Tinjauan Ergonomi Pada Perajin Batok Kelapa Dengan Bantuan Mesin Amplas Modifikasi Di Griya Handicraft Desa Tampaksiring-Gianyar Bali
Tinjauan Ergonomi Pada Perajin Batok Kelapa Dengan Bantuan Mesin Amplas Modifikasi Di Griya Handicraft Desa Tampaksiring-Gianyar Bali
OLEH
IDA BAGUS KT. TRINAWINDU S.Sn., M.Erg
NIP. 197604012003121002
1
ABSTRAK
Judul : TINJAUAN ERGONOMI PADA PERAJIN BATOK KELAPA DENGAN
BANTUAN MESIN AMPLAS MODIFIKASI DI GRIYA HANDICRAFT, DESA
TAMPAKSIRING-GIANYAR, BALI
Perkembangan seni di Bali tidak bisa terlepas dari budaya masa lampau yang dikenal
dengan sebutan budaya lokal dan di dalamnya terkandung nilai nilai seni tradisional yang
kental. Dunia telah mengakui bahwa kerajinan batok kelapa di Desa Tampaksiring sudah
mempunyai nilai estetika dan nilai fungsional yang sangat tinggi. Dengan adanya
perkembangan bentuk desain, alat yang digunakan pun mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Ketinggian bidang kerja yang digunakan sebaiknya memperhatikan aspek-
aspek ergonomi yang ada. Salah satunya adalah jika pekerjaan yang dilakukan dengan
ketelitian/konsentrasi tinggi sebaiknya tinggi meja sejajar siku penggunanya. Posisi tubuh
dalam bekerja perlu mendapatkan perhatian agar tidak terjadi sikap paksa. Dengan
adanya sikap paksa akan menyebabkan adanya beban kerja tambahan yang tidak perlu
dan sikap paksa tersebut akan menyebabkan tidak optimalnya kemampuan yang
dipergunakan dalam bekerja. Sistem pemberian upah di Griya Handicraft terhadap
perajin yang bekerja di industri batok kelapa pada penelitian ini ada dua macam yaitu
sistem upah harian dan sistem upah borongan. Untuk mengatasi masalah debu sisa
pengamplasan ini seharusnya disediakan karung basah berhadapan langsung dengan
mesin sehingga debu sisa pengamplasan tersebut masuk dan menempel di dinding
karung.
2
TINJAUAN ERGONOMI PADA PERAJIN BATOK KELAPA DENGAN BANTUAN
MESIN AMPLAS MODIFIKASI DI GRIYA HANDICRAFT, DESA TAMPAKSIRING-
GIANYAR, BALI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat di Desa Tampaksiring pada awalnya berkecimpung pada kerajinan
tulang. Akan tetapi belakangan ini mereka mulai memanfaatkan batok kelapa sebagai
bahan baku berbagai macam keajinan. Batok kelapa yang dulunya hanya dimanfaatkan
sebagai arang atau dibiarkan berupa limbah yang tidak bermanfaat. Akan tetapi saat ini
batok kelapa banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan hiasan lampu, alat-
alat dapur dan pelengkap interior rumah. Dengan demikian batok kelapa bertambah nilai
fungsionalnya setelah berada di desainer-desainer muda yang memiliki jiwa seni dan
keahlian dalam memanfaatkan berbagai macam bentuk yang dituangkan kembali dalam
sebuah karya seni yang tidak ternilai harganya.
Perkembangannya pun dapat dikatakan sangat pesat, terbukti dari terciptanya
berbagai desain yang mampu menarik minat wisatawan mancanegara yang berkunjung ke
Tampaksiring baik untuk koleksi pribadi maupun untuk dijual kembali di Negara asalnya.
Dengan semakin populernya kerajinan batok kelapa ini membuat kerajinan yang lainnya
semakin berkurang permintaanya di pasar dunia. Dunia telah mengakui bahwa kerajinan
batok kelapa di Desa Tampaksiring sudah mempunyai nilai estetika dan nilai fungsional
yang sangat tinggi. Dengan adanya perkembangan bentuk desain, alat yang digunakan
pun mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan seni di Bali tidak bisa
terlepas dari budaya masa lampau yang dikenal dengan sebutan budaya local dan di
dalamnya terkandung nilai nilai seni tradisional yang kental. Seni adalah keindahan yang
diciptakan oleh manusia, selain itu seni merupakan suatu produk keindahan atau suatu
usaha manusia dalam menciptakan keindahan (Soedarso, 1992).
3
Sebelum adanya perkembangan desain, perajin membersihkan/ mengamplas batok
kelapa menggunakan alat sederhana berupa amplas dengan bantalan karet dan digosok
dengan menggunakan tangan. Begitu juga pada saat membuat motif-motif di atas batok
kelapa, mereka menggunakan pahat untuk melubangi dan pengutik untuk menghaluskan.
Kedua alat tersebut sangat dominan dimanfaatkan dalam proses pembuatan berbagai
macam motif yang diukir pada batok kelapa. Gagang kedua alat tersebut berpotensi
menimbulkan keluhan otot pada tangan jika digunakan dalam waktu relative lama apalagi
kalau disertai dengan diameter gagang yang tidak antropometris.
Saat ini para perajin ketika membersihkan serabut kelapa yang masih menempel
di batok kelapa sudah mempergunakan alat bermesin yang dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga dalam pengoperasiannya mendapatkan hasil yang diharapkan. Dengan
menggunakan alat modifikasi ini perajin mendapatkan hasil yang sangat signifikan, jika
sebelumnya mereka hanya bisa mengerjakan 15-20 batok, namun setelah adanya mesin
ini meraka bisa melipat gandakan hasil sampai 50 batok per harinya. Seirama dengan
peningkatan jumlah produk yang dihasilkan ternyata dengan tidak disadari oleh para
perajin, dimana posisi penempatan mesin masih dalam posisi yang tidak fisiologis karena
menimbulkan sikap kerja yang tidak alamiah atau sikap kerja yang terlalu dipaksakan.
Kondisi seperti ini dapat menimbulkan berbagai keluhan sistem musculoskeletal,
kelelahan dan meningkatnya beban kerja. Kondisi ini akan semakin diperburuk dengan
paparan bising dan vibrasi dari alat tersebut yang melebihi nilai ambang batas. Debu yang
dihasilkan dari proses penghalusan tersebut juga berpotensi sebagai penyebab munculnya
penyakit akibat kerja khususnya yang berkaitan dengan sistem respirasi atau pernapasan.
Dalam melakukan aktivitasnya, perajin duduk bersila di lantai beralaskan papan
dalam posisi membungkuk ketika mengoperasikan mesin dynamo dalam menghaluskan
batok kelapa. Bidang kerja pada proses penghalusan tersebut tidak sesuai dengan
antropometri perajin sehingga dapat meningkatkan beban kerja. Kondisi seperti ini jika
dilakukan secara terus menerus juga dapat mengakibatkan keluhan-keluhan otot yang
dirasakan setelah mereka bekerja bahkan jika terjadi akumulasi kelelahan akan mereka
rasakan sampai keesokan harinya.
4
Dalam rangka memperoleh suatu cara, sikap, alat dan lingkungan kerja yang
sehat/aman perlu berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia.
Dengan tujuan yang ideal adalah mengatur pekerjaan tersebut berada dalam batas-batas
di mana manusia bisa mentolerirnya, tanpa menimbulkan kelainan-kelainan
(Manuaba,1998). Meja dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan digunakannya
tenaga yang diperlukan untuk keperluan tertentu. Dalam kaitan ini, adanya meja-meja
dengan ukuran setinggi tinggi siku, 10-20 cm di bawah siku akan sangat menolong
(Manuaba,1998). Di samping itu pengkajian organisasi kerja dan lingkungan sangat
diperlukan dalam mengatasi kondisi kerja yang tidak ergonomis sehingga tidak
menimbulkan penyakit akibat kerja dan pekerjaan akan bisa dialakukan secara efektif dan
efisien serta tercapainya produktivitas yang setinggi-tingginya.
5
2. Mengetahui sikap kerja perajin batok kelapa di Griya Handicraft pada saat
beraktivitas.
3. Mengetahui sistem pengupahan pada industry kerajinan batok kelapa di Griya
Handicraft.
4. Mengetahui pengaturan jam kerja pada industry kerajinan batok kelapa di Griya
Handicraft.
5. Mengetahui kondisi lingkungan pada industry kerajinan batok kelapa di Griya
Handicraft.
6
e. Wawancara dengan para perajin untuk mengetahui sistem pengupahan dan waktu kerja.
7
a. Sikap Kerja Salah/ Paksa
Sikap jongkok atau duduk jongkok dilantai, membungkuk, berdiri, duduk miring, duduk
lama tanpa sandaran, sikap angkut dan angkat yang keliru
b. Penyebab hal tersebut dilakukan
Sudah merupakan kebiasaan/budaya,tidak tahu bagaimana yang benar/betul,terpaksa
melakukannya karena ruang terbatas atau alat/mesin yang dioperasikan memaksa
demikian, mencontoh yang sudah- sudah dari kawannya, tidak bisa sikap lain
c. Akibat
- Cepat lelah kalau dilakukan berkepanjangan
- Bisa terjadi kecelakaan
- Menurunnya produksi dan produktivitas
- Rasa sakit antar bagian tubuh yang berhimpitan terus menerus satu sama lainnya
d. Perbaikan
1. Sikap Jongkok
a. Menggali lubang untuk memberikan kasempatan duduk dilantai
b. Mengangkat/meninggikan medan kerja keseluruhan
2. Sikap Duduk Jongkok ( biasanya beralaskan kursi/bangku/dingklik yang rendah)
Kursi /bangku /dingklik yang rendah ditinggikan dan medan kerja bersama-sama
3. Sikap Membungkuk
hal ini dilakukan karena medan kerja yang rendah, hal ini dapat diperbaiki antara lain
dengan meninggikan medan kerja
4. Sikap Berdiri
Dengan memberikan tempat duduk (keramik), dengan menaikan tinggi tubuh dengan
mempergunakan tumpuan kaki (tegel)
5. Sikap Yang Tidak Alamiah
Diperbaiki dengan memberian dingklik, menaikan medan kerja, membuatkan sandaran
kaki,lengan atau tangan
6. Sikap Duduk lama tanpa Sandran
Dimotivasi untuk membuat sandaran baik pinggang, kaki maupun lengan
8
7. Sikap Angkat dan Angkut yang salah terutama dengan membungkuk dimotivasi dengan
mempergunakan cara yang betul.
10
Perajin dan atasan di industri kecil ini memiliki sebuah kesepakatan mengenai kerja
lembur yang biasanya dilakukan apabila pesanan sangat banyak. Perajin kerja lembur mulai
pukul 19.00 wita sampai dengan pukul 22.00 wita, namun tidak menutup kemungkinan melebihi
jadwal yang telah diberikan. Dengan kondisi yang seperti ini dapat berisiko memunculkan
penyakit akibat kerja karena secara ergonomic kerja lembur hanya diperbolehkan selama 30
menit dan itupun tidak boleh tiap hari. Lembur seharusnya tidak menjadi sesuatu yang wajib
untuk pekerja, melainkan pekerja berhak untuk diajak konsultasi dan ditanya apakah mereka siap
untuk kerja lembur. Karena pengetahuan fisiologis dan pengalaman menunjukkan bahwa kerja 8
jam sehari tidak bisa dilebihkan tanpa kerugian, terutama bagi pekerja yang padat kerya.
Menambah jam kerja hanya dapat ditolerir pada pekerjaan yang ringan atau jenis pekerjaan yang
memiliki kesempatan banyak istirahat atau banyak waktu yang digunakan untuk menunggu.
Dalam banyak kasus, bekerja melebihi 10 jam kerja sehari mengakibatkan penurunan dalam total
prestasi; menurunnya kecepatan kerja yang disebabkan kelelahan (Sastrowinoto, 1985). Lebih
lanjut Kroemer (1994), mengungkapkan bahwa, kerja lembur menyebabkan kekurangan tidur
yang dapat menyebabkan: memburuknya daya reaksi; menurunnya/gagal respon; lambat dalam
berfikir dan mengingat. Jika berturut-turut kekurangan waktu tidur maka, performen kerja akan
lebih buruk pada hari ke dua dan ketiga. Walaupun ada beberapa yang malah terbiasa, dan pada
performen kerjanya setelah hari keempat, yang sangat tergantung dari motivasi dan ketertarikan
terhadap pekerjaan.
Kondisi lingkungan yang ada dilapangan menunjukan sebuah lingkungan kerja yang
kurang sehat. Ditinjau dari aspek kesehatan, terlalu banyak debu sisa pengamplasan yang
diterbangkan oleh angin keluar ruang kerja sehingga menyebabkan beberapa tempat di sekitar
tempat kerja tersebut berdebu. Kalau hal ini dibiarkan berlangsung lama, dapat menyebabkan
sakit atau keluhan-keluhan sistem pernapasan perajin dan penghuni yang lainnya.
4. PENUTUP
4.1Simpulan
Bertolak dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Tinggi bidang kerja pada proses pengamplasan batok kelapa tidak sesuai dengan
antropometri pekerja sehingga berisiko memunculkan keluhan musculoskeletal.
2. Posisi tubuh dalam bekerja juga tidak fisiologis atau menimbulkan sikap paksa sehingga
dapat meningkatkan beban kerja, kelelahan, dan keluhan otot.
3. Sistem pengupahan yang diterapkan di perusahaan batok kelapa adalah dengan dua
sistem yaitu upah harian dan borongan yang merupakan kesepakatan antara perajin dan
pengelola.
4. Rerata jam kerja perhari di perusahan batok kelapa adalah 8 jam kerja dan ditambah
dengan kerja lembur kurang lebih 4 jam per hari. Kondisi yang seperti ini berisiko
menimbulkan penyakit akibat kerja.
5. Kondisi lingkungan yang paling dominan memapar para pekerja adalah debu yang
berasal dari proses pengamplasan. Jika ini dibiarkan dapat berisiko memunculkan
keluhan atau kelainan pada sistem pernapasan.
4.2 Saran
Saran yang tampaknya penting untuk disampaikan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Dalam mengatasi sikap kerja yang tidak fisiologis disarankan agar tinggi bidang kerja
disesuaikan dengan antropometri pekerja.
2. Jam kerja yang berkepanjangan diupayakan tidak dilakukan secara terus menerus
karena berisiko memunculkan penyakit akibat kerja.
13
3. Untuk mengatasi masalah debu sisa pengamplasan seharusnya disediakan karung
basah yang berhadapan langsung dengan mesin sehingga debu sisa pengamplasan
tersebut masuk dan menempel di karung basah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Grandjean, E. 1988. Fitting The Task to The Man: A Textbook of Occupational
Ergonomics. 4th. Edition. London: Taylor & Francis Ltd.
2. Kroemer K.H.E., Kroemer, H.B., Kroemer, K.E. 1994. Ergonomics How to Design for
Easy & Efficiency. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
3. Manuaba, A. 1988. Gizi Kerja dan Produktivitas. Denpasar: Bagian Faal, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
4. Manuaba, A. 1998a. Bunga Rampai Ergonomi: Vol I. Program Pascasarjana Ergonomi-
Fisiologi Kerja Universitas Udayana, Denpasar.
5. Manuaba, A. 1998b. Peranan Ergonomi dalam Mencegah Kecelakaan Pesawat
Terbang. Disampaikan dalam Simposium Kesehatan Penerbangan di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, 12 Desember 1998. Denpasar.
6. Nada, I Made. 2003. Perbaikan Sikap KerjaMenurunkan Beban Kerja Pekerja
Perontok Padi Lokal pada Penyohsohan Beras ’SU’ di Desa Babahan Penebel
Tabanan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
7. Puja, I B. 1999. Perbaikan Sikap Kerja Duduk Mengurangi Gangguan sistem
Muskuloskeletal dan Meningkatkan produktivitas Kerja Perajin Batok Kelapa di Desa
Koripan Banjarangkan, Klungkung Bali. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Denpasar.
8. Sastrowinoto, S. 1985. Peningkatan Produktivitas dengan Ergonomi. Jakarta:
PT. Pertja.
9. Sena, A Gde. 2000. Perbaikan Sikap Kerja Duduk Menurunkan Keluhan subjektif dan
Meningkatkan produktivitasPenenun Cagcag di Desa Gelgel, Klungkung Bali. Tesis
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
10. Singarsa, I.B. 2000. Sikap Kerja Berdiri dengan Sistem Terasering Mengurangi Beban
Kerja dan Meningkatkan Produktivitas Penambang Batu Padas di Desa Werdhi
Bhuwana, Kecamatan Mengwi Badung. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Denpasar
11. Soedarso, SP.1990 Tinjauan Seni I. Yogyakarta: Suku Dayar Sana. 1992. Seni Patung
Indonesia. Yogyakarta: Badan Penelitian ISI Yogyakarta.
14