Anda di halaman 1dari 18

FAKULTAS KEDOKTERAN Laporan Kasus

UNIVERSITAS HASANUDDIN NOVEMBER 2017

HEPATITIS B KRONIK

DISUSUN OLEH:
1. Jennifer Lesmana
2. Ni Luh Komang Asri Wahyu Dewi
3. Syamimi Binti Afandi
4. Sharum Yap Bin Sufian Yap
5. Ezzati Nabila Fatin Binti Shaharil
6. Nor Syakirah Binti Azmin

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
DIVISI GASTROENTEROLOGI DAN HEPATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Tanggal Lahir/ Usia : Laki-laki
No.Rekam Medis : 166131
Pekerjaan : PNS
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Goa Ria Lr.1 No.2
Tanggal Masuk Poli : 4 Desember 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk Rumah Sakit Ibnu Sina dengan keluhan lemas karena intake dan nafsu
makan menurun sejak 1 minggu yang lalu. Mual ada. Muntah ada. Demam tidak ada.
Batuk tidak ada. BAB dan BAK kesan normal. Riwayat pasien didiagnosis dengan
Hepatitis B tahun 2013. Saat itu, pasien mengeluh kuning pada mata dan kulit, mual dan
muntah, demam, penurunan nafsu makan dan warna urine seperti teh. Keluhan ini di
alami selama 3 bulan dan akhirnya di rawat di Rumah Sakit Ibnu Sina dan rutin
mengonsumsi sebivo 1x1 selama 2 tahun, tapi 6 bulan yang lalu pasien berhenti minum
obat.
Riwayat kebiasaan dan penyakit sebelumnya
 Riwayat mengalami keluhan yang sama sebelumnya ada.
 Riwayat transfusi darah disangkal.
 Riwayat hipertensi disangkal.
 Riwayat diabetes mellitus ada tapi tidak pernah minum obat oral, hanya berobat
herbal.
 Riwayat keluarga dengan gejala yang sama tidak ada.
C. OBJEKTIF
i. Keadaan Umum
 Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
 GCS 15 : E4M6V5

ii. Tanda-tanda Vital


 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Frekuensi nadi : 86 x/menit
 Frekuensi napas : 20 x/menit
 Suhu (aksilla) : 36,4 oC

iii. Pemeriksaan fisis


 Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah rontok
 Muka : Normal
 Mata : Pupil isokor, refleks cahaya normal, konjungtiva anemis
(-), ikterus (-)
 Oral : Karies (-), hipertrofi gingiva (-), lidah kotor (-)
 Tenggorokan : Tidak ada kelainan, faring tidak ada kelainan,
T1-T1 tidak hiperemis
 Leher : JVP R+2 cm H2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-)
 Paru:
• Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
• Palpasi : Tidak teraba massa, vocal fremitus simetris
• Perkusi : Sonor
• Batas paru hepar : ICS-VI dextra anterior
• Batas paru belakang kanan : Vertebra Th IX dextra posterior
• Batas paru belakang kiri : Vertebra Th X sinistra posterior
• Auskultasi : Napas vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada
 Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Thrill tidak teraba
• Perkusi : Batas atas ICS II sinistra
: Batas kanan ICS IV linea parasternalis dekstra

: Batas kiri ICS V linea axilaris anterior sinistra

• Auskultasi : BJ I/II murni, reguler, tidak ada murmur

 Abdomen:
• Inspeksi : Distensi (-), Asites (-)
• Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
• Palpasi : Nyeri tekan (-)
• Perkusi : Timpani

 Extremitas : Tidak edem, tidak ada deformitas

 Punggung:
• Inspeksi : Tidak ada massa, tidak ada jejas
• Auskultasi : Vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada
• Palpasi : Tidak ada nyeri ketok, tidak ada nyeri tekan
• Perkusi : Sonor, abdomen pekak

 Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan.

D. LABORATORIUM

Pemeriksaan Hematologi

(04/12/2017)

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Hb 13.0 g/dl 11.0-17.0


Wbc 4.4 10^3/uL 4-12.0

Hct 37.6 % 35.0-55.0

Plt 209 10^3/uL 150-400

Mcv 81.6 fL 80.0-100.0

Mch 28.2 pg 26.0-34.0

Mchc 34.6 g/dL 31.0-35.5

Lymph 1.0 10^3/uL 1.0-5.0

Mono 0.5 10^3/uL 0.1-1.00

AST/SGOT 28 u/L 5-38

ALT/SGPT 26 u/L 10-41

Ureum 28 mg/dL 15-40

Kreatinin 0.9 mg/dL 0.5-1.2

E. ASSESSMENT
 Hepatitis B
 General Weakness

F. TERAPI

Non-farmakologi:

 Istirahat cukup

Farmakologi:

 Infus Asering 20 tetes per menit


 Domperidone 10 mg/8 jam/oral
G. PLANNING
 Periksa darah rutin, elektrolit, GDS, kreatinin, albumin, PT, APTT, bilirubin

H. RESUME
Pasien masuk Rumah Sakit Ibnu Sina dengan keluhan lemas karena intake dan nafsu
makan menurun sejak 1 minggu yang lalu. Mual dan muntah ada. Riwayat pasien
didiagnosis dengan Hepatitis B tahun 2013. Saat itu, pasien mengeluh kuning pada mata
dan kulit, mual dan muntah, demam, penurunan nafsu makan dan warna urine seperti teh.
Keluhan ini di alami selama 3 bulan dan akhirnya di rawat di Rumah Sakit Ibnu Sina dan
rutin mengonsumsi sebivo 1x1 selama 2 tahun, tapi 6 bulan yang lalu pasien berhenti
minum obat. Riwayat diabetes mellitus ada tapi tidak pernah minum obat oral, hanya
berobat herbal.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum: sakit sedang/gizi cukup/compos
mentis dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Assesment yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratorium adalah Hepatitis B dan General Weakness.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah infus asering 20 tetes per menit dan
domperidone 10 mg/8 jam/oral.

Follow up

Perjalanan Penyakit
Tanggal (Subjektif, Objektif, Assesment) Planning

5/12/2017 S: Lemas, tidak mual, tidak muntah, tidak demam. P:

O: KU: sakit sedang/gizi cukup/compos mentis  Periksa Darah Rutin,


Elektrolit, GDS,
TD: 100/70 mmHg
Kreatinin, Albumin, PT,
N: 80 kali/menit APTT, Bilirubin
 Periksa HBV DNA
P: 20 kali/menit
 Fibroscan
o
S: 36.52 C R/

Kepala: Anemis (-), ikterus (-)  IVFD Asering 20 tetes


per menit
Thorax:
 Domperidone 10 mg/8
BP: vesikuler; BT: Rh -/-, Wh -/- jam/oral
 Istirahat cukup
BJ I/II murni regular

Abdomen:

Peristaltik (+) kesan normal

Hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas:

Edema (-/-), akral hangat

Assessment:

- Hepatitis B virus
- General weakness
BAB II

DISKUSI

1.0 Definisi

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang
dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit
kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh
secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan
(Mustofa & Kurniawaty, 2013).

2.0 Epidemiologi

Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan
kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan
Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon. Center for
Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga
300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25%
dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit,
dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan (Price & Wilson, 2012).

Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400 juta
orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia dilaporkan
berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007).

Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang yang hidup
saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua pembawa kronis
hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat (Kumar et al, 2012).

Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi di
Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%- 1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis
tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang menunjukkan bahwa persentase HBsAg
positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%),
umur >60 13 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%), selanjutnya HBsAg positif
pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan
bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B (Kemenkes, 2012).

3.0 Etiologi Hepatitis B

Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari
genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm (Hardjoeno, 2007).
Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009).
Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam
berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno, 2007).

Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200
nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading
Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal
sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs
(SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama
pada asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007).

HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau
y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan (Asdie et al,
2012). Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode
enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode
protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung
mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan
dengan terjadinya kanker hati (Hardjoeno, 2007).
Gambar 1 Struktur virus Hepatitis B (Sumber: Hunt, 2011)

4.0 Penularan Hepatitis B

Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012).

Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu.
Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja,
2012).

Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral
yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang
sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis
B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi
pada serum (Juffrie et al, 2010).

5.0 Etiologi & Patogenesis

Selain transmisi vertikal, virus hepatitis B dapat ditransmisikan melalui cairan tubuh,
perkutaneus, dan mukosa. Hepatitis B terkonsentrasi tinggi dalam darah, serum, eksudat luka.
Hepatitis B terkonsentrasi sedang dalam semen, cairan vagina, air liur. Hepatitis B
terkonsentrasi rendah / tidak ada dalam urin, feses, keringat, air mata, ASI. Penularan yang
lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karier hepatitis B, hemodialisis, alat tattoo,
alat tindik, hubungan seksual, transfusi darah, donor organ.

Patogenesis infeksi virus hepatitis B melibatkan respon imun humoral dan seluler. Virus
bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat sitopatik, sehingga yang
membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinik bukan oleh virus yang menyerang
hepatosit tetapi oleh karena respon imun yang dihasilkan oleh tubuh. Respon antibodi
terhadap antigen permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung,
nukleokapsid, dan antigen polimerase berperan dalam eliminasi sel yang terinfeksi.

Dari peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel
HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbeAg. VHB akan merangsang respon imun tubuh,
yang pertama kali dirangsang adalah respon imun non spesifik ( innate immune response)
karena dapat terangsang dalam waktu pendek dalam beberapa menit sampai jam dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.

Untuk proses eridikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun soesifik dengan
mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Proses eliminasi dari sel T CD8+ ini bisa
terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau
mekanisme sitolitik. Disamping itu , dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa
kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan TNF alfa yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ atau mekanisme non sitolitik.

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan
bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi
VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor
pejamu.
6.0 Manifestasi Klinis

6.1 Hepatitis B kronik

Gambaran klinis untuk hepatitis sangat bervariasi. Terdapat banyak kasus


yang tidak didapatkan keluhan dan tes faal hatinya juga normal. Terdapat kasus
dimana terjadi tanda-tanda penyakit hati kronis seperti hepatomegaly, splenomegali
dan lain-lain. Secara manifestasi klinis dapat dikelompokkan kepada dua yaitu
Hepatitis B kronik yang masih aktif dan carrier VHB Inaktif.

Hep B kronik yang masih aktif Carrier VHB inaktif(Inactive HBV carrier
state)

• HBsAg positif + DNA VHB >105 • HBsAg positif + DNA VHB <105
kopi/ml kopi/ml

• Kenaikan ALT yang menetap/intermitten • Konsentrasi ALT normal

• Tanda-tanda penyakit hati kronis • Tidak terdapat keluhan

• Biopsi hati:peradangan aktif • Biopsi hati:kelainan yang minimal

6.2 Hepatitis B akut

Pada pasien dengan virus hepatitis B akut, gejala prodromal yang dapat dilihat
adalah gejala konstitusional berupa malaise, anoreksia, mual muntah, mialdia dan mudah
lelah. Pasien juga dapat mengalami perubahan pada rasa dan perubahan bau-bauan. Pasien
juga dapat mengalami nyeri abdomen. Demam jarang terjadi pada pasien dengan infeksi
Hepatitis B namun dapat terjadi demam pada pasien dengan serum sickness-like syndrome
dengan gejalan berupa demam, kemerahan pada kulit, arthralgia dan artritis. Gejalan terjadi
1-2 minggu sebelum icterus. Pasien dapat mengalami ensefalopati hepatikum dan kegagalan
multiorgan bila terjadi gagal hati fulminan. Gejala yang persisten yang dapat terjadi adalah
demam yang tidak terlalu tinggi, icterus, dan hepatomegaly ringan.
7.0 Diagnosis
Penderita dengan HBV akan memiliki kadar HbsAg dalam serum yang meningkat
sejalan dengan perjalanan penyakit, dan akan menurun setelah 1 – 2 bulan dari akhir gejala,
dan hilang dalam 6 bulan. Setelah HbsAg menghilang akan timbul antibodinya (anti-HBs)
yang akan bertahan dalam tubuh selamanya yang berfungsi untuk mencegah infeksi hepatitis
B kembali. Antibodi lain yang dihasilkan tubuh akibat infeksi hepatitis B adalah anti-HBc,
memiliki fungsi yang sama dengan antibodi hepatitis lainnya tetapi apabila ditemukan dalam
pemeriksaan tidak memberikan makna yang cukup kuat adanya infeksi virus hepatitis. Pada
proses infeksi akut hepatitis B akan timbul juga immunoglobulin yaitu IgM anti-HBc dalam
serum, dan apabila terjadi infeksi kronis akan timbul IgG anti-HBc. Pada penderita hepatitis
B, 1 – 5% memiliki angka HbsAg yang rendah untuk dapat terukur, sehingga pemeriksaan
IgM anti-HBc dapat digunakan.
Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-kurangnya 2 pertanda
serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang muncul dan terdapat pada
hampir semua orang yang terinfeksi; kenaikannya sangat bertepatan dengan mulainya gejala.
HBeAg sering muncul selama fase akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius.
Karena kadar HBsAg turun sebelum akhir gejala, antibody IgM terhadap antigen core
hepatitis B (IgM anti HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap
selama beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama
beberapa tahun. Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling
berharga karena ia muncul hampir seawal HBsAg dan terus kemudian dalam perjalanan
penyakit bila HBsAg telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada pada orang-orang yang
diimunisasi dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg dan anti-HBcAg terdeteksi pada
orang dengan infeksi yang sembuh.

Diagnosis Hepatitis B Kronik


1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. DNA HBV serum >20.000 IU/ml (nilai rendah dari 2000-20000 IU/ml ditentukan
pada HBeAg negative)
3. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermitten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat nekroinflamasi sedang
sampai berat
8.0 Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Fungsi Hati

Tes fungsi hati adalah pemeriksaan sejumlah parameter zat-zat kimia maupun enzim
yang dihasilkan jaringan hati. Dari tes biokimia hati inilah dapat diketahui derajat
keparahan atau kerusakan sel dan selanjutnya fungsi organ hati dapat dinilai. Pemeriksaan
ini terdiri dari:2,3,4,7

a. Serum bilirubin direk dan indirek


Bilirubin adalah pigmen kuning yang dihasilkan oleh pemecahan
hemoglobin (Hb) di dalam hati. Bilirubin dikeluarkan melalui empedu dan dibuang
melalui feses.Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan
bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin.
Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin. Bilirubin
total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek.
Adanya peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya penyakit
pada hati atau saluran empedu. Sedangkan peningkatan bilirubin indirek jarang terjadi
pada penyakit hati. Nilai serum total bilirubin naik kepuncak 2,5 mg/dL dan
berlangsung ketat dengan tanda-tanda klinik penyakit kuning, bila diatas 200 mg/ml
prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler.
Tingkatan nilai bilirubin juga terdapat pada urine.2,3,4,7
b. ALT (SGPT) dan AST (SGOT)
Ada dua parameter berupa enzim yang dapat dijadikan sebagai indikator
terhadap adanya kerusakan sel hati (liver). Keduanya sangat membantu dalam
mengenali adanya penyakit pada hati (liver). Enzim-enzim tersebut adalah aspartat
aminotransferase (AST/SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT/SGPT).
Peningkatan kadar enzim-enzim tersebut mencerminkan adanya kerusakan sel-sel hati
(liver). Namun demikian derajat ALT lebih dipercaya dalam menentukan adanya
kerusakan sel hati (liver) dibanding AST. Awalnya meningkat, dapat meningkat 1-2
minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
ALT ditemukan terutama di hati (liver), sedangkan AST selain dapat
ditemukan di hati (liver) juga dapat ditemukan di otot jantung, otot rangka, ginjal,
pankreas, otak, paru, sel darah putih dan sel darah merah. Jika terjadi peningkatan
kadar AST bisa jadi yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lain yang
mengandung AST.
Pada penyakit hati akut, kadar ALT lebih tinggi atau sama dengan kadar
AST. Tingkatan alanine aminotransferase atau ALT bernilai lebih dari 1000 mU/mL
dan mungkin lebih tinggi sampai 4000 mU/mL dalam beberapa kasus virus Hepatitis
nilai aspartat aminotransferase atau AST antara 1000 – 2000 mU/mL.2,3,4,7
c. Albumin, globulin
Ada beberapa serum protein yang dihasilkan oleh hati. Serum-serum
tersebut antara lain albumin, globulin dan faktor pembekuan darah. Pemeriksaan
serum-serum protein tersebut dilakukan untuk mengetahui fungsi biosistesis
hati.Adanya gangguan fungsi sintesis hati ditunjukkan dengan menurunnya kadar
albumin. Namun karena usia albumin cukup panjang (15-20 hari), serum protein ini
kurang sensitif untuk digunakan sebagai indikator kerusakan hati.
Globulin adalah protein yang membentuk gammaglobulin. Kadar
gammaglobulin meningkat pada pasien penyakit hati kronis ataupun sirosis.
Gammaglobulin mempunyai beberapa tipe, yaitu Ig G, Ig M dan Ig A. Masing-masing
tipe sangat membantu pendeteksian penyakit hati kronis tertentu.2,3,4,7
d. Waktu protrombin
Sebagian besar faktor-faktor pembekuan darah disintesis di hati. Umur
faktor-faktor pembekuan darah lebih singkat dibanding albumin, yaitu 5 hingga 6
hari. Pengukuran faktor-faktor pembekuan darah lebih efektif untuk menilai fungsi
sintesis hati. Ada lebih dari 13 jenis protein yang terlibat dalam pembekuan darah,
salah satunya adalah protrombin. Adanya kelainan pada protein-protein pembekuan
darah dapat dideteksi dengan menilai waktu protrombin. Waktu protrombin adalah
ukuran kecepatan perubahan protrombin menjadi trombin. Lamanya waktu
protrombin ini tergantung pada fungsi sintesis hati serta asupan vitamin K. Adanya
kerusakan sel-sel hati akan memperpanjang waktu protrombin. Hal ini dikarenakan
adanya gangguan pada sintesis protein-protein pembekuan darah. Dengan demikian,
pada kasus hepatitis kronis dan sirosis waktu protrombin menjadi lebih panjang.
e. Petanda serologis :
Tes serologi adalah pemeriksaan kadar antigen maupun antibodi terhadap
virus penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis virus penyebab
hepatitis.

9.0 Penatalaksanaan

9.1 Infeksi Hepatitis B Akut

Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang
diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi hepatitis B
akut pada dewasa dapat sembuh spontan. Terapi antiviral dini hanya diperlukan pada kurang
dari 1% kasus, pada kasus hepatitis fulminan atau pasien yang imunokompromais.
Pencegahan terhadap infeksi virus hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi. Pencegahan
infeksi menggunakan imunisasi pasif yaitu pemberian imunoglobulin tidak mencegah infeksi,
melainkan mengurangi frekuensi penyakit klinis

Vaksinasi hepatitis B terdiri atas partikel HbsAg yang tidak terglikosilasi, namun
tetap tidak dapat dibedakan oleh tubuh dari HbsAg natural. Pemberian vaksinasi dibedakan
menjadi pencegahan sebelum pajanan dan setelah pajanan. Profilaksis sebelum pajanan
terhadap infeksi virus hepatitis B pada umumnya diberikan kepada pekerja kesehatan, pasien
hemodialisis dan staf yang bertugas, pengguna obat-obatan jarum suntik, pasien dengan
partner seksual yang lebih dari 1, pasien yang tinggal di area yang sangat endemik, maupun
anak-anak yang berumur bawah 18 tahun yang belum mendapatkan vaksinasi. Vaksinasi
pasca pajanan terhadap hepatitis B merupakan kombinasi antara HBIG (Hepatitis B
immunglobulin G) dan vaksin hepatitis B. Keduanya memiliki tujuan masing-masing yaitu
HBIG untuk mencapai titer anti-Hbs yang tinggi, dan vaksin hepatitis B untuk mencapai
imunitas yang bertahan lama.

9.2 Hepatitis B Kronik

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi


jejas hati dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Dalam
pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya petanda
replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada umumnya,
serokonversi dari HbeAg menjadi anti-Hbe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam
serum dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg
negatif, serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons terapi
hana dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB.

Terapi dengan Immunomodulator

Interferon (IFN) adalah kelompok protein intraselular yang normal ada dalam tubuh
dan diproduksi oleh berbagai macam sel Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus,
imunomodulator, anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antivirus
langsung tetapi merangsang terbentuk berbagai macam protein efektor yang mempunyai
khasiat antivirus.

Polietilen glikol (PEG) Interferon menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa.

Timosin Alfa 1 adalah suatu jenis sitotoksin yang merangsang fungsi sel limfosit.
Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi VHB
dan menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA VHB.
Vaksinasi Terapi, prinsip dasar vaksinasi terapi adalah penghidap VHB tidak
memberikan respons terhadap vaksin Hepatitis B konvensional yang mengandung HBsAg
karena individu-individu tersebut mengalami immunotoleransi terhadap HbsAg. Salah satu
dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang menyertakan epitop
yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)-
restricted, diharapkan sel T sitotoksik tersebut mampu menghancurkan sel-sel hati yang
terinfeksi VHB.

Terapi Antivirus

Lamivudin

Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptaseyang berfungsi dalam


transkripsibalik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin
menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang
belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang terinfeksi karena sel-sel yang telah
terinfeksi DNA VHb ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Karena itu
setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang
terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi.

Adefovir dipivoksil

Adefovir dipivoksil menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir


hampir sama dengan lamivudin. Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal
primer, namun karena alasan ekonomik dan efek samping adefovir, maka pada saat ini
adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin.

Anda mungkin juga menyukai