Anda di halaman 1dari 19

TRAUMA ABDOMEN

A. Definisi
Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional.
(Dorland, 2002 : 2111)
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja. (Smeltzer, 2001 : 2476 )
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat
kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi.(FKUI, 1995)

B. Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Trauma tumpul
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu
mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak
organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama
organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan
perdarahan maupun peritornitis.Pemakaian air-bagtidak mencegah orang
mengalami trauma abdomen.Pada pasien yang mengalami laparotomi karena
trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-
45%), dan usus (5-10%).Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
2. Trauma tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar
terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan
lainnya.
Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma
(20%), dan colon (15%).Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%),
colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 145)

C. Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis.
2. Hipotensi.
3. Tidak adanya bising usus.
4. Hemoperitoneum.
5. Mual dan muntah.
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya
pd arteri karotis).
7. Nyeri.
8. Pendarahan.
9. Penurunan kesadaran.
10. Sesak.
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahanlimfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal.
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur
pelvis.
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe.
(Scheets, 2002 : 277-278)
D. Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu :
1. Trauma tumpul
 Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
 Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
 Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
 Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan
2. Trauma tajam
 Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
 Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada system
retroperitoneal.
 Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami
kerusakan.
 Luka tusukan mungkin akan menenbus dinding peritoneum dan seringkali
merusak secara konservatif, bagaimanapun luka akibat tembakan senapan
selalu membutuhkan pembedahan dan penyelidikan lebih awal untuk
mengendalikan cedera intraperitoneal.
(Catherino, 2003 : 251)

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Trauma Tumpul
 Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan
yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama
bila dijumpai :
1) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
2) Perubahan sensasi trauma spinal.
3) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra
lumbalis.
4) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
5) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien
dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi.
6) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan
kecurigaan trauma usus.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 149-150)

 FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)


Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan
USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya
peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk
meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan
DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat,
noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitorium,
dan dapat diulang kapanpun.
Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi
pemakaiannya sama dengan indikasi DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 150)
 Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ
yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga
bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang
sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151)

2. Trauma Tajam
 Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang,
thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan
dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang
relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi
pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan
diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan
double atau triple contrast pada cedera flank maupun
punggung.Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik
antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple
contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial
untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi
simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang
linea axillaries anterior.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151)
Pemeriksaan Radiologi.
 Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma.Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak
dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah
diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada
pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
 Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus
atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik
yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk
menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk
dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang
hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun
keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru
maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
 Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus
dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita
curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan
dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan.
Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit
tarikan pada pelvis.
b) Sistografi.
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc
kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien
dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1)
aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien
merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 :148)
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan
bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.
Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal.
Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5
cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc
yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila
akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens)
tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT
Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI
Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus
dilakukan.
(American College of Surgeon Committee of
Trauma,2004:149)
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
2. Penurunan hematokrit/hemoglobin.
3. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT.
4. Koagulasi : PT,PTT.
5. MRI.
6. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic.
7. CT Scan.
8. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan
diafragma,kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk
VIII-X.
9. Scan limfa.
10. Ultrasonogram.
11. Peningkatan serum atau amylase urine.
12. Peningkatan glucose serum.
13. Peningkatan lipase serum.
14. DPL (+) untuk amylase.
15. Penigkatan WBC.
16. Peningkatan amylase serum.
17. Elektrolit serum.
18. AGD
(ENA,2000:49-55)
F. Komplikasi
1. Trombosis Vena.
2. Emboli Pulmonar.
3. Stress Ulserasi dan perdarahan.
4. Pneumonia.
5. Tekanan ulserasi.
6. Atelektasis.
7. Sepsis
(Paul, direvisi tanggal 28 Juli 2008)

1. Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan


perdarahan.
2. Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis,
dan syok.
3. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
4. Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)
(Catherino, 2003 : 251-253)

G. Penatalaksanaan dan Terapi Pengobatan


1. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free
air, evisceration) harus segera dilakukan pembedahan.
2. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative
berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT.
3. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi.
4. Pemberian O2 sesuai indikasi.
5. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan.
6. Trauma penetrasi :
 Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas.
 Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung
kedalaman penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal.
 Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah
kondisi steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika
peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan.
 Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan
pembedahan.
 Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan
dengan pembedahan.
(Catherino, 2003 : 251)
Peritonitis

A. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang melapisi
rongga abdomen.Peritonitis biasanya terjadi akibat masuknya bakteri dari saluran cerna
atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui perforasi usus atau
rupturnya suatu organ.(Corwin, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh
infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau pada
organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley, 2000).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang selaput
perut atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder, akut atau kronis yang
disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau kimia.

B. Etiologi
1. Infeksi bakteri
a) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b) Appendisitis yang meradang dan perforasi
c) Tukak peptik (lambung/dudenum)
d) Tukak thypoid
e) Tukak disentri amuba/colitis
f) Tukak pada tumor
g) Salpingitis
h) Diverticulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, strepkokokus dan hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar
a) Operasi yang tidak steril
b) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi
peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis local
c) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, rupture hati
d) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus

C. Tanda dan Gejala


1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik ) terjadi pada beberapa penderita
peritonitis umum
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada perluasan iritasi peritonitis
5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya
6. Nausea
7. Vomiting
8. Penurunan peristaltik

D. Klasifikasi
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini dibagi menjadi dua
yaitu:
 Spesifik : Seperti Tuberculosa.
 Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis.
Factor yang beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra
abdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis
dengan asites.
2. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi traktus gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umunya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini.Bakteri anaerob, khususnya spesies bacteroides dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.Luas dan lama
kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat peritonitis. Kuman dapat berasal:
 Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
 Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia.
Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi
organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau tanpa
fistula.Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat
ditemukan.Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah
lambung, getah pancreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain

E. Manifestasi Klinis
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut :
1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum.
3. Mual dan muntah.
4. Abdomen yang kaku.
5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
6. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih
dan takikardia.
7. Rasa sakit pada daerah abdomen
8. Dehidrasi
9. Lemas
10. Nyeri tekan pada daerah abdomen
11. Bising usus berkurang atau menghilang
12. Nafas dangkal
13. Tekanan darah menurun
14. Nadi kecil dan cepat
15. Berkeringat dingin
16. Pekak hati menghilang

F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic
pada peritonitis adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang lebih
dari 20.000 /mm3. Sel darah merah mungkin meningkat menunjukan
hemokonsentrasi.
2. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
3. Amylase serum biasanya meningkat.
4. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
5. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah, eksudat/sekret
atau cairan asites.
6. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum. Bila
perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada abdomen.
7. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
8. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, pus/eksudat,
amilase, empedu, dan kreatinin.
G. Komplikasi
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovelmia.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
system.
4. Abses residual intraperitoneal
5. Eviserasi luka.
6. Obstruksi usus
7. Oliguri

H. Penatalaksanaan
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.
5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
6. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (appendks), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
8. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
Post Laparotomi

A. Definisi Laporatomi
Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya
perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif Mansjoer, 2000) Laparatomi
adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka cavum abdomen dengan tujuan
eksplorasi. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan
kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Macam
Laparotomi 1. Midline incision 2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah
( 2,5 cm), panjang (12,5 cm). 3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di
bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy. 4. Transverse lower
abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas anterior spinal
iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
B. Etiologi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
2. Peritonitis
3. Perdarahan pada saluran pencernaan
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
5. Masa pada abdomen ( Tumor, cyste dll)
C. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2. Mempercepat penyembuhan
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien
5. Mempersiapkan pasien pulang

Perawatan pasca pembedahan :

1. Tindakan keperawatan post operasi


a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati,
jangan sampai drain tercabut
d. Perawatan luka operasi secara steril
2. Makanan Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan
menelan makanan sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada
pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein
sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang
mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk
pencegahan infeksi. pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing
peroral) Biasanya makanan baru diberikan jika:
 Perut tidak kembung
 Peristaltik usus normal
 Flatus positif
 Bowel movement positif
3. Mobilisasi Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar
keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap
dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang
menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi Sistem Perkemihan. - Kontrol volunter
fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV,
spinal. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi retensio urine. - Pencegahan :
Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-buli). - Dower
catheter kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam komplikasi
ginjal. Sistem Gastrointestinal. - Mual muntah 40 % klien dengan GA selama
24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat
meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat. - Kaji
fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. - Kaji paralitic ileus
suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus. - jumlah, warna, konsistensi isi
lambung tiap 6 – 8 jam. - Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi
post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
 Meningkatkan istirahat
 Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
 Memonitor perdarahan.
 Mencegah obstruksi usus
 Irigasi atau pemberian obat.
D. Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena
dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
2. Infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme;
gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari
infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan
aseptik dan antiseptik.
3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.

Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup
waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari
batuk dan muntah. Proses penyembuhan luka :

 Fase pertama Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak
/ rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-
serabut bening digunakan sebagai kerangka.
 Fase kedua Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh
dengan kuat dan kemerahan.
 Fase ketiga Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun,
timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
 Fase keempat Fase terakhir.
Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut. Upaya untuk mempercepat
penyembuhan luka

1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C


2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
3. Pencegahan infeksi.

Pengembalian Fungsi fisik.Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah


operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma.2004.Advanced Trauma Life Support


Seventh Edition.Indonesia: Ikabi
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta:EGC
Dorland.2002. Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2.Jakarta : EGC
Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC : Jakarta
Soeparman, dkk. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai