Anda di halaman 1dari 3

Komentar :

MENGULANG JEJAK SEJARAH


Oleh : M. Wahdini Purba

HARI ini, tanggal 18 Maret 2010 PT Semen Padang genap berusia 100 tahun.
Sebagai perusahaan besar, tentunya cukup wajar jika dalam usia “satu abad” ini digelar
berbagai acara perhelatan, yang bukan saja dikalangan intern perusahaan, tetapi juga
bagi masyarakat luas, khususnya Sumatera Barat.
Satu abad tentu bukanlah waktu yang pendek bagi sebuah perusaan semen
tertua di Indonesia ini untuk tetap berkembang dan eksis. Banyak perusahaan besar
yang terpaksa gulung tikar diterpa gelombang badai zaman, termasuk era perdagangan
bebas yang kerap tidak diduga.
PT Semen Padang sendiri, tentunya, bukanlah tanpa masalah dan mengalami
perjalanan sejarah yang terus mulus. Sejak berdirinya di tahun 1910 – yang konon
berawal dari ditemukannya batu kapur oleh Carl Christophus Lau – PT Semen Padang
berulangkali ditimpa masalah, bahkan pernah mau dilego (dijual) sebagai barang bekas
saja.
Namun, berkat semangat dan tekad bulat masyarakat Sumatera Barat,
akhirnya bisa diselamatkan. Sehingga, adalah salah besar jika mengatakan tidak ada
peranan atau saham masyarakat Minangkabau dalam perkembangan PT Semen Padang
hingga mencapai usia “satu abad”, sebagaimana kita saksikan saat ini. Lembaran
sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana rakyat Sumbar “menyelamatkan”
perusahaan di zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, atau pada revolusi hingga
sepenuhnya kita miliki saat “pengambilalihan perusahaan” dari tangan asing pada 5 Juli
1958.
Dalam tulisan ini sebenarnya tidak bermaksud mengupas catatan sejarah
perusahaan. Yang menjadi pusat perhatian kita di tengah acara perhelatan “ satu abad”
ini adalah langkah yang ditempuh sang Direktur Utamanya, Ir. Haji Endang Irzal, MBA.,
Ak., mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Barat yang menurut rencana digelar
pada bulan Juli depan. Sebuah pertanyaan tentunya muncul: Apakah momen historis
“satu abad” ini kelak mampu mengikuti “jejak sejarah” pendahulunya, Ir. Azwar Anas?
Berdasarkan catatan sejarah, Ir. Azwar Anas melangkah menduduki jabatan
Gubernur Sumbar selama 10 tahun (1977-1987) berawal dari PT Semen Padang, yang
ketika itu perusahaan diambang kebangkrutan dan nyaris dilelang sebagai besi bekas.
Berkat jasa Gubernur Sumbar Harun Zain, Azwar Anas dipinang “menyelamatkannya”
dan menjadi Direktur Utama selama tujuh tahun (1970-1977).
Sebenarnya perhatian utama dalam tulisan ini bukanlah terletak pada masalah
apakah Endang Irzal akan lolos dalam verifikasi atau terpilih sebagai Gubernur Sumbar
periode 2010-2015 mendatang. Tetapi, justru pada pokok masalah “ mengulang jejak
sejarah” yang kedua. Kalau saja boleh berandai-andai: Jika seandainya Endang Irzal
mampu mengulang “jejak sejarah” pendahulunnya (Dirut PT Semen Padang, Ir. Azwar
Anas), mampukah juga Endang Irzal mengikuti “jejak-jejak sejarah” pendahulunya
selaku Gumbernur Sumbar, menduduki jabatan “menteri kabinet” di Jakarta?
Indikator utama kesuksesan seorang gubernur dalam memimpin masyarakat
Sumatera Barat adalah jika selepas menjabat gubernur akan terpilih menjadi menteri.
Jika kita membuka lembaran sejarah percaturan politik lokal Sumbar, setiap gubernur
dan sukses memimpin rakyat Minang, sejak Harun Zain hingga Gamawan Fauzi, tetap
terpilih sebagai menteri; kecuali Gubernur Zainal Bakar.
Harun Zain merupakan gubernur kedua dan memimpin Sumbar selama dua
periode (1967-1977). Kemudian dilanjutkan oleh Azwar Anas (1977-1987), Hasan Basri
Durin (1987-1997), dan hanya Gamawan Fauzi yang tercepat, dimana tidak perlu
menghabiskan masa jabatan selama lima tahun.
Dimana letak keberhasilan dan keunggulan elit pemimpin lokal Sumbar
sehingga mendapat kepercayaan dalam “elit pemimpin nasional”? Meminjam analisis
Francis Fukuyama, penasehat kebijakan Presiden Amerika Serikat, letak kelebihan dan
keunggulan pemimpin asal Minang pada umumnya adalah pada modal sosial (social
capital). Dalam perkembangan dunia yang semakin global, seperti saat ini, peranan
social capital melebihi dari sumber daya alam (natural resources) dan sumberdaya
manusia (human resources).
Di negara Barat, modal sosial (sosial capital) sudah lama diakui
keampuhannya dalam pembangunan; bahkan bukan saja dianggap sebagai pendukung
lajunya proses pembangunan suatu bangsa, tetapi juga dikiategorikan sebagai “semen
perekat” dari berbagai unsur-unsur dalam masyarakat itu. Profesor Francis Fukuyama
yang banyak dikenal lewat karyanya The End of History, mendefinisikan modal sosial
sebagai serangkaian nilai atau norma informal pemberi teladan yang digunakan
bersama di antara anggota-anggota sebuah kelompok yang memungkinkan mereka
saling bekerja sama. Jika anggota-anggota kelompok berharap yang lain bisa bersikap
dapat dipercaya dan jujur, mereka mesti saling percaya. Kepercayaan disini berfungsi
sebagai pelumas yang membuat setiap anggota kelompok atau organisasi bisa berjalan
dengan efektif dan lebih efisien.
Masih menurut Fukuyama, social capital begitu penting karena berperan
dalam penciptaan civil society (masyarakat berperadaban), yang memungkinkan
kelompok-kelompok masyarakat berbeda di dalam sebuah masyarakat yang rumit
dapat bersatu untuk mempertahankan kepentingan mereka secara bersama.
Akankah “jejak sejarah” kembali berulang dari PT Semen Padang? Tentu,
sejarahlah kelak mencatatnya. ***

*) Penulis adalah Lulusan Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang

Anda mungkin juga menyukai