu 280 °F dan
setelah itu titik breakdown dari bubur semen muncul diikuti menurunnya
nilai compressive strength. Hal ini mengindikasikan bubur semen dengan
aditif silica flour 35% memiliki kemampuan untuk mempertahankan nilai
compressive strength dan breakdown maksimal pada suhu 280 °F.

4.2.3. Pressure Breakdown Bubur Semen

Pada saat bubur semen mengalami reaksi hidrasi selama 48 jam,


komposisi C-S-H di dalamnya semakin bertambah. Pertambahan ini
berbanding lurus dengan meningkatnya nilai compressive strength dari
bubur semen tersebut.

Akibat temperatur tinggi, bubur semen dengan konsentrasi yang


belum optimal pun dapat mengalami penurunan nilai compressive strength.
Hal ini disebabkan tambahan aditif silica flour dalam campuran masih
belum sebanding dengan jumlah perubahan C-S-H sehingga masih terdapat
hasil reaksi berupa α-C2SH dan mengakibatkan susunan semen yang telah
terhidrasi menjadi berubah. Dalam kondisi ekstrim, perubahan yang terjadi
dapat menyebabkan keretakan ada bubur semen yang telah mengeras.
Dampaknya, bubur semen menjadi tidak kokoh dan dapat membahayakan
sumur minyak. Berikut adalah kurva pressure breakdown dari bubur semen
dengan aditif silica flour 35% di berbagai suhu pengujian.

30
Gambar 4.9 Kurva pressure breakdown bubur semen pada berbagai
variasi suhu pengujian.

Pada suhu 290 °F sampai 300 °F, bubur semen mengalami


breakdown saat dilakukan proses hidrasi selama 48 jam. Hal ini
memperlihatkan pengaruh temperatur tinggi pada bubur semen dengan zat
aditif silica flour cukup signifikan karena mampu membuat breakdown pada
bubur semen tersebut. Ini dikarenakan komposisi tambahan silica flour di
dalam campuran bubur semen tidak mencukupi untuk menahan laju
perubahan C-S-H menjadi α-C2SH dengan hidrasi suhu tinggi.

Pada suhu 230 °F hingga 280 °F, bubur semen tidak mengalami
pressure breakdown. Hal inilah yang diharapkan tercapai sehingga resiko
terjadinya kerusakan bubur semen saat hidrasi yang diakibatkan self destruct
menjadi lebih sulit.

31
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pada penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Temperatur tinggi efektif untuk penggunaan bubur semen dengan zat
aditif silica flour 35% adalah berkisar 230 °F hingga 280 °F. Pada rentang
suhu tersebut bubur semen tidak mengalami penurunan nilai compressive
strength, breakdown time dan breakdown pressure sehingga efektif
sebagai zat anti retrogresif.
2. Suhu Pengujian optimum untuk bubur semen dengan silica flour 35%
adalah 280 °F dengan nilai compressive strength 2986 psi.

5.2. Saran
1. Proses mixing bubur semen perlu diperhatikan dengan baik agar hasil
yang diperoleh konsisten dan dapat dibandingkan dari setiap perbedaan
konsentrasinya.
2. Deangan suhu optimal yang telah di dapat sebesar 280 °F perlu dilihat
lebih lanjut keefektifannya dengan konsentrasi silca flour yang berbeda
untuk mengetahui sejauh mana komposisi tersebut dapat bertahan dan
digunakan dalam praktik lapangan.

32
DAFTAR PUSTAKA

American Petroleum Institute. API SPEC 10: API SPEC 10B –


Recommended practice for testing well cement, 2000(b).

American Petroleum Institute. API SPEC 10: API SPEC 10A –


Specifications for cements and materials for well cementing, 2000(a).

Crook, Ron. Petroleum Handbook Engineering Volume II Drilling


Engineering : Cementing, Society of Petroleum Engineers, 2006.

Souza, P.P.; Souza R.A.; Anjos, M.A.; Freitas, J.O.; Martinelli, A.E.; Melo,
D.F. Cement Slurries of Oil Wells Under High Temperature and Pressure : The
Effects of the use of ceramic waste and silica flour. Brazilian Journal of Petroleum
and Gas, 2012.

33
LAMPIRAN

34
35

Anda mungkin juga menyukai