Anda di halaman 1dari 17

I.

DEFINISI

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan

pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih

dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit

kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua

kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa

delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau

bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau

mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak

emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh,

sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif

II. EPIDEMIOLOGI

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan

di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara

kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1%

populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal

masa dewasa.

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda

yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-

35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada

perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural.


Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan

zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami

ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri

dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien

skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang

melakukan bunuh diri.

Di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama

antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun

ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-

laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal

umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah

dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan

risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang

mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan

dengan laki-laki.

III. ETIOLOGI

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa

penyebab skizofrenia, antara lain :

a) Faktor Genetik

Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal

ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga

penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka

kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 –

15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia
7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi

kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur

(monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena

yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita

lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-

tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan

mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang

mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko

untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin

banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.

b) Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi

otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang

memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa

ahli mengatakan bahwa skiz\ofrenia berasal dari aktivitas

neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu

otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang

berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya

juga memainkan peranan.


c) Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang

semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan,

adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang

patogenik dalam keluarga.

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam

keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah

schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk

mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan

penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-

anaknya.

Keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting

dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu

banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk

berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak

merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

dibutuhkannya.

IV. PERJALANAN PENYAKIT

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap

individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan,

meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal,

fase aktif dan keadaan residual.

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit

skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif.


Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau

permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala

prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda

dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah),

merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan

skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala

somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan

masalah pencernaan.

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata

secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku.

Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri

(tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan

menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu

atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat

berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh.

V. TIPE-TIPE SKIZOFRENIA

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical

Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III dan berlanjut dalam

DSM-IV dan DSM-IV-TR. Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-

IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu:

a) Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok

atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan

afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar
atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain

(misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin

juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga

jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

b) Tipe Disorganized (Tidak Terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan

kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.

Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang

tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku

dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas

hidup sehari-hari.

c) Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor

yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).

Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali

tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang

tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau

mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).

d) Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang

menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat

menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang

sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat

dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-

ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme


seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang

menunjukkan ketakutan.

e) Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari

skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa,

seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide

tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu

dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil,

inaktivitas, dan afek datar.

VI. GEJALA

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala

positif dan gejala negatif.

1. Gejala Positif

Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang

merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang

tidak dapat dikontrol pasien.

a. Delusi (Waham)

Merupakan gejala skizofrenia dimana adanya suatu keyakinan

yang salah pada pasien. Pada skizofrenia waham sering tidak logis

sama sekali tetapi pasien tidak menginsyafi hal ini dan dianggap

merupakan fakta yang tidak dapat dirubah oleh siapapun.Waham yang

sering muncul pada pasien skizofrenia adalah waham

kebesaran,waham kejaran,waham sindiran, waham dosa dan

sebagainya.
b. Halusinasi

Memdengar suara, percakapan, bunyi asing dan aneh atau

malah mendengar musik, merupakan gejala positif yang paling sering

dialami penderita skizofrenia.

2. Gejala Negatif

Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental

atau proses perilaku (Behavior).Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan

orang disekitarnya.

a. Gangguan afek dan emosi

Gangguan afek dan emosi pada skizofrenia berupa adanya

kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting). Misalnya, pasien

menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya

sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan

halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan

hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya

kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-

sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau

menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi).

Afektif datar adalah reduksi dalam rentang intensitas ekspresi

emosional yang meliputi ekspresi wajah, nada suara, kontak mata, dan

bahasa tubuh. Pengekpresian afek – atau ketiadaan atau kekurangan

ekspresi ini- mungkin merupakan gejala penting bagi perkembangan

skizofrenia. Kira-kira seperempat penderita skizofrenia

memperlihatkan apa yang disebut dengan afek datar. Mereka seperti


orang yang mengenakan topeng karena tidak memperlihatkan emosi

pada pada saat mereka semestinya memperlihatkannya. Para peneliti

menyimpulkan bahwa afek datar dalam skizofrenia mungkin

mempresentasikan kesulitan dalam mengalami emosi, dan bukan

karena mereka tidak perasaan

b. Alogia

Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan

dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada

pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia

berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waktu.

c. Avolisi

Kata avolition (avolisi) berarti ketidakmampuan untuk memulai

atau mempertahankan berbagai macam kegiatan. Avolisi (avolition)

adalah reduksi, kesulitan, atau ketidakmampuan untuk memprakarsai

dan bertahan dalam perilaku yang memiliki tujuan. Penderita gejala ini

(yang juga disebut apathy) menunjukkan minat yang rendah untuk

melakukan sesuatu, bahkan fungsi-fungsi dasar sehari-sehari, termasuk

kesehatan pribadi. Alogia, atau miskin bicara, adalah kurangnya

kelancaran dan produktivitas bicara, yang dianggap mencerminkan

pemikiran yang lamban, dan biasanya termanifestasi dalam bentuk

jawaban pendek dan kosong. Orang dengan alogia mungkin merespons

pertanyaan dengan jawaban-jawaban pendek yang isinya terbatas dan

mungkin tampak tidak tertarik untuk bercakap-cakap.


d. Anhedonia

Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari

pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai

perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai

teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya.

e. Gejala Psikomotor

Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering

mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja

maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku,

stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan

dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-

tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana

pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah.

VII. KRITERIA DIAGNOSIS

Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis skizofrenia:

1. Didapatkan dua gejala atau lebih di bawah ini, setiap gejala spesifik dialami

selama kurang lebih 1 bulan. Di antaranya:

- Waham

- Halusinasi

- Inkohorensia

- Tingkah laku katatonik

- Gejala-gejala negatif seperti emosi, dan lain-lain.


2. Untuk hasil yang lebih signifikan onset masalah tersebut, akan mengganggu

fungsi level satu atau dua lebih area seperti pekerjaan, hubungan dengan relasi

atau diri sendiri.

3. Tanda yang berulang selama kira-kira 6 bulan

4. Gangguan skizoaktif dan depresi atau gangguan bipolar, tetapi tidak sering.

5. Masalah yang menyangkut penggunaan zat ataupun obat-obatan.3

Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan

khas, dan adanya afek yang tidak wajar atau tumpul. Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi

simptom skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat

secara bersama-sama untuk diagnosis. Cara diagnosis pasien skizofrenia menurut

PPGDJ III antara lain;

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):3

a. Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,

namun kualitasnya berbeda;

Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk ke

dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu

dari luar dirinya (withdrawal)

Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang

lain atau umum mengetahuinya.

b. Waham dikendalikan (delusion of control). waham dipengaruhi (delusion of

influence), atau "passivity", yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau
pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan

(sensations) khusus; persepsi delusional;

c. Halusinasi suara (audiotorik) yang berkomentar secara terus-menerus

terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara

mereka sendiri. atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu

bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak

wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas

keagamaan atau pulitik, atau kekuatan dan kemampuan "manusia super"

(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan

makhluk asing dari dunia lain).

2. Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas

dalam kurun waktu satu bulan atau lebih;

a. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas. apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk

tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over

valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;

b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang

berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidakrelevan, atau

neologisme;

c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme

dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan

yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,

biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan

menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut

tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

e. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya

minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed

attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama

kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi

persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik

diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan psikosis

fungsional.

Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksan

status mental. Dari anamnesis ditemukan gejala-gejala yang mengarah dengan

diagnosis Skizofrenia Paranoid. Skizofrenia paranoid adalah tipe paling stabil

dan paling sering. Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosis skizofrenia

paranoid:

3. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahan:

1. Halusinasi yang harus menonjol yaitu suara-suara halusinasi yang

mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa

bentuk verbal berupa bunyi peluit, mendengung, atau bunyi tawa.

2. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual atau lain-

lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
3. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan atau

“passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang

paling khas.

Gejala terlihat sangat konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau

tidak bertindak sesuai dengan wahamnya

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis,

dan terapi psikososial.

1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu

terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,

dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat

antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang

digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine

decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat

phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini

disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa

kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,

sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan

mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang

tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan.

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock

pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an,

electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan


untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan

keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di

berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk

skizofrenia.

Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena

metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian

besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih

dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi

dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan

pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan

ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta

seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah

itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan

otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak

Moniz memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi

primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan

batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu.

Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan

yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.

Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena

menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak

tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan

situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ)

menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah

penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang

mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat

masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang

dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu

terapi kelompok dan terapi keluarga

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik.

Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan

terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di

dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang

pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi

sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat

memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.

Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi

kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari

rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha

untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan

penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk

mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang

negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap

persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang

keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa


penelitian, ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam

proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya

penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual

Anda mungkin juga menyukai