Anda di halaman 1dari 18

Lampiran 1 Keputusan Direktur Unit Pelaksana Teknis

Rumah Sakit Umum Mohammad Noer


Pamekasan tentang Panduan Pelayanan Pasien
Terminal
Nomor : 188.4/754/101.12/2016
Tanggal : 7 September 2016

PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL


UPT RUMAH SAKIT UMUM MOHAMMAD NOER PAMEKASAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik
pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif
kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika, dan
penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan lebih lanjut, disamping
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun hal ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan
penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas
pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup
yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah
fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktifitas tetapi juga
mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya.Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin.
Pada perawatan pasien dalam kondisi terminal menekankan pentingnya integrasi perawatan
lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik.

1.2.Tujuan
Tujuan umum : sebagai arahan bagi perawatan pasien terminal di rumah sakit.
Tujuan khusus :
1. Terlaksananya perawatan pasien terminal yang bermutu sesuai standar yang berlaku di
rumah sakit.

1
2. Tersusunnya panduan pasien terminal.
3. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
4. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.

2
BAB II
PASIEN TAHAP TERMINAL

2.1. Definisi
Keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada
harapan lagi si sakit untuk sembuh.Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit
atau suatu kecelakaan.

Kematian adalah suatu keadaan terputusnya hubungan tubuh dengan dunia luar yang
ditandai dengan tidak adanya denyut nadi, tidak bernafas selama beberapa menit dan ketiadaan
gerak reflek, serta ketiadaan kegiatan otak dan sudah dinyatakan oleh dokter yang berwenang.
Kematian merupakan suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan
mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan
suatu kehilangan.

2.2. Masalah di Akhir Kehidupan


Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang
sekarat sampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan
mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis.Di antara hal-hal
yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan perawatan yang
dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal serta
kelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut. Dua masalah yang pantas
mendapat perhatian khusus :euthanasia dan bantuan bunuh diri.
a. Euthanasia
Adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas dimaksudkan untuk
mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut: subjek tersebut adalah
orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang secara
sukarela meminta hidupnya diakhiri; agen mengetahui tentang kondisi pasien dan
menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri hidup orang
tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.
b. Bantuan Bunuh Diri
Berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat atau
keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai obat
dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannya.Euthanasia dan bunuh diri
dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara keduanya ada perbedaan
yang jauh secara praktek maupun dalam hal yuridiksi illegal. Euthanasia dan bunuh diri
dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan menunda atau menghentikan

3
perawatan medis yang tidak diinginkan, sia-sia atau tidak tepat ketentuan perawatan paliatif,
bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.
Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebagai akibat dari rasa sakit atau
penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan.Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut.Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap
mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati.Dokter
dianggap sebagai instrument kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai
pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian
yang cepat dan tanpa rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan
tersebut karena merupakan tindakan yang illegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam
sebagian besar kode etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah
Hippocrates dan telah dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia.
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera,
tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya. Hal ini
tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk
membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal.
Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat
melakukan apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut
dan dimana tindakan kuratif tidak tepat.Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang
besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta
meningkatkan kualitas hidup.
Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia, dari anak-anak dengan penyakit
kanker sampai orang tua yang hampir meninggal. Satu aspek dalam pengobatan paliatif yang
memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit.Semua dokter yang merawat pasien
sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup keterampilan dalam masalah ini, dan
jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli pengobatan
paliatif.Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap
memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.
Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien, wakil
pasien dalam mengambil keputusan, dan juga dokter.Kemungkinan memperpanjang hidup
dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur radiologi, dan perawatan
intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan kapan
menghentikannya jika tidak berhasil.
Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang kompeten
mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat
menyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian, beberapa akan
melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit dan

4
menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang
sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri.
Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua
informasi tentang perawatan yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap
menghormati keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten memunculkan
kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan keinginannya
sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih mudah
walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan
berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan keinginannya dengan jelas,
wakil pasien dalam mengambil keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk
keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.

2.3. Tahap-tahap Menjelang Ajal


Kubler-Rosa (1969), telah menggambarkan/membagi tahap-tahap menjelang ajal
(dying) dalam 5 tahap, yaitu :
1. Menolak/Denial
Pada fase ini, pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan menunjukkan
reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran seperti “Seharusnya tidak terjadi dengan diriku,
tidak salahkah keadaan ini?“ Beberapa orang bereaksi pada fase ini dengan menunjukkan
keceriaan yang palsu (biasanya orang akan sedih mengalami keadaan menjelang ajal).
2. Marah/Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang
telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien,
seperti : “Mengapa hal ini terjadi dengan diriku kemarahan-kemarahan tersebut biasanya
diekspresikan kepada obyek-obyek yang dekat dengan pasien, seperti : keluarga, teman dan
tenaga kesehatan yang merawatnya.
3. Menawar/Bargaining
Pada tahap ini kemarahan biasanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan kesan
sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya. Pada pasien yang sedang dying,
keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata: “Ya Tuhan, jangan dulu saya mati
dengan segera, sebelum anak saya lulus jadi sarjana“.
4. Kemurungan/Depresi
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis.Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang sedang
melalui masa sedihnya sebelum meninggal.

5
5. Menerima/Pasrah/Acceptance
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang kondisi
yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat membantu apabila
pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi dirinya
menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat, dan
sebagainya.

2.4.Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian


Ada 4 tipe dari perjanalan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat
dari fase akut ke kronis.
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, biasanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuhyang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik
dan telah berjalan lama.

2.5.Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian


1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai:
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut kembung,
obstipasi, dan lainnya.
d. Penurunan kontrol springter urinary dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
2. Kelambatan dalam sirkulasi, ditandai:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Sianosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensori
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.

6
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadang-kadang pasien tetap
sadar sampai meninggal.Pendengaran merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum
meninggal.

2.6.Tanda-tanda klinis saat meninggal


1. Pupil mata melebar
2. Tidak mampu untuk bergerak
3. Kehilangan reflek
4. Nadi cepat dan kecil
5. Pernafasan chyene-stroke dan ngorok
6. Tekanan darah sangat rendah
7. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.

2.7.Tanda-tanda meninggal secara klinis


Secara tradsional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly,
menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan
3. Tidak ada reflek
4. Gambaran mendatar pada EKG.

2.8. Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap


Kematian
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 tipe:
1. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnose dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat
menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya.Perawat sering kali dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.

7
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu
yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, pasien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini
memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat
akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanakan hal tersebut.

2.9. Bantuan yang dapat Diberikan


a. Bantuan Emosional
1) Pada fase Denial/Menolak
Dokter/perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
menanyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan
perasaan-perasaannya.
2) Pada fase marah/Anger
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang marah.
Dokter/perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih merupakan hal yang
normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kematian. Akan lebih baik
bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya,
memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan
asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
3) Pada Fase Menawar/Bargaining
Pada fase ini dokter/perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang
tidak masuk akal.
4) Pada fase Kemurungan/Depresi
Pada fase ini dokter/perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang di sampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5) Pada Fase Penerimaan/Pasrah/Acceptance
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai.Kepada keluarga dan teman-
temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaannya dan perlu
dilibatkannya seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk
menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.

8
b. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1) Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan keberhasilan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dan sebagainya.
2) Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada pasien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dan lainnya.Pemberian obat ini diberikan sesuai
dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan pasien.Obat-obatan lebih baik diberikan
intra vena dibandingkan melalui intra muskular/subcutan, karena kondisi sistem
sirkulasi sudah menurun.
3) Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi fowlerakan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi pasien
yang tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang drainase dari mulut dan
pemberian oksigen.
4) Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, pasien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur (miring kiri, miring kanan) untuk mencegah
dekubitus dan dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk
menyokong tubuh pasien, karena tonus otot sudah menurun.
5) Nutrisi
Pasien seringkali anoreksia, nausea karena adanya penurunan peristaltik.Dapat
diberikan anti emetik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin.Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi disfagia, dokter perlu menguji reflek menelan klien sebelum
diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau intra vena/infus.
6) Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi
konstipasi,inkontinesia urin dan feses.Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah
konstipasi.Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur
atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau dipasang kateter.Harus dijaga
kebersihan padadaerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
7) Perubahan Sensori
Pasien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien biasanya
menolak/menghadapkan kepala ke arah lampu/tempat terang.Pasien masih dapat

9
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus bicara
dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.

c. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial


Pasien dengan dyingakan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak
sosialnya, perawat dapat melakukan:
1) Menanyakan siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan pasien dan
didiskusikan dengan keluarganya misalnya: teman dekat, atau anggota keluarga lainnya.
2) Menggali perasaan pasien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
3) Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima kunjungan teman terdekatnya, yaitu
dengan memberikan pasien untuk membersihkan diri dan merapikan diri.
4) Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan
membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu membacanya.

d. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual


1) Menanyakan kepada pasien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
pasien selanjutnya menjelang kematian.
2) Menanyakan kepada pasien bila ingin mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk
memenuhi kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya.
3) Membantu dan mendorong pasien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah sesuai dengan keyakinannya/ritual harus
diberi dukungan.Petugas kesehatan dan keluarga harus mampu memberikan
ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritualnya. Petugas kesehatan dan keluarga
harus sensitif terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian,
sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL

3.5. PENGKAJIAN
A. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan penyakit
yang sama.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan klien.
B. Head to Toe
Perubahan fisik saat kematian mendekat
1. Pasien kurang responsif
2. Fungsi tubuh melambat
3. Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja
4. Rahang cenderung jatuh
5. Pernafasan tidak teratur dan dangkal
6. Sirkulasi melambat dan ektrimitas dingin, nadi cepat dan melemah
7. Kulit pucat
8. Mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Ansietas/ketakutan (individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi
yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan, takut akan
kematian dan efek negatif pada gaya hidup.
b. Berduka yang berhubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
c. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,
takut akan hasil (kematian) dengan lingkungannya penuh dengan stress (tempat
perawatan).
d. Resiko terhadap distress spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari sistem
pendukung keagamaan, kurang privasi atau ketidakmampuan diri dalam menghadapi
ancaman kematian.

11
KRITERIA HASIL
a. Klien atau keluarga akan:
1. Mengungkapkan ketakutan yang berhubungan dengan gangguan
2. Menceritakan pikiran tentang efek gangguan pada fungsi normal, tanggung jawab
peran dan gaya hidup
b. Klien akan:
1. Mengungkapkan kehilangan dan perubahan
2. Mengungkapkan perasaan yang berkaitan kehilangan dan perubahan
3. Menyatakan kematian akan terjadi
Anggota keluarga akan melakukan hal berikut:
Mempertahankan hubungan erat yang efektif, yang dibuktikan dengan cara berikut:
a) Menghabiskan waktu bersama klien
b) Mempertahankan kasih sayang, komunikasi terbuka dengan klien
c) Berpartisipasi dalam perawatan
c. Anggota keluarga atau kerabat terdekat akan:
1. Mengungkapkan akan kekhawatirannya mengenai prognosis klien
2. Mengungkapkan kekhawatirannya mengenai lingkungan tempat perawatan
3. Melaporkan fungsi keluarga yang adekuat dan kontinyu selama perawatan klien
d. Klien akan mempertahankan praktik spiritualnya yang akan mempengaruhi penerimaan
terhadap ancaman kematian.

3.5. INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa I
Ansietas/ketakutan (individu, keluarga) yang berhubungan dengan situasi yang tak dikenal.
Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada gaya
hidup.
Kriteria hasil
Klien atau keluarga akan:
1. Mengungkapkan ketakutannya yang berhubungan dengan gangguan
2. Menceritakan tentang efek gangguan pada fungsi normal, tanggung jawab, peran dan gaya
hidup
No Intervensi Rasional
1. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya:
a. Berikan kepastian dan kenyamanan
b. Tunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati, jangan menghindari pertanyaan
c. Dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan
dengan pengobatannya

12
d. Identifikasi dan dukung mekanisme koping efektif klien yang cemas mempunyai
penyempitan lapang persepsi dengan penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas
cenderung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran peningkatan
ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik.
2. Kaji tingkat ansietas klien: rencanakan penyuluhan bila tingkatnya rendah atau sedang
beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan
dengan memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atau parah tidak
menyerap pelajaran
3. Dorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberikan kesempatan untuk
memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan koping positif. Menghargai klien
untuk koping efektif dapat menguatkan renson kopingpositif yang akan datang.

Diagnosa II
Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan dihadapi penurunan
fungsi, perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
Klien akan :
1. Mengungkapkan kehilangan dan perubahan
2. Mengungkapkan perasaan yang berkaitan kehilangan dan perubahan
3. Menyatakan kematian akan terjadi

Anggota keluarga akan melakukan hal berikut: mempertahankan hubungan erat yang efektif,
yang dibuktikan dengan cara sebagai berikut:
a. Menghabiskan waktu bersama klien
b. Mempertahankan kasih sayang, komunikasi terbuka dengan klien
c. Berpartisipasi dalam perawatan

No Intervensi Rasional
1. Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
didiskusikan kehilangan secara terbuka, dan gali makna pribadi dari kehilangan, jelaskan
bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat. Pengetahuan bahwa tidak ada lagi
pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang menanti dapat menyebabkan
menimbulkan perasaan ketidakberdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon
berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota
keluarga menerima dan mengatasi situasi dan respon mereka terhadap situasi tersebut.

13
2. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti yang memberikan
keberhasilan pada masa lalu. Strategi koping positif membantu penerimaan dan
pemecahan masalah.
3. Berikan dorongan pada klien untuk mengekspresikan atribut diri yang positif.
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan penerimaan
kematian yang terjadi.
4. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur. Proses berduka, proses berkabung, adaptif tidak dapat dimulai
sampai kematian yang akan terjadi diterima.
5. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian, menghilangkan ketidaknyaman
dan dukungan. Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai
tindakan keperawatan berikut:
a. Membantu berdandan
b. Mendukung fungsi kemandirian
c. Memberikan obat nyeri saat diperlukan dan
d. Meningkatkan kenyamanan fisik (Skoruka dan bonet 1982)

Diagnosa III
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan takut akan hasil
(kematian) dan lingkungannya penuh stress (tempat perawatan)
Anggota keluarga atau kerabat terdekat akan:
1. Mengungkapkan akan kekhawatirannya mengenai prognosis klien
2. Mengungkapkan kekhawatirannya mengenai lingkungan tempat perawatan
3. Melaporkan fungsi keluarga yang adekuat dan kontinyu selama perawatan klien

No Intervensi Rasional
1. Luangkan waktu bersama keluarga atau orang terdekat klien dan tunjukkan pengertian
yang empati. Kontak yang sering dan mengkomunikasikan sikap perhatian dan peduli
dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran.
2. Izinkan keluarga klien atau orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan, ketakutan dan
kekhawatiran. Saling berbagi memungkinkan perawat untuk mengindentifikasi ketakutan
dan kekhawatiran kemudian merencanakan intervensi untuk mengatasinya.
3. Jelaskan lingkungan dan peralatan HCU. Informasi ini dapat membantu mengurangi
ansietas yang berkaitan dengan ketidaktakutan.
4. Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan berikan
informasi spesifik tentang kemajuan klien.

14
5. Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawatan.
Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningkatkan interaksi keluarga
berkelanjutan.
6. Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya. Keluarga
dengan masalah-masalah seperti kebutuhan finansial, koping yang tidak berhasil atau
konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk membantu
mempertahankan fungsi keluarga.

Diagnosa IV
Resiko terhadap distress spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari sistem pendukung
keagamaan, kurang privasi atau ketidakmampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian.
Klien akan mempertahankan praktik spiritualnya yang akan mempengaruhi penerimaan
terhadap ancaman kematian.
No Intervensi Rasional
1. Gali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktek atau ritual keagamaan atau
spiritual yang diinginkan bila yang memberi kesempatan pada klien untuk melakukannya.
Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi pada doa atau praktek spiritual lainnya, praktek
ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi sumber kenyamanan dan
kekuatan.
2. Ekspresikan pengertian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan praktik
religius atau spiritual klien. Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu mengurangi
kesulitan klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3. Berikanprivasi dan keterangan untuk ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat
dilaksanakan.Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan refresi
dan perenungan.
4. Bila anda menginginkan tawarkan untuk berdoa bersama klien lainnya atau membawa
buku keagamaan. Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau keyakinan yang
sama dengan klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan spiritualnya.
5. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau rohaniawan rumah sakit untuk
mengatur kunjungan. Jelaskan ketersediaan pelayanan kerohanian. Tindakan ini dapat
membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan mempraktikkan ritual yang penting
(Carson, 1989).

15
3.5. IMPLEMENTASI
Diagnosa I
1. Membantu klien untuk mengurangi ansietasnya:
a. Memberikan kepastian dan kenyamanan
b. Menunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati jangan menghindari
pertanyaan
c. Mendorong klien untuk setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan dengan
pengobatannya
d. Mendorong mekanismekoping efektif.
2. Mengkaji tingkat ansietas klien, merencanakan penyuluhan bila tingkatnya rendah atau
sedang
3. Mendorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan atau pikiran mereka.
4. Memberikan klien dan keluarga dengan kepastian dan penguatan perilaku koping positif.
5. Memberikan dorongan pada klien untuk menggunakan teknik relaksasi seperti paduan
imajines dan pernafasan relaksasi.

Diagnosa II
1. Memberikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan,
diskusikan kehilangan secara terbuka dan gali makna pribadi dari kehilangan, jelaskan
bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat.
2. Memberikan dorongan penggunaan strategi koping positif yang terbukti memberikan
keberhasilan pada masa lalu.
3. Memberikan dorongan pada klien untuk mengekpresikan atribut dari yang positif.
4. Membantu klien menyatakan dan menerima kematian yang akan terjadi, jawab semua
pertanyaan dengan jujur.
5. Meningkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian menghilangkan
ketidaknyamanan dan dukungan.

Diagnosa III
1. Meluangkan waktu bersama keluarga/orang terdekat klien dan tunjukkan pengertian yang
empati.
2. Mengizinkan keluarga klien/orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan ketakutan
dan kekhawatiran
3. Menjelaskan lingkungan dan peralatan itu
4. Menjelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan
memberikan informasi spesifik tentang kemajuan klien.
5. Menganjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan keperawatan

16
6. Melakukan konsultasi atau memberikan rujukan ke sumber komunitas dan sumber lainnya.

Diagnosa IV
1. Menggali apakah klien menginginkan untuk melaksanakan praktik atau ritual keagamaan
atau spiritual yang diizinkan bila ia memberikan kesempatan pada klien untuk
melakukannya
2. Mengekpresikan pengertian dan penerimaan anda tentang pentingnya keyakinan dan
praktik religius atau spiritual klien
3. Memberikan privasi dan ketenangan untuk ritual, spiritual sesuai kebutuhan klien dan
dapat dilaksanakan.
4. Menawarkan untuk menghubungi religius atau rohaniawan rumah sakit untuk mengatur
kunjungan menjelaskan ketersediaan pelayanan misalnya : Al - Qur’an dan ulama bagi
yang beragama Islam.

3.5. EVALUASI
1. Klien merasa nyaman mengekspresikan perasaannya pada perawat
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan
3. Klien selalu ingat kepada Allah dan selalu bertawakal
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Allah SWT akan kembali kepadanya.

17
BAB IV
KESIMPULAN

Kondisi terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit


yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis,
sosial yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda.Hal
ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditujukan oleh pasien terminal.Orang yang
telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang
lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian
beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut
akan perpisahan, dikucilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang
hidup. Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup,
merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi.
Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada
kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan
psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.

DIREKTUR
UPT RUMAH SAKIT UMUM MOHAMMAD NOER
PAMEKASAN

dr. Setya Boediono, M.Kes.


Pembina
NIP. 19710514 200012 1 002

18

Anda mungkin juga menyukai