Anda di halaman 1dari 4

DANA DESA SWAKELOLA DAN PADAT KARYA

(Antara Pemerataan dan Kemandirian Desa dengan Reduksi atas Tata


Nilai Yang Ada)

Pernyataan Presiden pada tanggal 3 November yang kemudian diikuti oleh pernyataan
beberapa menteri seperti Menteri Keuangan, Menteri Desa PDTT dan Menteri PMK agak
membuat sedikit senam otak. Secara singkat, ada 4 point utama dalam pernyataan
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Padat karya (cash for work), mengurangi angka kemiskinan dan membuka
lapangan kerja digunakan untuk kegiatan infrastruktur yang bersifat jangka pendek.
2. Diperkuat juga dengan program kementerian di desa, untuk mengembangkan
sektor-sektor unggulan yang bisa menjadi motor penggerak perekonomian, membuka
lebih banyak lapangan pekerjaan di daerah dan di desa, mulai dari industri kecil-
menengah, agrobisnis, budi daya perikanan dan sebagainya.
3. Sistem pelaporan yang sederhana dengan penguatan sistem kontrol dari BPKP
dan dari lembaga pengawasan lainnya.
4. Reformulasi dari alokasi anggaran Desa sehingga lebih fokus kepada desa yang
tertinggal dengan jumlah penduduk miskin yang lebih tinggi
Dari ke empat point diatas, yang perlu untuk didiskusikan adalah point 1 dan point 3,
sehingga dalam tulisan ini mencoba membahas point 1 dan point 3. Ada beberapa alas
an kenapa point 1 dan point 3 diantaranya adalah:
1. Terkait swakelola, seolah-olah selama ini desa tidak menerapkan system swakelola.
Pada saat desa menunjuk penyedia jasa konstruksi, seolah-olah dianggap salah dan
dianggap bukanlah swakelola.
2. Terkait padat karya, seakan membawa pada romantisme sejarah yang mana padat
karya merupakan warisan kultural masa Orde Baru
3. Penyederhanaan system pelaporan yang dipertentangkan dengan penguatan BPKP
dan Lembaga Lainnya dalam pengawasan Dana Desa.

LOGIKA DASAR
Memaknai swakelola secara sempit dan hanya sebatas pada pelaksanaan pekerjaan,
sehingga yang muncul adalah bahwa semua pekerjaan tidak boleh dilakukan oleh pihak
ketiga. Benarkah swakelola tidak boleh menggunakan pihak ketiga dalam
pelaksanaannya? Sebagai tongkat penolong untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari
kita bahas satu per satu. Terkait dengan pelaksanaan pekerjaan dengan cara swakelola
maka tidak terlepas dari mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa di Desa. Pengadaan
Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Pemerintah Desa, baik
dilakukan dengan cara swakelola maupun melalui Penyedia Barang/Jasa. Dilihat dari
judul kalimat, menunjukkan bahwa ada dua jenis pengadaan yaitu pengadaan barang
dan pengadaan jasa. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,
bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan
atau dimanfatkan oleh pengguna barang. Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan
yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud
fisik lainnya. Jasa Konsultansi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan
keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir
(brainware); Swakelola adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya
direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Tim Pengelola Kegiatan.

Meminjam makna swakelola diatas maka pada saat desa tidak dapat membuat barang
sendiri, seperti misalnya saja laptop, komputer, semen, besi, batu bata, batu belah, pasir,
dll, maka dalam pengadaan barang, desa menggunakan penyedia barang (toko / supplier
/ laveransir). Kemudian, pada saat desa tidak dapat merencanakan kebutuhan anggaran
biaya yang dibutuhkan pada pekerjaan konstruksi, desa menggunakan penyedia jasa
konsultasi perencanaan.
Dari dua contoh diatas, kira-kira dalam pengadaan barang/jasa, desa merencanakan dan
melakukan sendiri secara swakelola atau menggunakan pihak penyedia barang/jasa?
Jika, jawabannya adalah termasuk kategori menggunakan penyedia barang/jasa, lalu
dimana letak swakelolanya? Bukankah pada saat desa membeli semua barang-barang
atau pada saat desa meminta bantuan jasa perencanaan kepada pihak lain, pada saat
itu juga sudah menggunakan penyedia barang/jasa dan sudah tidak lagi swakelola?
Tetapi jika jawabannya adalah swakelola dengan alasan bahwa desa merencanakan dan
membeli sendiri semua kebutuhan barang-barang/jasa, maka kita juga harus konsisten
juga bahwa pada saat desa menggunakan penyedia jasa konstruksi dalam pelaksanaan
pekerjaan, maka hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai swakelola.
Jadi sekali lagi kita harus konsisten dengan logika berpikir kita dimana, jika desa membeli
semua barang yang dibutuhkan dan menunjuk penyedia barang adalah masuk dalam
kategori swakelola, jika desa menunjuk/memilih penyedia jasa perencana masuk dalam
kategori swakelola, maka menunjuk sendiri penyedia jasa konstruksi adalah dalam
kategori swakelola juga.

Lebih sedehananya adalah seperti ini:

Premis 1 = menunjuk penyedia barang adalah swakelola


Premis 2 = menunjuk penyedia jasa perencana / jasa konsultasi adalah
swakelola

Maka,

Konklusivenya = menunjuk penyedia jasa konstruksi adalah swakelola

HISTORICAL MOMENT : PADAT KARYA (Cash For Work)


Kata Padat Karya mulai familiar sejak jaman Orde Baru dimana masyarakat yang bekerja
bekerja secara gotong-royong dibarikan imbalan uang sebesar upah harian orang kerja.
Tujuannya adalah memberikan reward bagi masyarakat yang berpartisipasi secara aktif
dalam pembangunan desa. Selain itu juga memberikan tambahan penghasilan,
meningkatkan penghasilan bagi masyarakat yang kurang mampu yang pada akhirnya
meningkatkan daya beli masyarakat. Di masa Orde Baru ada program Bantuan Desa
yang sering disebut dengan BanDes dimana pengelolaannya dikerjakan dengan padat
karya. Masyarakat bekerja setengah hari seperti gotong-royong tetapi mendapatkan
upah penuh satu hari.
Apa dampak yang terjadi ketika sistem padat karya diberlakukan? Yang terjadi adalah
sangat sedikit sekali pengaruhnya terhadap peningkatan penghasilan masyarakat karena
padat karya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan tidak berkelanjutan. Di satu
sisi pemerintah hendak meningkatkan penghasilan masyarakat, tetapi ada dampak
negative yang sangat luar biasa besarnya dimana padat karya justru menghilangkan
sistem tata nilai yang sudah terbangun di masyarakat sejak berabad-abad lamanya.
Semangat gotong-royong yang menjadi system tata nilai yang sudah terbangun dan
terlembagakan sejak lama, terkikis oleh sistem padat karya yang hanya sebentar. Sejak
diberlakukannya padat karya, masyarakat enggan untuk bergotong-royong membangun
desanya. Terbukti dalam proyek-proyek Bantuan Desa pada masa Orde Baru yang
mensyaratkan adanya swadaya (dalam bentuk uang, tenaga, material), tidak ada
swadaya yang muncul. Yang ada hanyalah laporan swadaya secara fiktif, karena ada
ketakutan dari pihak desa jika tidak mencantumkan swadaya, tidak akan mendapatkan
bantuan lagi dari pemerintah yang masuk ke desa.
Hal ini menunjukkan ada pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat dimana segala
sesuatunya dinilai dengan uang. Orang tidak mau bekerja jika tidak mendapatkan upah.
Semangat sukarela, saling membantu, semangat gotong-royong, terkikis oleh yang
namanya padat karya. Semangat kolektiv yang sudah terlembagakan dan terbangun di
masyarakat bergeser kearah individualis dan serba dihitung dengan uang. Pasca
reformasi, semangat kerelawanan/volunterism, semangat saling membantu, gotong-
royong yang merupakan system tata nilai yang sudah terlembagakan dimasyarakat sejak
berabad-abad namun hampir hilang sejak masa Orde Baru, coba dipulihkan kembali
melalui program-program inklusi seperti P2KP dan PPK yang semuanya mensyaratkan
adanya swadaya dari masyarakat baik dalam bentuk uang, tenaga, pikiran dan juga
material. Harapannya adalah terbangunnya kesadaran kritis masyarakat yang mempu
menemukenali masalah dan potensi di desanya masing-masing. Ketika masyarakat bisa
menggali semua potensi yang ada di desa, masyarakat tidak lagi tergantung oleh uang
bantuan yang masuk ke desa. Tetapi yang terjadi adalah masyarakat justru semakin
ketergantungan terhadap BLM yang masuk ke desa.
Lalu bagaimana dengan program padat karya yang diinternalisasikan melalui Dana
Desa? Kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Pelaksanaan
kegiatan infrastruktur yang ada di desa, sifatnya juga sama dengan masa sebelumnya :
temporer. Maka tidak dapat dijadikan jaminan bahwa padat karya ala UU Desa akan
dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dan jika ditelusuri lebih jauh lagi, kegiatan
yang sifatnya infrastruktur hanya akan memberikan keuntungan bagi korporasi modal.
Uang yang masuk ke desa, minimal 70% akan dinikmati keuntungannya oleh perusahaan
semen, aspal, besi, dll perusahaan modal besar. Keuntungan akan dinikmati oleh para
kontraktor yang masuk ke desa, masyarakat hanya mendapatkan bagian sisa yang
berupa upah tenaga kerja, itupun bersifat temporer dan tidak dapat dijadikan sebagai
jaminan untuk mendapatkan penghasilan yang pasti apalagi layak. Jika pola seperti ini
yang dibangun maka selamanya desa tidak akan dapat memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat jika terjebak pada persoalan infrastruktur dengan sistem padat karya.

PENYEDERHANAAN SPJ DENGAN PENGUATAN BPKP DAN INSPEKTORAT.


Pernyataan bahwa perlu ada penyederhanaan SPJ tetapi diperkuat pengawasannya oleh
BPKP dan Inspektorat merupakan sebuat statement yang kontraproduktif. Desa bisa saja
dan tentunya sangat senang jika system pelaporan yang ada amat sangat sederhana.
Tetapi tidak dapat dihindari pula jika ada penguatan pengawasan yang dilakukan oleh
pihak BPKP dan Inspektorat atau lembaga lainnya, tentu tidak sesederhana yang
dibayangkan. Pihak BPKP ataupun Inspektorat akan selalu mengacu pada regulasi yang
ada terkait pengelolaan keuangan desa yaitu mengacu pada Permendagri 113. Dan
sebagai turunan atas regulasi yang ada, BPKP telah mengeluarkan aplikasi Sistem
Keuangan Desa yang hingga saat ini masih banyak desa-desa yang mengalami
kebingungan dalam implementasinya. Jadi hampir tidak mungkin menyederhanakan
system pelaporan di desa jika melakukan penguatan BPKP untuk melakukan
pengawasan. Kecuali jika ada perubahan regulasi yang mengaturnya. Yang lebih penting
dari hal tersebut diatas, apakah system pelaporan yang sangat sederhana sudah dapat
merepresentasikan adanya transparansi dan akuntabilitas? Jika belum, maka
penyederhanaan system pelaporan jangan sampai mereduksi spirit UU Desa yang
membangun system transparansi dan akuntabilitas keuangan desa.
APA DAN BAGAIMANA?
Saat ini desa dihadapkan pada pertarungan menghadapi korporasi modal besar. Pola
perlawanan tidak dapat dilakukan secara konvensional yang hanya mengandalkan
proyek padat karya. Jika jalan itu yang selalu ditempuh maka, desa selamanya hanya
akan menjadi sapi perahan bagi kekuatan kapital. Para kontraktor sudah mengepung
desa, para pemilik perusahaan semen, aspal, besi, pengusaha tambang batu kali, pasir,
dll sudah mengincar kekayaan desa. Desa berada dalam kepungan arus penetrasi
kapital, maka kekuatan modal harus dilawan dengan kekuatan modal. Bangun kekuatan
modal di desa dengan membangun perusahaan konstruksi yang ada di desa. Jangan
biarkan kontraktor masuk desa dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sedangkan
desa hanya mendapatkan sisa upah tenaga kerja. Jika desa sudah punya perusahaan
konstruksi sendiri di bawah unit usahanya BUMDes, bukankah keuntungan yang di dapat
tidak akan lari keluar desa? Bukankah keuntungan yang diperoleh dari hasil kerja, dapat
dikembalikan lagi kepada masyarakat? Dan kembali pada pemahaman di awal, jika
pengadaan jasa konstruksi merupakan swakelola maka tidak salah juga jika desa
membangun perusahaan konstruksi dan menjadi penyedia jasa konstruksi di desanya.
Dari berbagai pengalaman yang sudah ada bahwa BUMDes yang dapat berkembang, di
belakangnya ada sistem manajemen yang sudah mapan. Maka desa perlu membangun
sistem tata kelola desa yang professional dengan menjaring orang-orang yang akan
terlibat dalam pengelolaan BUMDes.

Hanya sebatas opini...


Salam dari Desa…

Anda mungkin juga menyukai