DISUSUN OLEH:
NAMA :EMILONA KABAK
NPM :155200007
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang kompleks,
tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh (Nina,2008). Luka
bakar adalah trauma yang diakibatkan oleh panas, bahan kimia, arus listrik, dan petir yang
mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luas permukaan tubuh yang terbakar
akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel tubuh dan mengganggu semua sistem terutama
sistem kardiovaskuler (Rahayuningsih, 2012).
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma termal. Terdapat dua
jenis luka bakar menurut ketebalannya. Luka bakar dengan ketebalan parsial adalah luka bakar
yang tidak merusak epitel atau merusak sebagian dari epitel, sedangkan luka bakar dengan
ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan jika
permukaan kulit yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan cangkok kulit (Grace &
Borley,2006).
Luka bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat terbakar yang disebabkan oleh panas yang
tinggi, senyawa kimia, listrik dan pemajanan sinar matahari yang berlebihan. Pengobatan luka
bakar harus dibedakan berdasarkan luasnya. Pada prinsip rule of nine luka bakar dibagi menjadi
beberapa bagian yakni bagian kepala 9%, dada 18%, punggung 18%, anggota gerak atas 18%,
paha 18% dan anggota gerak bawah 18%, perineum dan genitalia 1% (Hidayat, 2008).
Adanya luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit yakni melindungi tubuh dari kotoran
dan infeksi. Apabila banyak permukaan tubuh yang terbakar, maka dapat mengancam jiwa
seseorang karena adanya kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan elektrolit dan suhu
tubuh, gangguan pernapasan serta fungsi saraf (Adibah & Winasis,2014 dalam Sari,2015).
Luka bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini terjadi karena cairan tubuh sebagian
besar dikirim ke daerah yang terbakar sehingga volume darah yang dialirkan ke otak dan jantung
berkurang. Shock pada anak-anak dapat terjadi jika luka bakar seluas 10%, sedangkan pada
orang dewasa seluas 20% (Mohamad,2005).
American College of Surgeon Health Policy Research Institute (2011) membagi luka bakar
menjadi tiga tingkatan, yakni :
1. First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial, berwarna merah, terasa nyeri.
2. Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh, bengkak, dan sangat nyeri.
3. Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus, tembus hingga saraf, ada
sensasi seperti tusukan jarum di area yang terbakar.
Menurut Di Maio & Dana (1998), luka bakar dibedakan menjadi 4 derajat berdasarkan
kedalaman jaringan yang rusak, yaitu :
Terjadi kerusakan hanya di permukaan kulit, kulit kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan
nyeri, dan tidak menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.
TerjAdi kerusakan pada semua lapisan epidermis dan sebagian dermis. Terdapat bula, sedikit
oedema, dan nyeri berat.
Terjadi kerusakan pada semua lapisan kulit dan terdapat nekrosis, lesi tampak putih, hilang
sensasi rasa pada kulit dan akan menimbulkan jaringan parut setelah sembuh.
Kulit tampak hitam seperti arang akibat jaringan yang terbakar. Kerusakan terjadi pada seluruh
kulit, jaringan subkutan dan tulang akan hangus.
Menurut James (1990) dalam Dewi (2013), berdasarkan derajat dan luasnya kulit yang terkena
luka bakar dikategorikan menjadi 3 yakni ringan, sedang dan berat.
1. Luka bakar ringan jika ada luka bakar derajat I sebesar <15% atau derajat II sebesar <2%.
2. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat I sebesar 10-15% atau derajat II sebesar 5-
10%.
3. Luka bakar sedang jika ada luka bakar derajat II sebesar >20% atau derajat III sebesar
>10% atau mengenai wajah, tangan-kaki, alat kelamin, persendian, sekitar ketiak atau
akibat listrik tegangan tinggi (>1000V) atau dengan komplikasi patah tulang maupun
kerusakan jaringan lunak/gangguan jalan napas.
2.3 Etiologi
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan atau gas
panas dan bahan padat (solid). Luka bakar paling sering disebabkan karena terpajan suhu panas
seperti terbakar api secara langsung atau terkena logam yang panas (Borley & Grace, 2006;
Rahayuningsih,2012).
2. Luka bakar kimia
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontak jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Derajat
luka bakar karena bahan kimia berhubungan langsung dengan lama kontak, konsentrasi zat kimia
dan banyaknya jaringan yang terpapar. Semua pakaian yang terkena harus dilepas dan kulit
diperiksa untuk melihat daerah luka. Karena kedalaman luka juga ditentukan oleh konsentrasi
agen yang ada pada kulit, maka pengenceran dengan bilasan air yang banyak menjadi tahapan
dalam penatalaksanaan pasien luka bakar akibat basa kuat lebih merusak daripada akibat asam
kuat (Sabiston, 1995; Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
Luka bakar akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi ketika arus listrik mengalir ke dalam
tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ
dalam. Tubuh manusia merupakan penghantar listrik yang baik. Arus listrik yang mengalir ke
dalam tubuh manusia akan menghasilkan panas yang dapat membakar dan menghancurkan
jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak ringan, tetapi mungkin saja telah terjadi
kerusakan organ dalam yang serius, terutama pada jantung, otot atau otak. Berat ringannya luka
dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage, dan cara gelombang listrik mengenai tubuh
(Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Hal ini berhubungan
dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik
pada dunia kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga
merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi. Awalnya luka ini dengan kedalaman sebagian,
tetapi dapat berlanjut ke trauma yang lebih dalam (Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa metode, diantaranya rule of
nine, Lund and Browder, dan Hand Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari
permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
1. Rule of Nine
Gambar 2.4. Penilaian Luka Bakar berdasarkan Rule of Nine
(Sumber : www.medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya yang terkenal dengan rule of nine.
Metode ini dikenal sejak tahun 1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan perkiraan luas
luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi menjadi beberapa bagian anatomi dan setiap bagian
mewakili 9% kecuali daerah genital.
Pada metode ini total area tubuh yang terkena dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan usia.
Metode lund and browder merupakan modifikasi prosentase bagian tubuh menurut usia yang
memberikan perhitungan lebih akurat tentang luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada anak di
bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan setiap pertambahan usia satu tahun , prosentase
kepala tutun 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Gambar 2.5 Penilaian Luka Bakar dengan Metode Lund and Browder
(Sumber : google.com)
3. Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area permukaan tangan pasien adalah
sekitar 1% dari total luas permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka bakar
kecil (Gurnida & Lilisari,2011).
2.5 Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut
mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi kulit dengan luka bakar akan mengalami
keusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung lamanya kulit kontak
dengan sumber panas (Effendi, 1999).
Cidera luka bakar mempengaruhi semua sistem organ. Besarnya respon patofisiologis ini
berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan mencapai masa stabil ketika terjadi luka bakar
kira0kira 60% seluruh permukaan tubuh (Hudak & Gall, 1996).
Tingkat keperawatan perubahan tergantung pada luas dan kedalaman luka bakar yang
menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan berlangsung 24 – 72 jam
pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran cairan dari komponen vaskuler ke ruang
interstisium. Bila jaringan terbakar, vasodilatsi meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul
perubahan permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya. Dampaknya jumlah cairan
yang banyak berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat melalui daerah yang
tebakar dan membentuk gelembung-gelembung dan edema atau keluar melalui luka terbuka.
Akibat adanya edema luka bakar, lingkungan kulit mengalami kerusakan. Kulit sebagai barier
mekanik berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang masuk.
Terjadinya kerusakan lingkugan kulit akan memungkinkan mikro organisme masuk dalma tubuh
dan menyebabkan infeksi luka yang dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Dengan
adanya edema juga akan berpengaruh terhadap peningkatan peregangan pembuluh darah dan
saraf yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri terseut dapat mengganggu mobilitas pasien.
Ketika terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler, terjadi homo konsentrasi dan hematokrit
naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada daerah luka bakar dan nutrisi kurang. Adanya
cidera luka bakar menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat sebagai akibat respon stress
neurohomoral. Hal tersebut dapat meningkatkan afterload jantung dan mengakibatkan penurunan
curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna curah jantung, menyebabakan metabolisme anaerob
dan hasil akhir produk asam ditahan karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis
metabolik yang menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi akut. Periode ini ditandai
dengan anemia dan malnutrisi. Anemia akan berkembang akibat banyak kehilangan eritrosit.
Keseimbangan nitrigen negatif mulai terjadi pada waktu terjadi luka bakar yang disebabkan
kerusakan jaringan kehilangan protein dan akibat respon stress. Hal ini akan berlangsung selama
periode akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas bagian atas atau karena efek syok
hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan karena inhalasi bahan yang
merugikan atau udara yang terlalu panas, menimbulkan iritasi pada saluran nafas, edema laring
dan obstruksi potensial.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan
pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,
dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif
dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di
intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit,
timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal
dengan syok (Moenajat, 2001).
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ multi
sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang
mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O,
elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan
hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah
terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang
menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus
gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem
1. Syok hipovolemik
Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis jaringan
yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung pada ukuran luka
bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler
sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai dengan proses
evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan bertahan lama. Keadaan ini
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik.
Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan isotonik
(RL); dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat mengurangi
kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer (AR) juga dapat
digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena,
bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya). Jumlah cairan yang diberikan
adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan
formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi jaringan, proses
gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktorfaktor yang
mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar laktat plasma yang
meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan mortalitas. Dalam
kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan membahayakan.
Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik sama dengan RL ,
tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera di metabolisme dengan
cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan asambasa.
2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat kelalaian
dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi pada pasien
dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya. Resiko
terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena
komorbiditas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar
maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan MODS
menyebabkan kematian sebesar 81% pasca trauma.
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik
berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh
karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara
berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik,
menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya;
MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ
(Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar
maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi
penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan,
mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical
Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa
hari, yaitu:
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia), maka
SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari
spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.
Tahap I
Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator proinflamasi
seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses
penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan
fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα),
interleukin (IL Tahap I 1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain.
Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-
sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien,
thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease.
Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga
terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu
timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi
terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.
Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL
Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut
TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga
respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production
dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga
homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi sistemik
masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-
mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam
berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi
peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis
mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya
SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
1. Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi
mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang
mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah
menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa,
pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai
barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah
dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi
atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
2. Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki
toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-
inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang
timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi
suatu bentuk respon sistemik.
3. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh
khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang
ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini
dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat
imunosupresif.
Kedalaman dan
Bagian Kulit Penampilan Perjalanan
Penyebab Luka Gejala
yang Terkena Luka Kesembuhan
Bakar
Derajat Satu Kesemutan, Memerah, menjadi Kesembuhan
(Superfisial): Epidermis hiperestesia putih ketika lengkap dalam
Tersengat (supersensivitas), ditekan minimal waktu satu
matahari, terkena rasa nyeri atau tanpa edema minggu, terjadi
api dengan mereda jika pengelupasan
intensitas rendah didinginkan kulit
Melepuh, dasar Kesembuhan
luka berbintik- dalam waktu 2-3
bintik merah, minggu,
epidermis retak, pembentukan
Epidermis dan permukaan luka parut dan
Derajat Dua Nyeri,
bagian dermis. basah, terdapat depigmentasi,
(Partial- hiperestesia,
edema. infeksi dapat
Thickness): sensitif terhadap
mengubahnya
Tersiram air udara yang
menjadi derajat-
mendidih, dingin.
tiga.
terbakar oleh
nyala api
Kulit tampak Akan sembuh
kemerahan, oedem dengan
dan rasa nyeri sendirinya dalam
lebih berat 3 minggu (bila
Epidermis dan daripada luka tidak terkena
2a = Superficial Nyeri dan sangat
lapisan atas dari bakar grade I, infeksi ), Tapi
partial thickness sensitif oleh
dermis ditandai dengan warna kulit tidak
tekanan.
bula yang muncul akan sama
beberapa jam seperti
setelah terkena sebelumnya.
luka, bila bula
disingkirkan akan
terlihat luka
bewarna merah
muda yang basah,
Luka sangat
sensitive dan akan
menjadi lebih
pucat bila terkena
tekanan.
Disertai juga
dengan bula, Luka akan
permukaan luka sembuh dalam 3-
Epidermis dan berbecak merah 9 minggu.
2b = Deep Nyeri dan
lapisan dalam muda dan putih Organ-organ
partial thickness sensitif.
dari dermis karena variasi dari kulit seperti
vaskularisasi folikel-folikel
pembuluh darah ( rambut, kelenjar
bagian yang putih keringat,
punya hanya kelenjar sebasea
sedikit pembuluh sebagian besar
darah dan yang masih utuh.
merah muda
mempunyai
beberapa aliran
darah.
Tidak terasa
nyeri, syok,
Pembentukan
Derajat Tiga hematuria
skar, diperlukan
(Full- (adanya darah Kering, luka bakar
pencangkokan,
Thickness): Epidermis, dalam urin) dan berwarna putih
pembentukan
Terbakar nyala keseluruhan kemungkinan seperti bahan kulit
parut dan
api, terkena dermis dan pula hemolisis atau gosong, kulit
hilangnya kontur
cairan mendidih kadang-kadang (destruksi sel retak dengan
serta fungsi
dalam waktu jaringan darah merah), bagian lemak yang
kulit, hilangnya
yang lama, subkutan kemungkinan tampak, terdapat
jari tangan atau
tersengat arus terdapat luka edema
ekstrenitas dapat
listrik masuk dan
terjadi
keluar (pada luka
bakar listrik)
2.7 Komplikasi
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka
bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume
darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
c. Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat
gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien.
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka
bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang terjadi
sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh
darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini merupakan
tanda-tanda ulkus curling.
e. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang
terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien
menunjukkan mental berubah, perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine,
perubahan pada tekanan darah, curah janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan
frekuensi denyut nadi.
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak adekuat
khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.
g. Kontraktur
Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan diagnostik pada luka bakar yaitu :
1. Laboratorium
2. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya
cedera.
1. Pengkajian primer
1. Airway
Menurut Moenadjat (2009), membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat
edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan
mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan
pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama
sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka
bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal
merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik
pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan
jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan
memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi,
krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
2. Breathing
Adanya kesulitan bernafas, masalah pada pengembangan dada terkait keteraturan dan
frekuensinya. Adanya suara nafas tambahan ronkhi, wheezing atau stridor.
Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6
L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran
masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari
pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan
hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan sekret
kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau
krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa
pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk
mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi
dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan steroid.
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang
timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh
sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan
menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain
bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi
jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi
yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
a. Pengaturan posisi
b. Melatih reflek batuk
c. Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik
stabil dan pasien sudah lebih kooperatif
f. Penggunaan ventilator
3. Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary refill time, hipotensi,
mukosa kering, nadi meningkat.
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan
kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume
sirkulasi
a. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter
yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi,
dianjurkan pemasangan CVP
b. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter
dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana,
penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada
resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat
permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan yang
berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai
dengan terjadinya peningkatan CVP.
Gambar Rule of nine (Cont Edu Anaesth Crit Care and Pain. 2012)
Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua jenis perawatan luka selama
dirawat di bangsal yaitu:
1. Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa balutan dan
diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut
seperti wajah, perineum, dan lipat paha.
2. Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah dibeikan obat
topical.
1. Penilaian keadaan umum pasien, perhatikan Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan),
Circulation (sirkulasi)
2. Penilaian luas dan kedalaman luka bakar
3. Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara dan edema saluran pernafasan
4. Kaji adanya faktor – faktor lain yang memperberat luka bakar seperti adanya fraktur,
riwayat penyakit sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dll)
5. Pasang infus (IV line), jika luka bakar >20% derajat II / III biasanya dipasang CVP
(kolaborasi dengan dokter) digunakan untuk mengetahui permeabilitas vaskular dengan
monitoring nilai CVP yang semakin meningkat
6. Pasang kateter urin, pasang NGT jika diperlukan, beri terapi oksigen sesuai kebutuhan
7. Berikan suntikan ATS / toxoid
8. Perawatan luka :
1. Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien mengadakan
perlawanan terhadap ventilator
2. Observasi tanda – tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap jam dan suhu setiap
4 jam
3. Pantau nilai CVP, amati neurologis pasien (GCS), pantau status hemodinamik, pantau
haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam), pantau status oksigen, fisoterapi dada.
4. Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
5. Cek asalisa gas darah setiap hari atau bila diperlukan
6. Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
7. Perawatan tiap 2 jam (beri boraq gliserin)
8. Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2 jam
9. Ganti posisi pasien setiap 3 jam (perhatikan posisi yang benar bagi pasien)
10. Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan tube setiap hari
11. Ganti kateter dan NGT setiap minggu
12. Observasi letak tube (ETT) setiap shift
13. Observasi setiap aspirasi cairan lambung
14. Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, protein (albumin), dan
gula darah (kolaborasi dokter)
15. Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
16. Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter
1. Cuci / bersihkan luka dengan cairan savlon 1% dan cukur rambut yang tumbuh pada
daerah luka bakar seperti pada wajah, aksila, pubis, dll
2. Lakukan nekrotomi jaringan nekrosis
3. Lakukan escharotomy jika luka bakar melingkar (circumferential) dan eschar menekan
pembuluh darah. Eskartomi dilakukan oleh dokter
4. Bullae (lepuh) dibiarkan utuh sampai hari ke 5 post luka bakar, kecuali jika di daerah
sendi / pergerakan boleh dipecahkan dengan menggunakan spuit steril dan kemudian
lakukan nekrotomi
5. Mandikan pasien tiap hari jika mungkin
6. Jika banyak pus, bersihkan dengan betadin sol 2%
7. Perhatikan ekspresi wajah dan keadaan umum pasien selama merawat luka
8. Bilas savlon 1% dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%
9. Keringkan menggunakan kasa steril
10. Beri salep silver sulfadiazine (SSD) setebal 0,5cm pada seluruh daerah luka bakar
(kecuali wajah hanya jika luka bakar dalam [derajat III] dan jika luka bakar pada wajah
derajat I/II, beri salep antibiotika)
11. Tutup dengan kasa steril (perawatan tertutup atau biarkan terbuka (gunakan cradle bed)
1. Luka bakar berat (luka bakar >20% pada dewasa, >10% pada anak)
a. Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin, berikan analgesia adekuat i.v., pertimbangan selang
nasogastric (nasogastric tube, NGT), berikan profilaksis tetanus.
b. Berikan cairan i.v. berdasarkan formula Muir-Barclay: %luka bakar x berat badan dalam
kg/2= satu aliquot cairan. Berikan 6 aliquot cairan selama 36 jam pertama dengan urutan
4, 4, 4, 6, 6,12 jam dari waktu terjadinya luka bakar. Biasanya menggunakan larutan
koloid, albumin atau plasma.
c. Luka akibat terbakar diobati sebagai luka bakar ringan
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar
2. Luka bakar ringan (luka bakar <20% pada dewasa, <10% pada anak)
a. Terapi terbuka-bersihkan luka dan biarkan terpapar pada lingkungan khusus yang bersih
b. Terapi tertutup-tutup luka dengan kasa yang dibasahi dengan klorheksidin atau silver
sulfadiazine yang ditutup tipis
c. Debridemen eskar dan split skin graft.
Resusitasi Cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang
akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke
jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial.
Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal
terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ. Pada luka bakar yang
berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan
cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi
oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi
dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok
secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Resusitasi segera melalui IV dengan larutan elektrolit isotonic, keseimbangan larutan elektrolit
(misal, Ringer’s Laktat) dianjurkan karena NaCl 0,9% mengandung natrium dan klorida dalam
jumalh yang sangat banyak (Horne, M & Pamela L 2000).
Perbaiki volume cairan yang bersirkulasi seperti kristaloid, koloid atau darah melalui IV.
Resusitasi cairan intravena yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat jika pasien syok.
Menggunakan regimen yang telah direkomendasi oleh unit luka bakar setempat. Secara umum,
koloid lebih baik daripada larutan elektrolit, terutama bila anak akan dirujuk. Bila cairan yang
dianjurkan tidak tersedia, gunakan plasma dengan volume yang sama dengan larutan elektrolit
(Hartmann) untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam pertama setelah luka bakar dan
separuhnya lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya (Insley J, 2003)
Penghitungan berat badan pada pasien menjadi langkah awal. Kateter urin ditinggalkan sebagai
indeks perfusi ginjal dan untuk mengevaluasi keefektifan resusitasi cairan. Ada beberapa rumus
yang telah dikembangkan oleh berbagai pusat perawatan untuk menghitung kebutuhan cairan
pada penderita luka bakar. Terdapat dua sistem yang sering digunakan sekarang adalah
modifikasi Brooked dan Parkland. Kedua rumus ini menghitung kebutuhan cairan berdasarkan
luas daerah luka bakar dikali berat pasien dalam kilogram. Dikali volume larutan Ringer yang
akan diberikan dalam 24 jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan, setengah jumlah cairan
diberikan dalam 8 jam pertama sesusitasi, dengan seperempat dari seluruh jumlah semula
diberikan tiap 8 jam berikutnya. Pemantauan yang teliti dan cermat mengenai pengeluaran urin
dan tekanan vaskuler sentral (bila tepat) merupakan metode resusitasi yang tepat. Bila
pengeluaran urin rendah dan terjadi ketidakstabilan kardiovaskular pada pemberian volume
intravena maka perlu adanya pemasangan kateter termodilusi Swan-Ganz untuk memantau
tekanan jantung kiri dan kanan serta curah jantung. (Sabiston, 1995)
Formula untuk Resusitasi Cairan :
24 jam pertama menggunakan cairan ringer laktat: 4ml / kgBB / %luka bakar
Hasil akhir
2. Formula Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
b. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah plasma / 24 jam (no a
dan b pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti
plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga
mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)
c. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16
jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
3. Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter
yaitu :
% luka bakar x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion
Na. Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan BB 60
kg dan luka bakar seluas 25 % permukaan kulit akan diberikan 25% x 60 x 4 cc = 6000 cc yang
diberikan hari pertama dan 3000 cc pada hari kedua.
Metode Baxter
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid
dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih
fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk
mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid
adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan aman
a. Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
b. Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3
Protocol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian
berdasarkan pedoman berikut.
Pedoman
a. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
b. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M & Pamela L, 2000)
24 jam pertama
Formula Elektrolit Koloid Glukosa dalam air
Cairan ringer
Laktat, 2-4 ml/kg/%
luas permukaan
Consensus
tubuh untuk
ABA
mempertahankan
haluaran urin 30-50
ml/jam
Cairan ringer
Brooks Laktat, 1,5 ml/kg/% 0,5 ml/kg/% burn 2000 ml
luka bakar
Cairan ringer
Parland
Laktat, 4 ml/kg/%
Volume untuk
mempertahankan
Cairan Natrium
haluaran urin 30
Hipertonik
ml/jam (cairan berisi
250 mEq natrium/L)
2. WOC (terlampir)
2. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan
luka bakar dan penenganan syok hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah terbakar,
usia, dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepetaan kesembuhan. Luka
bakar pada daerah perinium, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam perawatannya, karena mudah
mengalami kontraktur.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
b. Breathing
Kaji pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan
misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilar refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai
GCS
e. Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan berkelanjutan serta menilai luas dan
derajat luka bakar.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang.
a. Data demografi meliputi identitas pasien nama, usia, jenis kelamin, alamat, dll
b. Keluhan Utama: Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi
pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea,
dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
c. Riwayat Penyakit Sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini
penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan
terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan
kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi
perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung
kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau
gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut
selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit
kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status
pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
e. Riwayat Penyakit Keluarga: kaji riwayat penyakit keluarga yang kemungkinan
bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada pasien seperti penyakit DM,
hipertensi, asma, TBC dll.
f. Review of System
a. B1 : nafas20 x/menit, tidak ada sesak nafas, bentuk dada simetris, penggunaan
otot bantu nafas tidak ada, saat diperkusi sonor, suara nafas normal.
b. B2 : Tidak ada peningkatan JVP, HR : 96x/ menit, BP : 170/100 mmHg
c. B3 : pupil normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik,
pendengaran baik, penglihatan baik, penghidu baik, GCS : 15
d. B4 : urin pekat, Osmolaritas serum >450 mOsm/kg, Natrium serum = 170
mmol/L
e. B5 : kehausan dan penurunan nafsu makan
f. B6 : bola mata cekung, kelemahan otot, membran mukosa mulut kering
g. Pemeriksaan diagnostik
1. WBC 12,0 X 103ῃ/1
2. MCV 80,4 Fl
3. Limphosyt 11,2%
4. RDW 44,3 fL
1. Analisis data
DS: -
DO: Luka bakar
Ds: -
Do: Luka bakar
Luka bakar
DS: - Vasodilatasi PD
DO:
Sirkulasi darah
Hb <10 ml/gr menurun
Gangguan
Klien nampak sianosis
4 perfusi jaringan
Ekstremitas dingin Sel mengalami
tidak efektif
Klien terlihat lemah hipoksia
Akral dingin, lembab
Kerusakan integritas
kulit
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi asap
4. Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan atau interupsi
aliran darah arteri / vena
1. INTERVENSI
Airway Management:
1. Memberikan informasi
dasar tentang kebutuhan
penanaman kulit dan
1. Kaji/catat ukuran, kemungkinan petunjuk
warna, kedalaman luka, tentang sirkulasi pada aera
perhatikan jaringan graft.
nekrotik dan kondisi 2. Menyiapkan jaringan untuk
sekitar luka. penanaman dan
2. Lakukan perawatan luka menurunkan resiko
Dx: Kerusakan
bakar yang tepat dan infeksi/kegagalan kulit.
integritas kulit
tindakan kontrol 3. Kain nilon/membran
b/d kerusakan
infeksi. silikon mengandung
permukaan kulit
3. Pertahankan penutupan kolagen porcine peptida
sekunder
luka sesuai yang melekat pada
destruksi
indikasi. permukaan luka sampai
lapisan kulit.
4. Tinggikan area graft bila lepasnya atau mengelupas
mungkin/tepat. Pertaha secara spontan kulit
Tujuan: Setelah
nkan posisi yang repitelisasi.
dilakukan
diinginkan dan 4. Menurunkan
tindakan
imobilisasi area bila pembengkakan /membatasi
5 keperawatan,
diindikasikan. resiko pemisahan graft.
diharapkan
5. Pertahankan balutan 5. Gerakan jaringan dibawah
pasien
diatas area graft baru graft dapat mengubah
menunjukkan
dan/atau sisi donor posisi yang mempengaruhi
regenerasi
sesuai indikasi. penyembuhan
jaringan Kriteria
6. Cuci sisi dengan sabun optimal. Area mungkin
hasil:
ringan, cuci, dan ditutupi oleh bahan dengan
Mencapai
minyaki dengan krim, permukaan tembus pandang
penyembuhan
beberapa waktu dalam tak reaktif.
tepat waktu
sehari, setelah balutan 6. Kulit graft baru dan sisi
pada area luka
dilepas dan donor yang sembuh
bakar.
penyembuhan selesai. memerlukan perawatan
7. Lakukan program khusus untuk
kolaborasi, siapkan / mempertahankan
bantu prosedur kelenturan.
bedah/balutan biologis. 7. Graft kulit diambil dari
kulit orang itu sendiri/orang
lain untuk penutupan
sementara pada luka bakar
luas sampai kulit orang itu
siap ditanam.
Manajemen nyeri :
Seorang pasien bernama Tn. S berusia 27 tahun dengan BB 60 kg datang ke RSUA jam 11.00
pagi karena terkena ledakan tabung gas. Kejadian pasien terluka bakar pada jam 08.00. Daerah
luka bakar terjadi pada sebagian besar dada klien ( Nilai : 18%). Keluhan utama klien saat dating
ke RSUA merintih kesakitan saat di kaji skala nyeri 7. Klien juga mengeluhkan sesak, batuk-
batuk, serta klien merasa lemas. Pasien mendapatkan 500 cc cairan.
Resusitasi cairan
Rumus Baxter : (% luka bakar) x (BB) x (4 cc)
18 x 60 x 4 = 4320 ml/24 jam
8 jam pertama = 2160 ml-500ml = 1660 ml utk 5 jam berikutnya
16 jam berikutnya 2160 ml cairan
a. Pengkajian
i. Anamnesa
a. Nama : Tn. S
b. Jenis kelamin : Laki-Laki
c. Tanggal masuk : 31 Maret 2016
d. Usia : 27 tahun
e. Status perkawinan : Menikah
f. Suku bangsa : Jawa/Indonesia
g. Alamat : Surabaya
h. Agama : Islam
i. Pekerjaan : Pegawai swasta
j. Pendidikan : Tamat SMP
i. Status Generalis
iii. Kepala
iv. Leher
v. Dada
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Retraksi sela Iga : (-)
vi. Perut
vii. Punggung
Terdapat luka bakar menyeluruh pada bagian dada (18%). Warnanya merah, keabu-abuan,
sedikit tampak cairan.
b. Analisa Data
Masalah
No Data Etiologi
Keperawatan
Luka bakar
DS: Klien merasa lemas
DO:
Permeabilitas kapiler
meningkat
a. Turgor kulit kering
b. Mukosa kering
1. Defisit volume
c. CVP abnormal
cairan
d. Intake Output tidak
Evaporasi / Penguapan cairan
seimbang
e. Kadar kalium,
natrium abnormal
Kehilangan cairan tubuh
Luka bakar
DS: Pasien mengeluh sesak
DO:
Vasodilatasi Pembuluh Darah
a. Tampak kesulitan
bernafas/sesak
Penyumbatan sal. Nafas bagian
b. Gerakan dada tidak
atas
simetris
2. Gangguan
c. Pola napas cepat
pertukaran gas
dan dangkal
d. TTV : TD: 100/70
Edema paru
mmHg, Nadi:
110x/mnt, S:
36,8oC, RR:
29x/menit
Hiperventilasi
c. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d banyaknya penguapan/cairan tubuh yang keluar
2. Gangguan pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas
3. Bersihan jalan nafas inefektif b.d obstruksi jalan nafas
4. Nyeri akut b.d kerusakan kulit dan jaringan
5. Gangguan integritas kulit b.d kerusakan kulit dan jaringan yang terkena luka
bakar
d. Intervensi Keperawatan
e. Evaluasi
1. S: Klien merasa tidak lemas
O: Turgor kulit baik, mukosa lembab, kadar Kalium= 4.0 mEq/L dan kadar Natrium= 135
mEq/L, intake dan output seimbang
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Borley R. Neil danGrase A. Pierce. 2007. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta Erlangga
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi Berbasis Klinis
Luka Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 1998. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio, V.J.M. & Dana,
S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka Bakar. Bagian
Ilmu Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan
Sadikin,Bandung.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis P