Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lanjut Usia

1. Definisi

Menurut Hawari dalam Efendi (2009) lansia adalah keadaan yang

ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap

kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya

kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.

WHO dan undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan

lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah

usia permulaan (Nugroho, 2008).

2. Klasifikasi Lansia

Depkes RI (2003) dalam Dewi (2014) mengklasifikasikan lansia dalam

kategori berikut :

a. Pralansia, seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang

yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau

kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Sedangkan klasifikasi lansia menurut WHO dalam Nugroho (2008) adalah

sebagai berikut :

6
7

a. Usia pertengahan (Middle age) 45-59 tahun

b. Lanjut usia (Elderly) 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (Old) 75-89 tahun

d. Usia sangat tua (Very old) >90 tahun

Menurut Depkes (2009) masa dewasa dibagi menjadi 5 yaitu:

1) Masa dewasa awal (26-35 tahun)

2) Masa dewasa akhir (36-45 tahun)

3) Masa lansia awal (46-55 tahun)

4) Masa lansia akhir (56-65 tahun)

5) Manula (66 tahun keatas)

3. Karakteristik Lansia

Menurut Bandiyah (2009) lansia memiliki tiga karakteristik sebagai

berikut :

a. Berusia lebih dari 60 tahun

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari

kebutuhan biopsikososial hingga spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga

kondisi maladaptif

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi

4. Tipe Lansia

Menurut Nugroho (2008) banyak ditemukan bermacam–macam tipe

lansia. Beberapa yang menonjol diantaranya :


8

a. Tipe arif bijaksana

Lansia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,

dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri

Lansia ini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang

baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memnuhi

undangan.

c. Tipe tidak puas

Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses

penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik

jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak

sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan pengkritik.

d. Tipe pasrah

Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti

kegiatan beribadat, ringan kaki, melakukan berbagai jenis pekerjaan.

e. Tipe bingung

Lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,

merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.

5. Mitos Seputar Lansia

Mitos–mitos seputar lansia menurut Nugroho (2008) antara lain :

a. Mitos kedamaian dan ketenangan

Adanya anggapan bahwa lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja

dan jerih payahnya di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakan akan
9

sudah berhasil dilewati. Kenyataannya sering ditemui lansia yang mengalami stres

karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit.

b. Mitos konservatif

Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi dan

keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa lansia tidak kreatif, menolak

inovasi, berorientasi ke masa silam, kembali ke masa anak – anak, sulit berubah,

keras kepala dan cerewet. Kenyataannya tidak semua lansia bersikap dan memiliki

pemikiran yang demikian

c. Mitos berpenyakitan dan kemunduran

Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi

biologis yang disertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan. Kenyataannya tidak

semua lansia berpenyakitan dan ssat ini telah banyak penyakit yang dapat dikonrol

dan diobati.

d. Mitos senilitas

Adanya anggapan bahwa sebagian lansia mengalami pikun. Kenyataannya

banyak yang amsih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak

cara untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat.

e. Mitos tidak jatuh cinta

Adanya anggapan bahwa para lansia tidak lagi jatuh cinta dan bergairah

kepada lawan jenis. Kenyataannya perasaan dan emosi setiap orang berubah

sepanjang masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua.
10

f. Mitos aseksualitas

Adanya anggapan bahwa pada lansia terjadi penurunan hubungan seks,

minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang. Kenyataannya

kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan tetap bergairah.

g. Mitos ketidakproduktifan

Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataannya

banyak para lansia yang mencapai kematangan, dan produktivitas mental maupun

material.

6. Tugas Perkembangan Lansia

Menurut Dewi (2014) kesiapan lansia untuk beradaptasi atau

menyesuaikan diri terhadap perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses

tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tumbuh

kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari hari dengan teratur dan baik,

maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan.

Adapun tugas perkembangan lansia, sebagai berikut :

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun

b. Mempersiapkan diri untuk pensiun

c. Membentuk hubungan baik dengan orang yang seusianya

d. Mempersiapkan kehidupan baru

e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai

f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.


11

B. Konsep Dukungan Keluarga

1. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang

bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan (Friedman, 2010). Dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu

proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan social. Dukungan sosial

keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh

anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses untuk keluarga (Menurut

Friedman 1998 dalam Harnilawati 2013).

Individu membutuhkan orang lain untuk memberi dukungan guna

memperoleh kenyamanan. Individu dengan tingkat dukungan keluarga yang tinggi

memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dihargai dan dicintai.

(Susanto, 2015). Dukungan sosial keluarga sangat diperlukan oleh seseorang yang

menjadi anggota keluarga karena keluarga merupakan sumber dukungan yang

terdekat (Asmaningrum, 2014).

2. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut (Harnilawati, 2013) jenis dukungan keluarga ada empat, yaitu :

a. Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis

dan konkrit.

b. Dukungan informasional, yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan

disseminator (penyebar informasi).


12

c. Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah

umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai

sumber dan validator identitas keluarga.

d. Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap

emosi.

3. Ciri-ciri Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2010) setiap bentuk dukungan keluarga memiliki ciri-

ciri antara lain :

a. Informatif, Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung

jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah,

memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang

dilakukan oleh seseorang. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai

penghimpun informasi dan pemberi informasi.

b. Perhatian emosional, dukungan emosional memberikan individu perasaan

nyaman, merasa dicintai bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya,

perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada

dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan

memberikan semangat.

c. Bantuan instrumental, Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah

seperti pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata

(instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa

akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan

langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu


13

pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi,

menjaga dan merawat saat sakit. Pada dukungan nyata keluarga sebagai

sumber untuk mencapai tujuan praktis dan tujuan nyata.

d. Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang

kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita, diantaranya

memberikan support, penghargaan, dan perhatian.

Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi

bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat

terbukti dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi

kognitif, fisik dan kesehatan emosi.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Purnawan

(2008) dalam Dewi (2014) adalah sebagai berikut:

a. Faktor internal

1) Tahap perkembangan

Dukungan keluarga yang diberikan ditentukan oleh usia sesuai dengan

tahap pertumbuhan dan perkembangan individu.

2) Pendidikan atau tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi persepsi individu terhadap

dukungan. Kemampuan berpikir individu akan mempengaruhi dalam memahami

faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan kesehatan.

3) Faktor emosi

Faktor emosional sangat berpengaruh terhadap keyakinan terhadap

dukungan. Individu yang tidak mampu melakukan koping adaptif terhadap adanya
14

ancaman penyakit akan menyangkal adanya gejala penyakit dan tidak mau

menjalani pengobatan.

4) Spiritual

Aspek spiritual tampak pada individu saat menjalani kehidupannya,

mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan dan bagaimana hubungannya

dengan keluarga atau teman.

b. Faktor eksternal

1) Praktik keluarga

Cara dan bentuk dukungan yang diberikan keluarga akan mempengaruhi

penderita dalam melaksanakan kesehatannya.

2) Faktor sosioekonomi

Faktor sosioekonomi dapat memungkinkan resiko terjadinya penyakit dan

sangat berpengaruh terhadap individu dalm melaksanakan kesehatnnya.

3) Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai, dan kebiasaan

individu dalam memberikan dukungan termasuk dalam melaksanakan kesehatan.

5. Cara Mengukur Dukungan Keluarga

Menggunakan pengukuran skala likert yaitu skala yang digunakan untuk

mengukur sikap, pendapatan, persepsi seorang tentang gejala atau masalah yang

ada di masyarakat atau di dalamnya, menggunakan angket kuisioner yang

menanyakan tentang isi materi yang di ukur peneliti. Penilaian dalam kuisioner ini

menggunakan skala likert yang diberi skor pada masing-masing pilihan jawaban
15

yaitu selalu (skor 4), sering (skor 3), kadang (skor 2), dan tidak pernah (skor 1).

dukungan baik (Alimul Hidayat, 2009).

Q
P = R × 100%

Keterangan :

P : Skor total

Q : Skor jawaban yang benar

R : Jumlah soal

Pengkategorian dukungan keluarga menurut Budiman (2013)

dikategorikan menjadi kategori yaitu :

a. Dukungan baik : 76% - 100%

b. Dukungan cukup : 56% - 75%

c. Dukungan kurang : ≤ 55%

C. Konsep Posyandu Lansia

1. Definisi Posyandu Lansia

Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia

lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh

masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

Posyandu lansia merupakan pengembangan pengembangan dari kebijakan

pemerintah melalui pelayanan kesehatan peran kesehatan bagi lansia yang

penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan peran serta para lansia,

keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya

(Sunaryo, 2015).

2. Tujuan Posyandu Lansia

Menurut Sunaryo (2015) Tujuan posyandu lanjut usia secara garis :


16

a. Tujuan Umum

Meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai

masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan.

b. Tujuan Khusus

1) Mendekatkan kesadaran pada usia lanjut untuk membina sendiri kesehatannya.

2) Meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat, termasuk keluarganya

dalam menghayati dan mengatasi kesehatan usia lanjut.

3) Meningkatkan jenis dan jangkauan kesehatan usia lanjut.

4) Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan usia lanjut.

3. Sasaran Posyandu Lansia

a. Sasaran Langsung

1) Kelompok pra usia lanjut (45-54tahun)

2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun keatas)

3) Kelompok usia lanjut (>60 tahun) dan usia lanjut dengan resiko tinggi (70

tahun keatas)

b. Sasaran Tidak Langsung

1) Keluarga dimana usia lanjut berada

2) Organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut

3) Masyarakat luas

4. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Menurut Sunaryo (2015) mekanisme pelayanan Posyandu Lansia tentu

saja berbeda dengan posyandu balita pada umumnya. Mekanisme pelayanan ini

tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah


17

penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia ini dengan sistem 5

meja seperti posyandu balita, ada pula yang hanya 3 meja. 3 meja tersebut

meliputi :

a. Meja I: pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau

tinggi badan.

b. Meja II : melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan dan index massa

tubuh (IMT); juga pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan

rujukan kasus.

c. Meja III : melakukan kegiatan konseling atau penyuluhan, dapat juga

dilakukan pelayanan pojok gizi.

5. Kendala Pelaksanaan Posyandu Lansia

Menurut Sunaryo (2015) beberapa kendala yang dihadapi lansia dalam

mengikuti kegiatan posyandu antara lain :

a. Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu.

Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari

pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan

posyandu, lansia akan mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup

sehat dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada

mereka. Dengan pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang

menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi

mereka untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia

b. Jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit dijangkau

Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau

posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena


18

penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan dalam menjangkau

lokasi posyandu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan bagi

lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi

posyandu tanpa harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius,

maka hal ini dapat mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti

kegiatan posyandu. Dengan demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal

dari terbentuknya motivasi untuk menghadiri posyandu lansia.

c. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia

untuk datang ke posyandu.

Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau

kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa

menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk

mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa

jadwal posyandu, dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan

bersama lansia.

d. Sikap yang kurang baik terhadap petugas posyandu.

Penilaian pribadi atau sikap yang baik terhadap petugas merupakan dasar

atas kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan

sikap yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti

kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena sikap

seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek.

Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara-cara

tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya

suatu respons.
19

6. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan

Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu

Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita

(deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi (Sunaryo, 2015).

7. Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu

Lansia seperti tercantum dalam situs Pemerintah Kota Jogjakarta adalah:

a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam

kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun

tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.

b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental

emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.

c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran

tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta

penghitungan denyut nadi selama satu menit.

e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat

f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit

gula (diabetes mellitus)

g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi

awal adanya penyakit ginjal.

h. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan

kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. Dan

i. Penyuluhan Kesehatan
20

8. Frekuensi Kujungan Lanjut Usia

Banyaknya kunjungan lanjut usia ke posyandu lansia dalam 1 tahun

terakhir dapat dilihat dari KMS. Kegiatan posyandu lansia dapat dilakukan

minimal 1 bulan sekali, jika tiap bulan dilakukan 1 kali posyandu lansia maka

dikatakan aktif jika hadir 8-12 kali atau sesuai dengan program pelayanan

kesehatan setempat (Widyaning Pertiwi, 2013).

D. Konsep Kepatuhan

1. Definisi Kepatuhan

Patuh secara harfiah diartikan suka menurut, berdisiplin kepada perintah

yang diberikan kepadanya. Kepatuhan adalah sikap patuh, ketaatan dan mau

menjalani perintah yang diberikan kepadanya (Waskito, 2009).

Sedangkan menurut (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2007)

kepatuhan adalah suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati ke

perilaku yang menaati perilaku.

Dengan demikian kepatuhan adalah perilaku patuh atau disiplin individu

mengikuti pengobatan, diit, merubah gaya hidup sesuai dengan saran dokter atau

pelayanan kesehatan berdasarkan peraturan yang berlaku untuk memenuhi

kebutuhan. Kepatuhan seorang lansia berkunjung ke posyandu akan memberikan

dampak positif terhadap status kesehatan (Fransiska, 2011)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut Niven (2008) dalam Suparyanto (2010), faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah :


21

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya.

Menurut Triwiyanto (2014), jenis pendidikan adalah kelompok yang

didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Sementara itu jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan

informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal

adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

1) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang

pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan

Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah

pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts), atau berbentuk lain yang

sederajat.

2) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan

menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah

jurusan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA),

madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah

kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.


22

3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan

menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,

spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Pendidikan

tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

b. Akomodasi

Akomodasi merupakan suatu usaha yang harus dilakukan untuk

memahami ciri kepribadian klien yang dapat mempengaruhi kepatuhan.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan social

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-

teman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu

kepatuhan terhadap program pengobatan.

d. Perubahan model terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan klien terlihat

aktif dalam pembuatan program pengobatan atau terapi.

e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien

Meningkatkan interaksi profesioanl kesehatan sangat penting untuk

memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh informasi tentang

diagnosis.

f. Pengetahuan

Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin

tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya

(Suparyanto 2010).
23

g. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan

berulang tahun. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang

dan teratur.

h. Dukungan keluarga

Faktor psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan adalah

adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan keluarga maupun

dukungan secara sosial. (Lestari, 2012). Individu dengan dukungan keluarga yang

tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan individu tersebut,

sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat dalam

hal ini kepatuhan dalam mengikuti posyandu lansia (Susanto, 2015)

Menurut Sumirat (2011) faktor yang mempengaruhi kepatuhan lansia ke

posyandu, yaitu :

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan faktor yang penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang tindakan seseorang. Suatu perilaku yang didasari oleh pengetahuan,

kesadaran, dan sikap positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng,

sebaliknya bila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran,

maka perilaku tersebut bersifat sementara atau tidak akan berlangsung lama,

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui proses pengalaman dan

proses belajar dalam pendidikan baik yang bersifat formal dan informal (Iskandar

2017).

b. Jarak rumah dengan posyandu


24

Jarak merupakan kemampuan manusia dalam mengorganisasikan

pengamatan. Jarak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lansia untuk

berkunjung atau tidak berkunjung ke posyandu. Dimana dalam hal ini para lansia

mempunyai persepsi dalam menganalisa tentang jauh tidaknya jarak pelayanan

kesehatan, karena jarak merupakan salah satu faktor pendukung yang

memungkinkan seseorang berperilaku. Lansia tidak datang ke posyandu di

sebabkan karena rumahnya jauh dan pelayanan kesehatan kurang terjangkau

(Iskandar, 2017).

c. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau

kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa

menjadi motivator kuat bagi lansia, selalu menyempatkan diri untuk mendampingi

atau mengantar lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal

posyandu dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia.

3. Cara Menilai Kepatuhan

Untuk mengukur kepatuhan yang erat kaitannya dengan cara pertanyaan

yaitu kuesioner yang jawabannya hanya ada dua pilihan yaitu “Ya” dan “Tidak”,

setelah itu hasil jawaban yang diberikan lalu dirumuskan sebagai berikut :

Ya

Ya + Tidak x 100%

Dalam uraian, jumlah jawaban “Ya”, dibagi semua jawaban dan dikalikan

100%, dan jika hasil dari rumus lebih atau sama dengan 51 maka bisa dianggap

patuh dan kurang atau sama dengan 50 maka dikatakan tidak patuh (Imbalo,

2007).

Anda mungkin juga menyukai