Anda di halaman 1dari 16

Learning Obejctive

1. mekanisme tremor
2. mekanisme terjadinya gangguan pergerakan
3. mekanisme dasar gangguan keseimbangan
4. pemeriksaan yang diperlukan untuk pasien gangguan keseimbangan
5. pengelolaan pasien dengan gangguan keseimbangan
6. klasifikasi, faktor pemicu, dan tanda gejala dari kejang
7. pengelolaan pasien kejang
8. mengevaluasi hasil pemeriksaan pada pasien dengan gangguan kesadaran
9. pengelolan pasien koma
10. membedakan klasifikasi infeksi pada SSP
11. pengelolaan infeksi pada SSP

Jawaban

1. Empat mekanisme dasar terkait dengan produksi tremor. Kemungkinan


bahwa kombinasi dari mekanisme ini menghasilkan tremor pada penyakit
yang berbeda. Osilasi mekanikal dari anggota badan dapat terjadi pada
sendi tertentu, mekanisme ini berlaku dalam kasus-kasus tremor fisiologis.
Osilasi refleks ditimbulkan oleh jalur spindle otot aferen dan bertanggung
jawab dalam kejadian tremor kuat dengan sinkronisasi. Mekanisme ini
adalah kemungkinan penyebab tremor pada hipertiroidisme atau keadaan
toksik lainnya. Osilator sentral adalah kelompok sel dalam sistem saraf
pusat yang berada dalam talamus, ganglia basal, dan inferior olive. Sel-sel
ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan potensial aksi secara
berulang-ulang dan menghasilkan tremor. Tremor Parkinson mungkin
berasal di ganglia basal, dan tremor esensial mungkin berasal dalam
inferior olive dan talamus. Fungsi serebelum yang abnormal dapat
menghasilkan tremor.
Pada observasi umum pasien dengan tremor, baik tipe Parkinson, postural,
atau intens, Narabayashi telah mencatat pelepasan ledakan ritmis dari
aktivitas kumpulan sel pada nucleus intermedius ventralis di thalamus
(juga pada medial pallidum dan subthalamic nucleus) sinkron dengan
irama tremor. Neuron yang menyalurkan ledakan sinkron tersebut diatur
somatotopikal dan berespon pada impuls kinestetik dari otot dan sendi
yang terlibat pada tremor. Lesi stereotaxic pada tempat-tempat tersebut
menghilangkan tremor. Efektifitas lesi thalamus mungkin karena interupsi
dari proyeksi pallidothalamic dan dentatothalamic atau interupsi proyeksi
dari thalamus ventrolateral ke premotor korteks, karena impuls yang
bertanggung jawab untuk tremor cerebellum dimediasi oleh traktus
kortikospinal lateralis. . Hal ini diasumsikan melibatkan invervasi anggota
gerak melalui jalur retikulospinal. Kemungkinan alternatif adalah lesi pada
ventromedial tegmentum menginterupsi brachium conjunctivum atau
proyeksi tegmental-thalamic atau anggota gerak desenden dari pedunkulus
cerebellum superior, yang memiliki fungsi sebagai sambungan mekanisme
umpan balik dentatoreticularcerebellar.
Sumber : Lumbantobing, S. M. Gangguan Gerak. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2005: 47.
2. Impuls ekstrapiramidalis yang menggalakkan korteks ekstrapiramidalis
merupakan hasil pengintegrasian impuls-impuls di inti-inti yang tercakup
ke dalam system ekstrapiramdalis. Inti-int ini dihubungkan oleh jalanna
yang melingkar, tetapi impuls yag dihasilkan dikeluarkan melalui satu inti
yaitu nucleus ventralis lateralis talami. Apabila salah satu inti
ekstrapiramidal rusak maka impuls ekstrapiramidal yang akan dikeluarkan
bersifat tidak lengkap. Impuls ekstrapiramidalis yang tidak lengkap itu
merupakan impuls penggalak gerakan involunter.
sumber :
Sidharta P, 2012, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Penerbit Dian
Rakyat, Jakarta.
3. Gangguan keseimbangan
Sebuah gangguan yang menyebabkan seseorang merasa pusing, goyang,
dan seperti berpindah tempat, dan seakan akan dunia serasa berputar.
Sebuah organ telinga bagian dalam yaitu labyrinth merupakan organ yang
berperan dalam mengatur keseimbangan dan ini merupakan sistem yang
bekerja didalam tubuh yaitu (sistem vestibular) kita. Sistem vestibular
berinteraksi dengan sistem tubuh seperti visual, dan skeletal sistem, untuk
menjaga keseimbangan posisi tubuh yang mana sistem ini berhubungan
dengan otak dan sistem saraf, dapat menjadi masalah keseimbangan
Penyebab Gangguan Keseimbangan
Penyebab gangguan keseimbangan adalah disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri, kegemukan, trauma kepala (Head Injury), gangguan sirkulasi
darah yang mempengaruhi telinga bagian dalam atau otak, factor usia, dan
gangguan vestibular pada bagian tepi yaitu gangguan pada labyrinth,
gangguan vestibular pada bagian tengah yaitu sebuah problem pada otak
dan saraf yang menghubungkannya.
Sumber :
www.pps.unud.ac.id

4. Pemeriksaan fungsi keseimbangan dapat dilakukan mulai dari


pemeriksaan yang sederhana yaitu:
 Uji Romberg : berdiri, tangan dilipat di dada, mata ditutup, dapat
dipertajam (Sharp Romberg) dengan memposisikan kaki tandem
depan belakang, lengan dilipat di dada, mata tertutup. Pada orang
normal dapat berdiri lebih dari 30 detik.
 Uji berjalan (stepping test) : berjalan di tempat 50 langkah, bila tempat
berubah melebihi jarak 1 meter dan badan berputar lebih dari 30°
berarti sudah terdapat gangguan kesimbangan.
 Pemeriksaan fungsi serebelum : past pointing test, dilakukan dengan
merentangkan tangan diangkat tinggi, kemudian telunjuk menyentuh
telunjuk yang lain dengan mata tertutup. Tes jari hidung, dilakukan
dalam posisi duduk, pasien diminta menunjuk hidung dengan jari
dalam keadaan mata terbuka dan tertutup.
Sumber : Soepardi, EA dkk; Gangguan Keseimbangan dan Kelumpuhan
Nervus Fasialis; Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher, edisi keenam; Balai Penerbit FK-UI; Jakarta, 2008; hal
94-101

5. Secara umum prinsip penatalaksaan vertigo terdiri dari:


 Terapi kausal
Kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya. Walaupun
demikian jika penyebabnya ditemukan, maka terapi kausal merupakan
pilihan utama. Terapi kausal disesuaikan dengan penyebab yang
bersangkutan
 Terapi medikamentosa
Penggunaan obat-obatan pada vertigo bersifat simptomatik.8 Prinsip
utama pengobatan pada vertigo mengacu kepada peran
neurotransmitter pada vestibular pathway. Ada beberapa
neurotransmitter utama yang berperan dalam proses ini. Glutamate
merupakan neurotransmitter eksitator primer pada sel-sel rambut,
sinap nervus vestibuler dan nucleus vestibuler. Reseptor muskarinik
asetilkolin merupakan selain memiliki peranan secara perifer, tapi juga
memiliki pengaruh untuk terjadinya vertigo pada tingkat pons,
medulla oblongata dan kompleks nucleus vestibuler.8,9 Gamma
aminobutyric acid(GABA) dan glisin merupakan neurotransmitter
inhibitor utama yang ditemukan pada jalur koneksi system okulomotor
dengan sistem vestibuler. Histamin secara umum ditemukan pada
stuktur vestibuler sentral. Norepinefrin berfungsi memodulasireaksi
stimulasi vestibuler secara sentral dan dopamine mempengaruhi
kompensasi vestibuler, sedangkan serotonin berkaitan dengan gejala
nausea.
Vestibular supresan dan antiemetic memainkan peranan penting dalam
terapi medikamentosa vertigo.
 Antikolinergik bekerja mempengaruhi reseptor muskarinik dan
memiliki efek kompensasi. Peranan obat antikolinergik sentral
menjadi penting karena tidak semua obat dapat menembus sawar
darah otak. Pemberian obat antihistamin lebih efektif jika diberikan
lebih awal. Contoh obat ini adalah scopolamine dan atropin. Semua
obat antikolinergik memiliki efek samping mulut kering, dilatasi pupil
dan sedasi.
 Antihistamin memiliki efek sentral dalam mengurangi severitas gejala
vertigo. Secara umum, antihistamin juga memiliki efek antikolinergik
dan blok kanal kalsium. Dalam hubungannya dengan vertigo, obat
antihistamin bekerja pada reseptor H2.
 Benzodiazepin adalah modulator GABA yang secara sentral bekerja
mensupresi respon vestibuler. Zobat ini memiliki efek terapi pada
dosis kecil dan masa kerja singkat.
 Antiemetik bekerja mempercepat pengosongan lambung. Jika gejala
mual dan muntah menonjol, dapat diberikan secara supositoria atau
injeksi.
Sumber : Soepardi, EA dkk; Gangguan Keseimbangan dan Kelumpuhan
Nervus Fasialis; Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher, edisi keenam; Balai Penerbit FK-UI; Jakarta, 2008; hal
94-101

6. Klasifikasi kejang

1) Kejang Parsial : kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di


satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain.
 Parsial sederhana : dapat bersifat motorik, sensorik, autonomik,
maupun psikik; biasanya berlangsung kurang dari satu menit
 Parsial kompleks : dimulai sebagai kejang parsial sederhana;
berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertei oleh
gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme; biasanya
berlangsung satu sampai tiga menit.
2) Kejang generalisata : hilangnya kesadaram; tidak ada awitan fokal;
bilateral dan simetrik; tidak ada aura.
 Tonik-Klonik : spasme tonik-klonik otot.
 Absence : menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata
bergetar atau bekedip secara cepat, tonus postural tidak hilang;
berlangsung beberapa detik.
 Mioklonik : kontraksi mirip syok mendadak yag terbatas di
beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat.
 Atonik : hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya
postur tubuh (drop attacks)
 Klonik : gerakan menyentak, repetitif , tajam, lambat, dan tunggal
atau multipel di lengan, tungkai, atau torso.
 Tonik : peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,
kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi
tungkai

Ada berbagai faktor pencetus terjadinya serangan pada penderita epilepsi.


Pada penderita epilepsi ambang rangsang serangan kejang menurun pada
berbagai keadaan sehingga timbul serangan. Faktor-faktor pencetus dapat
berupa :
1) Kurang tidur
Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga
dapat mencetuskan serangan.
2) Stres emosional
Stres dapat meningkatkan frekuensi serangan. Penderita epilepsi perlu
belajar menghadapi stres. Stres fisik yang berat juga dapat
menimbulkan serangan
3) Infeksi
Infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang
merupakan pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan
terjadinya perubahan kimiawi dalam otak, sehingga mengaktifkan sel-
sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini terutama
nyata pada anak-anal.
4) Obat-obat tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-
obat antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiasin.
Menghentikan obat-obat penenang secara mendadak seperti berbiturat
dan valium dapat mecetuskan kejang.
5) Alkohol
Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan.
Biasanya peminum alkohol juga mengalami kurang tidur sehingga
memperburuk keadaannya. Penghentian minum alkohol secara
mendadak dapat menimbulkan serangan.
6) Perubahan hormonal
Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa
peningkatan kadar estrogen) dan stres, dan hal ini diduga merupakan
pencetus terjadinya serangan. Demikian pula pada kehamilan terjadi
perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.
7) Terlalu lelah
Terlalu lelah atau stres fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana
terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan
terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat merangsang
terjadinya serangan epilepsi.
8) Fotosensitif
Ada sebagian kecil penderita epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan
atau kilatan sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz,
seperti pada pesawat TV.

Sumber: Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC

Pemicu Kejang
Meskipun penyebab epilepsi biasanya tidak diketahui, namun beberapa
faktor diketahui sebagai penyebab kejang pada penderita epilepsi.
Menghindari pemicu ini dapat membantu menghindari kejang dan hidup
lebih mudah dengan epilepsi:
 tidak meminum obat sesuai jadwal dan dosis yang ditetapkan
 alkohol
 kokain atau penggunaan narkoba lainnya, seperti ekstasi
 kurang tidur
 obat lain yang mengganggu kerja obat epilepsi

Satu dari setiap dua wanita penderita epilepsi, kejang cenderung terjadi
pada masa menstruasi. Mengubah atau menambahkan obat-obatan tertentu
sebelum periode menstruasi dapat membantu menghindari kejang.

Tanda dan Gejala

Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang


berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana
kedua hemisfer otak terlibat secara bersamaan.

Tipe Ciri khas


kejang
Kejang parsial
Parsial Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom,
sederhana atau kejiwaan.
Kesadaran normal.
Parsial Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
kompleks otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran.
Kejang umum
Tonik- Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas
klonik yang sinkron.
Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.
Absans Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya <10 detik)
dengan terhentinya aktivitas yang sedang berlangsung.
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip.
Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak
(spike-and-wave).
Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot.
Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat.
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara
berulang-ulang.

Sumber: Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal,
Michael (Ed.). Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.

7. Protokol penanganannya adalah sebagai berikut:


Stadium I (0-10 menit)
Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah yang paling
utama. Harus dipatikan bahwa jalan napas pasien tidak terganggu. Dapat
pula diberikan oksigen. Jika diperlukan resusitasi dapat dilakukan

Stadium II (1-60 menit)


Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status neurologis dan tanda
vital. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring terhadap status
metabolik, analisa gas darah dan status hematologi. Pemeriksaan EKG jika
memungkinan juga perlu dilakukan .
Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila
direncakanan akan digunakan 2 macam obat anti epilepsi, dapat dipakai 2
jalur infus. Darah sebanyak 50-100 cc perlu diambil untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar AED).

Pemberian OAE emergensi berupa:


Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV –>
evaluasi kejang 5 menit–> masih kejang (?) –> ulangi pemberian
diazepam.
hipoglikemi: berikan 50 cc glukosa 50%.
alkoholisme: berikan thiamin 250 mg IV
Asidosis –> bikarbonat
Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus dipastikan.

Stadium III (0-60/90 menit)


Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:
Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan darah
dan EKG perlu dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika masih kejang,
dapat diberikan fenitoin tambahan 5-10 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut,
berikan phenobarbital 20 mg/kgbb dengan kecepatan pemberian 50-75
mg/menit (monitor pernapasan saat permberian phenobarbital). Pemberian
phenobarbital dapat diulang 5-10 mg/kgbb. Pada pemberian
phenobarbital, fasilitas intubasi harus tersedia karena resikonya dalam
menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat dipertimbangkan apakah
diperlukan pemberian vasopressor (dopamin).

Stadium IV (30-90 menit)


Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita perlu
mendapatkan perawatan di ICU. Pasien diberi propofol (2mg/kgBB bolus
IV) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4
mg/menit) atau tiopentone (100-250 mg bolus IV pemberian dalam 2o
menit dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan hingga 12-24
jam setelah bangkitan klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu lakukan
tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan monitoring bangkitan
EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian OAE dosis rumatan.
Referensi:
Pedoman Tatalaksana Epilepsi dari Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2011.
8. evaluasi hasil
referensi :
Aprilia M. 2015. Pemeriksaan Neurologis Pada Kesadaran Menurun.
42(10). Kalbemed.com

9. Secara umum, penatalaksanaan penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi


dua
a. Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit
ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan
tekanan intracranial yang meningkat.
Posisi Trendelenburg berguna untuk mengeluarkan cairan
trakeobronkhial, untuk memastikan jalan nafas lapang. Gigi palsu
dikeluarkan serta lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada
cairan.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infuse
sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
Pasang monitor jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan
EKG.
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi lambung untuk mencegah
aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga terjadi intoksikasi. Berikan
thiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb.
b. Khusus
Pada herniasi
pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2:25-30
mmHg
Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/kgbb atau 100 gr iv. Selama
10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6
jam.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason
10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operable seperti
epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi
Tanpa herniasi
ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti jika pada CT scan tidak
ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan fungsi lumbal .
Jika LP positif ada infeksi, berikan antibiotic yang sesuai. Jika ada
pedarahan terapi sesuai dengan pengobatan subarachnoid hemorrhage.
Sumber : Harris A. Updates in Neuroemergencies: Penatalaksanaan
pada Kesadaran Menurun. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2004. p. 6-7.
10. Klasifikasi Infeksi Pada Sistem Saraf Pusat
 Infeksi viral : meningitis viral, ensefalitis viral, poliomielitis, mielitis,
rabies, dll.
 Infeksi bakterial : meningitis bakterial, ensefalotis bakterial, abses
serebri, lepra, tetanus
 Infeksi spiroketal : leptospirosis dan sifilis. • Infeksi fungal
:kriptokokus, nokardia, mukomikosis, aktinomikosis, aspergillus, dll.
 Infeksi protozoa : tripanosomiasis, malaria, toxoplasmosis, dan abses
serebri amebiasis.
 Infeksi metazoal : nematodal, trematodal, cestodal, hidatidosis, dan
sistiserkosis

Infeksi viral
Meningitis viral
 Melibatkan jaringan otak pd proses radangnya
 Gejala : nyeri kepala dan nyeri kuduk
 Virus nya golongan enterovirus (polimielitis, cox sackie, ESCHO )
 Penularan melalui lintasan oral fekal / droplet spray
Ensefalitis viral
 Proses radang sampai mengenai selaput otak
 Gejala : gangguan kesadaran hemiparesis , paralisis bulbaris, nyeri
kaku kuduk.
 Klasifikasi : a) Ensefalitis primer b) Ensefalitis primer yg belum di
ketahui penyebabnya c) Ensefalitis parainfeksiosa
Rabies
 Gejala : lesu, letih badan, anoreksia, demam, cepat marah, nyeri,
gelisah, halusinasi, meronta ronta, kejang epistotonus
 Virus melakukan penetrasi ke dlm sel hospes→menjalar melalui
serabut saraf perifer infeksi viremia ke SSP→ infeksi sel”
neuron neuron di medula spinalis
 Polimielitis anterior akuta
 Etiologi : anterovirus
 Gejala : demam ringan, lesu badan, faringitis, gastroenteritis, kaku
kuduk dan bagian belakang nyeri, pararilis asimetrik

Infeksi bakterial
Meningitis bakterial akut
 Selalu bersifat purulen
 Timbul sebagai komplikasi dari bakteremia
 Port the entree : infeksi nosofaring
 Tanda : petekie dan purpura, eksentema, artralgia, hemoragia pd
kulit disertai syok , kaku kuduk
Meningitis tuberkulosa
 Merupakan komplikasi dri tuberkulosa
 Gejala : hemiplagia , afasia, protein liquor ↑, hidrosefalus,
demensia, perubahan watak
 Bisa berdiferensiasi ke meningoensefalitis parainfeksiosa, torulosis
Abses serebri
 Pada umumnya adalah soliter , kebanyakan abses terletak di
hemisferum serebri
 Bakterinya adalah streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, E.coli
 Gejala : gejala karena terjadi proses desakan pd ruang, disertai
demam , menggigil dan muntah
Abses epidural kranial
 Komplikasi dri sinusitis, mastoiditis, osteomielitis akut atau kronik
 Proses radang menerobos ke ruang subdural sehingga
menimbulkan abses subdural dan abses serebri
Abses subdural kranial
 Terjadi pembentukan nanah di dalam ruang subdural kranial
 Berkembang karena penjalaran dari sinusitis, mastoidis,
osteomielitis, abses epidural kranial
 Permuakaan otak mengalami iritasi dan membangkitkan serangan
epilesi fokal
Efusi subdural
 Transundat yg tertimbun di bawah dura mater
 Merupakan komplikasi dari meningitis
 Gejala : demam dan kaku kuduk yang sudah mereda namun
kesadaran dan keadaan umum belum membaik disertai
peningkatan TIK
Tromboflebitis kranial
 Komplikasi dari osteomielitis tulang tengkorak , sinusitis, abses
subdural
 Gejala : demam, sakit kepala, muntah, mual, edema diruang orbita
dan kelopak mata, efsoftalmus, gerakan bola mata yg terbatas
Abses epidural spiral
 Terjadi si daerah duramater dari arkus vertebra
 Etio : DM, infeksi stafilokokus aureus
 Yg paling sering terkena adalah bagian torakal
 Gejala : tergantung pd abses subdural , paraplegi dengan defisit
sensorik, nyeri tulang belakang, nyeri radikular

Infeksi spiroketal
Leptosirosis
 Disebabkan olh berbagai serotipe dri leptospira  saluan darah 
 Invasi si traktus digestivus ginjal dan hepar, mialglia
Sifilis
 Bakteri treponema palidum
 Gejala skit kepala , insomnia, cepat lupa, daya konsentrasi
menurun, badan letih lesu, perubahan watak

Infeksi fungi
 Jenis jamur yg menjadi penyebab a/ kriptokokus, nokardia,
mukomikosis, koksidiomikosis,, aktinomikosis, aspergilus
 Port the entree : paru paru, luka di kulit, orofaring, traktus
digestivus, traktus urogenital
 Menyebabkan abses

Infeksi protozoal
Tripanomiasis
 Etiologi : infeksi tripanosoma gambiense
 Berpindah mellui gigitan lalat
 Port the entree : lesi setempat berupa ulkus atau nodul
 Gejala : neurogenik , konvulsi, delirium, dimensia , di CSS trdapat
banyak limfosit dan protozoa
Malaria
 Infeksi plasmodium falsiparum
 Vektor nyamuk anofeles
 Gejala : lesi vaskular, eritrosit yg mengandung plamodium banyak
dan menyumbat kapiler hemoragi dan nekrosissecra menyeluruh
sindromfokal di selaput otak dan otak meningitis, defisit serebral
fokal, organik brain sindrom, koma
Toksoplasmosis
 Infeksi jenis toksoplasma
 Gejala : pneumonia, eksentema, hepatitis, limfadenopati
Abses serebri amebiasis
 • Etiologi : entameba holistika
 • Vektor : lalat
 • Gejala : sakit kepala , gangguan fungsi mental, demam dan gejala
serebral fokal
REFERENSI :
Mardiono M. Sidharta P . 2003. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat.
JakartaMardhiono

11. Tujuan perawatan termasuk pemusnahan infeksi dengan perbaikan tanda


dan simtom, dan pencegahan kondisi neurologik lanjutan, seperti
seizure, tuli, koma, dan kematian.
 Pemberian cairan, elektrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi
pendukung lainnya termasuk penting pada pasien dengan
meningitis bakterial akut.
 Terapi antimikroba emprik sebaiknya dimulai secepat mungkin untuk
memusnahkan organisme penyebab. Terapi antmikroba sebaiknya
diberikan paling tidak 48-72 jam atau sampai meningitis bakterial
tidak terdiagnosa lagi.
 Meningitis yang disebabkan S. pneumoniae, N. meningitidis, dan H.
influenza bisa berhasil diatasi dengan terapi antibiotik selama 7-14
hari. Terapi lebih lama, 14-21 hari, dianjurkan untuk pasien
terinfeksi Listeria monocytogenes, streptococcus grup B, dan basil
gram negatif enterik. Terapi sebaiknya individual, dan beberapa pasien
bisa membutuhkan terapi lebih lama.

PERAWATAN FARMAKOLOGI
 Isolasi dan identifikasi penyebab bisa membantu pemilihan terapi
antimikroba yang paling sesuai untuk pasien.
 Dengan peningkatan inflamasi meningeal, dibutuhkan penetrasi
antibiotik yang lebih hebat (Tabel 34-5). Masalah dengan penetrasi
cairan serebrospinal bisa diatasi dengan memasukkan antibiotik
langsung dengan rute intratekal, intracisternal, atau intraventrikular.
 Faktor dari antibiotik yang bisa meningkatkan penetrasi ke cairan
serebrospinal termasuk BM yang rendah, molekul tak terionkan,
kelarutan lemak, dan ikatan protein yang rendah.

Deksamateson sebagai Perawatan Tambahan untuk Meningitis


 Sebagai tambahan untuk antibiotik, deksametason umum digunakan
untuk perawatan meningitis pada anak. Deksametason bisa
menyebabkan perbaikan signifikan pada konsentrasi glukosa, protein
dan laktat dari cairan serebrospinal dan juga menurunkan kejadian
neurologis lanjutan yang dihubungkan dengan meningitis bakterial.
 The American Academy of Pediatric menganjurkan penggunaan
deksametason untuk anak usia 2 bulan dengan meningitis
pneumococcal dan untuk mereka dengan meningitis H. influenza.
Dosis IV deksametasone yang biasa digunakan adalah 0,15 mg/kg tiap
6 jam selama 4 hari. Alternatifnya, deksamatasone diberikan 0,15
mg/kg tiap 6 jam selama 2 hari atau 0,4 mg/kg tiap 12 jam selama 2
hari sama efektifnya dan lebih tidak toksik.

 Deksametason sebaiknya diberikan sebelum dosis antibiotik pertama


dan serum hemoglobin dan feses guaiac sebaiknya diawasi untuk
adanya perdarahan saluran cerna.

Neisseria meningitidis (Meningococcus)


Meningitis karena N. meningitidis paling umum ditemukan pada anak
dan dewasa muda. Kebanyakan kasus terjadi di musim dingin atau
musim semi, sewaktu viral meningitis relatif tidak umum ditemukan.
Tampilan Klinik
 Sekitar 10-14 hari setelah onset penyakit dan penanganan yang
berhasil, pasien memberikan ciri reaksi imunologis berupa demam,
artritis (biasanya pada persendian besar) dan pericarditis.

Tuli unilateral, atau bilateral yang lebih umum, bisa terjadi awal atau
akhir perjalanan penyakit.

 Sekitar 50% pasien dengan meningococcal meningitis mempunyai lesi


purpuric (=bintik ungu pada kulit karena perdarahan dalam pembuluh
darah kecil), petechiae (=bintik merah atau ungu karena perdarahan ke
dalam kulit), atau keduanya. Pasien bisa mempunyai gambaran DIC
yang jelas atau subklinik, yang bisa menjadi infark kelenjar adrenal
dan korteks renal dan menyebabkan penyebaran trombosis.

Perawatan dan Pencegahan


 Penanganan agresif secepatnya dengan penisilin G kristaline IV dosis
tinggi 50.000 unit.kg tiap 4 jam, biasanya dianjurkan untuk perawatan
meningitis N. meningitidis.
 Kloramfenikol bisa digunakan menggantikan penisilin G. beberapa
sefalosporin generasi ketiga (seperti, sefotaxime) telah diterima
penggunaannya untuk meningitis dan merupakan alternatif yang bisa
diterima untuk penisilin G (lihat Tabel 34-4).
 Kontak dengan pasien yang mengidap meningitis N. meningitidis bisa
meningkatkan resiko mengidap meningitis. Profilaksis sebelum
kontak sebaiknya dilakukan tanpa penundaan dan tanpa bantuan studi
biakan dan kepekaan.
 Pasien dewasa sebaiknya menerima rifampin 600 mg oral tiap 12 jam
untuk empat dosis. Anak usia 1 bulan sampai 12 tahun sebaiknya
menerima 10 mg/kg rifampin oral tiap 12 jam untuk empat dosis, dan
bayi dibawah 1 bulan sebaiknya menerima 5 mg/kg oral tiap 12 jam
selama 12 jam dalam empat dosis.
 Pasien yang menerima rifampin sebaiknya diberitahu urin dan sekret
tubuh lainnya akan berwarna merah sampai oranye.

Streptococcus pneumoniae (Pneumococcus atau Diplococcus)


Meningitis pneumococcal terjadi di usia sangat muda (1-4 bulan) atau
sangat tua. Ini merupakan penyebab paling umum dari meningitis
pada dewasa dan meruapakan 12% dari kasus meningitis pada anak 2
bulan sampai 10 tahun.
Perawatan.
 Perawatan terpilih sampai didapat data kepekaan mikroorganisme
adalah kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.
 Perawatan dengan penisilin G IV pada dewasa dengan isolat peka
penisilin dan fungsi renal normal biasanya memberikan hasil yang
diinginkan. Tetapi, sekitar 35% S. pneumoniae mempunyai resistensi
sedang atau tinggi terhadap penisilin.
 Vancomycin dalam kombinasi dengan ceftriaxone mungkin
merupakan regimen paling efektif untuk galur yang resisten penisilin.
 Ceftriaxone, cofetaxime, dan meropenem bisa dgunakan untuk isolat
peka dan resisten penisilin.
 Hampir semua serotype dari S. pneumoniae yang mempunyai
resistensi sedang sampai penuh terhadap penisilin terkandung
dalam vaksin pneumococcal dengan 23 serotype terkini, dan klinisi
sebaiknya mengimunisasi semua anak mulai usia 2 bulan. Vaksin
heptavalent conjugate kini tersedia untuk digunakan untuk anak usia 2
bulan sampai 9 tahun.

Kemoprofilaksis dan vaksinasi untuk kontak dengan penderita S.


pneumoniae tidak dianjurkan karena resiko penyakit pneumococcal
sekunder setara dengan laju infeksi pada populasi umum. Tetapi,
vaksinasi dan kemoprofilaksis dengan penisilin oral mengurangi
insiden pneumococcal septicemia (=keracunan darah, terutama oleh
bakteri atau toksinnya) dan meningitis pada pasien muda dengan
kondisi sel sabit.

referensi: erlisa nurwahida subekti, 2011. infeksi pada sistem saraf


pusat_handbook pharmacotherapy, unair. surabaya

Anda mungkin juga menyukai