Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Sectio Caesarea (SC)


1. Definisi Sectio Caesarea
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut,
sectio caesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerotomia
untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Rustam, 2011).
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan
anak lewat insisi pada dinding abdomen atau uterus (Harry & Forte,
2010).
Sectio Caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus
yang masih utuh/intact (Saifuddin, 2006).
Sectio Caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro,
2007).
2. Jenis-jenis Sectio Caesarea
Menurut (Rustam, 2011), jenis-jenis sectio caesarea adalah sebagai
berikut:
a. Sectio caesarea transperitonealis
1) Sectio caesarea klasik
Pembedahan ini dilakukan dengan sayatan memanjang
pada korpus uteri, kira-kira 10 cm. Keuntungan tindakan ini
adalah mengeluarkan janin lebih cepat, tidak menyebabkan
komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan bisa
diperpanjang secara proksimal dan distal. Kerugian yang
mungkin muncul adalah infeksi mudah menyebar secara
intraabdominal dan lebih sering terjadi repture uteri spontan
pada persalinan berikutnya.
2) Sectio caesarea profunda
Dikenal juga dengan sebutan low cervical yaitu sayatan
pada bawah rahim. Keuntungannya adalah penjahitan luka
menjadi lebih mudah, kemungkinan repture uteri spontan lebih
kecil dibandingkan dengan sectio caesarea secara klasik
sedangkan kerugiannya adalah perdarahan yang banyak dan
keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
b. Sectio caesarea ekstraperitonialis
Sectio caesarea berulang pada seorang pasien yang pernah
melakukan sectio caesarea sebelumnya. Biasanya dilakukan diatas
bekas luka yang lama. Tindakan ini dilakukan dengan insisi
dinding dan fasia abdomen sementara peritonium dipotong kearah
kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus sehingga uterus
dapat dibuka secara ekstraperitonium. Pada saat ini, pembedahan
ini tidak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi
puerperal.
Menurut (Wiknjosastro, 2007), ada beberapa jenis Sectio
Caesarea yang dikenal, yaitu:
a. Sectio caesarea primer
Sectio caesarea yang dari semula sudah direncanakan
dan tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya panggul
sempit cunjugata kurang dari 8 cm.
b. Sectio caesarea sekunder
Dimana kita mencoba menunggu persalinan secara
biasa, bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus
percobaan gagal, baru dilkakukan sectio caesarea.
c. Sectio caesarea hysterectomy
Suatu operasi dimana setelah janin lahir langsung
dilakukan hysterectomy.
d. Sectio caesarea ulang
Sectio caesarea yang dilakukan secara berulang lebih
dari satu kali, dimana ibu pada kehamilan yang lalu mengalami
sectio caesarea dan kehamilan selanjutnya dilakukan sectio
caesarea.
e. Operasi porro
Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum
uteri dan langsung dilkakukan hysterectomy, misalnya pada
keadaan infeksi rahim yang berat.
f. Sectio caesarea postmorterm
Sectio caesarea yang dilakukan segera pada ibu hamil
yang meninggal tiba-tiba dan janin masih dalam keadaan
hidup.
3. Indikasi Sectio Caesarea
Menurut (Manuaba, 2007), indikasi sectio caesarea dibagi
menjadi dua faktor, yaitu:
a. Faktor ibu
1) Disproporsi sepalo pelvik
Disproporsi sepalo pelvik adalah ketidakseimbangan
kepala dan panggul ibu. Disproporsi sepalo pelvik mencangkup
panggul sempit dan fetus yang tumbuh terlampau besar atau
adanya ketidakseimbangan relative antara ukuran kepala bayi
dan pelvis (panggul).
2) Disfungsi uterus
Kerja uterus yang tidak terkordinasi yang menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
Hal ini menyebabkan kemampuan terhenti sama sekali,
sehingga perlu penanganan sectio caesarea.
3) Repture uteri (robekan rahim)
Keadaan robekan pada rahim, dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga
peritoneum. Secara teori, robekan rahim dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Repture uteri spontan
Robekan rahim spontan yang terjadi karena dinding
rahim yang telah lemah seperti robekan luka bekas sectio
caesarea, miomektomi, proporsi waktu kuretasehypoplasia
uteri, pelepasan plasenta secara manual.
b) Repture uteri violent
Robekan rahim violenta terjadi karena trauma
pertolongan versi dan ekstrasi forsep, kuretase, manual
plasenta.
4) Partus tidak maju
Partus tidak maju berarti bahwa meskipun kontraksi
uterus kuat, janin tidak dapat turun karena faktor mekanis.
Pertus tidak maju disebabkan oleh karena disproporsi sepalo
pelvik, malpresentasi dan neoplasma yang menyumbat jalan
lahir. Partus yang tidak maju adalah persalinan yang
berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara dan lebigh dari
18 jam pada multipara.
5) Pre-eklamsi dan eklamsi (PE/E)
Pre-eklamsi adalah suatu sindrom yang dijumpai pada
ibu hamil diatas 20 minggu, ditandai dengan hipertensi dan
proteinuria dengan atau tanpa edema. Eklamsi adalah pre-
eklamsi yang disertai dengan kejang umum yang terjadi pada
waktu hamil, waktu partus atau tujuh hari post partum bukan
karena epilepsy.
6) Plasenta previa
Suatu keadaan dimana insersi plasenta disegmen bawah
rahim sehingga menutupi seluruhan atau sebagaian ostium
internum. Implementasi plasenta yang normal adalah pada
dinding depan atau pada dinding belakang rahim didaerah
fundus uteri.
Plasenta previa dibagi menjadi tiga, yaitu plasenta
previa totalis, plasenta previa lateralis, plasenta previa
marginalis. Plasenta preveria menyebabkan bagian terdepan
janin sering sulit memasuki pintu atas panggul, oleh karena itu
dilakukan sectio caesarea. Sectio caesarea pada plasenta
previa, selain untuk mengurangi kematian bayi, juga terutama
dilakukan untuk kepentingan ibu, maka dari itu diperlukan
sectio caesarea pada plasenta previa walaupun bayi sudah
dalam keadaan mati.
7) Solusi plasenta
Keadaan plasenta yang terlepas dari dinding rahim, baik
sebagian maupun seluruhnya dari tempatnya berimplantasi
sebelum anak lahir. Solusi plasenta bisa terjadi pada setiap
waktu kehamilan 20 minggu dan kebanyakan terjadi pada
trimester ketiga. Pelepasan plasenta biasanya ditandai dengan
perdarahan yang bisa keluar dari vagina, tetapi bisa juga
tersembunyi didalam rahim yang biasanya membahayakan ibu
dan janin. Persalinan dengan sectio caesarea biasanya
dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir sebelum
mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban dan
menghentikan perdarahan yang mengancam nyawa ibu.
b. Faktor janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 400 gram atau lebih dapat
menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya,
pertumbuhan janin yang berlebihan karena ibu menderita
kencing manis (diabetes militus) yang biasanya bayi disebut
bayi besar objektif. Bayi yang terlalu besar mempunyai resiko
empat kali lebih besar untuk terjadi komplikasi persalinan.
2) Ancaman gawat janin (fetal distres)
Keadaan gawat jani pada tahap persalinan,
memungkinkan dokter untuk memutuskan tindakan operasi,
apabila didukung oleh kondisi ibu yang kurang
menguntungkan. Bila ibu yang menderita tekanan darah tinggi
atau kejang rahim, mengakibatkan gangguan pada ari-ari dan
tali pusat sehingga aliran oksigen pada bayi menjadi berkurang.
Kondisi ini dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan
otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim.
3) Kelainan letak bayi
a) Letak lintang
Kelainan letak janin didalam rahim pada kehamilan
tua (hamil delapan sampai sembilan bulan) yaitu kepala
berada disamping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Bayi
letak lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir. Biasanya,
karena sumbu tubuh janin melintang dengan sumbu tubuh
ibu.
b) Letak sungsang
Saat ini lebih banyak bayi letak sungsang lahir
dengan sectio caesarea. Hal ini karena resiko kematian,
cacat atau kecelakaan lewat vagina (spontan) jauh lebih
tinggi. Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui
pasti. Secara teori dapat terjadi karena faktor ibu seperti
kelainan bentuk rahim, tumor jinak rahim (mioma uteri),
letak plasenta lebih rendah.
4) Bayi kembar
Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin
atau lebih. Kehamilan kembar dapat memberi risiko lebih tinggi
terhadap ibu dan bayi. Oleh karena itu, dalam menghadapi
kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan kehamilan
intensif. Namun, jika ibu mengandung tiga janin atau lebih,
maka sebaiknya menjalani sectio caesarea. Hal ini dapat
menjamin bayi-bayi tersebut dilahirkan dalam kondisi sebaik
mungkin dengan trauma minuman.
5) Janin abnormal
Janin abnormal misalnya kerusakan genetic dan
hydrosephalus.
6) Kelainan tali pusat
Ada dua kelainan pada tali pusat yang biasanya terjadi,
yaitu prolap tali pusat atau terlilit tali pusat.
4. Komplikasi Sectio Caesarea
Sectio caesarea bukanlah tanpa komplikasi, baik bagi ibu
maupun janinnya. Morbiditas pada sectio caesarea lebih besar
dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi
yang menjalani sectio caesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan
sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan perlukaan pada traktus
urinarius, infeksi pada luka (Manuaba, 2007).
Komplikasi yang terjadi setelah tindakan sectio saesarea
menurut (Rustam, 2011) adalah sebagai berikut:
a. Infeksi puerperal (nifas)
Komplikasi ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Ringan, dengan kenaikan suhu tubuh beberapa hari saja
2) Sedang, dengan kenaikan suhu tubuh lebih tinggi desertai
dehidrasi dan perut sedikit kembang
3) Berat, dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Infeksi
berat sering kita jumpai pada pertus terlantar; sebelum timbul
infeksi nifas, telah terjadi infeksi intrapartum karena ketuban
yang telah pecah terlalu lama. Penangannya adalah dengan
pemberian cairan, elektrolit dan antibiotik yang adekuat dan
tepat.
b. Perdarahan
1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2) Atonia uteri
3) Perdarahan pada placental bed
c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonialisasi terlalu tinggi
d. Kemungkinan repture uteri spontan pada kehamilan mendatang

B. Konsep Dasar Nyeri


1. Definisi Nyeri
Menurut (Tamsuri, 2006), intensitas nyeri merupakan
gambaran berupa parah nyeri yang dirasakan individu. Pengukuran
intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan memungkinkan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Nyeri merupakan pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan serta bersifat subjektif dan sangat
individual yang disebabkan oleh stimulus tertentu.
Menurut (Potter & Perry, 2006), nyeri merupakan suatu kondisi
yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus
tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual.
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001), nyeri adalah pengalaman
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama proses penyakit
atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan atau pengobatan.
2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronis
(Smeltzer & Bare, 2001).
a. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan
cepat menghilang, tidak melebihi enam bulan dan ditandai adanya
peningkatan tegangan otot dan cemas.
b. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara pelan-pelan
biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari
enam bulan meliputi nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan
psikomatik.
Menurut (PPNI, 2016), nyeri akut adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari tiga
bulan. Nyeri kronis adalah pengelaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari tiga bulan.
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001), nyeri akut
mendefinisikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Hal ini
menarik perhatian pada kenyataan bahwa nyeri ini benar terjadi
dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa
yang secara potensial menimbulkan nyeri. Nyeri akut biasanya
menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri kronis
berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan
sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya.
3. Fisiologi nyeri
Nyeri merupakan campuran fisik, emosi dan perilaku cara
yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan
membantu untuk menjelaskan tiga komponen fisiologi berikut,
yakni: resepsi, persepsi dan reaksi (Potter & Perry, 2006). Respon
fisiologis terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal,
perilaku vocal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan
orang lain atau perubahan respon terhadap lingkungan (Smeltzer &
Bare, 2001).
Nyeri alat dalam, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan
kontraksi refleks otot-otot rangka disekitarnya. Kejang refleks ini
biasanya terjadi di dinding abdomen dan menyebabkan dinding
abdomen kaku. Hal ini paling nyata apabila peradangan alat dalam
melibatkan peritoneum. Tanda-tanda klasik peradangan alat dalam
di abdomen adalah nyeri, nyeri tekan, perubahan otonomi misalnya
hipotesi, berkeringat dan kejang dinding abdomen. Nyeri tekan
disebabkan oleh peningkatan kepekaan reseptor nyeri di alat
dalam, perubahan otonom disebabkan oleh pengaktifan refleks-
refleks visceral dan kejang dinding abdomen. Nyeri tekan
disebabkan oleh peningkatan kepekaan reseptor nyeri di alat
dalam, perubahan otonom disertakan oleh pengaktifan refleks-
refleks visceral dan kejang disebabkan oleh kontraksi otot rangka
di dinding abdomen (Ganong, 2008).
4. Respon Tubuh terhadap Nyeri
Terdapat beberapa respon tubuh terhadap nyeri, diantaranya
respon fisologis, respon psikologis dan respon perilaku.
a. Respon Fisiologis
Respon fisiologis yang ditunjukkan oleh tubuh terhadap nyeri
terdiri atas respon simpatis dan parasimpatis. Berikut ini perbedaan
respon simpatis dan parasimpatis menurut (Prasetyo, 2010).

Tabel 1
Respon Fisiologis Tubuh

Respon Simpatis Respon Parasimpatis


a) Dilatasi saluran bronkhial a) Muka pucat
dan peningkatan respirasi b) Otot mengeras
rate c) Penurunan denyut jantung dan
tekanan darah
b) Peningkatan heart rate
d) Napas cepat dan irreguler
c) Vasokonstriksi perifer,
e) Nausea dan vomitus
peningkatan tekanan darah
f) Kelelahan dan keletihan
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas
Gastrointestinal
b. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman
klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Nyeri
bagi setiap individu berbeda-beda antara lain: bahaya atau
merusak, komplikasi seperti infeksi, kehilangan mobilitas,
hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap
penderitaan orang klain, sesuatu yang harus ditoleransi dan bebas
dari tangggung jawab yang tidak dihendaki. Pemahaman tentang
arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalkaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.
c. Respon Prilaku
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan
verbal (mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur), perilaku
vokal, ekspresi wajah (meringis, mengggeletukkan gigi, menggigit
bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilkisasi, ketegangan otot,
peningkatan gerakan jari dan tangan), kontak fisik dengan orang
lain atau perubahan respon terhadap lingkungan (menghindari
percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang
perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri) (Brunner &
Suddarth, 2004).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Menurut (Potter & Perry, 2006), nyeri dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yaitu usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri,
perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping,
dukungan keluarga dan sosial.
a. Usia
Usia merupakan `variabel penting yang mempengaruhi
nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan yang
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia beraksi terhadap
nyeri dapat berbeda dengan cara berespon orang yang lebih muda.
Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai
akibat dari perubahan patofisiologis berkaitan dengan beberapa
penyakit, misalnya diabetes militus, tetapi pada individu lansia
yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Karena individu
lansia mempunyai metabolism yang lebih lambat dan rasio lemak
tubuh terhadap massa otot lebih besar dibandingkan individu
berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan
menahan nyeri yang berat dalam waktu lama sebelum melaporkan
atau mencari perawatan kesehatan. Yang lainnya tidak mencari
perawatan karena mereka takut kehilangan kontrol.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi nyeri. Secara umum,
pria dan wanita tidak berbeda dalam berespon terhadap nyeri tetapi
beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin
menganggap bahwa seseorang anak laki-laki harus berisi dan tidak
boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap yang
berkaitan dengan nyeri di berbagai kelompok budaya. Suatu
pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu
perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk
pasien yang mengalami nyeri.
d. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri
mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi
terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar
belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersiapkan
nyeri dengan cara berdeba-beda, apabila nyeri tersebut memberi
kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan.
Misalnya seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera
pukulan pasangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dirasakan
dipersepsikan pasien berhubungan pasien dengan makna nyeri.
e. Perhatian
Tingkat seseorang pasien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan
upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi
pasien pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri
pada kesadaran perifer.
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Individu yang sehat secara
emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang
hingga berat daripada individu yang memiliki status emosional
yang kurang stabil.
g. Keletihan
Keletihan meningkat persepsi nyeri. Nyeri kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada
setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama.
Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri
bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih
berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang
lelap dibandingkan pada akhir yang melelahkan.
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumya tidak selalu berarti bahwa
individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada
masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering
mengalami serangkaian episod nyeri tanpa pernah sembuh atau
menderita nyeri berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat
muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan
jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut
dengan hasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut
untuk menginterpretasikan sensasi nyeri.
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
membuat seseorang merasa kesepian. Apabila pasien mengalami
nyeri di keadaan perawatan kesehatan seperti di rumah sakit,
pasien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi tersebut. Hal yang
sering terjadi adalah pasien merasa kehilangan kontrol terhadap
lingkungan atau kehilangan kontrol mempengaruhi kemampuan
berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik
dan psikologis nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor yang lain bermakna mempengaruhi respon nyeri
adalah kehadiran orang-orang terdekat pasien dan sikap mereka
terhadap pasien. Individu yang mengalami nyeri seringkali
beruntung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun
pasien tetap merasakan nyeri, tetapi kehadiran orang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan.
6. Pengkajian nyeri
Pengkajian nyeri yang benar bagi petugas kesehatan untuk
menetapkan status nyeri pasien, harus lebih bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap perawatan yang diberikan dan lebih
berorientasi pada sifat kemitraan dalam melakukan penatalaksanaan
nyeri. Pengkajian nyeri yang faktual dan akurat dibutuhkan untuk
menetapkan data dasar, untuk menegakkan diagnose keperawatan yang
tepat, untuk menyeleksi terapi yang cocok dan untuk mengevaluasi
respon pasien terhadap terapi (Potter & Perry, 2006).
Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat
membentuk pengertian pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan
untuk mengatasi nyeri. Penggunaan instrumen untuk menghitung luas
derajat nyeri bergantung kepada pasien yang sadar secara kognitif dan
mampu memahami instruksi perawat.
Kriteria pengkajian nyeri menurut (Potter & Perry, 2006), antara lain:
a. Awitan dan durasi
Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan,
durasi dan rangkaian nyeri. Sebagai contoh, “seberapa sering nyeri
dirasakan”.
b. Lokasi
Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta pasien untuk
menunjukan semua daerah yang dirasa tidak nyaman.
c. Keperahan
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat
keparahan nyeri. Klien sering diminta untuk mengekspresikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang, atau parah.
d. Kualitas
Karakteristik subjektif nyeri lain adalah nyeri itu sendiri.
Seringkali pasien mendeskripsikan nyeri sebagai sensasi remuk
(crusing). Berdenyut (throbbing), tajam atau tumpul. Pasien sering
juga mendeskripsikan nyeri seperti perih, kram atau kaku, terasa
ditusuk-tusuk atau terbakar. Nyeri yang pasien rasakan seringkali
tidak dapat dijelaskan.
e. Faktor presipitasi
Faktor-faktor ini membantu perawat mengkaji peristiwa
atau kondisi spesifik yang mempresipitasi atau memperburuk nyeri.
f. Tindakan penanganan
Akan sangat bermanfaat apabila perawat mengetahui
apakah pasien mempunyai cara yang efektif untuk meredakan
nyeri, seperti mengubah posisi, menggosok, makan, meditasi, atau
mengompresi bagian yang nyeri dengan kompres dingin atau
kompres hangat.
g. Gejala penyerta
Gejala penyerta adalah gejala yang seringkali menyertai
nyeri (misalnya mual, nyeri kepala, pusing, keinginan untuk miksi,
konstipasi dan gelisah).
7. Pengukuran Nyeri
Skala penilaian numeric (Numerical Ratting Scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah
intervensi terapiutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 cm (Potter & Perry, 2006).

Gambar 1
Skala Pengukuran Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesarea

Sumber: Buku Ajar Fundamental Konsep, Proses dan Praktik


Edisi 4, 2006.

C. Konsep Dasar Teknik Relaksasi Napas Dalam


1. Definisi teknik relaksasi napas dalam
Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal itu perawat mengajarkan kepada pasien
bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lembut (menahan
inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Tujuan teknik relaksasi napas dalam
(Smeltzer & Bare, 2001), menyatakan bahwa tujuan relaksasi
pernapasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi
batuk, mengurangi stres baik stres fisik maupun emosional yang
menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
3. Manfaat teknik relaksasi napas dalam
Teknik relaksasi napas dalam dapat memberikan berbagai
manfaat. Menurut (Potter & Perry, 2006), menjelaskan efek relaksasi
napas dalam antara lain terjadinya penurunan nadi, penurunan
ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan
kesadaran global, perasaan damai dan sejahtera dan periode
kewaspadaan yang santai.
Keuntungan teknik relaksasi napas dalam antara lain dapat
dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya sangat
mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien tanpa suatu
media serta merilekskan otot-otot yang tegang. Sedangkan kerugian
relaksasi napas dalam antara lain tidak dapat dilakukan pada pasien
yang menderita penyakit jantung dan pernapasan (Smeltzer & Bare,
2001).
4. Pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan persepsi
nyeri
Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan
intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu:
a. Dengan merelaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan
b. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah
yang mengalami trauma sehingga mempercepat proses
penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri
c. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang
tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu endorfin dan
enkefalin (Smeltzer & Bare, 2001).
Pernyataan lain mengatakan bahwa penurunan nyeri oleh
teknik relaksasi napas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan
relaksasi napas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan,
maka tubuh akan meningkatkan kompenen saraf parasimpatik secara
stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya kadar hormon kortisol dan
adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stres seseorang
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat pasien merasa
tenang untuk mengatur ritme pernapasan menjadi teratur. Hal ini akan
mendorong terjadinya peningkatan kadar PCO2 dan akan menurunkan
kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar O2 dalam darah
(Handerson, 2002).
5. Prosedur teknik relaksasi napas dalam
Langkah teknik relaksasi napas dalam yaitu:
1) Atur posisi pasien pada posisi yang nyaman
2) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada
dan perut
3) Mintalah pasien untuk menarik napas melalui hidung secara
pelan, dalam dan merasakan kembang kempisnya perut
4) Mintalah pasien untuk menahan napas selama beberapa detik
kemudian keluarkan napas secara perlahan melalui mulut
5) Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan napas,
mulut pada posisi mecucu (pulsed lip)
6) Minta pasien untuk mengeluarkan napas, sampai perut
mengempis
7) Lakukan latihan napas dalam hingga 2-4 kali
Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka
diperlukan partisipasi individu dan kerja sama. Teknik
relaksasi diajarkan hanya saat pasien sedang tidak merasakan
rasa tidak nyaman yang akut, hal ini dikarenakan
ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi
tidak efektif (Potter & Perry, 2006).
D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Teknik Relaksasi Napas
Dalam Untuk Mengatasi Nyeri Akut pada Ibu Post Sectio Caesarea
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari
berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Nursalam, 2011), Pengkajian merupakan tahap paling
menentukan bagi tahap berikutnya.
a. Identitas pasien
b. Identitas penanggung jawab
c. Keluhan utama
Pada ibu dengan kasus post Sectio Caesarea keluhan
utama yang timbul yaitu nyeri pada luka operasi, kaki kesemutan,
pusing, tidak mau kentut.
d. Riwayat menstruasi
Pada ibu, yang perlu ditanyakan adalah umur menarche,
siklus haid, lama haid, karakteristik darah haid seperti warna, bau
konsistensi, apakah ada keluhan saat haid, hari pertama haid yang
terakhir.
e. Riwayat perkawinan
Yang perlu ditanyakan adalah usia perkawinan,
perkawinan keberapa, usia pertama kali kawin.
f. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
Untuk mendapatkan data kehamilan, persalinan dan nifas
perlu diketahui HPHT untuk menentukan tafsiran partus (TP),
hamil pertama umur berapa, berapa kali pernah hamil, berapa kali
periksaan saat hamil, apakah pernah mengalami keguguran atau
perdarahan, imunisasi TT berapa kali, persalinan dimana, umur
kehamilan saat persalinan, berat badan anak saat lahir, jenis
kelamin anak, keadaan anak saat lahir, keadaan ibu setelah
melahirkan, umur anak saat ini.
g. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi
Tanyakan apakah ibu pernah menggunakan alat
kontrasepsi, alat kontrasepsi yang pernah digunakan, adakah
keluhan saat menggunakan alat kontrasepsi, pengetahuan tentang
alat kontrasepsi.
h. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Tanyakan tentang penyakit yang pernah diderita yang ada
hubungannya dengan sistem reproduksi serta penyakit lain yang
dapat mempengaruhi kehamilan atau persalinan.
i. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada ibu apakah ada keluarga ibu yang
menderita penyakit yang bersifat menurun seperti: TBC, jantung,
hipertensi, AIDS, diabetes melitus, asthma, penyakit hubungan
seksual (sifilis, gonorhea), serta tanyakan apakah ada riwayat
gameli (kembar).
j. Data biologis
1) Bernafas, pada pasien dengan post Sectio Caesarea tidak
terjadi kesulitan dalam menarik nafas maupun saat
menghembuskan nafas.
2) Makan dan minum, pada pasien post Sectio Caesarea6-8 jam
pasien masih melakukan puasa. Setelah 8 jam post sc, pasien
memasuki masa transisidimana pasien diperbolehkan MSS
(mkan dan minum sedikit-sedikit).
3) Eliminasi, pada psien post Sectio Caesarea pasien belum
melakukan BAB, sedangkan BAK menggunakan dower
kateter yang tertampung di urine bag.
4) Istirahat dan tidur, pada pasien post terjadi gangguan pada
pola istirahat tidur dikarenakan adanya nyeri pasca
pembedahan.
5) Gerak dan aktifitas, pada pasien post Sectio Caesarea terjadi
gangguan gerak dan aktifitas oleh karena pengaruh anastesi
pasca pembedahan.
6) Kebersihan diri, pada pasien post Sectio Caesarea kebersihan
diri dibantu oleh perawat dikarenakan pasien belum bisa
melakukannya secara mandiri.
7) Berpakaian, pada pasien post Sectio Caesarea biasanya
mengganti pakaian dibantu oleh perawat.
8) Pengaturan suhu tubuh, pada pasien post Sectio Caesarea
selama hamil dan pasca pembedahan mengalami peningkatan
dan penurunan suhu tubuh.
9) Seksualitas, pada pasien post Sectio Caesarea yang terjadi
adalah pasien belum dapat melakukan hubungan seksualitas
oleh karena luka pasca pembedahan.
k. Data psikologis
1) Rasa nyaman, pada pasien post Sectio Caesarea akan
mengalami ketidaknyamanan yang dirasakan pasca
melahirkan.
2) Rasa aman, pada pasien post Sectio Caesarea yang terjadi
biasanya ibu mengalami kecemasan.
3) Konsep diri, pada pasien post Sectio Caesarea seorang ibu,
merasa senang atau minder dengan kehadiran anaknya, ibu
akan berusaha untuk merawat anaknya.
l. Data sosial
1) Sosial, pada Sectio Caesarea lebih banyak berinteraksi
dengan perawat dan tingkat ketergantungan ibu terhadap
orang lain akan meningkat.
2) Bermain dan rekreasi, pada pasien post caesarea ibu biasanya
belum bisa bermain dan berekreasi.
3) Prestasi, kaji hal-hal yang membanggakan dari ibu yang ada
hubungan dengan kondisinya.
4) Belajar, kaji tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan post
partum terutama untuk ibu dengan Sectio Caesarea meliputi
perawatan luka, perawatan payudara, kebersihan vulva atau
cara cebok yang benar, nutrisi, KB, seksual serta hal-hal yang
perlu diperhatikan pasca pembedahan. Disamping itu perlu
ditanyakan tentang perawatan bayi diantaranya, memandikan
bayi, merawat tali pusat dan cara meneteki yang benar.
m. Data spiritual
Kaji kepercayaan ibu terhadap Tuhan
n. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum ibu, suhu, tekanan darah, respirasi, nadi,
berat badan, tinggi badan, keadaan kulit (sianosis), raba akral.
2) Pemeriksaan kepala: Bentuk kepala, kebersihan, ada tidak
nyeri tekan
3) Pemeriksaaan muka: Bentuk muka, ada tidaknya edema,ada
tidaknya kloasma gravidarum, ada tidaknya nyeri tekan.
4) Pemeriksaan mata: Bentuk mata, kongjungtiva pucat atau
tidak, sklera, lampang pandang, pergerakan mata, ada tidak
nyeri tekan.
5) Pemeriksaan hidung: Bentuk hidung, ada tidaknya sekret,
lesi, mukosa hidung, kebersihan, penciuaman, pernafasan
cuping hidung, dan nyeri tekan.
6) Pemeriksaan telinga: Bentuk telinga ,kebersihan, kemampuan
pendengaran, ada tidaknya nyeri tekan.
7) Pemeriksaan mulut: Bentuk mulut, mukosa bibir, ada tidak
stomatitis, kebersihan, ada tidaknya pembesaran tonsil, ada
tidak nyeri tekan.
8) Pemeriksaan leher: Ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid,
ada tidak bendungan vena jugularis, pergerakan leher, ada
tidaknya hiperpigmentasi.
9) Pemeriksaan thorax : Bentuk thorax, ada tidaknya ronchi atau
wheezing, gerakan dada, bunyi jantung.
10) Periksaan buah dada: Bentuk simetris atau tidak, kebersihan,
keadaan puting susu, hiperpigmentasi areola mamae, lecet/
luka, pembengkakan buah dada, pengeluaran (colostrum, ASI
atau nanah), ada tidaknya nyeri tekan.
11) Pemeriksaan abdomen: Bentuk abdomen, kontraksi uterus,
tinggi fundus uteri, keadaan luka post operasi, distensi
kandung kemih, bising usus, terdapat luka, striae gravidarum
dan linea nigra.
12) Pemeriksaan ekstremitas: Kemampuan pergerakan, ada
tidaknya sianosis dan edema.
13) Genetalia dan anus : Kebersihan pengeluaran lochea (jumlah,
warna, bau, konsistensi), haemoroid.
14) Data penunjang
Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan
hemoglobin (Hb), Hematokrit (HCT) dan sel darah putih
(WBC).
15) Data bayi
Mencakup pengertian tentang jenis kelamin bayi, keadaan
bayi pada waktu lahir, berat dan panjang lahir, kelainan –
kelainan yang terdapat pada bayi serta keadaan tali pusat dan
placenta.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh
perawat professional yang memberi gambaran tentang masalah atau
status kesehatan klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan
berdasarkan analisis dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan
diagnosis keperawatan harus jelas, singkat, dan lugas terkait masalah
kesehatan klien berikut penyebabnya yang dapat diatasi melalui
tindakan keperawatan (Nursalam, 2011).
Diagnosa yang biasanya muncul pada pasien Post Sectio
Caesarea (Carpenito, 2012) dan (Doengoes, 2012). Diagnosa
keperawatan pada post Sectio Caesarea setelah 6-8 jam yaitu nyeri
akut berhubungan dengan kondisi pembedahan.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan desain spesifik dari
intervensi yang disusun untuk membantu klien dan mencapai kriteria
hasil. Rencana intervensi tersebut disusun berdasarkan komponen
penyebab dari diagnosis keperawatan. Menurut (Asmadi, 2008),
memprioritaskan diagnosa keperawatan disusun berdasarkan hal yang
paling mengancam keselamatan ibu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder
terhadap pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang
Kriteria hasil : pasien mengatakan nyeri berkurang
skala nyeri 1-2 dari 10 skala nyeri yang diberikan, nyeri tekan
berkurang, pasien tidak meringis saat bergerak, TTV normal (TD
110/70 mmHg-120/80 mmHg, N: 80 x/menit, R: 20-24 x/menit)
Intervensi :
1) Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan syarat
verbal dan non verbal setiap 6 jam. Rasional: Pemantauan
terhadap nyeri dapat mengevaluasi adanya perubahan
2) Pantau TD, Nadi dan pernafasan tiap 6 jam.
Rasional: Nyeri dapat menyebabkan gelisah sehingga tekanan
darah, nadi dan pernafasan meningkat dan merupakan
indikator perubahan tingkat nyeri.
3) Ajarkan untuk menerapkan teknik distraksi dan relaksasi
sarankan untuk mengulangi bila merasa nyeri
Rasional: Distraksi dan relaksasi mengurangi ketegangan
otot-otot sehingga mengurangi penekanan dan nyeri.
4) Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman.
Rasional: Dengan posisi yang nyaman maka otot-otot akan
menjadi rileks dan memperlancar peredaran darah.
5) Berikan lingkungan yang tenang.
Rasional: Menurunkan reaksi terhadap stimulasi daru luar.
6) Delegatif dalam pemberian analgetik.
Rasional: Analgetik dapat menurunkan/mengontrol nyeri dan
menurunkan perangsang system saraf simpatis.
b. Terapi relaksasi napas dalam
Menurut Nursing Intervention Classification (NIC)
Intervensi:
1) Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi napas dalam
2) Uji penurunan tingkat energi saat ini, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi atau gejala lain yang mengiringi yang
mungkin mempengaruhi kemampuan kognisi untuk berfokus
pada teknik relaksasi napas dalam
3) Tentukan apakah ada intervensi relaksasi dimasa lalu yang
sudah memberikan manfaat
4) Pertimbangkan keinginan individu untuk berpartisipasi,
kemampuan berpartisipasi, pilihan, pengalaman masa lalu
dan kontraindikasi sebelum memilih strategi relaksasi napas
dalam
5) Berikan deskripsi detail terkait intervensi relaksasi napas
dalam
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi dengan
lampu yang redup dan suhu lingkungan yang nyaman, jika
memungkinkan
7) Dorong pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan
pakian longgar dan mata tertutup
8) Spesifikkan isi intervensi relaksasi (misalnya dengan
meminta saran perubahan)
9) Dapatkan perilaku yang menunjukan terjadinya relaksasi
bernapas dalam
10) Minta pasien untuk rileks dan merasakan sensasi yang terjadi
11) Gunakan suara yang lembut dengan irama yang lambat untuk
setiap kata
12) Tunjukan dan praktikan teknik relaksasi pada pasien
13) Dorong pasien untuk mengulang teknik relaksasi, jika
memungkinkan
14) Antisipasi kebutuhan penggunaan teknik relaksasi
15) Berikan informasi tertulis mengenai persiapan dan
keterlibatan di dalam teknik relaksasi
16) Dorong pengulangan teknik praktik-praktik tertentu secara
berkala
17) Berikan waktu yang tidak terganggu karena mungkin saja
pasien tertidur
18) Dorong kontrol sendiri ketika relaksasi dilakukan
19) Evaluasi laporan individu terkait relaksasi yang dicapai
secara teratur dan monitor ketegangan otot secara periodik,
denyut nadi, tekanan darah dan suhu tubuh dengan tepat
20) Gunakan relaksasi sebagai strategi tambahan dengan
penggunaan obat-obatan nyeri atau sejalan dengan terapi
lainnya dengan tepat
21) Evaluasi dan dokumentasikan respon terhadap terapi
relaksasi
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah rencana intervensi untuk mencapai tujuan

yang spesifik (Nursalam, 2011). Pelaksanaan dapat dilakukan

seluruhnya oleh bidan atau bersama-sama dengan klien atau anggota

tim kesehatan. Bila tindakan dilakukan oleh dokter atau tim kesehatan,

bidan tetap memegang tanggung jawab untuk mengarahkan

kesinambungan asuhan berikutnya. Kaji ulang apakah semua rencana

asuhan telah dilaksanakan (Elizabeth siwi & Purwoastuti, 2015).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis
keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya (Nursalam,
2011).
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan

yang telah diberikan. Evaluasi didasarkan pada harapan pasien yang


diidentifikasi saat merencanakan asuhan keperawatan (Elizabeth siwi

& Purwoastuti, 2015).

Anda mungkin juga menyukai