Anda di halaman 1dari 6

Badan Tenaga Nuklir Nasional

JAKARTA

Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional

GUNTINGAN BERITA
Nomor : HHK 2.1/HM 01/02/2017

Hari, tanggal Sabtu, 11 Februari 2017


23:36 WIB
Sumber Berita http://www.kompasiana.com/maniksukoco/belaj Hal. - Kol. -
ar-dari-bencana-nuklir-
fukushima_589f3d8308b0bdb80ad291a5

Belajar dari Bencana Nuklir Fukushima


Editor: Irvina Falah

Desa Itato, 40 kilometer sebelah barat laut PLTN Fukushima Doishi, masih memiliki tingkat radiasi
jauh di ambang batas internasional (Sumber: Greenpeace).

Jakarta, Februari 2017


Bagian Humas,
Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama
Copy dikirim kepada Yth.:
1. Deputi Bidang Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir 4. Sekretariat Utama
2. Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir 5. BGAC-melalui PAIR
3. Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir
Gempa besar dan tsunami yang terjadi di kawasan timur Jepang pada bulan Maret 2011
lalu, memicu terjadinya bencana nuklir di Fukushima. Reaktor nuklir, yang awalnya
diciptakan untuk kesejahteraan warga Jepang, dan diklaim telah memenuhi standar
keselamatan, ternyata mengakibatkan malapetaka di Kota Fukushima. Kawasan ini, tidak
lagi aman ditempati dan tidak lagi mampu melindungi warga dari dampak radioaktif nuklir,
sampai beberapa tahun kemudian.

Ada masalah yang lebih luas dan pertanyaan penting yang masih membutuhkan perhatian
kita:
Bagaimana mungkin dengan berbagai jaminan dan pertimbangan, kecelakaan nuklir besar
yang setaraf dengan bencana Chernobyl tahun 1986, terjadi lagi di salah satu negara
industri yang paling maju di dunia?
Mengapa rencana darurat dan evakuasi, tidak mampu melindungi orang dari paparan
yang berlebihan terhadap dampak radioaktif dan kontaminasi yang dihasilkannya?

Ada beberapa poin yang bisa ditarik dari kejadian ini:


Kecelakaan nuklir Fukushima merupakan akhir dari paradigma keselamatan nuklir.
Kecelakaan nuklir Fukushima memperlihatkan kegagalan yang dalam dan sistemik, dari
lembaga yang seharusnya mengontrol tenaga nuklir dan melindungi masyarakat dari
kecelakaan tersebut.

Gambar citra satelit yang menunjukkan kerusakan di PLTN Fukushima, akibat gempa bumi yang
terjadi pada 11 Maret 2011 (Sumber: DigitalGlobe).
Setelah bencana yang terjadi di Fukushima, bisa kita simpulkan bahwa yang namanya
"keselamatan nuklir" itu tidak pernah ada dalam kenyataan. Yang ada hanyalah resiko
nuklir. Setiap saat, kombinasi yang tak terduga dari kegagalan teknologi, kesalahan
manusia, atau bencana alam di reaktor manapun di seluruh dunia bisa terjadi, yang dapat
menyebabkan reaktor menjadi tak terkendali. Di Fukushima misalnya, dalam waktu kurang
dari 24 jam setelah gagalnya reaktor pertama, ledakan hidrogen besar menghancurkan
penghalang terakhir sejumlah besar radiasi, sebelum akhirnya keluar ke udara terbuka.

Industri nuklir terus berkata, bahwa kemungkinan kecelakaan besar seperti Fukushima
sangatlah rendah. Dengan lebih dari 400 reaktor yang beroperasi di seluruh dunia,
probabilitas krisis inti reaktor, hanya mungkin terjadi satu kali dalam 250 tahun. Asumsi ini
terbukti salah besar. Menurut analisis berbeda yang dilakukan oleh Greenpeace
International, kecelakaan nuklir dapat terjadi di suatu tempat di seluruh dunia, kira-kira
sekali setiap satu dekade.

Salah satu prinsip ilmu pengetahuan modern adalah, bahwa ketika pengamatan tidak
sesuai dengan hitungan, maka prediksi, model, dan teori perlu direvisi. Industri nuklir
hanya bergantung pada model resiko yang rendah bencana, membenarkan kelanjutan
operasi reaktor di Jepang dan seluruh dunia. Walau dalam kenyataannya, bencana ini
memperlihatkan kegagalan sistemik di sektor nuklir dalam hal: darurat dan perencanaan
evakuasi, kewajiban dan kompensasi atas kerusakan, serta regulasi nuklir.

Kondisi pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari pusat PLTN Fukushima Doichi (Sumber:
Greenpeace).
Tessa-Morris Suzuki, Guru Besar Sejarah Jepang di College of Asia and the Pasific di
Australian National University, mengungkapkan bahwa kelemahan industri nuklir, tersebar
dalam lingkup institusi sosial, ekonomi, maupun politik baik secara regional maupun
internasional. Pengelolaan industri nuklir Jepang, bukanlah kesalahan tersembunyi dalam
sistem industri mereka. Sebaliknya, masyarakat telah memahami hal ini, menyadari,
menulis, dan memperingatkan tentang hal ini selama beberapa dekade.

Prof. David Boilley, ketua LSM Perancis ACRO, menulis bagaimana Jepang, sebuah
negara yang paling berpengalaman dan lengkap, ketika dihadapkan pada penanganan
bencana skala besar, menemukan bahwa perencanaan darurat untuk kecelakaan nuklir
tidak fungsional. Pada saat bencana terjadi, evakuasi menjadi kacau sehingga banyak
manusia yang harus menanggung dampak radiasi.

Dalam waktu dua minggu setelah bencana nuklir terjadi, pemerintah meminta warga yang
tinggal 20-30 kilometer radius dari bencana, untuk sukarela mengungsi. Kemudian pada
akhir April 2011, pemerintah memperpanjang zona evakuasi hingga 50 kilometer. Sekali
lagi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, pemerintah meminta lebih banyak orang di luar
zona evakuasi untuk mengungsi. Data pemerintah yang dirilis kemudian, memaparkan
fakta bahwa pemerintah harus mengevakuasi masyarakat hingga 250 kilometer dari
kawasan bencana.

Poin yang bisa diambil dari penanganan bencana adalah:


Perangkat lunak khusus yang digunakan untuk memprediksi bencana, tidak digunakan
dengan benar.
Prosedur evakuasi masyarakat rentan, gagal.
Program-program dekontaminasi untuk membersihkan daerah yang sangat
terkontaminasi, menimbulkan pertanyaan besar dalam hal efektivitas, biaya, dan efek
samping negatif.

Dr. David McNeill, koresponden Jepang untuk The Chronicle of Higher Education, jurnalis
The Independent dan Irish Times menginvestigasi kemungkinan yang paling mengerikan
dari kecelakaan nuklir di Fukushima serta dampaknya pada manusia. Lebih dari 150.000
orang dievakuasi, mereka kehilangan hampir segalanya, dan tidak mendapatkan
kompensasi yang cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka.

TEPCO, lembaga yang berwenang dalam hal ini, tidak menyebutkan aturan rinci dan
prosedur bagaimana, serta kapan kompensasi akan dibayar. TEPCO malah berhasil
melarikan diri dari tanggung jawab penuh, dan gagal untuk memberikan kompensasi baik
pada warga masyarakat, atau pelaku sektor industri di sekitar lokasi bencana.
Mengejutkan melihat bagaimana industri nuklir, berhasil membangun sebuah sistem,
dimana para pencemar mampu meraih keuntungan besar. Sementara pada saat terjadi
bencana, mereka melemparkan tanggung jawab penanganan kerugian dan kerusakan
kepada warga yang terkena dampak.

Amie Gunderson dari Fairewinds Associates, mengatakan bahwa pengaruh politik tidak
semestinya diaplikasikan pada pengaturan industri nuklir, yang dapat memberikan efek
sangat fatal bagi warga negara. Kegagalan kelembagaan manusia, merupakan penyebab
bencana Fukushima. Bahkan, Badan Energi Atom Internasional PBB (International Atomic
Agency) juga dinilai gagal memprioritaskan perlindungan warga, diatas kepentingan politik
Pemerintah Jepang, atau diatas misi mereka sendiri untuk mempromosikan tenaga nuklir.
Pengambilan sampel tanah di pinggiran kota Fukushima, 60 kilometer dari radius bencana yang
masih memiliki kontaminasi radioaktif (Sumber: Greenpeace).
Pelajaran yang Bisa Diambil (Lesson Learned)

Kegagalan institusi di Jepang adalah peringatan bagi seluruh dunia. Kegagalan institusi
inilah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan di Three Mile Island di Amerika Serikat,
Chernobyl di Ukraina, lalu tragedi di Fukushima. Ada sejumlah kesamaan antara bencana
Chernobyl, dan bencana Fukushima dalam hal jumlah radiasi yang dilepaskan, jumlah
penduduk yang direlokasi, kontaminasi jangka panjang, serta luas lahan yang terkena
imbas bencana. Akar permasalahannya sama: intansi terkait meremehkan resiko nuklir,
mengutamakan kepentingan politik serta ekonomi, dibandingkan keselamatan warga.

Teknologi energi terbarukan yang matang, kuat, terjangkau yang tersedia, merupakan
pilihan yang mampu menggantikan reaktor nuklir yang berbahaya. Faktanya, antara tahun
2007-2012, kombinasi kapasitas energi angin dan matahari, menjadi 26 kali lebih besar
dari kapasitas gabungan reaktor nuklir baru, dalam rentang waktu yang sama. Skala
instalasi energi terbarukan juga berkembang pesat dari tahun ke tahun, sementara tenaga
nuklir terus mengalami penurunan.

Salah satu fisikawan terkemuka abad lalu, pemenang hadiah Nobel, Richard Feynman,
dalam laporannya yang menulis tentang bencana tragis Pesawat Ulang-Alik Challenger
tahun 1987, mengungkapkan analisis mencengangkan mengenai bagaimana pengaruh
sosial ekonomi masyarakat modern, menyebabkan kesenjangan besar antara prediksi
resmi dan resiko nyata kecelakaan bencana dari teknologi yang kompleks.

Butuh waktu dua bencana mematikan, untuk menghentikan pesawat ulang-alik yang
rawan kecelakaan. Sekarang, kita telah mengalami bencana nuklir besar untuk kedua
kalinya dalam sejarah. Mari kita jangan membodohi diri sendiri lagi. Kita memiliki tanggung
jawab untuk beralih ke pasokan energi yang aman dan terjangkau - energi terbarukan.

Tenaga nuklir, bagaimanapun tidak pernah bisa aman. Kita harus menempatkan rezim
nuklir di bawah pengawasan publik ketat dan membutuhkan transparansi. Tidak cukup
dengan itu, kita harus meninggalkan tenaga nuklir yang berbahaya sepenuhnya, secepat
mungkin. Tidak ada kata setuju untuk pengembangan energi ini di masa depan. Tidak ada
kata setuju bagi negara-negara sahabat, yang ingin meminta dukungan Indonesia atas
pengembangan energi nuklir.

Anda mungkin juga menyukai