Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Asuh

2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua terhadap

anak yang Meliputi pemeliharaan (memberi makan,Membersihkan dan

melindungi) dan melatih sosialisasi (mengajarkan perilaku yang umum

dan dapat diterima oleh masyarakat) (Sari Afrina, 2010). pola asuh orang

tua yaitu pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative

konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh

anak, dari segi negatif dan positif .


Pola asuh anak ini berarti orang tua mendidik, membimbing, Dan

mendisiplinkan serta melindungi anak. untuk mencapai kedewasaan

sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. sebagai

pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan

dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya (Riyanti, 2008).

Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak

didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi:

1. Perilaku yang patut dicontoh

Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik,

tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan

dijadikan lahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya.

8
2

2. Kesadaran diri

Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka

agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab

itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan

observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun

non verbal tentang perilaku.

3. Komunikasi

Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya,

terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk

memecahkan permasalahannya.

2.1.2 Peran Dan Tanggung Jawab Orang Tua

Nuryanti (2008) menjelaskan bahwa ketika bayi dilahirkan

kondisinya tabula rasa atau seperti kertas kosong yang bersih. Pikiran anak

merupakan hasil dari pengalaman dan proses belajar. Pengalaman dan

proses belajar yang diperoleh melali indera membentuk manusia menjadi

individu yang unik. Peran orang tua dalam perkembangan anak sangat

dominan karena orang tua harus bertanggung jawab:

1. Mengajari anak tentang kendali diri serta rasionalitas.

2. Merancang, memilihkan, dan menentukan lingkungan serta

pengalaman yang sesuai sejak anak dilahirkan.

Agar Orang tua mampu mengemban tanggung jawabnya, yaitu

melakukan perubahan pada diri anak atau mendidiknya, orang tua harus

memiliki kualitas. Kualitas itu terbentang dari hal-hal yang bersifat abstrak,

misalnya berupa konsep-konsep, pandangan, dan sikap, sampai kepada

hal-hal yang bersifat konkrit, seperti misalnya tindakan atau perilaku hidup
3

sehari-hari. Hanya orang tua yang berkualitas saja yang pada akhirnya

akan mampu membangkitkan kreativitas anak.

Sebagai penanggung jawab, orang tua harus menciptakan

suasana yang kondusif. Suasana itu meliputi ketenangan, kenyamanan,

keterbukaan, kejujuran, sikap egaliter di dalam musyawarah, saling belajar,

dan saling menghargai. Orang tua harus menunjukkan kualitas perilaku

yang dapat diteladani oleh anak-anaknya. Kualitas perilaku itu misalnya

amanah (dapat dipercaya), konsisten, komit, dan terkendali secara

emosional (Wahyudin, 2008).

Anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh

orang tua lengkap. Anak-anak dengan kedua orang tua yang tinggal

serumah cenderung lebih baik secara emosi dan akademik. Anak-anak

dapat memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua, misalnya

dalam hal pendampingan, bantuan untuk menyelesaikan tugas sekolah,

dan kualitas kebersamaan (Lestari, 2012).

Mutiah (2010) menyebutkan bahwa beberapa kondisi yang

dibutuhkan agar anak dapat tumbuh kembang dengan baik meliputi:

1. Lingkungan keluarga yang bahagia dan sejahtera, yaitu sepasang

orang tua, ayah dan ibu hidup dalam suasana rukun bahagia dan

sejahtera (harmonis).

2. Memberikan sandang, pangan, dan papan yang memadai bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.

3. Memberikan keteladanan atau contoh yang baik terhadap anak-

anak. Memberikan perintah sesuai dengan minat dan keinginan anak,

tanpa memaksa terlebih dengan ancaman dan hukuman fisik yang

merusak fisik anak.


4

4. Mengajarkan nilai-nilai yang baik seperti kejujuran, tanggung

jawab, disiplin, sopan santun, murah hati, suka menolong, dan

sebagainya disertai contoh langsung dari orang tua, sehingga menjadi

pola kebiasaan sehari-hari.

5. Memberikan waktu bermain dan alat permainan yang memadai.

2.1.3 Macam-Macam Pola Asuh

Aisyah (2010) menjelaskan bahwa ada tiga jenis pola asuh yang

dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya, yaitu: pola asuh otoriter, pola

asuh demokratis, dan pola asuh permisif yang akan dijelaskan sebagai

berikut:

a. Pola Asuh Otoriter

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri

antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang

serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-

nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan

tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang

tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk

mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut

tanggung jawab seperti anak dewasa. Orang tua yang otoriter

cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Orang tua yang

otoriter amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaaan tertinggi

serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Dengan

berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat. orang

tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan


5

pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya, sehingga pola

asuh otoriter berpeluang untuk memunculkan perilaku agresif.

Pola asuh otoriter ini ciri utamanya adalah orang tua membuat

hampir semua keputusan. Anak-anak mereka dipaksa tunduk, patuh,

dan tidak boleh bertanya apalagi membantah. Ciri khas pola asuh

otoriter ini diantaranya :

a) Kekuasaan orang tua amat dominan.


b) Anak tidak diakui sebagai pribadi.
c) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
d) Orang tua akan sering menghukum jika anak tidak patuh.
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah sikap orang tua yang berdasarkan

prinsip-prinsip atau aturan-aturan untuk memperoleh kesempatan

mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa

peraturan itu tidak adil. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya

sikap terbuka antara orang tua dengan anak. memberikan anak

kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, dan

keinginannya. Pola asuh orang tua dalam mengembangakan kontrol

terhadap prilaku anak dalam masyarakat. mendorang untuk mampu

mandiri, bertanggung jawab dan percaya pada diri sendiri (Maryati,

2012).
Pola asuh ini bertolak-belakang dengan pola asuh otoriter. Orang

tua yang memberikan kebebasan kepada putra-putrinya untuk

berpendapat dan menentukan masa depannya. Ciri-ciri pola asuh

demokratis sebagai berikut:


a) Orang tua senantiasa mendorong anak untuk

membicarakan apa yang menjadi cita-cita, harapan dan kebutuhan

mereka.
b) Pada pola asuh demokratis ada kerjasama yang harmonis

antara orang tua dan anak.


6

c) Anak diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan

dan potensi mendapat dukungan serta dipupuk dengan baik.


d) Orang tua akan membimbing dan mengarahkan anak-anak

mereka.
e) Ada kontrol dari orang tua yang tidak kaku.

Anak yang dibesarkan keluarga yang demokratis membuat anak

mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak belajar menerima

pandangan. Pandangan orang lain, belajar dengan bebas

mengumukakan pandangannya dan mengemukakan alasan-alasannya

(Notosoedirdjo, 2002).

c. Pola Asuh Permesif


Kata permisif bermakna serba boleh, serba mengiyakan, tidak

mau ambil pusing, tidak bersikap dalam makna sikap sesungguhnya,

dan apatis. Pola asuh permisif ini merupakan lawan dari pola asuh

otoriter (Wibowo, 2013). Pola asuh ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk

berbuat.
b) Dominasi pada anak.
c) Sikap longgar atau kebebasan dari orang tua.
d) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua.
e) Kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak yang

sangat kurang.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua

Menurut: Edwards (2006) faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh

adalah:
7

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak

akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada

beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam

menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap

pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada

masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak

dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.Hasil

riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan

diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan

perubahan- perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan

tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai

pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap

menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu

mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal

(Supartini, 2010).

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka

tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola

pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh

masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan kebiasaan masyarakat


8

disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap

berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua

mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik,

oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam

mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam

memberikan pola asuh.

2.2 Konsep Kecerdasan


2.2.1 Pengertian Kecerdasan
L.J. Cronbach mendefinisikan kecerdasan sebagai efektifitas

menyeluruh dalam aktifitas yang diarahkan oleh fikiran (Sukadji, 1998

dalam Khodijah, 2014).


Anastasi menyatakan bahwa kecerdasan adalah kombinasi dari

kemampuan yang dipersyaratkan untuk bertahan hidup dan

meningkatkan diri dalam budaya tertentu (Anastasi dan Urbina 1997

dalam Khotijah, 2014).


Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli

diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan

potensial umum untuk belajar dan bertahan hidup, yang dicirikan dengan

kemampuan untuk belajar, kemampuan untuk berfikir absrtak, dan

kemampuan memecahkan masalah (Khodijah, 2014).

2.2.2 Teori-Teori Kecerdasan

1. Teori General Intelligence dari Spearman


Menurut Spearman, kecerdasan adalah kemampuan umum yang

terutama berkaitan dengan induksi hubungan atau saling hubungan.

Spearman (Walgito,1997 dalam Khodijah, 2014).


2. Teori Kecerdasan dari Cattell
9

Raymond B. Cattell (Sukadji, 1998 dalam Khodijah, 2014)

menyarankan teori yang banyak memengaruhi teori struktur kecerdasan.

Ada dua macam unsur kecerdasan umum, yaitu kecerdasan yang fluid

dan Kristal. Kecerdasan yang fluid sebagian besar berbentuk non verbal

dan bentuk mental yang efisiensinya relatif sempit sebab menyesuaikan

dengan tuntutan budaya. Unsur ini berkaitan dengan kapasitas

seseorang untuk belajar dan memecahkan masalah. Jadi kecerdasan

fluid digunakan bila tugas memerlukan adaptasi terhadap situasi baru.

Sebaliknya, bentuk kecerdasan Kristal merupakan bentuk yang sudah

dipelajari menggunakan kecerdasan fluid dalam budaya tertentu. Unsur

yang Kristal ini sangat tergantung pada budaya dan digunakan untuk

menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan tanggapan yang telah

dipelajari atau telah terbiasa.


3. Teori Structure of Intellect dari Guilford
Berbeda dengan Spearman yang memusatkan perhatian pada

faktor g, Guilford lebih memusatkan perhatian pada faktor yang spesifik

(seperti ingatan, pemahaman verbal, atau kemahiran bekerja

menggunakan angka-angka). Guilford (Sukadji, 1998 dalam Khodijah,

2014) menyarankan bangunan perpaduan berbagai unsur kecerdasan

dalam bentuk kubus matriks yang dinamakan structure of Intellect (SOI).

Model SOI ini mengklasifikasikan kemampuan intelektual menjadi tiga

dimensi, yaitu: dimensi operasi, dimensi isi, dan dimensi produk. Dimensi

operasi menunjukan pada macam operasi intelektual yang dituntut oleh

tes (kognisi, ingatan, produksi divergen, produksi konvergen, atau

evaluasi). Dimensi isi menunjukan pada sifat materi atau informasi yang

diajukan kepada subjek yang diukur kecerdasannya (penglihatan,

pendengaran, symbol, atau perilaku). Dimensi produk menunjukan pada

struktur mental yang harus diproduksi untuk mendapatkan jawaban yang


10

benar (unit, kelas, hubungan sistem, transformasi, atau implikasi).

Karena klasifikasinya mencakup 6x 5x6 kategori, maka dalam model itu

terdapat 180 sel. Diharapkan setiap sel paling sedikit berisi satu factor.

Namun setelah 20 tahun penelitian, Guilford & Hoepfner (dalam Sukadji,

2014) berhasil mengetarai 98 faktor.


4. Teori Multiple Intelligence dari Gardner
Dipengaruhi oleh Guilford, Gardner (Eggen dan Kauchak, 1997

dalam Khodijah, 2014) menyimpulkan bahwa kebanyakan konsepsi

kecerdasan terlalu sempit. Menurut Gardner, kecerdasan manusia

memiliki sepuluh dimensi, yaitu:


a. Linguistic intelligence, yaitu sensitivitas terhadap makna dan

susunan kata-kata dan penggunaan bahasa yang bervariasi.


b. Logical-mathematical intelligence, yaitu kemampuan untuk

mengerjakan rangkaian logika yang panjang dan mengenali pola dan

susunan realitas.
c. Musical intelligence, yaitu sensitivitas terhadap pola music,

melodi, dan nada.


d. Spatial intelligence, yaitu kemampuan untuk merasakan dunia

visual secara akurat, dan menciptakan kembali, mentransformasi,

atau memodifikasi aspek-aspek realita atas dasar persepsi.


e. Bodily-kinesthetic intelligence, yaitu kemampuan menggunakan

tubuh dengan baik dan menghendel objek.


f. Interpersonal intelligence, yaitu kemampuan untuk menjalin

hubungan baik dengan orang lain.


g. Intrapersonal intelligence, yaitu kemampuan untuk mengakses

kehidupan internal sendiri.


h. Naturalis intelligence, yaitu kemampuan mengenali dan

mengkategorikan spesies, flora, di lingkungan sekitar.


i. Spiritual intelligence, yaitu kemampuan mengaktualisasi sesuatu

yang bersifat transenden atau penyadaran akan nilai-nilai ikidah-

keimanan, keyakinan akan kebesaran tuhan.


11

j. Existensial intelligence, yaitu kemampuan pada berbagai masalah

pokok kehidupan dan aspek eksistensial manusia serta pengalaman

mendalam terhadap kehidupan.


5. Triarchic Theory of Intelligence dari Sternberg
Seperti Gardner, Sternberg juga menggunakan perspektif multi-

kemampuan dalam memandang kecerdasan. Sternberg memandang

kecerdasan manusia dapat dipisahkan ke dalam proses-proses

komponen yang memengaruhi cara individu berfikir dan memecahkan

masalah. Teori ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:


a. Komponen-komponen pemprosesan,
b. Komponen-komponen kontekstual, dan
c.Komponen-komponen pengalaman.
Bagian paling mendasar dari teori ini adalah komponen-komponen

pemprosesan yang digunakan individu untuk memecahkan masalah,

yaitu komponen perolehan pengetahuan, komponen kinerja, dan

metakomponen. Komponen perolehan pengetahuan memungkinkan

individu mempelajari informasi baru, komponen kinerja menghadapi

masalah untuk menghasilkan solusi, dan metakomponen mengorganisir

dan mengelola komponen lainnya. Bagian kedua teori ini berupaya

menjelaskan bagaimana kecerdasan berhubungan dengan hal-hal yang

terdapat dalam lingkungan untuk mencapai tujuan, mengubahnya, atau

memilih menyimpang darinya jika diperlukan. Bagian ketiga teori ini

menggambarkan bagaimana kecerdasan dimodifikasi oleh pengalaman.

Perilaku kecerdasan memiliki dua karakteristik, yaitu: kemampuan untuk

menghadapi pengalaman baru secara efektif, dan kemampuan untuk

memecahkan masalah secara efisien dan otomatis (Khodijah, 2014).

2.2.3 Perkembangan Kecerdasan


kecerdasan dapat berupa sepanjang waktu. Sebuah penelitian

menunjukan bahwa inteligensi berubah sebanyak 28 point antara usia


12

2,5 tahun hingga 17 tahun, bahkan sepertujuh dari siswa dapat berubah

hingga 40 point (McCall, Appelbaum & Hogarty, dalam Eggen dan

Kauchak, 2014). Perubahan ini dimungkinkan karena ada faktor-faktor

yang memengaruhinya.
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang faktor-faktor yang

memengaruhi perkembangan kecerdasan. Isu yang sering

diperdebatkan adalah antara faktor genetik dan faktor lingkungan.

Menurut sebagian ahli, kecerdasan sepenuhnya ditentukan oleh faktor

genetik, sebagian ahli lain berpendapat bahwa perkembangan

kecerdasan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Akan tetapi, sebagian

besar ahli justru mangambil posisi di tengah, mereka meyakini bahwa

kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh keduanya, yaitu pembawaan

dan juga lingkungan.


Meski sebagian besar ahli telah sependapat bahwa faktor yang

memengaruhi perkembangan kecerdasan adalah faktor genetik dan

lingkungan. Akan tetapi, mereka tetap berbeda pendapat tentang berapa

banyak yang disumbangkan oleh masing-masing faktor atau sejauh

mana faktor-faktor tersebut dipengaruhi. Menurut sebagian ahli, faktor

yang paling dominan berpengaruh terhagap kecerdasan adalah faktor

pembawaan. Hal ini dapat dipahami karena orang yang terlahir dengan

kecerdasan yang sangat rendah tidak mungkin ditingkatkan meski

dengan lingkungan dan tehnik pendidikan sebaik apa pun. Akan tetapi,

faktor lingkungan juga berperan penting, karena seorang anak yang lahir

sebagai jenius bila tidak mendapat pengasuhan dan pendidikan yang

layak maka tidak akan menjadi jenius.


Sejauh mana faktor genetik dan lingkungan memengaruhi

perkembangan inteligensi ditunjukan oleh penelitian-penelitian terhadap

bayi kembar. Sebagian penelitian menunjukan bahwa pengaruh faktor


13

genetik terhadap perkembangan kecerdasan terutama karena adanya

pertalian keluarga dengan ukuran IQ. Penelitian yang dilakukan oleh

Erlenmeyer Kimling dan Jarvik dan juga Jensen (dalam Elliot, 2000)

menunjukan bahwa umumnya individu yang mempunyai hubungan

keluarga cenderung memiliki IQ yang relatif sama, dengan skor korelasi

untuk kembar identik 0,87, untuk kembar identik 0,53, untuk saudara

kandung 0,53, dan untuk yang tidak memiliki pertalian keluarga 0,23.

Dalam kaitannya dengan pengaruh faktor lingkungan terhadap

perkembangan kecerdasan, penelitian yang sama menunjukan bahwa

pertalian keluarga yang hidup dalam lingkungan yang sama korelasi skor

IQ-nya tinggi (0,87), dan sebaliknya pertalian keluarga yang hidup dalam

lingkungan berbeda menunjukan korelasi skor IQ yang relatif lebih

rendah (,75). Dari berbagai penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa

pengaruh faktor genetik yang kuat terdapat pada kinerja non-verbal dan

pengaruh lingkungan yang kuat pada eksperesi bahasa.

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Kecerdasan

Keberhasilan Belajar
Kecerdasan seseorang diyakini sangat berpengaruh pada

keberhasilan belajar yang dicapainya. Berdasarkan hasil penelitian,

presentasi belajar biasanya berkorelasi searah dengan tingkat

kecerdasan. Artinya, semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, maka

semakin tinggi prestasi belajar yang dicapainya. Bahkan menurut

sebagian besar ahli, kecerdasan merupakan modal utama dalam belajar

dan mencapai hasil yang optimal. Anak yang memiliki skor IQ di bawah

70 tidak mungkin dapat belajar dan mencapai hasil belajar seperti anak-

anak dengan skor IQ normal, apalagi dengan anak-anak jenius.


14

Kenyataan menunjukan bahwa setiap anak memiliki tingkat

kecerdasan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tampak

memberikan warna di dalam kelas. Selama menerima pelajaran yang

diberikan guru, ada anak yang dapat mengerti dengan cepat apa yang

disampaikan oleh guru, dan ada pula anak yang lamban dalam menerima

pelajaran, ada anak yang cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang

diberikan oleh guru, ada yang lamban. Perbedaan individu dalam

kecerdasan ini perlu diketahui dan dipahami oleh guru, terutama dalam

hubungannya dengan pengelompokan siswa. Selain itu, guru harus

menyesuaikan tujuan pembelajarannya dengan kapasitas kecerdasan

siswa. Perbedaan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa bukan berarti

membuat guru harus memandang rendah pada siswa yang kurang, akan

tetapi guru harus mengupayakan agar pembelajaran yang ia berikan

dapat membantu semua siswa, tentu saja dengan perlakuan metode

yang beragam.
Selain itu, perbedaan tersebut juga tampak dari hasil belajar yang

dicapai. Tinggi rendahnya hasil belajar yang dicapai oleh siswa

bergantung pada tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki. Meski

demikian, kecerdasan bukan merupakan satu-satunya faktor yang

memengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Seperti telah dikemukakan

bahwa banyak sekali faktor yang dapat memengaruhinya. Yang

terpenting dalam hal ini adalah guru harus bijaksana dalam menyikapi

perbedaan tersebut.

2.2.5 Pengukuran Kecerdasan

Untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang tidak bisa

hanya dengan berdasarkan perkiraan melalui pengamatan, akan tetapi

harus menggunakan alat khusus yang dinamakan tes kecerdasan atau IQ


15

(intelligence Quotient). Orang yang dapat dipandang sebagai orang yang

pertama-tama menciptakan tes kecerdasan adalah Binet (Walgito, 2014).

Bagi masyarakat umum, istilah IQ sering kali disamakan dengan

kecerdasan, padahal keduanya berbeda. kecerdasan adalah kemampuan

umum sesungguhnya yang dimiliki seseorang, akan tetapi IQ adalah

suatu indeks tingkat relatif kecerdasan seseorang, setelah dibandingkan

dengan orang lain yang sesuai dengannya. Dengan demikian, IQ pada

dasarnya hanyalah sebuah ukuran tingkat kecerdasan, dan bukan

kecerdasan yang sebenarnya. Ukuran-ukuran yang biasanya digunakan

untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang adalah sebagai berikut:

IQ Tafsiran
140- Berbakat
120-140 Sangat superior
110-120 Superior
90-110 Normal ; rata-rata
70-90 Normal yang tumpul
50-70 Moron
20-50 Imbesil
0-20 idiot

Menurut Anastasi dan Urbina (2014), tes IQ hendaknya

dipandang sebagai konsep deskriptif bukan eksplanatif. Suatu IQ adalah

suatu pernyataan mengenai tingkat kemampuan seseorang ditafsir

dengan menggunakan skala tertentu, pada satu saat, dan dalam

hubungannya dengan norma usia yang tersedia. Karenanya, skala yang

berbeda dan dikenakan pada saat yang berbeda juga, dapat menyatakan

IQ yang berbeda untuk satu orang.


16

Tes IQ ini banyak bentuknya. Beberapa tes menggunakan tipe

item tunggal, contohnya Peabody picture vocabulary test (untuk anak-

anak) dan raven progressive matrices (tes non verbal, yang

membutuhkan penalaran induktif mengenai pola konsep perseptual).

Bentuk tes lain menggunakan tipe item yang bervariasi, verbal maupun

non verbal, karena mengukur kecerdasan umum. Tes kecerdasan umum

ini dapat menghasilkan skor untuk bagian-bagian (subskor) maupun

untuk total (global-tunggal).

Tes WPSSI adalah yang digunakan pada usia 3-7 tahun. WPPSI-

R diperluas cakupannya dengan rentang usia 3-7 tahun 3 bulan dan

diperkenalkan sebuah subtes yang baru, perkumpulan objek (Object

Assembly). WPPSI-III menggabungkan nomor-nomor yang berubah

secara signifikan. Subtes tambahan telah dirancang untuk mempertinggi

ukuran dari sebab yang berubah-ubah (Fluid Reasoning) (lihat Carol,

1997), antara lain; sebab acuan (Matrix Reasoning), konsep gambar

(Picture Concept) dan sebab kata (Word Reasoning). Ukuran dalam

kecepatan memproses juga telah diambil dari WISC-III, diadaptasi untuk

digunakan anak yang lebih muda dan mencakup sebagai sebuah subtes

yang baru (Coding & Symbol Serach). Rentang usia yang diizinkan tidak

hanya dari 2 tahun 6 bulan, tetapi juga dibagi menjadi dua macam, yaitu 2

tahun 6 bulan – 3 tahun 11 bulan dan 4-7 tahun 3 bulan, usia tersebut

telah cukup dalam pengenalan dari perubahan yang kuat dalam

perkembangan kognitif yang terjadi pada waktu masa kanak-kanak awal.

Tes kecerdasan tidak langsung ada seperti sekarang ini, akan

tetapi mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. Menurut

suryabrata (2002), perekembangan tes kecerdasan melewati 4 fase,


17

yaitu: fase persiapan, fase naïf, fase mencari tes yang bebas dari

pengaruh kebudayaan, dan fase kritis.

a. Fase persiapan
Fase dimana para ahli sedang berusaha mendapatkan tes

kecerdasan itu. Fase ini berlangsung kira-kira sampai tahun 1915.


b. Fase naïf
Fase dimana orang menggunakan tes kecerdasan tanpa kritik.

Fase ini berlangsung dari kira-kira tahun 1915-1935. Pada fase ini

kegiatan para ahli adalah penggunaan tes kecerdasan yang telah

berhasil disusun dalam berbagai bidang kehidupan. Tes kecerdasan

digunakan tanpa mengingat kelemahan-kelemahan yang mungkin

terkandung didalamnya. Tes kecerdasan dianggap sebagai suatu

yang serba dapat menentukan, sebagai sesuatu yang dapat dipakai

sebagai dasar yang kuat dalam menentukan berbagai hal mengenai

kemampuan manusia.
c. Fase mencari tes yang bebas dari pengaruh kebudayaan
Fase ini berlangsung sejak tahun 1935 hingga tahun 1950. Pada

fase ini para ahli berupaya mencari bentuk tes kecerdasan yang tidak

dipengaruhi oleh pengaruh kebudayaan. Namun usaha tersebut terus

menerus mengalami kegagalan, karena tes kecerdasan itu sendiri

sebenernya adalah hasil kebudayaan. Jadi tindak mungkin bebas dari

pengaruh budaya.
d. Fase kritis
Fase dimana orang menggunakan tes kecerdasan dengan sikap

kritis. Artinya para ahli mengakui, bahwa tes kecerdasan adalah alat

yang sangat berguna, akan tetapi memiliki kelemahan-kelemahan.

Menurut suryabrata (2002). Diantara kelemahan-kelemahan tes

inteligensi itu adalah bahwa tes kecerdasan itu :


1) Tergantung kepada kebudayaan.
2) Hanya cocok untuk jenis tingkah laku tertentu.
3) Hanya cocok untuk tipe kepribadian tertentu.
18

4) Kecerdasan sesorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

keturunan.
5) Kecerdasan seseorang itu tidak konstan.
6) Penggolongan kecerdasan seseorang itu bukanlah harga

mati, dan.
7) Mengandung kekeliruan-kekeliruan.
Kerena kelemahan-kelemahannya itu, maka menurut muhibbin

syah (2005), kebenaran hasil tes IQ tidak usah dipercayai secara

penuh karena dua alasan pokok. pertama kemungkinan hasil yang

diperoleh dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada tes yang

digunakan. Kedua, karena perkembangan kemampuan anak yang

berbeda-beda menyebabkan sebagian anak mungkin belum mampu

untuk menyelesaikan tes yang diberikan sehingga hasil yang dicapai

kurang memuaskan.

2.2.6 Penyebaran Kecerdasan


Berdasarkan hasil pengukuran atau tes kecerdasan terhadap

sampel yang dipandang mencerminkan populasinya, maka

dikembangkan suatu sistem norma ukuran kecerdasan sebagai berikut.

2.2.7 Unsur-Unsur Kecerdasan

Aspek Karakteristik Perilaku


1. Kesadaran Diri a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri.
b. Memahami penyebab perasaan yang

timbul.
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap

tindakan
2. Mengelola Emosi a. Bersikap toleran terhadap frustrasi dan

mampu mengelola amarah secara lebih

baik.
b. Lebih mampu mengungkapkan amarah

dengan tepat tanpa berkelahi.


19

c. Dapat mengendalikan perilaku agresif

yang merusak diri sendiri dan orang lain.


d. Memiliki perasaan yang positif tentang

diri sendiri, sekolah dan keluarga.


e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi

ketegangan jiwa (stress).


f. Dapat mengurangi perasaan kesepian

dan cemas dalam pergaulan.


3. Memanfaatkan a. Memiliki rasa tanggung jawab
b. Mampu memusatkan perhatian pada
emosi secara produktif
tugas yang dikerjakan.
c. Mampu mengendalikan diri dan tidak

bersifat impulsive
4. Empati a. Mampu menerima sudut pandang

orang lain.
b. Memiliki sikap empati atau kepekaan

terhadap perasaan orang lain.


c. Mampu mendengarkan orang lain.
5. Membina a. Memiliki pemahaman dan kemampuan

Hubungan untuk menganalisis hubungan dengan

orang lain.
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan

orang lain.
c. Memiliki kemampuan berkomunikasi

dengan orang lain.


d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah

bergaul dengan teman sebaya.


e. Memiliki sikap tenggang rasa dan

perhatian terhadap orang lain.


f. Memperhatikan kepentingan sosial

(senang menolong orang lain) dan dapat

hidup selaras dengan kelompok.


20

g. Bersikap senang berbagi rasa dan

bekerja sama.
h. Bersikap demokratis dalam bergaul

dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai