Anda di halaman 1dari 50

Tutorial Klinik

Anatomi, Fisiologi, Pemeriksaan, Patofisiologi


Hidung & Sinus Paranasal
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher

(THT –KL)

Disusun oleh :

Kiki Febriani

01.211.6430

Pembimbing :

Kolonel CKM Dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG


2015

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tutorial Klinik

Anatomi, Fisiologi, Pemeriksaan dan Patofisiologi

Hidung & Sinus Paranasal

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik dibagian Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal : 1 Oktober 2015

Disusun oleh :

Kiki Febriani

Magelang, 1 Oktober 2015

Dosen Pembimbing

Kolonel CKM Dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, dan tidak lupa sholawat dan salam yang senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tutorial klinik dengan judul “Anatomi, Fisiologi, Pemeriksaan dan
Patofisiologi Hidung & Sinus Paranasal”.

Laporan tutorial klinik ini disusun sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher Rumah Sakit Tk. II
Dr. Soedjono. Sebagai penghargaan, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada Kolonel CKM Dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL
selaku pembimbing dalam penyusunan tutorial klinik ini.

Kami sebagai penulis menyadari sepenuhnya berbagai kekurangan yang masih


jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, semoga laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Wa’alaikumsalam wr.wb

Magelang, 1 Oktober 2015

Penulis
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

A. ANATOMI HIDUNG

1. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :

Hidung Luar
Berbentuk piramid,
bagiannya (dari
atas ke bawah) :
•Pangkal hidung
(bridge)
•Dorsum nasi
•Puncak hidung
•Ala nasi
•Kolumela
•Lubang hidung
(nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis

pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan

menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),

antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada

bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

- Superior : os frontal, os nasal, os maksila


- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan

kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi

fleksibel.

Perdarahan :

1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,

cabang dari a. Karotis interna).

2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,

cabang dari A. Karotis interna)

3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

Persarafan :

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

2. Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang

membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan

dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas –

batas kavum nasi :

Posterior : berhubungan dengan nasofaring


Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian

os vomer

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya

konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan

dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan

sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan

dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut

sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.

Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka

nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.

Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan

belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan

sinis sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak

di bagian ini.

Perdarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang

merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang

dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan

bersama – sama arteri.


Persarafan :

1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.

Etmoidalis anterior

2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum

masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi

N. Sfenopalatinus.

3. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian

besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang

mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena

aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel

epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah

karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini

dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia

(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam

sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu

berwarna coklat kekuningan.

B. STRUKTUR HISTOLOGY

 Epitel organ pernafasan yang biasa berupa toraks bersilia, bertingkat palsu,

berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, bergantung pada tekanan dan

kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara.

Mukoa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui internum masih

dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa silia, lanjutan dari epitel kulit vestibulum.

Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks bersilia pendek dan

agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus

ekspirasi memiliki silia yang panjang dan tersusun rapi.

 Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran udara lambat

atau lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber dari

mucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.

 Terdapat dua jenis kelenjar mukosa pada hidung, yakni kelenjar mukosa

respiratori dan olfaktori. Mukosa respiratori berwarna merah muda sedangkan

mukosa olfaktori berwarna kuning kecoklatan.

 Silia, struktur mirip rambut, panjangnya sekitar 5-7 mikron, terletak pada

permukaan epitel dan bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan,

kemudian membengkok dan kembali tegak secaralambat.


C. FISIOLOGI HIDUNG

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media

dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk

lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian

mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran

udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung

dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan

pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan

partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir

ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada

atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat.

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan

menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga

mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung dan pankreas.

D. System transport mukosiliar

 Merupakan pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri dan jamur atau

partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas system transport silier

dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir (dihasilkan oleh sel2 goblet pada epitel

dan kelenjar seruminosa submukosa).

 Bagian bawah palut lendir terdiri dari cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim,

inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (fx : mengeluarkan

mikroorganismedari jaringan dengan mengikat antigen tsb pada lumen saluran napas)

 Bagian permukaannya terdiri dari mucus yang lebih elastic dan banyak mengandung

protein plasma seperti albumin, IgG (fx : beraksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi

inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri), IgM dan factor komplemen .

 Pada sinus maxilla, system transport silia  menggerakkan secret sepanjang dinding

anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo

/ bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental

tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negative dan berkembangnya

infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah

transport, dan secret akan melewati mukosa yang rusak tsb. Tetapi jika secret lebih

kental, secret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.


 Gerakan system transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral 

secret berjalan menuju septum interfrontal  atap, dinding lateral dan bagian inferior

dari dinding anterior dan posterior  resessus frontal.

 Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar :

a. Rute pertama

Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maxilla dan etmoid anterior. Secret ini biasanya

bergabung di dekat infundibulum etmoid  selanjutnya berjalan menuju tepi bebas

processus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior  nasofaring melewati

bagian anteroinferior orifisium tuba eustachii  berlanjut ke batas epitel bersilia dan

epitel skuamosa pada nasifaring  selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya

gravitasi dan proses menelan.

b. Rute kedua

Gabungan sekresi sinus etmois posterior dan sphenoid  bertemu di recessus sfenoetmoid 

menuju ke nasofaring pada bagian posterosuperior orifisium tuba eustachii.

E. KELAINAN KELAINAN PADA HIDUNG

RINITIS

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

a. Alergen Inhalan

Yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya debu rumah, tungau, serpihan

epitel, dan bulu binatang serta jamur.

b. Alergen Ingestan
Yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.

c. Alergen Injektan

Yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah.

d. Alergen Kontaktan

Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik,

perhiasan.

Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri

dari:

a. Respons primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik

dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi

berlanjut menjadi respon sekunder.

b. Respons sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah system

imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil

dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada

defek dari system imunologik maka reaksi berlanjut dengan respon tertier.

c. Respons tertier

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklafikasikan reaksi ini atas 4 tipe:


a. Tipe 1 (reaksi anafilaksis)

b. Tipe 2 (reaksi sitotoksik/sitolitik)

c. Tipe 3 (reaksi kompleks imun)

d. Tipe 4 (reaksi tuberculin)

WHO Initiative ARIA (Alletgic Rhinitis and Its Impact on Asthma) membagi berdasar sifat

berlangsungnya yaitu:

a. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 minggu

b. Persisten (menetap): Bila gejala lebih dari 4 minggu

Berdasar tingkat berat ringannya dibagi menjadi

a. Ringan: Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar dll

b. Sedang atau berat: Bila disertai gejala diatas lebih dari 1.

Berdasar sifat berlangsungnya

a. Rinitis alergi musiman

Alergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena

itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang

tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

 Penyebab paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen

ingestan.

 Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah

(outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di selimut, karpet, buku-buku, sofa.
Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan fases tungau D.

Pteronyssinus, D. Farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan

(anjing, kucing, burung). Alergen inhalan diluar rumah berupa polen dan jamur.

 Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai

dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.

 Pemeriksaan histologik:

Secara mikroskopik tamapak adanya dilatasi pembuluh dengan pembesaran sel goblet

dan sel pembentuk mukous. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa da

submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal.

 Patofisiologi rinitis alergi

Tahap Sensitisasi

Alergen masuk  diterima APC (makrofag/monosit)  setelah diproses Ag

membentuk fragmen2 pendek peptide & bergabung dg HLA II  dipresentasikan ke sel

Th0.

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin (IL 1)  mengaktifkan Th0 untuk

proliferasi menjadi Th1 / Th2

Catatan : bila pajanan bersifat sitotoksik  Th1

Bila allergen / cacing berarti  Th 2


KARENA ini merupakan rekasi alergi maka yang dibentuk adlah Th2  sitokin

(IL 3, IL 4, IL 5,dan IL 13) IL 4 & IL 13 akan berikatan dg reseptor di permukaan

limfosit B  mengaktifkan limfosit B Limf B memproduksi IgE  masuk ke

sirkulasi masuk ke jaringan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit/basofil

 sel mast danbasofil mjd Aktif menghasilkan SEL TERSENSITISASI

Tahap Provokasi / Reaksi alergi

Ada 2 jenis yaitu RAFC (yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1

jam setelahnya dan RAFL (yang berlangsung 2-4jam dengan puncak 6-8 jam setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpajan allergen yang sama  rantai Ig E

akan berikatan dg allergen spes  degranulasi mastosit + basofil  memproduksi

mediator kimia seperti histamine, prostaglandin D2, LT D4 (pada RAFC), dll  hidung

Hiperreaktif dan Hiperresponsif  bersin2, gatal, Rinore, hidung teersumbat.

 PADA RAFC

Sel mastosit memproduksi molekul kemotaktik  akumulasi sel eosinofil &

neotrofil di jaringan target

 PADA RAFL

Terjadi penambahan jumlah dan jenis sel2 inflamasi (eo,neu, limf, basofil,

/mast )di mukosahidung dan peningkatan sitokin dan secret hidung yang menigkat

(yang mengandung ICAM-1).

 Gejala klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain

ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata

gatal yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Gejala spesifik terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena

stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (gejala ini disebut allergic shiner). Sering

tampak anak menggosok-gosok hidung (disebut allergic salute). Keadaan menggosok

hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di

dorsumnasi bagian sepertiga bawah (disebut allergic crease)

 Diagnosis

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwama pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak.

c. Pemeriksaan naso endoskopi

d. Pemeriksaan sitologi hidung

e. Hitung eosinofil dalam darah tepi

f. Uji kulit

 Penatalaksanaan:

a. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya.

b. Simtomatis

- Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan

preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau

tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi-1 (kiasik) dan generasi-2 (non sedatif).

Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus

sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta

mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain

adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan

yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.

Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus

sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan

tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP

minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat

dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat

seperti rinore, bersin, gataf, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala

obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut

keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang

mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut


disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan

aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak.

Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin dan fexofenadin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai se-

bagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh

untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang

sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,

flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid

topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hi-

dung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,

mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini

menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan

alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin

menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada

respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi

dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil

terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.


Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang

adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

- Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior)

perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgN03 25% atau triklor asetat.

c. Imunoterapi

 Komplikasi:

a. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

b. Otitis media

c. Sinusitis paranasal

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis

alergi tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drenase

Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK UI


Rinitis akut

- Radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau

virus.

- Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan manifestasi :

- Rinitis simpleks (commod cold)

- Influenza

- Beberapa penyakit eksantesma (morbili, variola, varisela, pertusis), dan

beberapa penyakit infeksi spesifik.

- Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau

trauma.

a. Rinitis Simpleks (Pilek, Salesma, Common cold, Coryza)

Prnyakit ini sangat menular dan gejalanya dapat timbul sebagai akibat tidak adanya

kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya

penyakit menahun dll).

Etiologi :

 Rhinovirus

 Myxovirus

 Virus coxsackie

 Virus ECHO

Gejala :

Stadium prodormal (berlangsung beberapa jam)

 Rasa panas
 Kering

 Gatal dalam hidung

 Bersin bersin berulang

 Hidung tersumbah

 Ingus encer (disertai deman dan nyeri kepala)

 Permukaan hidung tampak merah dan membengkak

Infeksi sekunder oleh bakteri

 Sekret menjadi kental

 Sumbatan hidung >>

Bila tidak terjadi komplikasi  gejala akan berkurang  pasien sembuh

sesudah 5 -10 hari.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

 Sinussitis  Faringitis

 Tuba katar  Bronkitis

 Otitis media  Penumonia

Terapi :

Tidak ada terapi spesifik

Non medikamentosa :

 Istirahat

Medikamentosa (simtomatis) :
 Analgetik

 Antipiretik

 Obat dekongestan

Rinitis kronik

Penyebab : bukan karena radang ( kadang2 rinitis alergi, rinitis vasomotor dan rinitis

medikamentosa dimasukkan juga dalam rinitis kronis ).

Yang termasuk rinitis kronis :

1. Rinitis hipertrofi

2. Rinitis sika (sicca )

3. Rinitis spesifik

1) Rinitis hipertropi

Timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinud atau sebagai lanjutan dari

rinitis alergi dan vasomotor.

Gejala :

 Sumbatan hidung

 Sekret banyak mukopurulen

 Ada keluhan nyeri kepala

Pada pemeriksaan :

 Konka hipertropi (terutama konka inferior)

 Permukaannya berbenjol benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertropi

 saluran udara sempit


 Sekret mukopurulen yang banyak ditemukan di antara konka inferior dan

septum dan juga didasar rongga hidung.

Terapi :

 Harus dicari faktor2  yang menyababkan timbulnya rinitis hipertropi 

diberikan pengobatan yang sesuai.

 Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertropi konka  kauterisasi

konka dengan zat kimia (nitras argrnti atau asam triklor asetat).

Atau dengan kauter listrik (elektrokauter)

 Bila tidak menolong  dilakukan luksasi konka bila perlu dilakukan

konkotomi.

2) Rinitis sika

Penyakit ini sering ditemukan :

 pada orang tua

 pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, pnas dan kering.

 Pada pasien anemia, peminum alkhohol dan gizi buruk.

Ditemukan :

 Mukosa yang kering (bagian depan septum dan depan ujung konka inferior)

 Krusta sedikit / tidak ada

 Pasien mengeluh :

 Rasa iritasi / kering di hidung (kadang2 disertai epitaksis).

3) Rinitis spesifik

Karena infeksi spesifik :

1. Rinitis difteri
2. Rinitis atropi

3. Rinitis sifilis

4. Rinitis Tbc

5. Rinitis karena jamur

RINITIS NON INFEKSI

A. Rinitis vasomotorik (vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor

instability, non spesific allergic rinitis)

Gangguan vasomotor ialah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oelh bertambahnya aktivitas parasimpatis.

Etiologi : yag pasti belum diketahui, tapi diduga sebagai akibat ganggua

keseimbangan fungsi vasomotor.

Saraf otonom mukosa hidung berasal dari n.vidianus (yang mengandung serat saraf

simpatis dan para simpatis).

Rangsangan parasimpatis (yang lebih aktiv pada R.vasomotor)  dilatasi PD

dalam konka, me↑ permeabilitas kapiler dan sekresi kelenkar.

Rangsangan simpatis  efek sebaliknya.

Pada hipotalamus menerima implus efferen (rangsangan emosional dari pusat yang

lebih tinggi)  keseimbangan vasomotor dipengaruhi :

 Emosi, posisi tubuh, kelembapan udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani

dsb.

Faktor 2 yang mempengaruhi keseimbangan Vasomotor :

1. Obat2an yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis (spt : ergotamin,

chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal).


2. Faktor fisik (spt : iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembapan udara yang

tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedah dan panas).

3. Faktor endokrin (spt : kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan

hipotiroidisme).

4. Faktor psikis (spt : rasa cemas, tegang).

Gejala klinis :

 Harus memahami dulu, siklus nasal adalah kemampuan untuk dapat bernapas

dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah2 luasnya.

 Gx : hidung tersumbat bergantian kanan kiri (tergantung pada posisi pasien),

 Rinorhea mukus atau serus (kadang2 agak banyak).

 Jarang disertai bersin dan tidak terdapat rasa gatal pada mata.

 Gx memburuk pada pagi hari (waktu bangun tidur o/k adanya perubahan suhu

yang ekstrim, udara lembab) atau memburuk o/k asap rokok dsb.

Berdasarkan gejala yang menonjol  kelainan ini dibedakan 2 golongan :

1. Golongan obstruksi (blockers)

2. Golongan rinore (sneezers)

Diagnosis

a. Anamnesis :

Dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor  disingkirkan rinitis

alergi.

b. Pemeriksaan rinoskopi anterior (tampak gambaran klasik) :

 Edema mukosa hidung


 Konka berwarna merah gelap (merah tua)  karakteristik, tapi dapat pula

pucat.

 Dapat dibedakan dengan rinitis alergi  konka licin (berbenjol / tidak rata),

sekret mukoid (biasanya sedikt di rongga hidung).

 Pada go. Rinore  sekret serous dan banyak jumlahnya.

c. PP lab  dilakukan u/ menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.

 Ditemukan eosinofil pada sekret hidung (tetapi jumlah sedikit)

 Tes kulit biasanya (-)

Terapi

 Pengobatan bervariasi tergantung faktor penyebab dan gejala yang menonjol.

 Secara garis besar pengobatan dibagi dalam :

1. Menghindari penyebab

2. Pengobatan simtomatis dengan Dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka

yang hipertrofi  memakai larutan AgNO3 25% atau triklor asetat pekak.

3. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal  budesonid 2x sehari, dosis 100-

200 mikrogram sehari  dapat ditingkatkan 400 mikrogram sehari..

4. Operasi dengan cara bedah beku, elektrokauter atau konkotomi konka inferior.

5. Neuroktomi n.vidianus  dapat komplikasi : sinussitis, diplopia, buta,

gangguan lakrimasi, neuralgia atau anastesis infraorbita dan anestesis palatum.

RINITIS MEDIKAMENTOSA

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan pada hidung, berupa gangguan respon

normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat ttes


hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan sehingga

menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini

disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant),

sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor

topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu,

dan akan berfungsi kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian

vasokonstriktor topikal yang berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan

terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriktor,

sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan

pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut, sehingga efek

vasokonstriksi berkurang. pH hidung berubah dan aktifitas silia terganggu,

sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan

sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti

jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel

mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi seket yang berlebihan.

Oleh karena itu obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan

sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak

lebih dari satu minggu.


Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung

dalam waktu lama ialah :

1. silia rusak 5. stroma tampak edem

2. sel goblet berubah ukurannya 6. hipersekresi kelenjar mukus

3. membran nasal menebal 7. lapisan submukosa menebal

4. pembuluh darah melebar 8. lapisan periostium menebal

Gejala dan tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus. Pada pemeriksaan tampak

edem konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin,

edem konka tidak berkurang.

Terapi

1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung

2. untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion) beri

kortikosteroid secara penurunan bertahap (tapering off) dengan menurunkan

dosis sebanyak 5 mg setiap hari. (misalnya hari 1 : 40 mg, hari 2 : 35 mg

dan seterusnya)

3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin). Apabila

dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 4 minggu, pasien dirujuk ke

dokter THT.
EPISTAKSIS

Merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering

berhenti sendiri tanpa bantuan medis.

Etiologi:

- sering kali timbul spontan

tanpa bisa diketahui

penyebabnya

- kadang kadang bisa

disebabkan oleh karena

trauma.

- Kelainan pembuluh darah

lokal

- Infeksi lokal

- Tumor

- Penyakit kardiovaskuler

- Kelainan darah

- Kelainan kongenital

- Infeksi sistemik

- Perubahan udara atau

tekanan atmosfer

- Gangguan hormonal
Sumber perdarahan:

- epistaksis anterior

dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau dari ethmoidal anterior.

Perdrahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang

hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Kebanyakan terjadi pada anak,

berulang dan bisa berhenti sendiri.

- epistaksis posterior

dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya

lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sering ditemukan pada pasien dengan

penderita kardio vaskuler

Terapi

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan,

mencegah, komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

 Menghentikan Perdarahan

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon,

lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis

berhenti dengan sendirinya.

Jika seorang pasien dengan epistaksisa datang, maka pasien harus diperiksa

dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dengan meletakkan

bantal di belakang punggungnya, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.

Dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah,

dicari sumber perdarahan, kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan
adrenalin/ epedrin dimasukkan kedalam rongga hidung. Dengan cara ini

dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau

bagian posterrior.

 Perdarahan arterior

Tindakan sederhana mengatasi perdarahan anterior ialah dengan memasukkan

tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin/epedrin, kalau perlu juga dengan

obat analgesia lokal (pantokain,lidokain), ke dalam rongga hidung, dan

kemudian menekan ala nasi ke arah septum selama 3 – 5 menit. Setelah tampon

dikeluarkan tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-

30%, atau dengan Asam trikloresetat 10%. Dapat juga dipakai elektrokauter

untuk kaustik itu.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan

pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau

salep antibiotik. Yang dimasukkan melalui nares anterior. Tampon yang

dipasang ini harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat

dipertahankan selama 1 –2 hari.

 Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebaba biasanya perdarahan

hebat dan agak sukar mencari sumber perdarahan di posterior dengan rinoskopi

anterior, sehingga kadang-kadang tidak mungkin untuk mencari sumber

perdarahan itu.

Untuk menanggulangi perdaraha posterior dilakukan pemasnagan tampon

posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana
(nares posterior). Pada tampon bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah

pada satu posisi dan sebuah benang pada sisi lainnya.

Untuk memasang tampon posterior kateter karet dimasukkan melalui nares

anterior sampai tampak di orofaring lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujng

kateter kemudian diikatkan pada 2 buah benang tampon bellocq kemudian

kateter itu ditarik keluar melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar

melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan tangan, tampon itu

diletakkan di nasofaring. Jika dianggapperlu bila masih tampak perdarahan

keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior

kedalam nares arteriow. Kedua benang yang keluar dari nares arterior itu

kemudian diikat pada sebuah kain kasa didepan lubang hidung supaya tampon

yang terletak di nasifaring tidka bergerak. Benang yang sehelai pada sisi lain

dari tampon bellocq itu diikatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk

mengeluarkan tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari.

Sebagai pengganti tampon posterior dipakai juga kateter Foley dengan balon.

Bat hemostatik diberikan disamping tindakan penghentian perdarahan itu. Akan

tetapi ada yang berpendapat bahwa obat-obatan hemostatik itu sedikit sekali

manfaat sama sekali.

Pada epistasis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan

tampon arterior maupun posterior dilakukan ligasi arteri.

Ligasi a.etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat

sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua. Pembuluh darah

tersebut di dinding media orbita. Ligasi a. Maksila interna yang terletak di fosa
pterogomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell – Luc dan kemudian

mengangkat dinding posterior sinus maksilla.


SINUS PARANASAL

Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus

sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga

hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan

perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.

Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang

dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi

sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga

hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.


Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume

6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,

yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila

yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,

dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar

orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi

gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang

baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah

bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah

ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,

berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus

frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum

usia 20 thn.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya

dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa

hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.

Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus

frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-

septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.

Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,

sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.

Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal

adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini

dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.

Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian

anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,

yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media

dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di

meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus

etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,

sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan

terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,

yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di

daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat

bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan

sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding

lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari

rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid

dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cmn tingginya,

dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus

berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat

berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,

sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan

a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan

dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Sistem Mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir

diatasnya. Didalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju

ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yg sudah tentu polanya.

 Pada sinus maksila sistem transport mukosilier menggerakan sekret sepanjang dinding

anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk halo yang

mengarah ke ostium alamiah

 Pada sinus frontal sistem transport mukosiliar mengikuti gerakan spiral. Sekret

berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior

dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral juga terjadi pada

sinus sfenoid

 Pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus

atau gerakan spiral jika ostiumnya terdapat di salah satu dindingnya

 Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier.


Rute pertama : merupakan gabungan dari sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.

Sekret ini bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan di tepi proc.

Uncinatus dan sepanjang dinding medial conca inferior menuju nasofaring melewati bagian

infero-anterior orifisium tuba eustachius sampai pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah

dibantu gaya gravitasi

Rute kedua : gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu di recesus

sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba eustachius

Terdapat 2 aliran :

1) Sinus anterior  bergabung di infundibulum ethmoid dialirkan di nasofaring.

2) Sinus posterior bergabung di resesus sfenoethmoidalis  nasofaring (posterior

muara tuba), jika terjadi sinusitis, post nasal drip (+).

Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus

etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus

frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.

Beberapa pendapat:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati

pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus

tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan

fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan

berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan

tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi

sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan

besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Berjalan bila terdapat perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya

pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mucus


Jumlahnya produksi mucus yang dihasilakn kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga

hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi

karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

Pemeriksaan Sinus Paranasal

Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari luar,

palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan radiologi dan

sinuskopi,

Inspeksi

Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai

kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan suatu sinusitis

maksilaris akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan suatu sinusitis

frontalis akut.

Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan ke luar, kecuali bila telah

terbentuk abses.

Palpasi

Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila.

Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu pada bagian medial atap

orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.

Transiluminasi

Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa

sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan

transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di

dalam sinus maksila.

Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini

seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan

normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak

berkembang.

Pemeriksaan Radiologik

Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan pemeriksaan

radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan lateral. Posisi Waters

terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior

anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid

dan etmoid.

Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah

pemeriksaan CT-scan.

Sinuskopi

Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui

lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa kanina.

Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan

granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya

terbuka.

SINUSITIS
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau

dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma

(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi

bakteri. Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal

lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.

ETIOLOGI

Beberapa etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis

terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi

seperti deviasi septum atau hipertropi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM),

infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti sindroma Kartagener,

dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu

dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan

rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosa dengan foto polos leher posisi lateral.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta

kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak

silia.

PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens

mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi

antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap

kuman yang masuk bersama udara pernapasan.


Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa

yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium

tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan

terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-

bacterial dan biasanya sembuh beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus merupakan media yang baik

untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut

sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut,

terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini

merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi

kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin

diperlukan tindakan operasi.

 SINUS MAXILLARIS

ETIOLOGI

Sinusitis secara umum sebagai akibat dari salah satu infeksi bakteri primer atau sekunder.

Sinus paranasal dilapisi oleh mukosa dan beresiko menjadi tempat berkembangnya penyakit

yang mempengaruhi saluran pernafasan. Sinus empyema, akumulasi dari nanah di dalam

suatu rongga sinus, yang dapat diakibatkan oleh infeksi bakteri atau virus.

Sinusitis primer sebagai hasil infeksi bakteri atau virus pada saluran pernafasan bagian atas

frekuensi terjadinya lebih sedikit. Sinusitis primer pada umumnya disebabkan oleh

Streptococcus sp. dan mungkin adalah suatu manifestasi akut atau yang kronis yang

berhubungan dengan penyakit saluran pernapasan bagian atas.


Sinusitis sekunder dapat diakibatkan oleh infeksi akar gigi, retak, atau sinus cysts. Sinus

maksilaris paling sering terjadi karena infeksi sekunder dari penyakit pada gigi sebagai akibat

dekatnya sinus maksilaris dan akar gigi (Terutama pada Caninus, Premolar 1 dan 2, Molar 1,

2, dan 3) . Alveolar periostitis, pattent infundibula, dan gigi yang retak atau pisah adalah

penyebab umum sinus maksilaris empyema. Cacat gigi ini membuat jalan untuk bakteri atau

material makanan ke rongga sinus dan akar gigi. Perluasan sinusitis maksilaris ke sinus

frontal dapat terjadi melalui frontomaxillary yang membuka.

Patofisiologi

Infeksi bakteri atau virus pada saluran pernafasan bagian atas

Mikroorganisme (radang alveol gigi/karies gigi) masuk kedalam sinus

Abnormalitas pada saluran nasal  Obstruksi  Sekresi terbentuk dan

tertahan  mendorong perkembangan bakteri

berkoloni, merusak permukaan sinus , mucosa sinus inflamasi  sekresi mucus ↑ (ada post

nasal drip berlebih  ada aliran di belakang tenggorokan)

 sinus terisi cairan eksudat (purulen/mukopurulen), berbau menusuk (nekrosis)

eksudat mengalir di sela-sela gigi /menembus gusi, sebaliknya partikel makanan

dapat masuk ke sinus

eksudat juga akan melimpah ke dalam rongga hidung, mengalir keluar pada waktu
kepala ditundukkan.

Apabila Lubang penghubung sinus dan rongga mulut tertutup → sinus penuh

dengan eksudat bernanah

Dinding sinus yang meradang,tipis,tekanan yang meningkat sinus menggembung  terjadi

nyeri kepala

Ke arah nasal → menyempitnya rongga hidung

Ke arah lateral → bengkaknya pipi. (asimetri muka penderita)

Perluasan

Perluasan di daerah kantong air mata  lakrimasi (purulen atau mukopurulen)

GEJALA KLINIS

1. Adanya ingus bersifat mukopurulen dengan bau menusuk yang keluar dari salah satu

lubang Keluar eksudat yang banyak bila kepala ditundukan. Adakalanya leleran ingus

berhenti seketika bila penghubung sinus dengan rongga hidung tertutup endapan atau

eksudat.

2. Konjungtivitis dan eksudat mukopurulen serta pembengkakan daerah kantong air mata

3. Pembesaran dinding sinus ke arah lateral menyebabkan muka menjadi asimetris. Apabila

di palpasi di daerah yang membesar mungkin terasa lebih lunak. Adanya eksudat di dalam

sinus
menyebabkan suara pekak proses saat di perkusi. Apabila eksudat tidak memenuhi sinus,

suara pekak baru dapat didengar bila kepala penderita ditundukkan posisinya.

4. Pernapasan akan terganggu oleh stenosis pada salah satu saluran hidung.

5. Nafsu makan juga terganggu, terutama sinusitis yang di sebabkan oleh kerusakan gigi.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdarsarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

 Pemeriksaan fisik:

- Inspeksi : tampak adanya leleran yang keluar dari lubang hidung yang bersifat

mukopurulen dengan bau tidak sedap.

- Palpasi : nyeri pipi khas, ada pembengkakan konjungtiva, pembengkakan gusi.

- Rinoskopi anterior: akan tampak mukosa edem, basah, berwarna pucat atu livid disertai

adanya sekret encer yang banyak.

- Rinoskopi posterior: polip koana, hipertrofi konka, sekret purulen.

- naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas

ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal)

atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid.

 Pemeriksaan penunjang:

- foto polos atau CT scan. Foto polos posisi waters, PA, dan lateral, umumnya hanya

mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelaianan akan

terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi

hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. CT scan diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak membaik

dengan terapi, evaluasi preoperative, dan jika ada dugaan keganasan. Namum karena mahal
hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan

pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.

- Transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah

jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.

- Mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius

atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret

yang keluar dari pungsi sinus maksila.

- Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui

meatus inferior, dengan alat endoskop bias dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,

selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

Apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa, tumor,atau kista? Bagaimana keadaan

mukosa? Apakah ostiumnya terbuka?

PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi sinusitis adalah:

1) Mempercepat penyembuhan;

2) Mencegah komplikasi;

3) Mencegah perubahan menjadi kronik.

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-

sinus pulih secara alami.

Pada sinusitis akut berikan antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada

sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golonga penisilin seperti

amoksisiln. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka
dapat diberikan amoksisilin-klavulanat, atau jenis sefalosforin generasi ke-2. Pada sinusitis

antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.

Pada sinusitis kronis diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti

analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau

pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya

dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan

antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga

merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.

Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat. Pada

anak pemberian antibiotik jangka lama, dekongestan sistemik atau topikal, serta imunoterapi

yang tepat merupakan dasar pengobatan sinusitis kronik.

Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase

sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FES) merupakan opersi terkini untuk sinusitis

kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah

sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan

dan tidak radikal. Prinsipnya membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi

sumber penyumbatan infeksi, sehingga mukosa sinus kembali normal. Indikasinya berupa

sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau

kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

PROGNOSIS

- Penanganan sinusitis secara tuntas

- Penanganan terhadap sinusitis (diri sendiri atau keluarga)

Anda mungkin juga menyukai