Anda di halaman 1dari 20

Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE

M. Bahtiar Fandi
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi listrik
terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan
listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.1
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi diseluruh dunia berjumlah 50 juta orang (37 juta orang
diantaranya adalah epilepsi primer dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang).
Laporan WHO tahun 2001 memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.1,2
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang
umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana
pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum,
lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer
serebri. Salah satu bentuk epilepsi umum adalah kejang absans, yang mana kejang absans ini
didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran secara tiba-tiba dan kembalinya kesadaran juga
tiba-tiba yang berhubungan dengan aktivitas gelombang paku ombak bilateral sinkron pada
pemeriksaan EEG.2
Kejang absans adalah jenis kejang umum yang pertama kali dijelaskan oleh Poupart
tahun 1705. Kejang absans terjadi pada idiopatik dan gejala epilepsi umum. Di antara epilepsi
idiopatik umum, kejang absens terlihat pada epilepsi pada anak (pyknolepsy/Childhood
Absence Epilepsy), epilepsi absans remaja (Juvenile Absence Epilepsy), dan epilepsi
mioklonik remaja (Juvenile Myoclonic Epilepsy).2
Menurut data yang ada, insidensi pertahun epilepsi per 100.000 populasi 80% adalah
anak tahun pertama, 62% anak usia 1-5 tahun, 50% anak-anak yang berusia 5-9 tahun.
Sedangkan untuk bangkitan absans sendiri diperkirakan insiden reratanya adalah 1/10.000
tiap tahun. Dari penelitian Cavazzuti didapatkan bangkitan absans meliputi 8% epilepsi anak,
lebih sering ditemukan pada anak perempuan yang berusia 4-10 tahun.2,3
Berikut ini akan dilaporkan kasus epilepsi absans yang datang di poli spesialistik
neurologi RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan umur 8 tahun, kelas 2 SD, agama Kristen Protestan, alamat
di Ranotana, dikonsulkan ke poliklinik spesialistik epilepsi dari poliklinik tumbuh kembang
tanggal 19/09/2015 jam 11.00 WITA dengan keluhan utama penderita tampak sering
bengong tiba-tiba.
Bangkitan pertama kali yang dialami penderita sudah tidak diingat oleh ibu penderita
yang ibunya ingat saat umur 5 tahun, ibu penderita sering mendapati penderita tiba-tiba
bengong saat lagi bercerita dengannya atau saat lagi makan. Dari umur 5 tahun sampai 2
minggu sebelum berobat di Poli tumbuh kembang, penderita biasa didapati bengong lebih
dari 30 kali perhari dan setelah 6 bulan lalu diberi asam valproat sirup oleh dokter anak
kejang berkurang jadi 2 kali perhari saja dan dalam 2 bulan terakhir frekuensi bengong jadi 3
kali perminggu tetapi bila penderita kurang tidur atau karena lelah frekuensi bengong jadi
makin sering. Sebelum kejang, penderita sadar. Saat kejang, penderita terdiam dengan mata
berkedip-kedip, mulut berkecap-kecap, tidak sadar selama 30 detik, tidak ditemukan mata
mendelik, mulut berbusa serta mulut dan kepala tidak miring kesatu sasi. Penderita
merupakan anak bungsu dari dua bersaudara dan keluarga penderita tidak ada yang menderita
seperti ini, tapi kakak penderita waktu umur 1 tahun pernah kejang demam. Selama hamil ibu
kontrol ANC teratur di bidan puskesmas. Perinatal, natal, dan post natal Penderita lahir
normal cukup bulan dengan lahir pervaginam (berat badan lahir 3000 gram dengan panjang
badan 48 cm). Imunisasi penderita lengkap di puskesmas. Penderita pernah kejang demam
saat umur 2 tahun, waktu itu penderita menderita diare dan tidak ada lagi riwayat infeksi
lainnya. Penderita tidak ada riwayat trauma kepala. Dari kecil sampai sekarang proses
tumbuh kembang normal, penderita mulai bisa bicara umur 1 tahun dengan mengucapkan
beberapa kata dan umur 2 tahun sudah bisa berjalan. Keluhan tambahan saat penderita datang
ke poli tumbuh kembang, penderita disekolah tidak naik kelas dari kelas 2 ke kelas 3 akibat
saat sementara belajar, penderita tiba-tiba bengong 1-2 menit sehingga banyak materi
pelajaran yang tidak dapat diikuti dengan baik oleh penderita selain itu penderita juga tidak
dapat menangkap pelajaran dengan baik. Dari dokter ahli anak subdivisi tumbuh kembang,
penderita didiagnosa adanya gangguan dalam pemusatan perhatian dan dikonsulkan ke dokter
Rehabilitasi Medik untuk periksa tes Intelligence Quotient (IQ) karena penderita dinilai
perbendaharaan kata yang dimilikinya masih kurang. Saat ini penderita belum bisa menulis
dan membaca, penderita masih dapat memperhatikan saat diajak bicara tapi lambat dalam
menangkap maksud dari apa yang dibicarakan dan penderita juga masih bisa menuruti
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
perintah sederhana dan tidak bisa mengikuti perintah yang rumit, penderita masih menyahut
dan berespon saat dipanggil namanya. Penderita merupakan rujukan dari poli tumbuh
kembang, dan sebelumnya penderita sudah mendapat terapi dari dokter anak dengan asam
valproat dengan dosis 2 kali satu sendok teh (berat badan 25 kg), karena masih kejang maka
dinaikkan sampai 3 kali satu sendok teh (frekuensi kejang terkontrol)
Pada pemeriksaan fisik umum, didapatkan antopometri normometri (TB; 127 cm, BB;
25 kg). Keadaan umum sedang. Pemeriksaan tanda vital yakni tekanan darah; 100/60mmHg,
nadi; 96 kali/menit, respirasi; 24 kali/menit, suhu badan; 36°C dalam batas normal. Pada
pemeriksaan kepala tidak ditemukan anemis pada konjungtiva maupun ikterik pada sklera
(lingkar kepala 52 cm/normocephal). Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening, trakea letak ditengah. Pada pemeriksaan dada dengan inspeksi
ditemukan dada yang normal, simetris, tidak terdapat jejas atau deformitas dengan
permukaan terangkat bersamaan saat inspirasi, tidak ada retraksi. Pada auskultasi tidak
ditemukan ronkhi maupun whezzing pada paru. Pada pemeriksaan jantung S1-II regular,
tidak terdapat bunyi jantung tambahan. Pada pemeriksaan abdomen datar, bising usus normal,
tidak ada nyeri tekan, tidak ada pekak berpindah, hepar dan lien tidak teraba. Pada
pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan adanya edema dan akral hangat.
Pada pemeriksaan satatus neurologis, GCS 15, pupil bulat isokor, dengan diameter
kanan dan kiri 3 milimeter, pupil kanan dan kiri reaktif terhadap reaksi cahaya langsung
maupun tidak langsung.Tidak terdapat tanda-tanda rangsangan meningieal. Pada pemeriksaan
nervus kranialis tidak ditemukan adanya paresis. Pada pemeriksaan status motorik didapatkan
kekuatan otot, tonus otot, dan refleks fisiologi yang normal serta tidak didapatkan refleks
patologis Hoffman tromner dan refleks babinsky group. Status sensorik normoestesi dan
status otonom tidak terdapat inkontinensia atau retensi urin/alvi. Pada pemeriksaan refleks
primitif: tidak ditemukan rooting refleks, refleks menghisap (sucking reflex), refleks
menggenggam (hand grasp reflex), refleks mencucu (snout reflex), refleks palmomental,
refleks moro, refleks tonic neck, refleks tonic labirin.

Lab (21/09/15) :

 Hb : 12,9

 WBC : 6.700

 RBC : 4,45.106

 PLT : 240.000
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
 RBS : 113

 Ureum : 22

 Cr : 0,9

 Na : 138

 K : 4,1

 Cl : 99,7

 Calsium: 9,77 gambar 1. Foto thoraks (21/09/15): Normal

Elektroensephalografi

Gambar 2.Perekaman EEG Injilia Tumiwon (6/10/15) didapatkan EEG yang mendukung
diagnosis Childhood Absence Epilepsy (CAE) karena:

 Tampak 11 kali Injilia bengong, mulut mengecap-ngecap (dengan lama antara 4-16
detik).
 EEG menunjukkan gelombang paku ombak 3 Hz umum selama 4-16 detik dengan
latar belakang yang normal berfrekuensi 9 Hz.
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
 Ditemukan Frontal Intermitten Delta Rhytmic Activity (FIRDA) dan Occipital
Intermitten Delta Rhytmic Activity (OIRDA)

Pada tanggal 18/10/2015 hasil konsul dokter mata : Emetropia. Pada tanggal 24/02/2016 hasil
konsul Rehab Medik: didapatkan Intelligence Quotient (IQ) 75 dimana ditemukan penderita
lamban dalam belajar. Pada tanggal 24/02/2016 hasil konsul subdivisi neuropediatri anak
tidak menderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Brain CT Scan:

Gambar 3. Pada tanggal 10/03/2016: CT Scan kepala (tanpa kontras) potongan aksial dengan
hasil normal brain

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis:


 Klinis : bangkitan umum tipe absans
 Topis : thalamokortikal
 Etiologi : idiopatik
 Patologis : lonjakan/cetusan listrik yang abnormal
 Tambahan : proses belajar lambat (Intelligence Quotient 75), emetropia, FIRDA, OIRDA.

Prognosis ad vitam : bonam


ad fungsionam : bonam
ad sanasionam : bonam
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
DISKUSI

Bangkitan absans adalah bangkitan umum yang memiliki gejala yang sangat berbeda
dengan persepsi umum mengenai bangkitan epilepsi.2 Bangkitan absans dapat berupa absans
tipikal dan absans atipikal. Absans tipikal biasanya memberikan respons yang baik terhadap
terapi dan tidak disertai dengan gangguan kognitif. Sebaliknya absans atipikal respons
terhadap terapi sangat buruk dan biasanya disertai dengan gangguan neurologik yang berat.2
Tipikal dan atipikal absans perlu dibedakan karena dapat dipakai sebagai prediktor untuk
menentukan prognosis pada anak dengan epilepsi absans.
Insidens rerata bangkitan absans diperkirakan 1/10.000 tiap tahun. Dari penelitian
oleh Cavazzuti didapatkan bangkitan absans meliputi 8% epilepsi anak, lebih sering
ditemukan pada anak perempuan.2,3 Sesuai dengan penelitian Cavazzuti, pasien kasus ini juga
seorang anak perempuan.
Metrakos pertama kali mengemukakan bahwa faktor keturunan berperan pada
timbulnya bangkitan absans.4 Riwayat epilepsi pada keluarga ditemukan pada 15%-44%
pasien dengan keturunan absans.5 Faktor genetik memiliki peran terutama pada epilepsi
umum idiopatik dengan bangkitan absans tipikal. Faktor bawaan juga diperkirakan berperan.2
Diagnosis bangkitan absans ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran EEG iktal
dan interiktal. Pengetahuan mengenai gejala klinis dan gambaran EEG bangkitan absans
sangat diperlukan, karena diagnosis yang tidak tepat dapat mengakibatkan pemberian terapi
yang tidak tepat. Kenyataan menunjukkan bahwa 40% penderita mendapatkan obat yang
dikontraindikasikan, yang bukan hanya tidak efektif tetapi juga memperburuk gejala
bangkitan absans, misalnya carbamazepine dan vigabatrin.1
Secara klinis, bangkitan absans memiliki ciri khas gangguan kesadaran tiba-tiba,
biasanya disertai oleh tatapan kosong dan berhentinya aktivitas yang sedang dilakukan. Awal
dan akhir bangkitan berlangsung tiba-tiba tanpa aura dan tanpa gejala post iktal dan dapat
disertai oleh gejala motorik ringan atau automatisme. Adanya serangan (iktal) dapat dideteksi
dengan pemeriksaan kognitif saat serangan. Frekuensi serangan bervariasi dari harian ke
mingguan.2 Pada kasus ini awalnya pasien mengalami bangkitan absans lebih dari 30 kali
perhari dan setelah dalam pengobatan bangkitan menjadi 3 kali perminggu.
Bangkitan absans tipikal atau atipikal dapat dibedakan menurut gambaran klinis dan
EEG. Bangkitan absans tipikal lebih sering terjadi dari bangkitan absans atipikal. Walaupun
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
profil farmakologis dari kedua tipe absans relatif sama, ada empat hal yang digunakan untuk
membedakan tipikal dan atipikal absans, yaitu:
1. Sirkuit neural yang berperan. Pada bangkitan absans tipikal, aktivitas epileptiform
terbatas pada sirkuit thalamus. Pada bangkitan absans atipikal, baik sirkuit
thalamokortikal maupun sirkuit limbik, juga berperan.
2. Frekuensi gelombang paku ombak. Pada bangkitan absans tipikal frekuensi
gelombang 3 Hz, sedangkan pada absans atipikal frekuensinya 1-2Hz dan latar
belakang lambat dibandingkan dengan usia penderita. Pada pasien kasus ini
digolongkan absans tipikal

Gambar 3.absans tipikal 3 Hz Gambar 4. Absans atipikal 1 Hz (LGS)

3. Onset serangan. Pada absans tipikal perubahan perilaku memiliki onset yang
mendadak, dan terjadinya bersamaan dengan adanya gelombang paku ombak. Pada
absans atipikal gerakan volunter dan kesadaran dapat tetap terjaga saat serangan, yang
kemudian akan terjadi gangguan secara gradual, dan tidak selalu bersamaan dengan
timbulnya gelombang paku ombak.
4. Perbedaan prognosis. Anak dengan absans tipikal memiliki prognosis yang baik dan
tidak mengalami gangguan kognitif. Hal ini berhubungan dengan terbatasnya cetusan
di sirkuit thalamokortikal. Pada absans atipikal berhubungan dengan gangguan
kognitif berat dan gangguan perkembangan.

Klinis dan Gambaran Absans atipikal Absans tipikal


EEG
Awal dan akhir serangan Biasanya perlahan Mendadak
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
Kesadaran/respons Berkurang namun tidak Bervariasi dari ringan hingga
menghilang sedang
Perubahan tonus Biasanya jelas Biasanya ringan
Durasi Biasa lebih panjang (kadang Biasanya singkat, sangat
dalam hitungan menit) jarang >30-40 detik
Post iktal Gangguan kognitif tetap ada Langsung respons
EEG interiktal Latar belakang abnormal Latar belakang normal,
disertai cetusan epileptiform kadang disertai cetusan
yang beragam epileptiform tipikal EEG
EEG iktal Gelombang paku ombak lambat Gelombang paku ombak
(<2,5 Hz) cepat (>2,5 Hz)
Fungsi neurologis normal Sangat jarang Syarat utama
Tipe bangkitan lain Paling sering bangkitan tonik Tergantung sindrom IGE
dan atonik
Prognosis Umumnya buruk Umumnya baik

Absan Tipikal

Gejala klinis dan gambaran EEG absans tipikal beragam dan berhubungan dengan
berbagai sindrom epilepsi.6 Gejala klasik bangkitan absans tipikal adalah gangguan kesadaran
dengan onset yang mendadak dan durasinya cepat, sehingga pasien tidak respons dan terjadi
interupsi aktivitas yang sedang dikerjakan. Serangan berhenti tiba-tiba, dimana fungsi mental
mengalami perbaikan segera setelah bangkitan berhenti dan pasien dapat langsung dapat
melakukan aktivitas yang berhenti sebelum serangan.1,2 Hal ini juga nampak pada Injilia,
sering saat lagi sementara belajar, lagi cerita sama temannya tiba-tiba tidak sadar sehingga
tidak berespons saat dipanggil oleh guru atau temannya. Biasanya Injilia tidak sadar selama
30 detik, dan setelah 30 detik Injilia segera dapat melanjutkan belajar atau cerita sama
temannya.
Gangguan kesadaran saat serangan dapat sangat ringan (sehingga membutuhkan
pemeriksaan kognitif untuk mendeteksinya) atau berat. Penelitian dengan menggunakan
video EEG menunjukkan bahwa pada 94% serangan, selain gangguan kognitif juga terjadi
perubahan ekspresi wajah dan pandangan kosong. Menurut penelitian pada 339 serangan
yang dialami 47 anak, didapatkan rerata durasi serangan adalah 9,4±7 detik (rentang 1-44
detik). Serangan sebagian besar timbul secara spontan, seperti halnya pada Injilia kadang
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
muncul saat lagi sementara cerita sama ibunya atau saat lagi cerita bersama teman-temannya
dan setiap serangan biasa berlangsung 30 detik. Saat serangan Injilia yang sebelumnya
ketawa-ketawa berubah dalam ekspresi wajah dan terlihat pandangannya kosong. Pada 90%
pasien absans yang tidak diobati serangan dipresipitasi oleh hiperventilasi.2,6,7,8 Pada
perekaman, Injilia tidak didapatkan perekaman hiperventilasi karena Injilia tidak mengerti
apa yang diinstruksikan.
Bangkitan absans dapat memiliki gejala gangguan kesadaran saja, namun dapat juga
memiliki gejala lain, yaitu:
 Gerakan klonik ringan dari kelopak mata, ujung bibir, atau otot lainnya
 Gerakan atonik yang menyebabkan kepala menunduk, batang tubuh terjatuh
 Kontraksi tonik otot yang menyebabkan retropulsi kepala dan batang tubuh kaku
membengkok ke arah belakang
 Automatisme, misalnya gerakan membasahi bibir, mengecap, menelan, berjalan tidak
tentu arah
 Gangguan otonom, misalnya kulit memucat, berkeringat dingin, kemerahan pada
kulit, dilatasi pupil, inkontinensia urine.

Pada Injila gejala penyerta selain gangguan kesadaran adalah terdapatnya mulut mengecap
(automatisme).
Bangkitan absans tipikal memiliki gambaran EEG iktal yang khas yang timbul pada
lebih dari 90% penderita, yaitu gelombang paku ombak 3-4 Hz, simetris, dan bilateral sinkron
dengan predominan frontal. Cetusan EEG dapat berdurasi pendek (< 3 detik) atau panjang (>
30 detik), kontinyu atau terputus-putus.1,2,6,7 Gambaran EEG dipengaruhi oleh usia penderita,
jenis sindrom epilepsi, kesadaran, stimulasi yang dilakukan, dan faktor instriksik lain.9 Pada
gambaran EEG Injilia didapatkan gelombang paku ombak 3 Hz.
Latar belakang pada gambaran EEG interiktal biasanya normal, namun dapat
ditemukan gelombang paroksismal paku bilateral independen fokal di regio frontal, yang
dapat disebabkan oleh proyeksi pada sistem thalamokortikal atau karena onset fokal di
frontal, misalnya pada regio frontobasal atau mesial. Cetusan fokal tersebut tidak boleh
diinterpretasikan sebagai bukti adanya epilepsi fokal dengan penyebaran umum sekunder,
karena akan menyebabkan kesalahan diagnosis dan terapi.1,2,6 Pada gambaran EEG interiktal
didapatkan latar belakang 9 Hz, normal untuk seusia Injilia.
Gambaran EEG postiktal biasanya normal, kadang terlihat cetusan paku ombak
bilateral, terutama pada keadaan tidur nonREM.2
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
Dibandingkan dengan absans tipikal, bangkitan absans atipikal memiliki awal dan
akhir yang kurang mendadak, durasi yang lebih lama, gangguan kesadaran yang lebih ringan
dan gangguan tonus yang lebih signifikan. Serangan sering terjadi saat mengantuk dan
kurang dicetuskan oleh hiperventilasi dan stimulasi fotik.8
Gambaran interiktal EEG pada absans atipikal menunjukkan latar belakang yang
lambat, gelombang paku ombak yang iregular, asimetris dan amplitudo rendah dengan
frekuensi dibawah 2,5 Hz atau di atas 3,5 Hz. Penyebab dari gelombang yang lambat masih
belum diketahui, namun diketahui bahwa pada bangkitan absans atipikal aktivitas
epileptiform tidak terbatas pada sirkuit talamokortikal saja, tetapi meliputi seluruh sirkuit
hipokampal-talamokortikal.2,8 Pemeriksaan EEG iktal pada bangkitan absans atipikal
menunjukkan gelombang paku omabk difus, iregular dengan frekuensi yang lebih rendah
yaitu 2,5-3 Hz, yang biasanya timbul kurang dari 10 menit.2,6,8
Absans atipikal timbul terutama pada epilepsi simptomatik atau kriptogenik berat
pada anak dengan gangguan belajar yang juga mengalami bangkitan lain. Sering terjadi pada
sindrom Lennox-Gastaut, ensefalopati epileptik dengan gelombang paku ombak kontinyu
saat tidur (continous speak and wave during sleep), dan epilepsi dengan bangkitan mioklonik-
astatik.6

Istilah absans merujuk pada bangkitan, bukan epilepsi. Namun, beberapa epilepsi atau
sindrom epilepsi memiliki gejala klinis utama bangkitan absans sehingga disebut sebagai
epilepsi absans.2 Epilepsi absans memiliki semiologi, genetik dan farmakologi yang tidak
homogen. International League Against Epilepsy (ILAE) telah membuat klasifikasi sindrom
epilepsi yang memiliki gejala absans tipikal, meliputi Childhood Absence Epilepsy (CAE),
Juvenile Absence Epilepsy (JAE), Juvenile Myoclonic Epilepsy (JME), Myoclonic Absence
Epilepsy (MAE). Empat sindrom tersebut merupakan bagian dari epilepsi umum idiopatik
(Idipathic Generalized Epilepsies/IGE).2,4,7
Sulit untuk membedakan antara masing-masing sindrom tanpa perbandingan EEG dan
rekaman saat serangan. Yang paling sulit adalah membedakan JAE dan JME yang bila
diawali oleh gejala absans jauh sebelum timbulnya sentakan mioklonik.7

 Childhood Absence Epilepsy (CAE)

CAE (pyknolepsy) adalah epilepsi pada anak yang paling sering timbul, memcakup
10-17% epilepsi anak. Definisi CAE menurut ILAE tahun 1989 adalah: pyknolepsy timbul
pada anak usia sekolah dengan predisposisi genetik yang kuat. Lebih sering timbul pada anak
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
perempuan dibandingkan laki-laki. Ditandai dengan serangan yang sangat sering. Pada EEG
didapatkan gambaran paku ombak bilateral sinkron simetris 3 Hz, dengan latar belakang
normal. Saat remaja dapat timbul bangkitan umum tonik klonik (30-40% kasus), atau dapat
mengalami remisi, atau yang lebih jarang tetap timbul dengan bangkitan absans saja.7,8
Pada tahun 2005 ILAE menambahkan kriteria CAE, yaitu usia onset antara 4-10
tahun, dengan puncak antara 5-7 tahun. Loiseau dan Panayiotopoulus membuat kriteria
inklusi dan eksklusi untuk membantu penegakan diagnosis CAE dimana kriteria yang
digunakan tidak jauh berbeda dengan kriteria CAE menurut ILAE tahun 1989.2,8
Dengan diagnosis yang tepat, prognosis CAE sangat baik. CAE berespons baik
dengan pemberian ethosuximide maupun sodium valproat (monoterapi mengontrol 80%
serangan), serta mengalami remisi antara 2-5 tahun setelah onset.1,6

Kriteria Inklusi CAE


 Onset usia antara 4-10 tahun, dengan puncak antara 5-7 tahun
 Fungsi neurologis dan tumbuh kembang normal
 Durasi singkat (4-20 detik, jarang lebih lama) dan frekuensi sering (± 10 kali per
hari). Serangan mendadak dan gangguan kesadaran berat. Automatisme sering timbul
namun tidak signifikan terhadap diagnosis
 Gambaran EEG iktal menunjukkan gelombang paku ombak umum, ritmik dengan
frekuensi 3 Hz, durasi antara 4-20 detik.
Kriteria Eksklusi CAE
 Timbulnya bangkitan lain, misalnya bangkitan umum atau sentakan mioklonik
sebelum atau saat serangan absans timbul
 Mioklonia kelopak mata, mioklonia perioral, sentakan ekstremitas ritmik, dan
sentakan mioklonik pada kepala, batang tubuh atau ekstremitas. Mioklonik ringan
pada mata, alis, dan kelopak mata dapat timbul, terutama pada 3 detik pertama
serangan
 Gangguan kesadaran ringan atau tidak ada selama timbulnya cetusan 3-4 Hz
 Gelombang paku ombak 3-4 Hz singakat < 4 detik, gelombang paku lebih dari 3
buah sebelum gelombang lambat, cetusan iktal terbagi/terputus
 Gejala klinis dibangkitkan oleh stimulasi visual (fotik) atau stimulasi sensorik lain.

 Juvenile Absence Epilepsy (JAE)


Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
Onset timbulnya gejala antara usia pubertas (10-18 tahun) dengan gejala mirip dengan
gejala CAE, kecuali gerakan retropulsi jarang ditemukan. Pada JAE, gangguan kesadaran
lebih ringan dan frekuensi serangan lebih jarang dari pada CAE. Bangkitan umum tonik
klonik terjadi pada kurang lebih 80% pasien JAE, terutama timbul pada saat bangun tidur.
Sentakan mioklonik dapat terjadi, namun sering tidak dirasakan mengganggu oleh pasien,2,6,8
Prognosis timbulnya serangan lebih buruk dari CAE, namun respons terhadap OAE
baik, sehingga dengan pengobatan yang baik serangan dapat terkontrol pada 70-80% pasien.
Sebanyak 5% pasien mengalami serangan absans dan tonik klonik yang sangat sering, hal ini
berhungan dengan keterlambatan pengobatan.2,6
Kriteria Inklusi JAE
 Gejala klinis bangkitan absans disertai gangguan kesadaran. Hampir semua pasien
juga mengalami bangkitan umum. 1/5 pasien mengalami sentakan mioklonik ringan
yang tidak menunjukkan distribusi sirkardian, seperti JME
 Gangguan EEG iktal menunjukkan gelombang paku ombak umum > 4 detik, yang
berhubungan dengan gangguan kesadaran dan kadang terdapat automatisme.
Gambaran EEG normal dapat ditemukan pada pasien yang telah diobati.
Kriteria Inklusi JAE
 Disertai dengan mioklonia kelopak mata, atau mioklonia perioral, atau sentakan
mioklonik ritmik tungkai atau batang tubuh
 Gangguan kesadaran ringan atau tidak ada selama timbulnya cetusan 3-4Hz
 Gelombang paku ombak 3-4 Hz aritmik dan ireguler
 Gejala klinis secara konsisten dibangkitkan oleh stimulasi visual (fotik) atau stimulasi
sensorik lain. Namun pada pemeriksaan EEG stimulasi fotik intermitten dapat
menimbulkan serangan absans.

Gambar 5. Gelombang paku ombak 3,5 Hz pada Juvenile Absence Epilepsy


Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
 Juvenile Myoclonic Epilepsy (JME)
Bangkitan absans timbul pada 1/3 pasien JME, biasanya timbul beberapa tahun sebelum
sentakan mioklonik dan atau bangkitan umum tonik klonik.2
 Myoclonic Absence Epilepsy (MAE)

MAE adalah tipe bangkitan yang jarang terjadi, dan lebih sering terjadi pada laki-laki
dengan rentang usia 9 bulan hingga 12 tahun (usia puncak 7 tahun).2 Sindrom ini pertama
kali dideskripsikan sebagai bangkitan absans yang disertai sentakan mioklonik ritmik dari
bahu, lengan, tungkai dan kontraksi tonik sekitar bahu. Intensitas sentakan lebih kuat dari
yang dapat dilihat pada bangkitan absans tipikal. Durasi serangan bervariasi antara 10-60
detik. Kesadaran terhadap timbulnya sentakan dapat masih terjaga.2,7
Pemeriksaan EEG iktal menunjukkan gelombang paku ombak, seperti pada absans
tipikal namun dapat diselingi oleh gelombang polyspikes, dan aktivitas EMG saat serangan
berkorelasi dengan gelombang tersebut.2 Prognosis MAE kurang baik, karena resisten
terhadap terapi dan dapat berevolusi menjadi epilepsi tipe lain, misalnya sindrom Lennox-
Gastaut.7

 Phantom Absences

Phantom absans (disebut juga absans subklinis) adalah istilah untuk gejala absans
tipikal yang sangat ringan, sehingga tidak terdeteksi oleh pasien maupun orang di sekitar
pasien. Gejala hanya berupa gangguan kesadaran, kadang disertai kedipan mata. Sering
terjadi pada pasien IGE. Karena gejalanya yang sangat ringan, penderita biasanya baru
berobat setelah timbul bangkitan umum, jauh setelah awal onset bangkitan absans.1,7
Pada pemeriksaan EEG dengan hiperventilasi disertai menghitung angka, didapati
gelombang paku ombak 3 Hz singkat (3-4 detik) yang disertai gejala gangguan kognitif
ringan dan berhentinya menghitung hitungan angka.7 Prognosis jangka panjang tergantung
dari sindrom IGE yang dialami pasien. Biasanya penderita tetap bisa menjalani aktivitas
sehari-hari dengan normal dan fungsi intelegensi terjaga. Status absans terjadi pada 50%
penderita. Bila pasien dicurigai mengalami status absans, dapat diberikan benzodiazepin
rektal.6,7
 Bangkitan Absans Simptomatik

Kelainan penyebab absans yang pernah dilaporkan adalah malformasi arteri vena , autisme,
gangguan biokimia, tumor otak, abses serebri, mikrosefali kongenital, kraniostenosis,
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
sindrom down, ketergantungan obat, ensefalitis, gangguan endokrin, trauma kepala,
hidrosefalus, lesi hipotalamus, penyakit Batten, perdarahan intrakranial pada neonatus,
sindrom sturge weber, meningitis tuberkulosis, tuberous sklerosis. Penderita umumnya
berusia tua dan tidak cocok dengan karakteristik CAE.2
Penyebab diperkirakan adalah lesi subtentorial, karena dapat merusak saluran osilatori
kortikotalamik. Prognosis tergantung dari penyakit penyebab.2
Etiologi
Etiologi epilepsi idiopatik dengan onset yang berkaitan dengan usia adalah genetik.
Sekitar 15-40% pasien dengan epilepsia ini memiliki riwayat keluarga epilepsi; konkordansi
keseluruhan pada kembar monozigot adalah 74%.
Tipe epilepsi Mode of Usia onset Tipe kejang Lokasi Gen
inheritance kromosom
Kejang Autosom 2-4 hari GTCS dgn 20q (EBN1) KCNO2
neonatus dominan tanda okular 8q24 (EBN2) KCNO3
familial dan
benigna automatisasi
motorik
Childhood kompleks 3-12 tahun Absans 8q24 (ECA1) Belum
Absence umum diketahui
Epilepsi dengan atau
tanpa GTCS
Juvenile kompleks 10-17 tahun Absans 21q22.1 GRIK1
Absance umum
Epilepsi
Juvenile kompleks 7-26 tahun Myoclonik 6p12-p11 EFHC1
Myoclonic umum 15q14 CHRNA
Epilepsi dengan atau
tanpa GTCS
dan kejang
absans
Epilepsi Autosom Saat usia ± Kejang 8q24 Belum
Myoclonic dominan 37 tahun myoclonik diketahui
familial pada anggota
dewasa gerak lengan
dan tungkai

Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lalu lintas impuls antar neuron dalam otak berlangsung
dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas antar neuron menjadi
kacau maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmitter yang berperan
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
dalam mekanisme pengaturan ini adalah glutamat (merupakan neurotransmitter excitatory)
dan GABA/Gamma Aminbutyric Acid (merupakan neurotransmitter inhibitory).
Golongan neurotransmitter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetilkolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamin,
serotonin. Neurotransmitter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu
penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi
impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil
neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak
secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena proses
sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda-beda dari jenis-
jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
 Keadaan dimana fungsi neuron inhibitorik kerjanya kurang optimal sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang
kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA
yang rendah di otaknya.
 Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan
impuls epileptik yang berlebihan. Dimana fungsi neuron inhibitorik normal tapi
eksitatorik yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi
glutamat di otak.
 Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik
Bangkitan absans diprovokasi oleh sirkuit thalamokortikal yang abnormal dapat
mengaktivasi irama osilatori yang abnormal, sehingga mencetuskan gelombang paku ombak
3 Hz khas bangkitan absans. Mekanisme selular yang mendasari aktivitas ini melibatkan
channel kalsium T voltase rendah.1
GABAb merupakan neurotransmitter yang berperan penting, dengan aktivitas
mencetuskan hiperpolarisasi yang diperlukan untuk mengaktifkan channel kalsium voltase
rendah untuk dalam menginisiasi cetusan. Serangan terutama ditimbulkan oleh aktivitas
inhibisi (terutama GABAb), berbeda dengan bangkitan umum lain atau bangkitan fokal
dimana terjadi aktivitas eksitasi yang berlebihan. GABAb agonis (misalnya baclofen)
mencetuskan serangan absan, sedangkan GABAb antagonis mencegah kejang. Vigabatrin
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
dan tiagabin adalah obat dengan aktivitas GABA-ergik yang mempengaruhi degradasi atau
re-uptake GABA sehingga mencetuskan serangan absans.1,6
Hingga kini masih terjadi kontroversi apakah penyebab terjadinya gelombang
epileptiform pada bangkitan absans adalah korteks, thalamus, atau keduanya. Terdapat juga
hipotesis bahwa cetusan epileptiform dari bangkitan absans disebabkan oleh hubungan
respirokal neuron di thalamus dan korteks. Penelitian pada pasien bangkitan absans dengan
menggunakan EEG-fMRI menunjukkan gambaran aktivitas pada korteks frontal dan parietal,
serta thalamus, dimana peningkatan dan penurunan signal bervariasi di setiap tempat.8,11

Gambar 6. Patofisiologi terjadinya bangkitan absans

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis bangkitan absans dengan tepat, harus didapatkan


deskripsi bangkitan secara tepat. Deskripsi meliputi ada atau tidaknya aura, peristiwa yang
terjadi saat serangan, ada atau tidaknya gejala postiktal, dan durasi serta frekuensi serangan.
Hal lain yang penting didapatkan adalah riwayat keluarga dengan epilepsi dan riwayat
tumbuh kembang pasien.2 Bila dari EEG rutin tidak didapatkan gelombang paku ombak,
maka perlu dilakukan deprivasi tidur, hiperventilasi, dan stimulasi fotik. Pemeriksaan
neurologis dan imaging biasanya normal.2 Pada absans mioklonik, diagnosis ditegakkan
dengan observasi klinis dan pemeriksaan EEG dengan rekaman video yang disertai dengan
pemeriksaan elektromielografi (EMG) pada otot bahu dan lengan.2

Differensial Diagnosis

Istilah absans sendiri hanya merupakan deskripsi singkat dari gejala klinis yang dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme fisiologi. Gejala bangkitan absans cukup khas, sehingga
sebenarnya cukup mudah didiagnosis, karena itu riwayat lengkap dari kejadian sangatlah
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
penting. Bangkitan absans harus dibedakan dengan kondisi nonepilepsi (gangguan atensi dan
gangguan perilaku), seperti pada ADHD, dan autisme atau dengan epilepsi fokal.2
Kondisi nonepilepsi yang menyerupai gejala absans biasanya berupa pandangan
kosong. Hal tersebut dapat dibedakan dengan mengamati waktu terjadinya serangan dan
kesadaran saat serangan. Kondisi nonepilepsi biasanya timbul pada waktu-waktu tertentu,
misalnya saat menonton televisi atau sedang makan, sedangkan serangan epilepsi dapat
terjadi kapan saja. Pada kondisi nonepileptik bila penderita disentuh, ia akan langsung
bereaksi, sedangkan pada serangan epilepsi tidak bereaksi saat disentuh.12
Pada bangkitan parsial kompleks, seperti pada epilepsi lobus temporal mesial (dahulu
disebut “pseudoabsences” atau “temporal lobe absences”) dapat memiliki gejala yang
menyerupai bangkitan absans, yaitu pandangan kosong dan automatisme (tabel 4).
Automatisme merupakan gejala yang sering terjadi pada epilepsi dan tidak dapat dijadikan
patokan diagnosis epilepsi fokal. Epilepsi lobus temporal biasanya diawali oleh aura dengan
durasi lebih dari 1 menit dan diiukuti oleh gejala postiktal.6,7
Bangkitan yang berasal dari lobus frontal (dahulu disebut typical absence seizures)
kadangkala sulit dibedakan dengan bangkitan absans, karena kadang tidak menunjukkan
gejala fokal. Bancaurd dkk menyatakan bahwa stimulasi ringan pada korteks frontal
menyebabkan bangkitan yang menyerupai absans, dan stimulasi yang lebih kuat
menyebabkan bangkitan tonik klonik. Bangkitan absans diperkirakan sebagai gejala minimal
dari epileptogenesitas lobus frontal. Bangkitan dari lobus frontal menyebar sangat cepat,
sehingga seringkali dianggap sebagai bangkitan umum. Bangkitan dari lobus frontal memiliki
durasi pendek, awal dan akhir bangkitan berlangsung tiba-tiba yang mirip dengan bangkitan
absans umum.2

Absans tipikal Parsial kompleks


Klinis
Durasi > 30 detik Syarat utama Sangat jarang
Durasi > 1 menit Sangat jarang Syarat utama
Status peileptikus nonkonvulsi Sering Jarang
Frekuensi harian Syarat utama Jarang
Automatisme sederhana Sering Sering
Automatisme kompleks Sangat jarang Sering
Halusinasi atau ilusi sederhana dan kompleks Sangat jarang Sering
Mioklonik bilateral di wajah atau kelopak mata Sering Sangat jarang
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
Berubah menjadi bangkitan fokal lain Tidak pernah Sering
Awal dan akhir serangan yang mendadak Syarat utama Sering
Gejala post iktal Tidak pernah Sering
Dipresipitasi oleh hiperventilasi Syarat utama Sangat jarang
Ditimbulkan oleh stimulasi fotik Sering Sangat jarang
Gambaran EEG
Gelombang paku ombak 3-4 Hz saat iktal Selalu Tidak pernah
Cetusan umum saat interiktal Sering Sangat jarang
Gelombang lambat fokal saat interiktal Sangat jarang Sering
Normal EEG bila pasien tidak mengkonsumsi Sangat jaran Sering
obat

Gambaran EEG dapat membantu membedakan bangkitan absans dengan bangkitan


lainnya bila hasilnya tidak normal. Bila hasil EEG normal sedangkan kecurigaan diagnosis
epilepsi tinggi perlu dilakukan EEG monitoring disertai perekaman video sebagai baku emas
untuk diagnosis epilepsi untuk menentukan tipe bangkitan.2
Gambaran EEG pada bangkitan absans menunjukkan gelombang paku ombak
bilateral sinkron 3 Hz. Bangkitan parsial kompleks menunjukkan gambaran EEG gelombang
paku fokal, sedangkan pada bangkitan dari lobus frontal dapat menunjukkan gambaran
perlambatan bilateral di lobus frontal, cetusan iktal asimetrik, fokus interiktal di frontal pada
gambaran EEG. Pada epilepsi fokal dapat didapatkan abnormalitas pada pemeriksaan MRI.2,4
Pada bangkitan absans mioklonik dapat ditemukan kontraksi tonik pada lengan. Bila gejala
motorik asimetris, perlu dipikirkan bangkitan fokal.2
Terapi

Obat pilihan pada absans tipikal adalah ethosuximide, valproat, atau lamotrigin.
Penelitian pada penderita CAE tahun 2010 menyebutkan bahwa ethosuximide dan valproat
secara signifikan meningkatkan angka bebas kejang dibandingkan lamotrigin. Penggunaan
ethosuximide lebih sedikit yang mengalami gangguan atensi dibandingkan dengan asam
valproat.2,8
Ethosuximide berhasil mengontrol serangan pada 70% pasien yang belum pernah
mengkonsumsi obat sebelumnya. Dosis inisial adalah 15 mg/kgBB/hari dan dapat
ditingkatkan hingga dosis pemeliharaan 20-40 mg/kgBB/hari.2
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi
Bila pasien tetap mengalami serangan setelah pengobatan, mengalami bangkitan
absans atipikal, atau juga disertai oleh bangkitan umum tonik klonik, maka harus
dipertimbangkan untuk memberikan asam valproat atau lamotrigin. Kedua obat tersebut
merupakan obat antiepilepsi (OAE) spektrum luas dan efektif untuk mengobati bangkitan
absans maupun bangkitan umum lainnya.2
Dosis pemeliharaan asam valproat untuk anak-anak adalah 20-40 mg/kgBB/hari
dengan 2 dosis terbagi, diberikan tiap 12 jam. Untuk menghindari efek samping pada anak,
dosis inisial biasanya 1/3 dari dosis pemeliharaan, ditingkatkan 1/3 tiap 4-5 hari hingga dosis
pemeliharaan tercapai. Untuk pasien dewasa yang belum pernah diobati, dosis 15-20
mg/kgBB/hari biasanya cukup untuk mengontrol kejang, dan dapat diberikan satu kali sehari
tiap sore hari.2
Lamotrigin dapat menjadi pilihan terutama untuk pasien wanita. Dosis inisial untuk
anak dibawah 12 tahun adalah 0,6 mg/kgBB/hari dengan dua dosis terbagi untuk 2 minggu
pertama, dan untuk 2 minggu berikutnya 1,2 mg/kgBB/hari. Dosis tersebut dititrasi 1,2
mg/kgBB tiap 1-2 minggu hingga tercapai dosis pemeliharaan 5-15 mg/kgBB/hari atau
maksimum 400 mg perhari.2
Pada pasien ini diterapi dengan asam valproat 2x5 cc (BB 25 kg), namun setelah 3
bulan konsumsikejang masih muncul 2-3 kali perhari maka dosis dinaikkan menjadi 3x5 cc
dan kejang berkurang jadi 3 kali perminggu dengan tetap menyarankan pada penderita untuk
istrahat yang bagus dan jangan terlalu banyak bermain. Bila monoterapi ethosuximide atau
asam valproat telah mencapai dosis maksimal yang dapat ditoleransi dan tetap tidak respons,
terapi kombinasi asam valproat dan lamotrigin dapat dipertimbangkan.2
Penghentian terapi tergantung dari sindrom yang dialami. Pada CAE murni
pengobatan dapat diturunkan bertahap tiap 3-6 bulan setelah 2-3 tahun bebas kejang. Pada
sindrom lain, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu panjang.1
Prognosis
Pada pasien ini kami katakan prognosis quo ad vitam, functionam dan sanationam nya
baik karena juga ditemukan OIRDA (Occipital Intermittent Rhytmic Delta Activity). Menurut
penelitian apabila aktivitas OIRDA nampak pada CAE, biasanya menandakan prognosisnya
baik. Sebanyak 50% anak dengan 3 Hz spike wave dan OIRDA mengalami remisi dalam 10
tahun.5,6,8
Diagnosis, patofisiologi, dan penatalaksanaan CAE
M. Bahtiar Fandi

DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulos CP. Typical Absence Seizures and Treatment. Arch Dis Child. 2000.
Hlm: 351-355.
2. Stevan H, Snead OC, Fernandez IS, Chapman KE. Typical and atypical Absence
Seizure, Myoclonic Absence and Eyelid Myoclonia in Epilepsy Research and
Treatment. Philadelhia: Lippincott Williams and Wilkins. 2008. Hlm: 211-214.
3. Cavazzuti GB. Epidemiology of Different Types of Epilepsy in School Age Children of
Modena in Clinical Epilepsy. 2001. Hlm: 57-63.
4. Metrakos JD, Metrakos K. Childhood Epilepsy of Subcortical (centrencephalic) origin.
Clinic Pediatri. 2001. Hlm: 536-542.
5. Lennox WG, Davis JP. Clinical Corelates of The Fast and Slow Spike Wave
Electroencephalogram. Clinical Pediatrics. London: Springer. 2005. Hlm: 321-325.
6. Panayiotopoulos CP. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and Their Treatment.
2nd ed. Philadelphia: Lippincott Lippincott Williams and Wilkins. 2007. Hlm: 344-356.
7. Singhal NS, Sullivan JE. Childhood Absances Epilepsy, Juvenil Absances Epilepsy and
Related Conditions Review article . Hindawi publishing corporation. 2013. Hlm : 1-7
8. Kramer U, Sagi L, Stren HG, Zelnik N, Nissenkorn N, Zeev BB. Absences Epilepsy.
Montreal: Elsevier. 2004. Hlm 517-524.
9. Sadleir LG, Scheffer IE, Smith S, Carstensen B, Farrel K, Connolly MB. EEG Features
of Absence Seizure in Idiopathic Generalized Epilepsy: Impact of Syndrome, Age, and
State. Epilepsia. 2009; 50(6): 1572-1578.
10. Allen R. Childhood absence Epilepsy and Juvenile Absence Epilepsy in Epilepsy
syndrome. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010. Hlm:169-174.
11. Go CY, snead OC. Childhood Absence Epilepsy in Pediatric Epilepsy. New York: Mc
Graw Hill Medical. 2013. Hlm: 257-267.
12. Octaviana F, Khosama H. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Kususmastuti K,
Gunadharma S, Kustiowati E, editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. PERDOSI.
2014.Hlm. 1-4.
13. Rima Nabbout, Olivier Dulac. Epileptic Syndromes in infancy and Childhood. Current
Opinion in Neurology. New York. 2008,21. Hlm: 161-166.

Anda mungkin juga menyukai