Anda di halaman 1dari 8

 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini, seperti dinyatakan dalam


Sistem Kesehatan Nasional, terus mengedepankan upaya kesehatan yang
bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) dengan
pemberdayaan dan kemandirian masyarakat sebagai dasar penyelenggaraannya
(Departemen Kesehatan RI, 2009). Kesehatan secara menyeluruh, terutama
pada bayi dan anak-anak, menjadi tujuan utama. Menurut World Health
Organization (WHO), kesehatan gigi dan mulut adalah bagian dari kesehatan
secara keseluruhan dan penting bagi kualitas hidup. Kesehatan secara umum
sangat dipengaruhi oleh kesehatan gigi dan rongga mulut, karena rongga mulut
merupakan pintu gerbang masuknya beragam unsur ke dalam tubuh manusia,
baik yang bermanfaat maupun merugikan kesehatan.
Masa kanak-kanak adalah periode yang paling rentan terjadinya
kerusakan gigi. Dental karies merupakan masalah yang sangat sering dijumpai
dan masih menjadi persoalan utama dalam kesehatan gigi dan mulut pada anak
(Tinanoff dan Reisine, 2009; Sayegh et al., 2005). Negara maju seperti
Australia, mencatat jumlah anak yang menderita karies sebesar 48,7% pada usia
5-6 tahun, dan 45,1% pada usia 12 tahun (Australian Institute of Health and
Welfare, 2011). Di negara-negara berkembang, angka prevalensi karies pada
anak dilaporkan jauh lebih tinggi. Bagramian et al. (2009) mengulas kondisi di
beberapa negara terkait dengan peningkatan angka kejadian karies pada anak, di
antaranya di Filipina, Taiwan dan China. Prevalensi karies pada anak umur 6
tahun di Filipina mencapai 97,1%, sementara di Taiwan sebesar 89,4%. Untuk
negara China, pada anak usia 5-6 tahun, prevalensi karies dilaporkan sebesar
84%. Adapun di Indonesia, menurut hasil Riskesdas tahun 2007, prevalensi
karies masyarakat termasuk anak-anak adalah sebesar 72,1% (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah

  1
 

di Indonesia juga menunjukkan tingginya angka karies pada anak. Hidayanti


(2005) melaporkan bahwa di Kecamatan Cihedeung Kota Tasikmalaya, jumlah
anak usia sekolah yang menderita karies mencapai 96,8% dari 278 siswa
sekolah dasar yang diperiksa. Prevalensi karies yang tinggi pada anak usia
sekolah dasar, mencapai 94,10% juga ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan di salah satu sekolah dasar di Kota Medan (Meishi, 2011).
Tingginya angka kejadian karies pada anak dipengaruhi oleh banyak
faktor. Struktur gigi susu yang lebih lunak daripada gigi permanen, adanya
kebiasaan buruk balita seperti minum susu dari dot selama tidur, makan
makanan manis serta kurangnya kebersihan mulut membuat kerusakan gigi
lebih mudah terjadi. Selain itu, kurangnya pengetahuan orangtua akan upaya
kesehatan gigi dan mulut bagi anak, juga turut berperan pada meluasnya
kerusakan gigi anak karena karies (Selwitz et al., 2007). Kondisi kesehatan gigi
dan mulut balita yang buruk akan membawa dampak negatif bagi tumbuh
kembang anak, di antaranya pertumbuhan tulang rahang yang terganggu.
Barham dan Morris (1980) mengatakan bahwa pertumbuhan tulang maksila dan
mandibula berkaitan erat dengan kondisi gigi-geligi. Sepertiga bagian bawah
profil wajah dibentuk oleh tulang rahang ini, sehingga apabila pertumbuhan
tulang rahang terganggu akan dapat mengakibatkan profil wajah yang tidak
proposional. Sementara itu, Tinanoff dan Reisine (2009) memaparkan bahwa
anak-anak yang menderita karies akan mengalami rasa nyeri yang dapat
mengganggu aktivitas mereka. Selain itu, juga menimbulkan keluhan psikologis
seperti murung dan malu untuk tersenyum.
Pemantauan tumbuh kembang anak seyogyanya dilakukan secara terus
menerus. Salah satu sarana yang dapat digunakan oleh orangtua untuk
memantau pertumbuhan dan perkembangan balita adalah melalui pos pelayanan
terpadu atau posyandu. Posyandu adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh, dari,
dan untuk masyarakat. Sasaran utamanya adalah balita dan orangtuanya, ibu
hamil, ibu menyusui dan bayinya, serta wanita usia subur, sedangkan yang
bertindak sebagai pelaksana posyandu adalah kader. Posyandu dikembangkan
sebagai sebuah strategi yang tepat untuk menjaga kelangsungan hidup anak

  2
 

sejak dalam kandungan sampai usia balita dan untuk membina tumbuh
kembang anak secara sempurna, baik fisik maupun mental (Departemen Dalam
Negeri, 2001). Posyandu memiliki peran penting sebagai salah satu kegiatan
sosial bagi ibu-ibu untuk memantau tumbuh kembang balita, termasuk proses
tumbuh kembang gigi-geligi anak. Pemerintah, melalui posyandu, berusaha
memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan gigi primer dengan
menyelenggarakan Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD). Akan
tetapi pelaksanaan UKGMD tersebut sering terkendala keterbatasan fasilitas
dan kurangnya kemampuan kader. Untuk wilayah Kota Yogyakarta,
pelaksanaan UKGMD juga belum dapat berjalan optimal. Sebagai contoh, di
Kecamatan Mantrijeron, baru sekitar 50% posyandu di wilayah tersebut yang
melakukan kegiatan UKGMD. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Puskesmas Mantrijeron, didapatkan hasil bahwa pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kader mengenai kesehatan gigi dan mulut masih
kurang sehingga kegiatan UKGMD belum dapat menyeluruh (Permanasari,
2010). Adapun di Puskesmas Tegalrejo, kegiatan UKGMD belum dapat
dijalankan karena adanya beberapa hambatan, antara lain kesulitan pengadaan
alat dan pelatihan kader. Pelaksanaan UKGMD membutuhkan alat dan sarana
seperti dental diagnostic set serta bahan habis pakai (alkohol, kapas, sarung
tangan) yang masih terkendala alokasi dana untuk penyediaannya. Selain itu
pula, letak wilayah yang berada di pusat kota, membuat masyarakat lebih
memilih langsung pergi ke tempat layanan kesehatan atau dokter gigi apabila
merasa mengalami keluhan masalah kesehatan gigi daripada berkonsultasi
terlebih dahulu dengan kader di posyandu. Sementara itu, kader posyandu di
wilayah juga merasa belum memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan
permasalahan gigi dan mulut pada anak, sehingga kader merasa tidak percaya
diri untuk melaksanakan UKGMD di posyandu (Wulansari, 2006).
Selain sebagai pelaksana rutin, kader juga bertugas memberikan
penyuluhan terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu, kader harus
menguasai berbagai teknik keterampilan dan pengetahuan (Sulistyorini et al.,
2010). Pengetahuan yang harus dimiliki kader tersebut termasuk juga

  3
 

pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut balita sebagai bagian dari
kesehatan anak secara umum. Pelatihan atau penyegaran mengenai pengetahuan
kesehatan gigi dan mulut pada anak, tidak hanya khusus bagi kader UKGMD
saja. Kader posyandu secara umum juga dapat diberi pelatihan tersebut untuk
menambah pengetahuan dan kemampuan kader, sehingga walaupun posyandu
tidak memiliki program UKGMD, kader tetap mampu melayani masyarakat
yang membutuhkan bantuan seputar permasalahan tumbuh kembang gigi dan
mulut anak.
Metode pelatihan dan penyegaran kader posyandu yang selama ini
banyak digunakan adalah pendekatan konvensional, yaitu pelatihan yang
diberikan secara ceramah dan tanya jawab. Pada metode ini sering terjadi
komunikasi satu arah saja, sehingga hasil yang diperoleh kurang optimal
(Pandiangan, 2005). Penggunaan media audiovisual merupakan salah satu
bentuk intervensi lain yang dapat diberikan sebagai tambahan pada metode
konvensional. Penelitian Snowdon et al. (2009) yang dilakukan di Ontario,
Kanada menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan yang signifikan pada
orangtua mengenai keselamatan saat berkendara bagi anak-anak. Adapun untuk
penggunaan media audiovisual di Indonesia masih banyak terkendala, antara
lain dengan biaya pembuatan yang cukup tinggi dan penguasaan teknologi yang
masih kurang. Upaya lain guna mengoptimalkan hasil pelatihan dilakukan oleh
Gunanti et al. (2005) dengan menambahkan adanya contoh studi kasus yang
terjadi, selain pemberian ceramah dan tanya jawab dalam pelatihan kepada
kader.
Strategi yang saat ini banyak dilakukan guna mengoptimalkan hasil
pelatihan adalah dengan meningkatkan peran aktif peserta selama pelatihan
berlangsung. Peserta diharapkan tidak hanya duduk, diam dan mendenga rkan,
tetapi juga mampu terlibat secara aktif dalam proses pembelajarannya. Salah
satu metode pelatihan dengan strategi active learning ini adalah metode belajar
berdasarkan masalah (problem based learning). Sukiarko (2007) menggunakan
metode belajar berdasarkan masalah ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan
terhadap pengetahuan dan keterampilan kader gizi dalam kegiatan posyandu.

  4
 

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kader yang dilatih dengan


menggunakan metode belajar berdasarkan masalah memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang jauh lebih tinggi daripada kader yang dilatih dengan metode
konvensional. Bentuk lain penerapan metode active learning pada pelatihan
kader posyandu, juga dijumpai dalam model pelatihan partisipatif (Zuhaimi,
2009). Dalam pelatihan partisipatif ini, para kader dirangsang untuk ikut serta
berpartisipasi aktif dalam pelatihan bersama-sama dengan peserta yang lain.
Metode tersebut mampu menarik perhatian kader dan membuat materi yang
diberikan lebih mudah diterima.
Posyandu merupakan suatu upaya kesehatan melalui pemberdayaan
mayarakat yang bekerjasama dengan berbagai lintas sektor seperti puskesmas,
pemerintahan desa/kelurahan, dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.
Seluruh pihak tersebut diharapkan memiliki kemampuan kerja sama yang baik,
sehingga dapat bekerja bersama-sama untuk kepentingan masyarakat
(Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kader sebagai kelompok penggerak
kesehatan di masyarakat tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Tidak hanya
pengetahuan dan keterampilan teknis saja yang harus dimiliki oleh seorang
kader posyandu, namun juga kemampuan untuk berinteraksi dan bekerjasama,
baik dalam satu tim maupun dengan pihak lain. Oleh karena itu, pendidikan
kesehatan yang diberikan kepada kader posyandu seyogyanya tidak hanya
berorientasi pada peningkatan pengetahuan saja, tetapi juga mampu melatih
keterampilan sosialisasi dan kemampuan bekerjasama sebagai teamwork. Salah
satu metode baru yang dapat diaplikasikan dalam pelatihan kader dengan tujuan
tersebut di atas adalah dengan collaborative learning atau pembelajaran
kolaborasi.
Pembelajaran kolaborasi merupakan model pembelajaran dalam
kelompok yang lebih berfokus pada murid daripada guru. Melalui model
pembelajaran ini, peserta didik dibagi dalam kelompok kecil dan distimulasi
untuk secara aktif berperan dalam setiap proses yang dilalui secara bersama-
sama. Penggunaan metode collaborative learning ini dapat meningkatkan
komitmen dalam kelompok, motivasi dan antusiasme selama proses pendidikan

  5
 

(Marlow et al., 2008). Sementara itu, Yang et al. (2011) menyatakan bahwa
collaborative learning merupakan pendekatan strategis untuk mempersiapkan
tenaga kesehatan yang akan bekerja sebagai kelompok kerja (teamwork) di
masyarakat. Tenaga kesehatan yang dilatih melalui collaborative learning akan
mempunyai kemampuan untuk bekerjasama dan memberikan peran terbaiknya
bagi keberhasilan tim.
Adanya metode collaborative learning tersebut dapat menjadi alternatif
cara baru dalam pembelajaran yang dapat memberikan hasil optimal. Terkait
dengan upaya peningkatan pengetahuan kader mengenai kesehatan gigi dan
mulut balita, perlu dikaji lebih lanjut pengaruh pelatihan dengan metode
collaborative learning tersebut terhadap pengetahuan dan keterampilan kader
mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah


penelitian, yaitu: “Bagaimana pengaruh pelatihan dengan metode collaborative
learning terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu mengenai
kesehatan gigi dan mulut pada balita?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode collaborative
learning dalam pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan dan
keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada
balita.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning
terhadap peningkatan pengetahuan kader posyandu mengenai
kesehatan gigi dan mulut pada balita.

  6
 

b. Mengetahui pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning


terhadap peningkatan keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan
gigi dan mulut pada balita.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi instansi pemerintah


Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam hal
pemilihan metode untuk kegiatan pelatihan kader posyandu dalam bidang
kesehatan gigi dan mulut bagi balita.
2. Bagi peneliti
Sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan menambah
pengetahuan dan pengalaman terkait dengan permasalahan dan pendalaman
penelitian ilmiah.
3. Bagi peneliti lain
Sebagai informasi dan masukan bagi penelitian lain mengenai pengaruh
pelatihan dengan metode collaborative learning terhadap pengetahuan dan
keterampilan kader posyandu.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pengaruh pelatihan kader posyandu dengan metode


collaborative learning terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu
mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain. Adapun beberapa penelitian mengenai pemberian pelatihan kepada
kader posyandu di antaranya adalah:
1. Sukiarko (2007) dengan judul
“Pengaruh Pelatihan dengan metode Belajar Berdasarkan Masalah terhadap
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Gizi dalam Kegiatan Posyandu.
Studi di Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang”. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa metode belajar berdasarkan masalah dapat

  7
 

memberikan hasil yang lebih baik terkait dengan pengetahuan dan


keterampilan kader gizi dibandingkan dengan metode konvensional
ceramah. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada tema
dan metode pelatihan yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan
metode BBM dengan kelompok kontrol diberikan metode konvensional
ceramah, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode
collaborative learning dengan kelompok kontrol tidak hanya ceramah,
tetapi juga tanya jawab dan demonstrasi.
2. Zuhaimi (2009) dengan judul “
Perbedaan Pengetahuan tentang Peran Kader dan Kemampuan dalam
Menilai Kurva Pertumbuhan Balita Sebelum dan Sesudah Pelatihan
Partisipatif”. Hasil penelitian tersebut menyatakan ada perbedaan antara
pengetahuan dan kemampuan kader sebelum dan sesudah dilakukan
pelatihan partisipatif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada tema,
metode, dan rancangan penelitian. Pada penelitian tersebut, postes hanya
dilakukan sekali sesudah pelatihan berakhir. adapun pada penelitian ini,
postes dilaksanakan dua kali yaitu pada saat pelatihan berakhir dan satu
bulan sesudahnya.
3. Yang et al. (2011) dengan judul
“Collaborative Learning among Undergraduate Students in Community
Health Nursing”. Penelitian tersebut dilakukan di Pittsburgh, USA pada
mahasiswa keperawatan. Hasil penelitian menyatakan adanya peningkatan
efektivitas tim, kerja sama, komunikasi, dan pembelajaran yang aktif dari
siswa dengan penggunaan metode collaborative learning. Perbedaan
dengan penelitian ini terutama pada jenis penelitian, yaitu penelitian
tersebut merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan metode survei,
evaluasi kelompok, dan evaluasi formatif dan sumatif oleh fakultas.
 

  8

Anda mungkin juga menyukai