Anda di halaman 1dari 14

Strategi untuk Meningkatkan Keberhasilan Intubasi pada

Penanganan Pertama saat Pasien Kritis


BS Natt1, J. Malo1, CD Hypes1,2, JC Sakles2 dan JM Mosier1,2.

1
Divisi Kesehatan Paru, Perawatan Pasien Kritis, Alergi dan Gangguan Tidur, Fakultas
Kedokteran, Universitas Arizona, 1501 N. Campbell Ave, Tucson, AZ 85724.
2
Departemen Penanganan Emergensi, Universitas Arizona, 1609, N. Warren Ave, Tucson, AZ
85724, USA
Abstrak
Intubasi trakea pada pasien kritis merupakan prosedur yang memiliki risiko
tinggi. Risiko komplikasi meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah percobaan
prosedur intubasi. Faktor pasien dapat mempersulit visualisasi dari saluran
pernapasan dan penempatan tabung trakea. Gangguan fisiologis juga dapat
mengurangi toleransi pasien dalam pelaksanaan prosedur laringoskopi dan
menyebabkan gangguan lainnya seperti hipoksemia dan penurunan hemodinamik.
Faktor operator yang terdiri dari pengalaman, pemilihan peralatan, dan pemilihan
terapi farmakologis dapat mempengaruhi kesuksesan intubasi pada upaya penanganan
pertama pasien kritis. Tulisan ini akan membahas mengenai kesulitan pasien untuk
bernaas dalam keadaan kritis, selain itu, tulisan ini juga akan membahas kemajuan
terbaru dalam manajemen jalan napas yang telah terbukti untuk meningkatkan
keberhasilan upaya pertama dan mengurangi efek samping yang berhubungan dengan
intubasi pasien sakit kritis.
Kata kunci: manajemen jalan napas; perawatan kritis; Departemen darurat;
pengobatan darurat; perawatan intensif; intubasi; laringoskopi;pra-rumah sakit
Poin Penting Editor
Tingkat resiko akibat manajemen saluran napas pada pasien sakit kritis
bergantung kepada karakteristik anatomi dan fisiologis yang dimiliki pasien.
Komplikasi dapat berupa hipoksemia, aspirasi isi lambung, kerusakan hemodinamik,
cedera otak hipoksia, henti jantung dan kematian. Persentase kejadian komplikasi
akibat prosedur intubasi pada pasien kritis sebesar 22-54%, hal ini membuat intubasi
pada pasien kritis menjadi salah satu prosedur yang memiliki resiko tinggi.
Menurut 4th National Audit Project (NAP4) yang dilaporkan oleh perkumpulan
Royal College of Anaesthetics and the Difficult Airway, mengidentifikasi beberapa
kelalaian yang dapat meningkatkan risiko prosedur intubasi pada pasien kritis,
sementara beberapa lainnya diidentifikasikan dapat membantu meningkatkan angka
keberhasilan prosedur seperti penilaian pra-intubasi, perencanaan u upaya awal dan
kemungkinan prosedur/terapi lainnya, ketersediaan alat dan operator. Hasil publikasi
dari NAP4 meningkatkan focus para pelaksana medis untuk dapat meningkatkan
keberhasilan prosedur intubasi pasien saat kritis. Tulisan ini akan mendiskusikan
mengenai “saluran napas yang sulit” pada pasien sakit kritis disertai dengan strategi
berbasis bukti yang dapat memaksimalkan keberhasilan upaya pertama dengan
manajemen jalan nafas di unit perawatan intensif. Bukti-bukti dalam tulisan ini
didapat melalui pencarian literatur yang relevan di PubMed, selain itu relevansi,
penerapan dan referensi dalam tulisan ini telah dievaluasi.

Masalah Nafas Sulit dan Pentingnya Keberhasilan Upaya Pertama


Pasien kritis umumnya memiliki perut yang penuh dan fisiologi tubuh yang
terkompromisasikan sehingga beberapa upaya penanganan yang dilakukan tidak
dapat ditoleransi oleh tubuh pasien dan mengakibatkan peningkatan risiko
komplikasi. Gries-Dale et al, melaporkan tingkat komplikasi keseluruhan sebesar
39% di unit perawatan intensif, dengan 13% dari prosedur intubasi yang dilakukan
membutuhkan percobaan tiga kali atau lebih dan 10% dari prosedur tersebut
membutuhkan waktu 10 menit atau lebih.
Mort menemukan bahwa aspirasi atau hipoksemia yang terjadi saat
dilakukannya prosedur intubasi darurat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
henti jantung 22 kali untuk aspirasi dan 4 kali untuk hipoksemia. Pasien yang
mengalami henti jantung tersebut umumnya menjalani prosedur intubasi esofagus,
yang dapat meningkatkan insidensi terjadinya hipoksemia dan aspirasi, dan
meningkatkan resiko kematian sebesar 7 kali. Meningkatnya kejadian komplikasi
seiring dengan peningkatan jumlah percobaan prosedur intubasi Saat dilakukan dua
atau lebih prosedur intubasi darurat, komplikasi serius pun semakin meningkat:
aspirasi isi lambung (22% vs 2%), hipoksemia (70% vs 12%), dan serangan jantung
(11% vs 1%). Data terbaru yang berasal dari Sakles et al, menunjukkan bahwa risiko
efek samping meningkat dengan peningkatan upaya prosedur intubasi darurat,
komplikasi meningkat sebesar 14-47% saat dilakukannya percobaan intubasi darurat
ke 2 kali. Data ini menunjukkan bahwa prosedur intubasi darurat harus berhasil saat
upaya pelaksanaan prosedur yang pertama.
Keberhasilan upaya pertama prosedur intubasi darurat dipengaruhi baik faktor
pasien maupun operator. Faktor pasien yang mempengaruhi prosedur intubasi antara
lain fitur anatomi yang mempersulit visualisasi dari inlet glotis akibat
ketidakmampuan alat untuk melewati tabung trakea. Faktor lainnya yang berpengaruh
adalah faktor fisiologis yang dapat membatasi durasi upaya laringoskopi seperti
hipoksemia dan ketidakstabilan hemodinamik. Faktor operator yang berpengaruh
pada prosedur intubasi darurat antara lain pengalaman operator, pemilihan perangkat,
dan agen farmakologis yang digunakan untuk memfasilitasi prosedur.
Persentase kejadian prosedur intubasi yang sulit sering ditemui di unit gawat
darurat, unit perawatan intensif, dan manajemen pre-hospital dilaporkan berkisar
antara 8-13%. Dahulu, “saluran pernapasan yang sulit” didefinisikan sebagai prosedur
intubasi yang membutuhkan > 2 upaya atau waktu selama 10 menit untuk
mengamankan penempatan selang trakea. Terdapat beberapa keterbatasan untuk
mengaplikasikan definisi ini pada pasien kritis. Pertama, metode dan aturan yang
dikembangkan untuk memprediksi kesulitan jalan nafas masih sederhana. Kedua,
penggunaan definisi ini dapat memprediksi adanya kesulitan jalan napas (yaitu> 2
upaya), namun tidak dapat membedakan pasien yang membutuhkan upaya intubasi
lebih dari 1 kali. Faktor pasien dan operator yang berpengaruh pada prosedur intubasi
telah dijelaskan di atas, untuk faktor lingkungan yang berpengaruh seperti ruang
terbatas, pencahayaan yang buruk, serta karakteristik tempat tidur yang dapat
membatasi kemampuan pasien mengakses jalan nafas dan tidur dalam posisi yang
benar. Terakhir, gangguan fisiologis pasien dapat menyebabkan kesulitan dalam
mempertahankan oksigenasi selama prosedur intubasi meskipun tidak disertai dengan
kelainan anatomi jalan napas.
Beberapa metode penilaian pra-intubasi yang bertujuan untuk memprediksi
jalan napas yang sulit, hanya fokus kepada fitur anatomi yang dapat mengganggu
visualisasi inlet glottis. Tes-tes tersebut sulit untuk diaplikasikan kepada pasien yang
memerlukan intibasi darurat. Belum lama ini, skor Macocha telah dikembangkan
untuk mengidentifikasi potensi jalan napas yang sulit di unit perawatan intensif.
Skor ini mempertimbangkan faktor-faktor yang berasal dari pasien; kesulitan
anatomi dan fisiologi, dan faktor operator. Komponen dari skor ini adalah sbb: skor
Mallampati III atau IV, sleep apnea obstruktif, imobilitas serviks, kesulitan
membuka mulut, koma , hipoksemia berat, dan operator non-anastesi. Ketujuh
bagian dari skor ini membedakan intubasi yang sulit dengan intubasi biasa, skor ini
memiliki sensitivitas sebesar 73%. Sayangnya, skor Macocha tidak memadai untuk
dapat memprediksi keberhasilan pada upaya pertama intubasi, dan belum divalidasi
untuk pelaksanaan prosedur laringoskopi. De Jong et al, menemukan bahwa ketika
memperkirakan intubasi yang sulit dengan skor Macocha, hanya 4% dari intubasi
menggunakan video laringoskop C-MAC yang terbukti sulit. Akibatnya,
reabilitasnya yang rendah sebagai difficult airway predictor dan kesulitan untuk
mengaplikasikannya sebagai penilaian pra-intubasi, menjadi penting bagi operator
untuk mengenali karakteritik pasien yang dapat dilakukan intubasi dengan satu kali
upaya untuk memaksimalkan keberhasian harus di dasarkan pada karakteristik pada
penggunaan laringoskop serta penempatan ETT yang berkaitan dengan suatu
prediksi adanya kesulitan dalam intubasi yang membutuhkan percobaan lebih dari 2
kali dalam 10 menit.
Memaksimalkan keberhasilan upaya pertama
Preoksigenasi
Pasien yang menjalani operasi elektif biasanya memiliki fungsi opitmal
kardiopulmoner yang memadai sebelum intubasi dan biasanya dapat mentolerir apnea
singkat. Optimalisasi fungsi mungkin tidak terjadi pada pasien kritis, yang sering
membutuhkan intubasi tiba-tiba dengan sedikit waktu untuk penilaian dan persiapan.
Selain itu, pasien sakit kritis biasanya memiliki pengaturan fisiologis yang berbeda
sehingga menyembabkan kesulitan manajemen jalan napas.
Kurangnya waktu, kebutuhan oksigen yang tinggi, shunt fisiologi, dan kurangnya
kerjasama pasien semua menyulitkan persiapan. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan
risiko komplikasi selama intubasi. Desaturasi oksigen adalah komplikasi paling
umum, terjadi pada 19-70% dari intubasi. Desaturasi oksigen paling sering
menyebabkan batalnya upaya pertama dalam intubasi. Preoksigenasi digunakan untuk
mengganti udara yang kaya akan nitrogen di alveolus dengan oksigen, dengan
demikian memungkinkan pengambilan kembali selama periode apnea. Pada pasien
sehat, ini dapat dicapai dengan 3-5 menit dari pernapasan tidal atau dari masker non-
rebreather yang dialiri oleh oksigen 100%. Akan tetapi yang didapat dari
groombridge and collage, menunjukan pada sukarelawan yang sehat, masker non-
rebreather kurang efektif untuk memberikan oksigen secara adekuat dibanding
dengan bag-valve mask dan anastetik sirkuit tertutup.
Hayes-Bradley mendemonstrasikan bahwa pemberian oksigen melalui nasal
kanul dapat menolong dalam meningkatkan tidal akhir O2. Pada pasien dengan
penyakit kritis efektifitas dan optimalitas dari strategi untuk preoksigenasi belum
selesai. Mort melaporkan bahwa memberikan oksigen 100% selama 4 menit
meningkatkan tekanan parsial oksigen di arteri, 6.7 kPa pada 19% pasien, dan
memperpanjang periode preoksigenasi memiliki dampak yang kecil. Pada komorbid
yang sulit, seperti obesitas, preoksigenasi pada pasien sakit kritis mungkin kurang
efisien dengan menggunakan sungkup yang kaku. Ini memungkinkan pencampuran
udara ambien sehingga menyebabkan penurunan fraksi efektif oksigen inspirasi. Pada
pasien stabil yang menjalani anestesi umum, elevasi 20 derajat kepala telah terbukti
meningkatkan preoksigenasi dan memperluas waktu aman apnea . Ventilasi tekanan
positif non invasif juga telah digunakan untuk meningkatkan preoksigenasi sebelum
intubasi pada pasien dengan obesitas dan gangguan fisiologi. Baillard dan colleagues
melaporkan bahwa 3 menit dari preoksigenasi dengan ventilasi tekanan positif non
invasif dapat meningkatkan saturasi, dan mengurangi kejadian desaturasi <80%
dengan intubasi, dengan membandingkan penggunaan masker non breather selama 3
menit. Jalan napas supraglotic mungkin juga berguna untuk preoksigenasi sebelum
upaya intubasi, pada pasien yang membutuhkan tekanan udara yang lebih tinggi, atau
yang tidak dapat mentolerir masker non tekanan positif non invasif.
Pada pasien dengan hipoksemia berat dan ketidakmampuan untuk
preoksigenasi yang memadai dengan ventilasi tekanan positif non invasif. Urutan
Intubasi yang berubah dimana prosedural sedasi dilakukan untuk memfasilitasi
toleransi masker dan meningkatkan preoksigenasi sebelum penggunaan laringoskop.
Preoksigenasi dengan tekanan positif pada ventilator melalui fitting facemask dengan
penambahan oksigen yang ditambahkan selama intubasi melalui kanula nasal
mungkin dapat mencegah penurunan saturasi pada pasien dengan hipoksemia berat.
High flow nasal cannulas (HFNC) mampu menghasilkan panas , serta kelembapan
aliran oksigen lebih dari 70 liter per menit (lpm), yang telah dibandingkan dengan
metode standar preoksigenasi menunjukan hasil yang beragam. Dalam sebuah studi
intervensi pre-post oleh Miguel- Montanes and college, oksigen yang dihasilkan
melalui HFNC sekitar 60 lpm untuk preoksigenasi dan dapat dipertahankan selama
prosedur intubasi, ini mengurangi kejadian desaturasi 14-2% dibandingkan dengan
preoksigenasi dengan menggunakan sungkup non rebreather.
Namun, dua uji coba terkontrol secara acak pada oksigenasi apnea
menunjukan tidak ada manfaat selama intubasi darurat, Semler and collagues
mengevaluasi 15 lpm pada tekanan tinggi menggunakan nasal kanul dibandingkan
dengan perawatan biasa menunjukan tidak ada perbedaan pada rata-rata terendah dari
saturasi arteri (92% dengan 90%) atau pada insiden desaturasi yang kurang dari 90%.
Vourch and collagues membandingkan 60 lpm dengan HFNC untuk preoksigenasi
dan preoksigenasi apnea terhadap preoksigenasi menggunakan sungkup tidak
menunjukan adanya perbedaan dalam insiden atau gangguan desaturasi. Sebuah studi
dari sakles and collagues di departemen kegawatdaruratan menunjukan adanya
hubungan antara oksigenasi selama apnea dan memiliki keberhasilan tinggi dalam
upaya pertama tanpa adanya hipoksemia

Pemeliharaan Oksigenasi
Selama oksigenasi, oksigen diberikan melalui kanula hidung bergerak
menuju alveoli, didorong oleh gradient yang disebabkan oleh penyerapan oksigen
yang sedang berlangsung dari alveoli. Fenomena ini telah dikenal selama hampir
satu abad. dan sementara itu pemberian oksigenasi melalui nasal kanul aliran tinggi
selama penggunaan laringoskopi dapat menurunkan kejadian desaturasi selama
intubasi. Oksigenasi dengan memberikan aliran tinggi pada nasal kanul juga
menunjukan lebih berguna ketika intubasi diperlukan untuk antisipasi adanya
kesulitan jalan napas. Efektifitas dari oksigenasi apnea pada pasien sakit kritis
mungkin terbatas karena adanya proses penyakit yang menyebabkan shunt fisiologis
yang tidak sepenuhnya berhasil dengan peningkatan konsentrasi oksigen. Tekanan
positif berkelanjutan dengan menggunakan ventilasi tekanan positif non invasif
dengan sungkup selama intubasi kemungkinan berguna untuk menjaga kebutuhan
alveolar selama intubasi, pada pasien dengan shunt fisiologi. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk mengevaluasi proses oksigenasi ini selama intubasi, namun dengan
biaya rendah dan intervensi dengan risiko rendah dapat meningkatkan keselamatan
dalam intubasi darurat.
Table 1 Pharmacologic agents commonly used for airway management. Abbreviations: GABA, Gamma-Aminobutyric Acid; RAS, Reticular
Activating System; Ach, Acetylcholine; Na, sodium

Drug Dose in mg Site/Mechanism of Onset of Duration of Comments


kg−1 Action Action Action
(s) (min)

Sedative Agents
Etomidate 0.3 GABA in RAS 15–45 3–12 −Haemodynamically neutral
Propofol 1–3 GABA 15–45 3–5 −Myocardial depressant-Hypotension
Ketamine 1–2 GABA, opiate, <60 10–20 −Direct myocardial depressant but indirect
nicotinic, vascular sympathomimetic
nitric oxide
Thiopental 3–5 GABA in RAS 5–30 5–10 −Negative inotrope-Frequently causes
hypotension
Midazolam 0.1–0.3 GABA in RAS 30–60 15–30 −Frequently causes hypotension
Dexmedetomidine 0.5–1 mcg Alpha-2 agonist 10–15 ∼120 −Blunts laryngeal response-Maintains
kg−1 min spontaneous respiration
Neuromuscular Blocking Agents
Succinylcholine 1–2 Nicotinic Ach receptors 30–60 ∼10 −Only Depolarizing agent
Ach Receptor 60–90 ∼160 −Prolonged duration of action
Rocuronium 0.9–1.2
Antagonist
Adjuncts
Ionic Na channel 45–90 10–20 −Local, topical, and i.v. use
Lidocaine 1.5–2.5
Mu receptors 120–180 30–60 −Hypotension because of blunting of
Opiates Variable
sympathetic drive in critically ill patients
Benzodiazepines Variable GABA 120–180 30–60 −Hypotension because of blunting of
sympathetic drive in critically ill patients,
amnesia
Table 2 Strategies to optimize first attempt success and improve safety of emergent intubations

Strategy Method Comments


Pre-intubation
non-invasive positive pressure ventilation is preferred for preoxygenation in
Preoxygenation 1. >20 degrees head-up position, and patients with shunt physiology.

2. 3–5 min of 100% oxygen with tight fitting


facemask, or HFNC, or
3. Non-invasive positive pressure ventilation.

Haemodynamic
1. Bedside haemodynamic assessment, and 1. Shock index >0.9 has higher odds of developing
optimization
2. Fluid resuscitation as necessary, and post- intubation hypotension.
3. Continuous vasopressor infusion for 2. Bedside ultrasound can provide a rapid,
refractory hypotension despite fluid accurate haemodynamic profile.
resuscitation.

Resource 1. Assess potential difficulty, and 1. Potential difficulty includes difficult anatomy and difficult
management 2. Verbalize ‘Plan A,’ ‘Plan B’, etc., and physiology that limit ability to perform laryngoscopy,
3. Prepare all necessary equipment and mask ventilation, supraglottic placement, or surgical
backup devices, and airway.
4. Position patient, and
5. Assign individualized roles for team members, and
6. Prepare post-intubation sedation and analgesia.

Human factors 1. Presence of two operators with agreement on

approach.

During Intubation
Maintenance of
1. Apnoeic oxygenation may prolong safe apnoea time. 1. Apnoeic oxygenation efficacy limited with shunt
physiology. Nasal CPAP during intubation may be more beneficial in these
oxygenation
patients.

Device selection 1. Device selection based on difficulty assessment. 1. If fiberoptic intubation is to be performed, combination
techniques such as combined fiberoptic device-video
2. Video laryngoscopy improves odds of first attempt laryngoscope or fiberoptic devices-supraglottic device
success. may be useful.
Medication 1. Haemodynamically neutral sedative such as
selection etomidate or ketamine, and
2. Neuromuscular blocking agent when oral
laryngoscopy is being performed.

Programmatic Considerations

Multidisciplinary 1. Combined training, didactics, simulations, etc. to Difficult airway ‘teams’ may be useful in some institutions.
approach improve performance of all specialists rather than
limit to one specialty.

Training programs 1. Simulation-based curricula to advance skills in

itdioenntainfidcamanagement of the difficult airway.

Human Factors 1. Education and training on difficult airway algorithms,

and

2. Use of cognitive aids during intubation to


improve recall and performance.
Pemilihan Peralatan
Berbagai macam peralatan tersedia untuk manajemen saluran napas. Secara
umum, peralatan tersebut dapat dikategorikan sebagai laringoskop; laringoskop
indirek (laringoskop optik/video), peralatan fiber optik yang fleksibel dan peralatan
supraglotis. Laringoskop juga dapat digunakan secara langsung (laringoskop direk)
menggunakan Macintosh atau Blade Miller. Saat menggunakan laringoskop
langsung, jaringan di saluran napas atas dapat terkompresi dan berpindah tempat
untuk memudahkan operator melihat inlet glottis nya. Dalam 15 tahun terakhir,
laringoskop video sudah tersedia secara luas dan bahkan menjadi peralatan latihan
manajemen saluran napas. Laringoskop video sendiri ada dua jenis; standard
geometry Macintosh-type curved blade device dan hyperangulated devices,
sedangkan untuk hyperangulated devices dapat dibagi kembali menjadi yang
memiliki tube-guiding channel dan yang tidak. Keuntungan dari video laringoskop
adalah gambaran inlet glottis pasien yang terproyeksi ke layar video yang berasal dari
kamera di bawah permukaan blade. Hal ini membutuhkan penyesuaian jaringan
saluran napas atas sehingga gambaran inlet glottis lapang.
Laringoskopi video terbukti meningkatkan kesuksesan prosedur intubasi
dalam sekali uji coba di penanganan sebelum masuk rumah-sakit, unit gawat darurat
dan intensive care unit. Dua percobaan klinis yang random dan terkontrol
menunjukkan bukti yang berkebalikan. Griesdale et al, melaporkan bahwa visualisasi
glottis tidak meningkatkan keberhasilan pada uji coba intubasi yang pertama. Pada
percobaan yang kedua, didapatkan hasil yang berbeda yakni terjadi peningkatan
keberhasilan uji coba intubasi yang pertama. Secara statistik keberhasilan ini
meningkat dari 40% menjadi 70%. Kedua uji coba ini dilakukan dengan
menggunakan video laringoskopi disertai dengan agen penghambat neuromuscular.
Meta-analisis yang dilakukan oleh De Jong et al, mengatakan bahwa laringoskopi
video meningkatkan keberhasilan intubasi sebanyak dua kali jumlah laringoskopi
direk. Laringoskopi video juga sangat membantu prosedur intubasi pasien dalam
keadaan khusus; cardiac arrest. Sementara, laringoskopi direk merupakan skill yang
penting dalam penanganan pasien gawat darurat. Laringoskopi video mempermudah
pelatihan karena prosesnya yang mengizinkan instruksi real-time dan menyediakan
sarana dokumentasi anatomi jalan napas untuk pelatihan manajemen napas di masa
mendatang.
NAP4 melaporkan bahwa rendahnya ketersediaan laringoskopi video dan
lebih menggunakan laringoskopi fiber optic yang bersifat fleksibel. Pasien dengan
struktur anatomi jalan napas yang sulit dapat diberikan solusi berupa pemberian
intubasi secara sadar dengan menggunakan sedasi dan/atau anastesi lokal di
permukaan laringoskopi video.

Faktor Manusia : Pelatihan dan Algoritma


Disaat faktor dari pasien saat kritis, seperti perubahan fisiologi menunjukkan
peningkatan resiko komplikasi selama dilakukannya prosedur manajemen saluran
napas, faktor terkait operator juga perlu untuk dipertimbangkan. Intubasi di ICU
dapat dibutuhkan sepanjang hari dengan durasi prosedur yang cepat sehingga sering
menyulitkan praktisi. Hal ini memicu permasalahan mengenai pelaksanaan prosedur
intubasi di ICU dalam rangka peningkatan keselamatan pasien.
Dokter anastesi melakukan prosedur intubasi lebih sering dibanding spesialis lainnya.
Pengalaman, pelatihan, kenyamanan dan ketersediaan untuk keadaan emergensi dapat
bervariasi. Pelatihan manajemen saluran napas merupakan bagian yang penting untuk
semua spesialisasi dalam penanganan pasien kritis. Peningkatan kualitas pelatihan
dan pola praktik diharapkan mampu menghasilkan output yang lebih baik.
Pelatihan berdasarkan pengalaman simulasi dan algoritma menghasilkan
derajat kesuksesan intubasi yang bervariasi. Jaber et al, melaporkan bahwa
implementasi dari manajemen saluran napas yang terdiri dari preoksigenasi dan
ventilasi tekanan positif non-invasif, penggunaan agen penghambat neuromuscular
dan loading cairan, hal-hal yang dilakukan sebelum intubasi mengurangi kejadian
komplikasi minor 12% dan komplikasi mengancam jiwa 13%. Kualitas peningkatan
program untuk pasien penyakit paru dan pasien kritis yang termasuk didalamnya
program latihan berdasarkan simulasi, teknik manajemen sumber daya, tim prosedur
intubasi dengan perannya masing-masing dan ceklis prosedur intubasi menunjukkan
hasil 62% prosedur sukses pada percobaan pertama, 20% prosedur memerlukan uji
coba tiga kali atau lebih dan 11% intubasi eusofagal.
Mosier et al, belum lama ini menyatakan bahwa pengalaman pelatihan tiga
tahun di bidang manajemen saluran napas atas justru akan mengaburkab identifikasi
dan pendekatan kepada saluran napas yang sulit. Pelatihan ini diharapkan dapat
meningkatkan kesuksesan prosedur pada uji coba pertama dan mengurangi jumlah
komplikasi di ICU.
ASA, Canadian Airway Focus Group, dan Difficult Airway Society telah
mengembangkan panduan yang baik untuk manajemen saluran napas yang sulit,
bagaimanapun, keefektifannya dalam bidang emergensi belum dikaji lebih lanjut.
Dua jenis pendekatan yang baru-baru ini dilakukan dalam bidang manajemen saluran
napas pada pasien kritis telah dikembangkan; pendekatan secara kognitif dan
pendekatan strategi algoritma. Kedua pendekatan ini berfungsi untuk menjaga
oksigenasi pasien tetap adekuat.
Kesimpulan
Pada pasien kritis yang membutuhkan prosedur intubasi dapat menjadi sulit
akibat adanya interaksi antara faktor dari pasien maupun faktor dari operator yang
dapat meningkatkan resiko prosedur kepada komplikasi yang serius. Tujuan dari
prosedur intubasi ini adalah sukses pada uji coba pertama, strategi untuk
mencapainya adalah pre-oksigenasi yang adekuat, oksigenasi apnoeic, optimalisasi
hemodinamik dan pemilihan alat serta obat yang sesuai.
Pelatihan yang inklusif, algoritme disertai dengan latihan kognitif diharapkan
dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kualitas faktor operator dalam
manajemen saluran napas. Beberapa panduan telah disusun menyusul laporan NAP4
mengenai manajemen saluran napas disaat emergensi. Sementara itu, riset dan
pengembangan masih dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan identifikasi
pasien kritis resiko tinggi, penilaian peralatan dan obat secara optimal serta
optimalisasi peralatan untuk mencapai kesuksesan prosedur

Anda mungkin juga menyukai